[RESENSI] NOVEL: LOVE, LIFE, AND CHOIR KARYA KIKY AURORA AR (STILETTO, 2016)
September 15, 2016
PERJALANAN, CINTA DAN SEGALA KERUMITANNYA
Penulis : Kiky Aurora AR
Kategori : Novel
Penerbit : Stiletto
ISBN : 978-602-7572-53-9
Terbit : 2016
Tebal : 236 Halaman
Harga : Rp. 55.000
“Yogya terbuat dari rindu, pulang dan angkringan.”
~ Joko Pinurbo.
Perjalanan,
sejauh apa pun kamu pergi, langkah kakimu pasti akan membawamu kembali. Sama halnya ketika kita berbicara soal cinta. Ia
adalah perjalanan tentang perasaan, jarak dan hubungan. Di antara bagian-bagian
itu, ada satu hal lagi, yakni tujuan. Dalam novel remaja karangan Kiky Aurora
AR berjudul, “Love, Life and Choir” akan Anda temukan apa yang saya maksud. Novel
yang terdiri atas tiga keping bab ini, mengisahkan perjalanan cinta antar satu
tokoh dengan tokoh lainnya.
Berlatar belakang
tokoh yang menekuni paduan suara, juga setting
tempat di Jogjakarta, cerita mulai mengalir. Bab pertama, “Kali Ini Bukan
Tentang Ariel”—saya akan menyebutnya bab “Rindu”—dibuka oleh tokoh Reni dan
kisah cintanya. Mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang belakangan kesulitan
berkonsentrasi saat berlatih paduan suara dengan kakak angkatannya, Andromeda. Setiap
kali hendak fokus, bayangan Ariel, yang diketahui kemudian ternyata kekasih
hatinya, mendadak muncul tiba-tiba menggeser posisi Andro yang ada di
hadapannya. Reni sering merasa kesulitan untuk membedakan wajah keduanya. Dua sosok
pria berpostur ideal itu sama-sama “charming”.
Seperti ada daya magis yang menyedot perhatian Reni. Andro pun ternyata menaruh
hati juga pada adik tingkatnya itu. Bisa dibuktikan ketika ia rela berkunjung
jauh-jauh dari tempat tinggalnya ke rumah Reni yang berada di Kota Semarang
(hal. 75). Sayangnya, sekalipun Reni merasa nyaman dengan Andro, Ariel masih
sulit dihilangkan. Kekasihnya yang meninggal akibat kecelakaan itu sering
menjadi bayang-bayang di benaknya setiap kali ia ingin membuka hatinya untuk
orang lain. Ada rindu yang sulit sekali direngkuh, ia menjerat kenangan yang
sulit dilupakan. Di detik-detik bab-lah Widya hadir sebagai sahabat Reni yang
selalu mendukung dan berusaha memberikan solusi untuk kisah cintanya yang
rumit.
Berlanjut ke
bab berikutnya. Barangkali inilah keunikan novel ini, meski setiap bab terkesan
berdiri sendiri oleh tokoh-tokoh yang berlainan, namun di beberapa bagian
hingga ending terselip
potongan-potongan yang saling terkait dan dukung. Serupa tangga nada yang
saling topang, menghantarkan kita pada nada puncak dan keintiman serta
kesyahduan suara dan perpaduan alat musik yang harmonis. Bab dua ini berjudul, “Akhir
Penantian Tara”—saya lebih senang menyebutnya bab, “Pulang”. Mungkin Tara
dimaksudkan sang narator sebagai sosok cewek yang gigih dan agresif—sekalipun pemilihan
nama Tara saya rasa kurang tepat untuk perempuan; atau malah memang disengaja oleh
penulisnya (?). Meski cintanya sudah ditolak oleh Rudi, ia masih berusaha
mendekatinya, namun lagi-lagi tak ada respons. Kehampaan hatilah yang harus ia
bawa pulang. Hingga akhirnya ia berusaha untuk move on.
