Pages

  • Home
  • Privacy
  • Sitemaps
  • Contact
  • [PROFIL] TENTANG ADE UBAIDIL
facebook instagram twitter youtube

Quadraterz.com

    • My Book
    • Cerpen
    • Novel
    • Esai
    • Puisi
    • Buku Antologi
    • Ulasan
    • Media
    • [Self-Depression]
    • Rumah Baca Garuda
    image by: klik


    Satu minggu terakhir, pikiran saya benar-benar terganggu dengan masa lalu. Kalut sekali. Sebisa mungkin saya alihkan dengan banyak kegiatan, tetapi kau tahu, semakin kau melupakan, semakin deras kenangan itu datang. Sial memang. Itu sebabnya, saya tak ingin terlalu serius soal perasaan sekarang-sekarang ini, dan merasa biasa saja pada semua hal, pada siapa pun. Biarkan saya menyalurkan keresahan ini dengan terus meluap-luap melalui tulisan. Karena di sana, saya menemukan ketenangan—sekalipun harus kembali bertemu dengannya dalam wujud yang lain.

    Orang-orang yang (merasa) mengenal baik tentang saya, sejatinya tak benar-benar mengenal saya sebenarnya. Mereka, orang-orang itu, mana tahu kalau di suatu malam yang gigil, saya pernah menangis seorang diri di dalam ruangan yang sempit. Tiba-tiba pikiran saya diseret sangat jauh sekali, ke sebuah momen yang, astaga, setiap kali mengingatnya, saya selalu mengutuk diri sendiri mengapa tak membawa kamera dan berfoto ria dengannya. Sekadar mengabadikannya untuk saya lihat sesering mungkin.

    Ketika mula mengenalnya, hati saya sudah berbisik bahwa ia orang yang tepat untuk dijadikan teman dekat. Cara ia berkomunikasi dengan saya, cara ia meladeni perkataan-perkataan tak jelas saya, cara ia mendengarkan ocehan-ocehan saya. Ia sungguh orang yang baik—terlewat baik bahkan. Bagaimana tidak, ketika kami sudah dekat, dan saya anggap ia kakak saya sendiri, dengan seenaknya saya memanggil dia. Bukan namanya lagi. Begitulah saya, ketika sudah merasa nyaman dengan seseorang, saya lebih sering memanggilnya dengan sebutan yang aneh-aneh.

    Sialnya, sejak saya sudah benar-benar dekat dengannya—apa pun yang saya inginkan pasti ia lakukan selama ia mampu—saya mendapati dugaan kalau sesuatu begitu saja terasa berjalan mulus, pasti di kemudian hari ia akan benar-benar pergi. Dan saat ia sudah pergi, ketika orang-orang baik pergi, ia sungguh-sungguh pergi. Sekalipun tempat tinggalnya sebelahan dengan rumahmu, misal, ia pasti tak akan lagi merasa mengenalmu seperti sedia kala. Dan, shit! bayangan itu benar-benar menjadi nyata. Kami, dengan segala pengetahuan masing-masing yang saling tahu satu sama lain, setiap kali berjumpa kini segalanya terasa asing. Tidak, saya tidak benar-benar ingin menjauhinya, dialah yang lebih dulu memilih untuk melakukan itu. Entah saya tidak tahu kenapa ia menjaga jarak dengan saya, sejauh ini, apa yang saya lakukan padanya sungguh wajar-wajar saja—sekalipun saya sering kali diberi kesempatan untuk kurang ajar, semisal menempeleng kepalanya, mendorong tubuhnya hingga tersungkur atau mungkin menggembosi perutnya yang sering keranjingan makanan berlebih hingga porsi saya mesti diembat dia juga. Tetapi saya tak melakukan itu. Karena saya tahu hal itu kelewat ngelunjak.

    Tapi astaga, pikiran saya, semenjak jauh dengan dirinya, tak bisa lepas dari bayang-bayang wajahnya. Segala kebaikannya, segala apa pun yang dimilikinya, sungguh masih sangat tergambar jelas. Saya masih membutuhkan kehadirannya.

