Pages

  • Home
  • Privacy
  • Sitemaps
  • Contact
  • [PROFIL] TENTANG ADE UBAIDIL
facebook instagram twitter youtube

Quadraterz.com

    • My Book
    • Cerpen
    • Novel
    • Esai
    • Puisi
    • Buku Antologi
    • Ulasan
    • Media
    • [Self-Depression]
    • Rumah Baca Garuda
    Cerpen, "Lelaki yang (Merasa) Dibercandai Tuhan" dimuat Koran Banten News, (03/12/16)

    Suatu pagi aku sedang mengerang kesakitan. Kau tahu, sebabnya tak lain adalah sapu lidi yang menampar-nampari tubuhku. Tentu bukan secara ajaib. Ada si pelaku di sana. Bapakku. Kurasa pagi itu dia sedang kerasukan—walau konon seorang Kiai tak mungkin kerasukan karena setan pun segan. Seperti pagi-pagi kemarin, aku selalu sulit untuk bangun subuh. Atau setidaknya sekadar untuk melaksanakan salat subuh. Tentu Bapak pun tak luput dari murkanya. Jadi dipukuli bagiku sudah menjadi sarapanku setiap pagi. Tetapi, ada sesuatu yang terasa beda. Bapak menyabetkan ujung-ujung sapu lidinya itu—yang terasa pedas dikulitku—lebih lama. Aku memang tak segera beranjak. Masih mencoba menghindarinya dan menutupi tubuhku dengan kain sarung. Meski akhirnya aku yang mengalah dan segera ngacir menuju kamar mandi.
    “Kamu coba ubah, toh, kebiasaanmu meninggalkan salat subuh itu, Nak,” pinta Ibuku di depan pintu kamar mandi. Aku ngeloyor saja tanpa sedikit pun antusias mendengarkan celotehannya. Ya, karena ucapan seperti itu pun sudah terlalu kenyang untuk kulahap.
    Bapak adalah orang yang cukup disegani di desa ini. Banyak para tamu serta ulama dari luar untuk datang berkunjung ke rumah kami. Ada yang sekadar meminta saran untuk keluarga mereka—kebanyakan mereka yang baru menikah—ada pula yang meminta didoakan untuk kesembuhan sanak keluarganya yang sedang sakit. Kalau sudah begitu Bapak biasanya mengambil segelas air mineral atau tamu itu membawa sendiri dalam botol kemasan kemudian Bapak seperti membacakan jampi-jampi, mulutnya komat-kamit entah apa yang diucapkannya. Terakhir ada pula yang meminta ‘membunuh seseorang’. Bagian terakhir ini yang cukup membuatku penasaran. Membunuh seseorang yang kumaksud tentu hanyalah sebuah kiasan. Tetapi memang bisa dibilang begitu. Bagaimana tidak, sejak aku kecil, kalau ada tamu yang meminta seperti itu, aku biasanya merengek untuk ikut pergi dengan Bapak mengunjungi orang yang sedang sekarat tersebut. Bapak kemudian membaca doa seperti biasa pada segelas air, memasukkan jemarinya dalam air tersebut, lalu seperti sedang memijat tangan serta meraih beberapa tubuh si sekarat—sebutanku untuk orang yang tengah diobati. Sebuah batu berkilauan berbentuk kecil secara tiba-tiba keluar dari tubuh orang itu. ada yang dari kepala, tangan, kaki, payudara, betis, paha, perut hingga bagian wajahnya. ajaib! Itu kata yang tepat menurutku.
    Usai itu Bapak biasanya memberikan air yang sudah dibacakan doa tadi kepada keluarga yang bersangkutan. Katanya oleskan, raupkan dan minumkan kepada si sekarat. Setelah itu seperti biasa, keluarga yang bersangkutan menyalami Bapak dengan menyisipkan sebuah amplop di tangan Bapak sambil mengucapkan terima kasih. Aku sigap meraihnya dari tangan Bapak setibanya di rumah.
    Tidak beberapa lama, paling cepat malam harinya atau keesokan harinya, Bapak mendapatkan kabar kalau si sekarat yang dikunjunginya telah meninggal. Anehnya keluarga si sekarat malah terlihat tampak senang dan mengucap syukur, bukannya terlihat berduka atau menyesal telah meminta bantuan kepada Bapak yang telah membuat si sekarat wafat. Sejak saat itu setiap kali ada yang datang ke rumah meminta hal semacam itu aku menyebutnya membunuh seseorang.
    Kedekatanku di waktu kecil memang sangat erat sekali. Sampai kedua kakakku sering cemburu. Karena kalau pergi ke mana-mana aku yang biasa diajak. Amplop pemberian tamu-tamu Bapak pun selalu diserahkan padaku. Lebih sering, sih, tanpa ketahuan oleh kedua pencemburu di rumahku; Rafli dan Rafla kedua kakak kembarku. Namun lambat laun usiaku bertambah. Kesibukan Bapak dan aku pun semakin padat. Lagi pula, meski diajak pergi-pergi lagi di usiaku saat ini, tentu aku tidak akan mau. Aku malah merasa malu. Tentu sudah pasti teman-teman kampusku akan mengejekku habis-habisan. Sejak saat aku masuk kuliahlah aku mulai menjauh dari Bapak.
    “Untuk apa pulang lagi?”
    Amuk Bapak tepat di depan wajahku. “Bukan sekolah yang benar, malah keluyuran pulang larut malam.”