Hadirnya Weni
dan Dinda sebagai teman dan sahabat membuat Tara tak patah arang untuk
memperjuangkan cintanya. Dari bisikan Weni ia tahu kalau ada seorang laki-laki
yang menjadi “secret admirer”-nya. Dia
adalah Nicko. Pernyataan itu diperkuat oleh Dino, sahabat Nicko. Ia mengatakan
kalau Nicko memang menaruh hati pada Tara. Tetapi, sampai berhari-hari
kemudian, Nicko tak juga lekas menyatakan cintanya. Hingga akhirnya membuat
Tara geram dan tak sabar lagi menunggu lama. Lagi-lagi, sebagai tokoh
perempuan, ia menyatakan cintanya lebih dulu kepada laki-laki. Tak ada yang
salah, keberanian penulis pada bab ini patut diacungi jempol. Menunggu, meski
terdengar romantis, di satu sisi selalu membuatmu jengkel; bahkan tak peduli
lagi dengan lengkuas atau daging rendang yang ada di mulutmu, misal. Begitulah Tara,
ia tak peduli dengan segala resiko yang didapatinya kemudian, yang penting ia
sudah berani “mengunyah” dan menyampaikan isi hatinya.
Sialnya, Nicko
benar-benar seperti yang dikatakan Dinda; ia pendiam dan pemalu. Ia menggantung
Tara dan tak lekas memberi jawaban, “ya” atau “tidak”. lantas Tara pun dibuat
gemas (begitupun juga pembaca), ia memilih pulang—lebih baik pemakaian pulang
ketimbang pergi, sebab ia bermuasal dari sebuah titik nol perjalanan cinta, dan
ia kembali ke sana. Barangkali dengan begitu ia merasa lebih terhormat
ketimbang terus diulur-ulur ibarat layangan nyangkut
di kabel atau pohon randu tengah sawah. Padahal, Nicko memiliki alasan kenapa
ia tak lekas mengambil keputusan. Di lubuk hatinya, ia masih menyimpan satu
nama, cinta pertamanya, yakni Elsa. Tetapi, setelah melalui banyak pertimbangan
layaknya para juri di ajang pencarian bakat, akhirnya Nicko memilih untuk move on dan menerima cinta Tara. Nahas,
ia terlambat. Kita sama-sama ketahui, inilah akhir penantian Tara, ia memilih
pulang. Terlambat sudah semuanya. Pada bab ini bisa ditarik simpulan bahwa
lekaslah kejar dan raih segala apa yang pantas diupayakan, sebelum ia pulang
(keharibaan-Nya, misal), terlebih bila itu adalah orang terkasihmu.
Tibalah di bab
terakhir. Klimaks dari perjalanan ketiga kisah cinta yang terangkum dalam buku
ini, saya rasa patut menjura kepada si penulisnya. Sebab, di bagian ketiga ini
akan Anda dapati ending yang pecah
dan tak terduga dibanding dua bab sebelumnya. Judulnya, “Mengejar Cinta Nugie”—agar
komplit dan sama dengan bab-bab diawal, saya istilahkan bab ini dengan “Angkringan”.
Masih soal mengejar-ngejar cinta.
Sebelum saya
bicara soal tokoh-tokoh yang mengisi cerita, ada kecurigaan sebagai pembaca
bahwa sang narator dalam novel ini adalah suara dari penulisnya sendiri. Entah sedemikian
kompleks-kah kehidupan percintaan penulisnya hingga ia tuangkan dalam kisah
yang difiksikan? Namun kembali lagi, ini hanya sebuah kecurigaan saya. Sebab bila
diperhatikan, bahkan sampai bab ketiga ini pun, tokoh yang “dikambinghitamkan”
adalah perempuan. Lagi-lagi dibuat sedemikian agresif soal mendapatkan cinta
seorang laki-laki. Tersebutlah Devi, seorang kakak senior, yang berusaha mendapatkan
cinta Nugie—yang digambarkan sebagai sosok tokoh yang mengalami broken home—adik tingkatnya di kampus. Di
mata Devi, Nugie memberikan respons sesuai harapannya, berbeda nasibnya dengan
Reni dan Tara—meski tak menutup kemungkinan masih ada kemiripan dan benang
merahnya. Devi sering diajak jalan, makan dan nonton oleh Nugie. sialnya setelah
tahu, rupanya Nugie hanya menganggap Devi sebagai kakaknya saja—brother zone
[only].