    Pernah satu kali ia mengirimi saya pesan pendek—ya, pesan yang benar-benar pendek sekali. Isinya hanya, “De, minta nomer si xxxxx.” Tak ada kalimat salam, tegur-menegur yang menyebalkan tetapi selalu dirindukan, ataupun sapaan lebih dulu. Ia langsung saja bilang begitu dan saya balas dengan memberi nomer seseorang yang dia minta. Setelah itu ia membalas sekali lagi dan untuk terakhir kalinya barangkali, ia mengucapkan, “thanks,” dan saya lama sekali dilema; mengetik kalimat-kalimat panjang kemudian menghapusnya dan akhirnya hanya memilih untuk membalas, “your welcome,” sudah, itu saja. Setelah itu semesta mulai memberikan kode-kode yang tak bisa saya hindari. Soal tempat-tempat yang terasa tiba-tiba begitu saja membawa saya ke sana—semacam laut, danau, kota, kereta—soal orang-orang yang tidak tahu sesuatu tiba-tiba menyebutkan namanya—padahal ia tak mengerti pula apa yang dimaksudkan dengan apa yang aku tangkap. Soal nama-nama makanan, soal film-film lama yang dulu kami tonton, soal musik dan lagu-lagu kesukaan, soal buku-buku, soal cerita-cerita, soal kenangan Facebook (thanks, Mark!), bahkan soal mimpi-mimpi. Tuhan, inikah yang biasa orang lain rasakan ketika rindunya terlampau membengkak sedemikian besar?

    Dan, sekarang, saya mulai mencari sosok sepertinya di dalam diri orang lain. Tetapi lagi-lagi ini hanyalah hal bodoh yang sia-sia. Kita sering kali tahu bahwa apa yang kita lakukan hanyalah buang-buang waktu, namun kita tetap saja melakukannya. Dan benar, tak ada yang sungguh-sungguh seperti dia. Ia tak tergantikan. Orang-orang yang saya akrabi tak semengerti dirinya. Sama halnya dengan orang-orang yang (merasa) mengenal baik siapa saya, yang saya sebutkan di atas. Mereka hanya tahu bahwa saya tak pernah bersedih; saya tak pernah merasa gelisah; saya tak pernah merasa terasing di hadapan mereka. Yang mereka tahu tentang saya hanya sisi lain saya yang sangat sedikit porsinya dalam diri ini; yakni seorang kawan yang selalu menghibur dan periang; seseorang yang selalu ada ketika mereka membutuhkan kehadiran saya; seseorang yang siap memasang telinga dan mendengarkan keluh-kesahnya. Padahal, sungguh, saya selalu membayangkan diri saya berada di posisi mereka.[]


    Cilegon, 25 September 2016

    Continue Reading
    PERJALANAN, CINTA DAN SEGALA KERUMITANNYA







    Judul Buku      : Love, Life and Choir
    Penulis             : Kiky Aurora AR
    Kategori          : Novel
    Penerbit           : Stiletto
    ISBN               : 978-602-7572-53-9
    Terbit               : 2016
    Tebal               : 236 Halaman
    Harga              : Rp. 55.000




    “Yogya terbuat dari rindu, pulang dan angkringan.”
           ~ Joko Pinurbo.



    Perjalanan, sejauh apa pun kamu pergi, langkah kakimu pasti akan membawamu kembali.  Sama halnya ketika kita berbicara soal cinta. Ia adalah perjalanan tentang perasaan, jarak dan hubungan. Di antara bagian-bagian itu, ada satu hal lagi, yakni tujuan. Dalam novel remaja karangan Kiky Aurora AR berjudul, “Love, Life and Choir” akan Anda temukan apa yang saya maksud. Novel yang terdiri atas tiga keping bab ini, mengisahkan perjalanan cinta antar satu tokoh dengan tokoh lainnya.

    Berlatar belakang tokoh yang menekuni paduan suara, juga setting tempat di Jogjakarta, cerita mulai mengalir. Bab pertama, “Kali Ini Bukan Tentang Ariel”—saya akan menyebutnya bab “Rindu”—dibuka oleh tokoh Reni dan kisah cintanya. Mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang belakangan kesulitan berkonsentrasi saat berlatih paduan suara dengan kakak angkatannya, Andromeda. Setiap kali hendak fokus, bayangan Ariel, yang diketahui kemudian ternyata kekasih hatinya, mendadak muncul tiba-tiba menggeser posisi Andro yang ada di hadapannya. Reni sering merasa kesulitan untuk membedakan wajah keduanya. Dua sosok pria berpostur ideal itu sama-sama “charming”. Seperti ada daya magis yang menyedot perhatian Reni. Andro pun ternyata menaruh hati juga pada adik tingkatnya itu. Bisa dibuktikan ketika ia rela berkunjung jauh-jauh dari tempat tinggalnya ke rumah Reni yang berada di Kota Semarang (hal. 75). Sayangnya, sekalipun Reni merasa nyaman dengan Andro, Ariel masih sulit dihilangkan. Kekasihnya yang meninggal akibat kecelakaan itu sering menjadi bayang-bayang di benaknya setiap kali ia ingin membuka hatinya untuk orang lain. Ada rindu yang sulit sekali direngkuh, ia menjerat kenangan yang sulit dilupakan. Di detik-detik bab-lah Widya hadir sebagai sahabat Reni yang selalu mendukung dan berusaha memberikan solusi untuk kisah cintanya yang rumit.