    Aku gerah!
    Tak kupedulikan ocehan apalagi yang keluar dari mulutnya sebab aku memilih pergi. Segera menyalakan motor dan aku tarik pedal gasnya cukup keras, sengaja menggerung-gerungkan bunyi knalpot. Agar Bapak tahu, aku sudah besar dan sudah sepantasnya mengambil sikap dan keputusan sendiri untuk hal-hal yang aku lakukan.
    ***
    Sudah hampir tiga jam aku berdiam sendiri di waduk terdekat. Penampungan air yang besarnya dua kali lapangan sepak bola ini yang menyalurkan air ke rumah-rumah warga. Aku perhatikan lagi jam dipergelangan tanganku dan jarum pendeknya sudah menginjak angka empat subuh. Terkadang orang-orang macam diriku butuh mengenal apa itu sepi. Berkawan dengan kesiut angin yang sesekali berbisik bahwa kehidupan terlalu berisik. Sialnya, detik berikutnya mataku mendapati ratusan, bahkan ribuan orang-orang yang berjalan mendekat. Seraya mengucapkan kalimat tahlil. Sesubuh ini orang-orang berpakaian putih datang berkumpul di waduk? Ada apa? Apakah mereka geng motor yang kehilangan motornya? Sebab sepanjang yang aku pandang hanya ada orang-orang yang terus berjalan kaki? dan semuanya lelaki.
    Aku berusaha tak peduli, meski sebenarnya sedikit ngeri juga. Bagaimana tidak, mereka datang berbondong-bondong seperti segerombolan para jihadis yang siap membakar rumah-rumah judi. Tak ada siapa-siapa selain aku di sana yang menyaksikan mereka. Sekira hampir sepuluh langkah dari tempatku berdiam, mereka semua menghentikan langkahnya.
    Salah seorang dari mereka, yang kuduga pemimpinnya, menunjuk ke tengah waduk. Lalu mereka semua berteriak, berjalan cepat, dan menggelar sajadah. Ya, sajadah! Dan mereka tidak tenggelam?!
    Mereka berjalan di atas permukaan air seolah berjalan biasa saja di tanah datar. Aku benar-benar tidak bisa memercayainya. Meski takut, aku beranikan diri untuk mendekat. Di antara kesadaran dan ketaksadaran, aku pun bisa berjalan serupa yang mereka lakukan. Sayangnya, dari arah belakang ada dua orang yang menarik kuat masing-masing lenganku. Sekeras apa pun aku meronta, tak kunjung lepas juga. Mereka tak bicara apa pun dan tak memedulikan teriakan dan eranganku. Salah seorang dari mereka hanya menunjuk ke arah timur, tepat di arah orang-orang yang tengah berwudhu. Entah sejak kapan mereka di sana, padahal dari pinggiran waduk tadi aku hanya melihat mereka semuanya sudah berkumpul di tengah-tengah waduk.
    Aku berusaha menangkap maksudnya dan kemudian berwudhu. Aku menuruti mereka ketimbang permintaan Bapakku. Ada suara orang berdeham, rupanya masih dengan orang yang sama. Ia menunjuk baris paling depan. Lebih depan dari orang yang kuduga pemimpin tadi.
    “Silakan dipimpin salatnya.” Ia mempersilakan dengan suara yang tenang dan takzim. Mana sempat aku mengelak sementara mata dari masing-masing mereka menghunjam tepat ke wajahku. Ketika hendak kabur, di sekelilingku seperti ada ribuan tangan tak kasat mata yang menahan laju tubuhku. Aku gagal memutar badan.
    Dengan langkah gemetar, aku melewati calon-para-jamaahku dengan kepala yang terus merunduk dan keringat yang perlahan mengalir deras. Padahal tubuhku terasa menggigil menahan dingin waktu subuh yang gelap itu.
    Aku sudah berada di posisi imam salat dan menghadap kiblat.
    Aku belum juga memulai. Bibirku kelu untuk mengucapkan niat salat. Sedangkan orang yang tepat berada di belakang punggungku, yang tadi kukira pemimpinnya itu, sudah selesai melantunkan iqamah.
    Sungguh, apa yang sedang terjadi aku tak paham. Aku menyerah! Lekas saja aku memutar kepala meski sedikit bercampur aduk rasa sungkan-malu-takut. Ingin aku sampaikan kalau aku tak bisa. Namun apa yang terjadi, mereka semua hilang. Tak ada satu pun yang berada di belakangku. Aku semakin kelimpungan saja. Kedua kakiku terkunci, tak bisa dibawa melangkah ke mana pun, dan tak juga kunjung tenggelam. Sementara selang beberapa waktu, di pinggiran waduk sana, terdengar suara orang-orang yang berteriak-teriak ke arahku, ramai sekali. Namun tak ada yang tertangkap mataku selain sosok lelaki bersorban tengah memegang sesuatu di tangannya, mungkin sapu lidi yang terus digoyang-goyangkan. Entah apa yang harus aku lakukan berikutnya. Barangkali Tuhan sedang ingin bercanda.[]
    Cilegon, 13 Juli 2016
    Continue Reading
    Khazanah Scholarship Programme 2017
    XL Tawarkan Beasiswa S2 di Perguruan Tinggi Malaysia