Namun kegigihan
Devi terlihat di kilasan-kilasan cerita berikutnya. Ia membeli dua buah tiket
konser paduan suara. Tentu ia maksudkan untuk nonton bersama Nugie, sayangnya,
pria beger (beranjak dewasa) itu pun
menolak. Ia tidak bisa nonton bareng dengan alasan segala macam. Devi sebal,
namun tentu ia tak bisa memaksa. Karena tidak ingin sia-sia, tiketnya ia
berikan kepada Pram, teman sekaligus juga tetangganya—yang ternyata ia adalah
adik dari Andromeda yang ada dalam bab pertama.
Devi pun jalan
dengan Pram. Ketika sampai di tempat konser, ia sungguh tidak menyangka. Rumor kalau
Nugie gay pun terbukti di sana. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, Nugie
tengah bermesraan dengan Alvin, bahkan sampai bergandengan tangan layaknya
sepasang kekasih. Hati Devi remuk, pecah berkeping-keping. Saat itulah Pram
ambil bagian, ia selalu ada di saat Devi tengah butuh sandaran. Pram ibarat
Angkringan bagi Devi. Ia dekat dan menyadarkan kalau bahagia tak harus rumit
dan butuh perjuangan. Terkadang ia ada di sekitar kita, hanya saja kita lebih
sering kurang peduli, dibutuhkan kepekaan untuk meyadarkan itu semua.
Sepanjang
pembacaan, justru yang menjadi poin lebihnya bagi saya adalah hadirnya
tokoh-tokoh sisipan yang meski mendapatkan porsi sedikit, namun mereka
mengisinya dengan baik. Sehingga cerita berjalan sesuai kehendak sang narator
(sudut pandang orang ketiga serba tahu), dan membantu para tokoh utama untuk
mencapai “misinya”. Sebut saja semisal: Widya untuk Reni, Weni dan Dinda untuk
Tara, Dino untuk Nicko, Pram untuk Devi. Mereka menjadi jembatan kecil untuk
para tokoh menyeberang dari satu alur ke alur lainnya. Kepiawaian penulis dalam
menghadirkan tokoh-tokoh ini cukup cerdik. Ia tahu bagaimana cara menuntun
setiap tokohnya untuk terus melangkah. Ditambah pengetahuan penulis soal
Yogyakarta yang lumayan luas; mulai dari Angkringan, pantai Parangtritis, kaki
Merapi, sampai ke kuliner Sate Karang. Barangkali memang latar belakang Kiky-lah,
sebagai penulis yang hobi ber-traveling, yang memperkuat riset novelnya.
Memang beginilah
yang dibutuhkan untuk menopang logika cerita; baik secara alur, setting, penokohan dan segala macamnya. Sayangnya
beberapa bagian masih ditemukan kesalahan eja, tulis juga penempatan tanda
baca, di sisi lain juga penguatan karakter tokoh yang terkesan kurang mendalam.
Namun bagaimanapun juga, sebuah karya adalah sebuah karya adalah sebuah karya
adalah sebuah karya yang patut mendapatkan apresiasi dari pembaca. Sebaik dan
seburuk apa pun. Setidaknya, Kiky sudah membuktikan ia berhasil menjejak satu
tangga nada untuk melangkah ke nada berikutnya—agar terdengar merdu dan tidak sumbang,
tentu saja dibutuhkan latihan yang intens, layaknya cinta yang mesti terus
diperjuangkan.
Cilegon, 15 September 2016
2 komentar
Saya Shina, sedang berkomentar. :v
ReplyDeletesaya ade, membalas komentar @@, :p
Delete