    Berlanjut ke bab berikutnya. Barangkali inilah keunikan novel ini, meski setiap bab terkesan berdiri sendiri oleh tokoh-tokoh yang berlainan, namun di beberapa bagian hingga ending terselip potongan-potongan yang saling terkait dan dukung. Serupa tangga nada yang saling topang, menghantarkan kita pada nada puncak dan keintiman serta kesyahduan suara dan perpaduan alat musik yang harmonis. Bab dua ini berjudul, “Akhir Penantian Tara”—saya lebih senang menyebutnya bab, “Pulang”. Mungkin Tara dimaksudkan sang narator sebagai sosok cewek yang gigih dan agresif—sekalipun pemilihan nama Tara saya rasa kurang tepat untuk perempuan; atau malah memang disengaja oleh penulisnya (?). Meski cintanya sudah ditolak oleh Rudi, ia masih berusaha mendekatinya, namun lagi-lagi tak ada respons. Kehampaan hatilah yang harus ia bawa pulang. Hingga akhirnya ia berusaha untuk move on.
    Hadirnya Weni dan Dinda sebagai teman dan sahabat membuat Tara tak patah arang untuk memperjuangkan cintanya. Dari bisikan Weni ia tahu kalau ada seorang laki-laki yang menjadi “secret admirer”-nya. Dia adalah Nicko. Pernyataan itu diperkuat oleh Dino, sahabat Nicko. Ia mengatakan kalau Nicko memang menaruh hati pada Tara. Tetapi, sampai berhari-hari kemudian, Nicko tak juga lekas menyatakan cintanya. Hingga akhirnya membuat Tara geram dan tak sabar lagi menunggu lama. Lagi-lagi, sebagai tokoh perempuan, ia menyatakan cintanya lebih dulu kepada laki-laki. Tak ada yang salah, keberanian penulis pada bab ini patut diacungi jempol. Menunggu, meski terdengar romantis, di satu sisi selalu membuatmu jengkel; bahkan tak peduli lagi dengan lengkuas atau daging rendang yang ada di mulutmu, misal. Begitulah Tara, ia tak peduli dengan segala resiko yang didapatinya kemudian, yang penting ia sudah berani “mengunyah” dan menyampaikan isi hatinya.

    Sialnya, Nicko benar-benar seperti yang dikatakan Dinda; ia pendiam dan pemalu. Ia menggantung Tara dan tak lekas memberi jawaban, “ya” atau “tidak”. lantas Tara pun dibuat gemas (begitupun juga pembaca), ia memilih pulang—lebih baik pemakaian pulang ketimbang pergi, sebab ia bermuasal dari sebuah titik nol perjalanan cinta, dan ia kembali ke sana. Barangkali dengan begitu ia merasa lebih terhormat ketimbang terus diulur-ulur ibarat layangan nyangkut di kabel atau pohon randu tengah sawah. Padahal, Nicko memiliki alasan kenapa ia tak lekas mengambil keputusan. Di lubuk hatinya, ia masih menyimpan satu nama, cinta pertamanya, yakni Elsa. Tetapi, setelah melalui banyak pertimbangan layaknya para juri di ajang pencarian bakat, akhirnya Nicko memilih untuk move on dan menerima cinta Tara. Nahas, ia terlambat. Kita sama-sama ketahui, inilah akhir penantian Tara, ia memilih pulang. Terlambat sudah semuanya. Pada bab ini bisa ditarik simpulan bahwa lekaslah kejar dan raih segala apa yang pantas diupayakan, sebelum ia pulang (keharibaan-Nya, misal), terlebih bila itu adalah orang terkasihmu.

    Tibalah di bab terakhir. Klimaks dari perjalanan ketiga kisah cinta yang terangkum dalam buku ini, saya rasa patut menjura kepada si penulisnya. Sebab, di bagian ketiga ini akan Anda dapati ending yang pecah dan tak terduga dibanding dua bab sebelumnya. Judulnya, “Mengejar Cinta Nugie”—agar komplit dan sama dengan bab-bab diawal, saya istilahkan bab ini dengan “Angkringan”. Masih soal mengejar-ngejar cinta.

    Sebelum saya bicara soal tokoh-tokoh yang mengisi cerita, ada kecurigaan sebagai pembaca bahwa sang narator dalam novel ini adalah suara dari penulisnya sendiri. Entah sedemikian kompleks-kah kehidupan percintaan penulisnya hingga ia tuangkan dalam kisah yang difiksikan? Namun kembali lagi, ini hanya sebuah kecurigaan saya. Sebab bila diperhatikan, bahkan sampai bab ketiga ini pun, tokoh yang “dikambinghitamkan” adalah perempuan. Lagi-lagi dibuat sedemikian agresif soal mendapatkan cinta seorang laki-laki. Tersebutlah Devi, seorang kakak senior, yang berusaha mendapatkan cinta Nugie—yang digambarkan sebagai sosok tokoh yang mengalami broken home—adik tingkatnya di kampus. Di mata Devi, Nugie memberikan respons sesuai harapannya, berbeda nasibnya dengan Reni dan Tara—meski tak menutup kemungkinan masih ada kemiripan dan benang merahnya. Devi sering diajak jalan, makan dan nonton oleh Nugie. sialnya setelah tahu, rupanya Nugie hanya menganggap Devi sebagai kakaknya saja—brother zone [only].