    Jakarta, 1 Desember 2016. PT XL Axiata Tbk (XL) kembali menawarkan program beasiswa Khazanah atau Khazanah Scholarship Programme 2017 kepada kalangan muda Indonesia. Program ini merupakan bentuk keseriusan XL menjalankan komitmen untuk menciptakan pemimpin masa depan Indonesia di bawah payung program XL Future Leaders. Beasiswa diberikan dalam bentuk biaya pendidikan untuk melanjutkan ke jenjang Pasca Sarjana S2 di sejumlah perguruan tinggi di Malaysia. Masyarakat yang memenuhi syarat bisa mendaftar untuk seleksi beasiswa ini sampai 11 Desember 2016 yang akan datang.

    Vice President Corporate Communication XL, Turina Farouk, mengatakan, “Program ini merupakan bagian dari program sosial Yayasan Khazanah untuk masyarakat Indonesia, di mana sejumlah perusahaan di bawah Khazanah Nasional Berhad beroperasi di Indonesia, salah satunya adalah XL. Beasiswa diberikan kepada calon penerima terbaik yang memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku pada tahun tersebut. Tidak ada kuota berapa yang akan diterima, yang jelas seleksi memang cukup ketat. Siapa yang lolos seleksi yang akan akan menerima manfaat beasiswa ini. Kami berharap, para penerima beasiswa akan kembali lagi ke Indonesia dan mengabdi untuk negara dan masyarakat, selain membangun karir pribadinya.”

    Untuk mendaftarkan diri, cukup mengirimkan CV melalui email recruitment@xl.co.id dengan subject “Yayasan Khazanah Asia Scholarship - XL Axiata – Nama (nama pemohon)”. Formulir pendaftaran akan dikirim kepada pelamar yang memenuhi kriteria.Pendaftaran program beasiswa ini dibuka sampai 11 Desember 2016.

    Persyaratan untuk mengikuti program Beasiswa Khazanah 2017 adalah Warga Negara Indonesia, berusia tidak lebih dari 27 tahun, dan telah memiliki gelar Sarjana (S1) dengan minimum nilai IPK 3.50. Para pendaftar harus memiliki latar belakang pendidikan Informasi dan Teknologi atau Ilmu Komputer, Teknik Telekomunikasi, Teknik Elektro, Matematika atau Ilmu Statistik, Teknik Industri, Marketing, Ekonomi, dan Manajemen Bisnis. Dia juga harus memiliki kemampuan memimpin yang baik serta aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler atau kegiatan sosial. Mampu berbahasa Inggris dengan baik. Memiliki catatan prestasi akademik yang konsisten dan luar biasa. Terakhir, memiliki catatan kesehatan yang baik.

    Bagaimana proses seleksi program beasiswa ini? Seleksi akan dilakukan dalam sedikitnya 4 tahap. Tahap 1 untuk tes Kemampuan Verbal & Numerik, yang dilakukan secara online. Tahap 2, tes kepribadian dan kelompok, dan moral. Lalu ada pengerjaan tugas khusus di tahap ketiga. Tahap terakhir berupa wawancara dengan petinggi management Yayasan Khazanah dan XL  Pendaftar tidak dipungut biaya apapun. Begitu juga dengan segala biaya untuk seluruh tahapan seleksi ditanggung oleh Yayasan Khazanah.