    Namun kegigihan Devi terlihat di kilasan-kilasan cerita berikutnya. Ia membeli dua buah tiket konser paduan suara. Tentu ia maksudkan untuk nonton bersama Nugie, sayangnya, pria beger (beranjak dewasa) itu pun menolak. Ia tidak bisa nonton bareng dengan alasan segala macam. Devi sebal, namun tentu ia tak bisa memaksa. Karena tidak ingin sia-sia, tiketnya ia berikan kepada Pram, teman sekaligus juga tetangganya—yang ternyata ia adalah adik dari Andromeda yang ada dalam bab pertama.
    Devi pun jalan dengan Pram. Ketika sampai di tempat konser, ia sungguh tidak menyangka. Rumor kalau Nugie gay pun terbukti di sana. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, Nugie tengah bermesraan dengan Alvin, bahkan sampai bergandengan tangan layaknya sepasang kekasih. Hati Devi remuk, pecah berkeping-keping. Saat itulah Pram ambil bagian, ia selalu ada di saat Devi tengah butuh sandaran. Pram ibarat Angkringan bagi Devi. Ia dekat dan menyadarkan kalau bahagia tak harus rumit dan butuh perjuangan. Terkadang ia ada di sekitar kita, hanya saja kita lebih sering kurang peduli, dibutuhkan kepekaan untuk meyadarkan itu semua.

    Sepanjang pembacaan, justru yang menjadi poin lebihnya bagi saya adalah hadirnya tokoh-tokoh sisipan yang meski mendapatkan porsi sedikit, namun mereka mengisinya dengan baik. Sehingga cerita berjalan sesuai kehendak sang narator (sudut pandang orang ketiga serba tahu), dan membantu para tokoh utama untuk mencapai “misinya”. Sebut saja semisal: Widya untuk Reni, Weni dan Dinda untuk Tara, Dino untuk Nicko, Pram untuk Devi. Mereka menjadi jembatan kecil untuk para tokoh menyeberang dari satu alur ke alur lainnya. Kepiawaian penulis dalam menghadirkan tokoh-tokoh ini cukup cerdik. Ia tahu bagaimana cara menuntun setiap tokohnya untuk terus melangkah. Ditambah pengetahuan penulis soal Yogyakarta yang lumayan luas; mulai dari Angkringan, pantai Parangtritis, kaki Merapi, sampai ke kuliner Sate Karang. Barangkali memang latar belakang Kiky-lah, sebagai penulis yang hobi ber-traveling, yang memperkuat riset novelnya.
    Memang beginilah yang dibutuhkan untuk menopang logika cerita; baik secara alur, setting, penokohan dan segala macamnya. Sayangnya beberapa bagian masih ditemukan kesalahan eja, tulis juga penempatan tanda baca, di sisi lain juga penguatan karakter tokoh yang terkesan kurang mendalam. Namun bagaimanapun juga, sebuah karya adalah sebuah karya adalah sebuah karya adalah sebuah karya yang patut mendapatkan apresiasi dari pembaca. Sebaik dan seburuk apa pun. Setidaknya, Kiky sudah membuktikan ia berhasil menjejak satu tangga nada untuk melangkah ke nada berikutnya—agar terdengar merdu dan tidak sumbang, tentu saja dibutuhkan latihan yang intens, layaknya cinta yang mesti terus diperjuangkan.


    Cilegon, 15 September 2016
    Continue Reading
    (Ilustrasi: Lukisan karya Ivan Kulikov via commons.wikimedia.org)


    Menulis adalah sebuah aktivitas yang memerlukan kecakapan berpikir dalam menilai suatu hal. Maka kegiatan menulis tidak bisa semena-mena dianggap hal yang sepele dan kurang penting. Karena untuk membiasakan menulis yang baik, diperlukan pula meningkatkan kegemaran membaca berbagai medium; baik kitab suci, buku, film, dan media digital. Beberapa waktu lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Anies Baswedan, dalam wawancaranya dengan okezone.com (27/8), mengatakan bahwa ia tengah  menggalakkan program membaca buku selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Tujuannya agar para siswa terbiasa membaca dan mendorong imajinasinya untuk menulis. Ini adalah langkah awal yang baik. Memang mesti dibimbing sejak usia dini. Tentu program semacam ini patut diapresiasi dan terus dikawal agar kontinu-berkesinambungan dan tidak berhenti di tengah jalan—setidaknya selama beliau masih menjabat. Apalagi bila berbanding lurus dengan tenaga pengajar yang manguasai bidang tulis-menulis dan telah menelurkan karya berupa buku.

    PEJABAT SEBAGAI WAKIL RAKYAT
    Dalam sebuah kesempatan, saya sempat menyinggung topik tersebut ketika berjumpa dengan salah seorang DPRD Cilegon Komisi III, Babay Suhemi, di Rumah Dunia, Serang. Beliau bersetuju dengan gagasan yang saya sampaikan, bahkan beliau juga tak ragu untuk meminta pengarahan atau setidaknya sharing dan brainstorming ketika melakukan kegiatan menulis nantinya. Karena menyampaikan opini, pendapat atau gagasan tidak melulu dengan berbicara yang penuh emosi—dalam sebuah rapat, misal—apalagi bila tak berisi, hanya pepesan kosong belaka. Menurut penyair sufi kelahiran Balkh (sekarang Afganistan), Jalaluddin Rumi, yang seharusnya dilakukan adalah; Tingkatkanlah kualitas kata-katamu, bukan meningkatkan nada suaramu. Adalah air hujan yang mampu membuat bunga-bunga tumbuh bermekaran, bukan keras dan dahsyatnya suara petir & halilintar. Seseorang dinilai ‘berisi’ atau tinggi tidaknya tingkat intelegensianya, selain public speaking, ialah dari kelihaiannya dalam menuangkan gagasannya melalui tulisan.

    Aktivitas menulis juga bagian atau cara lain dari menyuarakan gagasan dan ide-ide yang bisa disampaikan—sebagai alternatif—kepada masyarakat. Terlebih, dewasa ini, sudah cukup banyak media cetak maupun elektronik yang kian menjamur di negara ini. Kolom gagasan yang disediakan koran-koran lokal maupun nasional—bahkan kini sudah ada media online—untuk warga sipil adalah sebuah peluang yang tidak boleh disia-siakan. Itu pun kalau pejabat tersebut belum sanggup merampungkan gagasannya dalam sebuah buku. Tetapi yang dikhawatirkan, alih-alih memanfaatkan media tersebut, kita malah terjebak dengan stigma bahwa masyarakat modern lebih memilih media digital tinimbang media cetak. Baiknya alasan macam itu jauhkan dulu dalam cara berpikir kita. Apa pun medianya, menulis dan membaca harus terus digalakkan dan dibudayakan.

    Kendati demikian, kegiatan menulis (dalam tulisan ini) sebenarnya yang berusaha ditekankan bukan hanya pada kalangan pejabat saja. Penyebutan ‘Pejabat’ dalam hal ini hanya sebagai wakil dari berbagai kalangan atau lapisan masyarakat. Sebab, sebagaimana kita ketahui, pejabat adalah penyambung lidah rakyat. Segala keluh-kesah dan keresahan yang dirasakan masyarakat sudah seharusnya ditampung oleh para pejabat yang menjadi bagian dari wakil rakyat itu sendiri, untuk kemudian disampaikan kepada pemerintah tertinggi. Sudah semestinya pulalah menghilangkan sekat antara warga dan pejabat pemerintahan, agar tak ada lagi jarak yang memisahkan. Karena keduanya sama-sama bagian dari masyarakat di wilayah tersebut, dan bagian penting yang saling membutuhkan.

    MEMBAGI WAKTU
    Dalam percakapan kita berdua saat itu, sempat terlontar pula bahwa kesibukan menjalankan tugas dan kewajiban (rutinitas pekerjaan) adalah salah satu faktor utamanya. Menulis sulit dijadikan prioritas karena tidak akan mendapatkan takaran waktu yang proporsional, katanya. Padahal, dalam profesi apa pun, sekalipun ia seorang pengangguran, kita dianugerahkan waktu yang sama rata; yakni 24 jam. Tetapi, apa yang membedakan dari itu semua? Adalah cara mengatur waktunya yang sebaik dan sebisa mungkin. Time management kita akan diuji pada bagian ini. Banyak kisah dari orang-orang berpengaruh di dunia yang hanya memakai waktu tidur atau istirahatnya tak lebih dari 3 jam. Sebagai menyebut beberapa nama semisal; Thomas Alva Edison, Leonardo da Vinci, Donald Trump—yang sedang jadi hot issue di Indonesia dengan DPR—ilmuwan terbesar dunia Nikola Tesla juga hanya tidur sekira dua jam per malam. Hal inilah yang mungkin menjadi rahasia sukses mereka. Bahkan Edison, si penemu lampu pijar, menganggap kalau tidur itu salah satu hal yang membuang-buang waktu.
    Sisanya, dari waktu yang sebegitu pas-pasan, mereka melakukan sesuatu, yakni pengabdian kepada masyarakat dan kehidupan. Maka semesta pun tak ingkar. Ia akan mendukung sepenuh hati bagi mereka yang tulus dan ikhlas menjalankannya.

    Sekarang hanya kembali kepada diri kita masing-masing. Tulisan ini tentu tak sedikit pun berusaha mendiskreditkan profesi tertentu saja. Tulisan ini bagian dari renungan dan teguran diri, demi menuju masyarakat yang kritis dan berintelektual dalam menanggapi hal apa pun. Dengan membiasakan membaca dan menulis sudah pasti menjadi aktivitas yang memperkaya pandangan, perspektif, dan penalaran. Mampu memakai sudut pandang yang semestinya dan bisa menempatkan diri pada masalah tertentu. Walaupun mungkin kita belum bisa menjadi bijaksana dan arif secara drastis, sebab dibutuhkan pengalaman dan pengamalan yang sebanding.

    Bila sampai hal tersebut tercapai hingga berkelanjutan, kita bisa menciptakan trendsetter sendiri, meskipun di beberapa daerah hal ini sudah lebih dulu dicanangkan, tetapi tidak ada istilahnya terlambat untuk belajar. Tentu yang saya harapkan juga, siapa pun Anda, berprofesi apa saja; Pejabat, Rektor, Dosen, Guru, Pelajar, Polisi, Politikus, Tukang Ojek, Pedagang Nasi Goreng, Penjaja Mainan Anak, apa pun itu, mari gemari menulis dan membaca. Kita bantu pemerintah untuk mencapai masyarakat yang mandiri, cerdas dan berwawasan luas. Toh, itu untuk kebaikan kita sendiri. Yang diperlukan adalah berjalan beriringan, bukan hadap-hadapan. Bukan saatnya lagi mencegah seseorang untuk bangkit dan melaju di garda depan. Justru kita harus saling mendukung. Melalui gerakan hestek-hestekan seperti #IndonesiaMembaca, #IndonesiaMengajar dan #IndonesiaMenulis kita sama-sama menuju negara yang bermartabat dan berbudaya.

    Mengutip kalimat yang ditulis oleh sastrawan besar, Pramoedya Ananta Toer, dalam bukunya Anak Semua Bangsa, bila ingin selalu dikenang khalayak, “Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis,” tulis Pram.  Dan kutipan dalam buku Rumah Kaca, “Orang boleh pandai setinggi langit, tetapi selama ia tak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah.”

    Maka marilah menulis, bekerja untuk keabadian; memerdekakan pikiran, menyampaikan gagasan dan mengguratkan pesan, baik tersirat maupun tersurat. [*]


    Cilegon, 15 Oktober 2015


    *) pernah tersiar di web online biem.co (20/12/15)
    Continue Reading
    image by: biem.co


    Kuliah Kerja Mahasiswa, atau yang biasa kita kenal dan ringkas menjadi KKM, adalah output dan produk atas konsep Tridarma Perguruan Tinggi. Pertama, pendidikan dan pengajaran; kedua, penelitian dan pengembangan; ketiga, pengabdian kepada masyarakat. KKM adalah gabungan dari ketiga poin mendasar tersebut yang menjadi tanggung jawab mahasiswa sebagai agent of (social) change—meski dalam porsi tertentu, bentuk pengabdian bukan hanya dibebankan kepada mahasiswa saja, tetapi seluruh kalangan akademik atau civitas yang terlibat dalam proses pembelajaran. Pengaplikasiannya tentu saja kepada seluruh masyarakat yang berada di negara Indonesia ini.

    Biasanya, mahasiswa akan mendapati SKS mata kuliah KKM ketika menginjak semester 6 ataupun di beberapa kampus menerapkannya di semester 8. Dari seluruh fakultas pada semester yang sama akan dipertemukan, untuk kemudian dibagi ke dalam beberapa kelompok kecil. Jumlah per kelompok bervariatif. Bila dilihat dalam skala khusus, di Perguruan Tinggi yang berada di Provinsi Banten, satu kelompok terdiri atas 15 sampai 25 mahasiswa. Kemudian masing-masing kelompok akan ditempatkan atau mencari lokasi sendiri yang berada di sekitaran lingkup Provinsi untuk dijadikan tempat pelaksanaan KKM. Ini hanya satu bagian dari banyaknya bentuk pelaksanaan dan ketentuan KKM tematik; ada KKM lintas kampus, KKM lintas provinsi—yang berarti akan ditempatkan di luar wilayah ia menimba ilmu—, dan sejenisnya. Tetapi intinya sama, pengabdian kepada masyarakat.

    Setiap memasuki semester genap, seperti yang sudah disebutkan di atas, mahasiswa pasti akan melewati fase ini. Nahasnya, pengetahuan mahasiswa soal KKM tersebut kurang mumpuni. Ditambah lagi, sebagian mahasiswa dewasa ini, asosial terhadap keorganisasian yang berada di lingkup kampus. Kurangnya minat mahasiswa dalam belajar berorganisasi menjadi faktor penghambat yang paling utama dalam pelaksanaan KKM. Karena seperti yang kita ketahui, untuk berbaur pada masyarakat, kita harus lebih dahulu menjadi masyarakat (setempat). Andai setiap mahasiswa sebelumnya memiliki bekal dan pengalaman yang cukup dalam organisasi, tentu menjalin komunikasi dengan masyarakat tidak akan begitu sulit.

    Tahun lalu, saya juga menjalani fase tersebut. Saya berbicara atas dasar pengalaman terjun ke masyarakat secara langsung. Lokasi pelaksanaan tidak terlalu jauh, yakni di Desa Tamansari, Kecamatan Baros, Serang. Saya ditunjuk sebagai ketua kelompok. Meski semula merasa kurang mumpuni dan berpikir ada yang bisa lebih baik dari saya, tetapi karena kesepakatan suara kelompok, maka saya ambil tawaran itu. Pengalaman saya dalam berorganisasi cukup terpakai saat harus memulai mediasi dengan masyarakat. Dukungan dan kesolidan teman satu kelompok tentu menjadi motivasi tersendiri bagi saya. Dan syukurlah beberapa program kerja terlaksana dengan baik atas dasar musyawarah bersama para tetua desa dan para pemudanya. Program yang berhasil adalah kegiatan yang terus berlangsung sampai pelaksanaan KKM tersebut usai. Sebut saja semisal kegiatan Pengajaran Anak Usia Dini (PAUD) yang berkelanjutan. Titik poinnya pada masalah apa saja yang belum ada di lokasi tersebut. Rangkum, rumuskan, kemudian buat konsep—tentu atas dasar observasi dan penelitian terlebih dahulu.

    Contoh lainnya bisa juga membekali pengetahuan tentang tata cara berwirausaha. Lihat potensi apa saja yang berada di desa tersebut, semisal banyak pohon melinjo, coba buat penganan emping dengan dikreasikan rasanya dan diberi kemasan yang menarik—meski tak perlu seekstrem desain visual Bihun Bikini yang sedang ramai jadi perbincangan belakangan ini. Atau bila ada tanaman bambu bisa pula kita carikan wirausahawan yang sudah sukses dalam bidang kerajinan berbahan dasar bambu, kemudian buat seminar kecil di balai desa. Lalu setelah semuanya terlaksana, kita bisa membantu membangun jaringan sebagai pengepul barang hasil jadi atas produk yang dihasilkan. Bisa dengan mengedukasi masyarakat dan pemudanya pengenalan cara membuat blog dan media sosial—ini bagian dari teknologi dan pengembangan—kemudian mengikuti perkembangan zaman, berjualan melalui toko online.

    Namun kenyataannya, yang saya dapatkan sedikit banyak mengecewakan. Sebut saja, desa Cibeber kota Cilegon tempat saya tinggal. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, di tahun ini ada sekelompok mahasiswa dari salah satu Perguruan Tinggi Negeri memilih menjadikan desa kami ini sebagai lokasi pelaksanaan KKM. Menurut hemat saya, penetapan lokasi ini kurang tepat sasaran. Sebab, terlampau banyak kampung-kampung dan desa tertinggal yang lebih membutuhkan pengabdian para mahasiswa di provinsi Banten ini dibanding desa kami.
    Saya, khususnya, tak hendak pongah atau berbesar kepala atas inisiatif para mahasiswa tersebut. Hanya saja, saya akhirnya menaruh sangka bahwa pelaksanaan KKM sekarang ini hanya dianggap sebagai ajang pencitraan saja, formalitas belaka, sebagai pelunasan mata kuliah ala kadarnya. Silakan bisa dicek sendiri, desa kami termasuk desa yang cukup maju baik dalam bidang pendidikan maupun kewirausahaan. Untuk membuktikannya bisa dilihat dari cara masyarakat merespons para mahasiswa itu. Alangkah lebih baiknya kalau tenaga, waktu, dan biaya mereka disalurkan kepada daerah terpencil yang jauh sangat membutuhkan. Tanpa maksud mendisktreditkan, coba pusatkan para mahasiswa itu di daerah Lebak, Padarincang, atau yang lebih jauh lagi dari jangkauan pusat pemerintahan. Lebih-lebih, yang membuat saya semakin sedih adalah program-program yang dicanangkan mereka. Terakhir, yang terdengar dari toa masjid adalah ajakan untuk kerja bakti membersihkan got dan jalan desa. Astaga, untuk hal seremeh itu, kami tak perlu pendidikan yang tinggi-tinggi untuk sekadar memungut sampah, menyiangi rumput, lalu membuangnya di tempat yang disediakan. Anak SD saja bisa jauh lebih pintar soal itu. Kenapa tak sekalian canangkan program mencetuti kuku setiap hari secara berjamaah.
    Tentu saja saya sangat berharap bahwa sangkaan saya tersebut salah. Tetapi, kalaupun sampai benar, semoga hanya satu kelompok ini saja dari sekian banyaknya kelompok KKM di masing-masing Perguruan Tinggi yang salah sasaran dan kurang memiliki etos kerja ditambah program kerjanya yang terlampau basi.[]

    Cilegon, 12 Agustus 2016



    *) pernah dimuat di biem.co (04/09).




    Ade Ubaidil, mahasiswa semester akhir di Universitas Serang Raya (UNSERA). Pernah menjabat ketua KKM kelompok 18 tahun 2015. Bila jenuh dengan skripsinya, ia bersenang-senang dengan cara mengomentari banyak hal lewat tulisan-tulisannya; baik fiksi maupun nofiksi.

    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About me

    Photo Profile
    Ade Ubaidil, Pengarang, Cilegon-Banten.

    Pria ambivert, random dan moody. Gemar membaca buku dan berpetualang. Bermimpi bisa selfie bareng helikopter pribadinya. Read More

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: Perangkap Pikiran Beni Kahar

    (AG Publishing | 204 halaman | Rp75.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telat Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: SAHUT KABUT

    (Indonesia Tera | 160 halaman | Rp. 60.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Novel Adaptasi: YUNI

    (GPU | 174 halaman | Rp. 63.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Pengunjung

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Bedah Buku Dee Lestari

    Bedah Buku Dee Lestari

    Workshop & Seminar

    Workshop & Seminar

    Popular Posts

    • [RESENSI] NOVEL: HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (GPU, 2015)
    • Musim Layang-Layang (Pasanggarahan.com, 30 Oktober 2015)
    • [MY PROFILE] Terjerembap di Dunia Literasi: Lahan untuk Memerdekakan Pikiran (Utusan Borneo-Malaysia, 13 Desember 2015)

    Blog Archive

    • ►  2012 (5)
      • ►  October (3)
      • ►  December (2)
    • ►  2013 (41)
      • ►  January (1)
      • ►  March (5)
      • ►  April (4)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  August (1)
      • ►  September (3)
      • ►  October (3)
      • ►  November (16)
      • ►  December (5)
    • ►  2014 (20)
      • ►  January (2)
      • ►  April (3)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  July (1)
      • ►  September (1)
      • ►  November (6)
      • ►  December (4)
    • ►  2015 (21)
      • ►  February (5)
      • ►  March (2)
      • ►  April (3)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (5)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
      • ►  December (1)
    • ▼  2016 (31)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  April (2)
      • ►  May (4)
      • ►  June (1)
      • ►  July (2)
      • ►  August (5)
      • ▼  September (4)
        • [ESAI] KKM BUKAN AJANG PENCITRAAN (Biem.co, 04 Sep...
        • [ESAI] ANDAI SEMUA PEJABAT MENULIS (Biem.co, 20 De...
        • [RESENSI] NOVEL: LOVE, LIFE, AND CHOIR KARYA KIKY ...
        • [SELF-DEPRESSION] TENTANG KERINDUAN DAN SISI LAIN ...
      • ►  October (5)
      • ►  November (2)
      • ►  December (3)
    • ►  2017 (41)
      • ►  January (4)
      • ►  February (3)
      • ►  March (8)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  June (8)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (3)
      • ►  November (4)
      • ►  December (3)
    • ►  2018 (24)
      • ►  January (3)
      • ►  February (2)
      • ►  March (3)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  November (4)
      • ►  December (2)
    • ►  2019 (16)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (3)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (14)
      • ►  January (1)
      • ►  February (1)
      • ►  March (2)
      • ►  April (1)
      • ►  May (2)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (1)
      • ►  November (1)
      • ►  December (2)
    • ►  2021 (15)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  April (1)
      • ►  May (1)
      • ►  June (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (3)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  December (1)
    • ►  2022 (30)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  May (3)
      • ►  June (5)
      • ►  July (1)
      • ►  August (4)
      • ►  September (3)
      • ►  October (2)
      • ►  November (2)
      • ►  December (7)
    • ►  2023 (38)
      • ►  January (4)
      • ►  February (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (9)
      • ►  November (15)
      • ►  December (4)
    • ►  2024 (3)
      • ►  January (1)
      • ►  March (2)
    • ►  2025 (1)
      • ►  January (1)

    Followers

    youtube facebook Twitter instagram google plus linkedIn

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top