    Bagi mereka yang dinyatakan lolos seleksi akan mendapatkan manfaat berupa beasiswa yang mencakup biaya akademik selama masa studi, tunjangan hidup, akomodasi untuk program pengembangan, dan pelatihan. Untuk Program Pascasarjana (S2) dapat mendaftarkan diri untuk mengikuti kuliah di salah satu dari 7 universitas pilihan di Malaysia. Pilihan universitas tersebut adalah Multimedia Universiti, Universitas Kebangsaan Malaysia, Universitas Islam Antarbangsa Malaysia, Universitas Malaya, Universitas Putra Malaysia, Universitas Sains Malaysia, Universitas Tenaga Nasional, dan Universiti Teknologi Malaysia.

    Yayasan Khazanah dibentuk pada tahun 2006 oleh Khazanah Nasional Berhad yang merupakan badan investasi yang didirikan oleh Pemerintah Malaysia. Misi Yayasan Khazanah adalah memilih, membantu, membina dan mengembangkan orang-orang dengan kemampuan luar biasa dan sanggup menjalankan organisasi terbaik di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, Khazanah Nasional Berhad merupakan pemegang saham PT XL Axiata Tbk, melalui anak perusahaan dan perusahaan investasinya di Malaysia, yaitu Axiata Group. Melalui program beasiswa ini menjadi wujud tanggung jawab Khazanah kepada masyarakat Indonesia.

    Source by: Dwi P. Nugraha
    Continue Reading
    Belakangan, efek dari banyaknya keriuhan yang tampak begitu gamblang di keseharian kita, saya jadi merasa sulit mengambil sikap. Hal-hal remeh, seringkali digodok sedemikian serius dengan mengabaikan hal-hal penting lainnya. Internet salah satunya. Ia menyuguhkan banyak hal baik, sekaligus hal buruk. Ia menyodorkan racun berikut penawarnya. Ia menunjukkan solusi sembari menyelipkan masalah di baliknya. Orang-orang menjelma buah yang, "gumading"--matang sebelum waktunya.
    Adu kehebatan; baik soal keilmuan dan kecakapan berbicara kian kentara (hanya) di media sosial. Pengakuan dan sorak tepuk tangan barangkali adalah trofi yang paling ingin mereka rengkuh. Tanpa peduli aspek-aspek lain yang menjadi faktor mendasar dan utama dalam setiap perbincangan (baca: perdebatan) mereka.
    Saya selalu membayangkan, orang-orang yang merasa paling agung dan cerdas itu dipertemukan. Saling tatap muka, duduk bersama dan menyesap kopi yang terhidang di meja. Kira-kira, apa yang akan mereka cakapkan? Apakah akan seriuh saat berinteraksi di dunia maya yang menggebu-gebu dan penuh-hawa-nafsu-dendam-kesumat-angkara-murka itu? Atau, mereka akan biasa saja layaknya para pengelana kehidupan yang sekadar mampir di warung kopi atau kedai tepi jalan dan bicara alakadarnya dengan orang yang duduk sebangku dan tak saling kenal sebelumnya itu?
    Sering saya amati, ketika satu orang mulai menyulut api, satu orang lainnya malah menyumbang korek dan bahan bakar. Mereka membuat api kecil menjadi api besar yang sebenarnya sedang tidak dibutuhkan. Sebuah perdebatan yang tidak mendasar sungguh tak memerlukan jawaban. Pengabaikan soal benar dan salah bukan lagi jadi topik utama, yang terpenting semua terbakar, semua terluka, semua habis dilalap api dan menjadi abu yang fana.
    Saya sering cemburu dengan anak-anak. Saya pernah berada di posisi mereka, tetapi ketika kedewasaan menjemput saya, betapa sulitnya berpikir kembali layaknya kanak-kanak. Padahal, pada usia sekarang saya lebih sering membutuhkan jiwa kanak-kanak dalam diri saya. Ketika saya kesulitan menemukan sebuah jawaban atas masalah-masalah yang tengah menghadang, saya ingin sekali meminjam pikiran kanak-kanak. Saya selalu berandai-andai, "Apa yang akan jiwa kanak-kanak saya lakukan ketika menghadapi masalah begini? kerumitan macam ini? posisi serba-salah ini?" Saya yakin jiwa kanak-kanak saya bisa melakukannya dengan lebih baik dan bebas. Tanpa dipusingkan dengan banyak pertimbangan-pertimbangan; takut salah, takut berantakan, takut nggak sesuai, takut salah paham, takut ini takut itu serta segala ketakutan dan kekhawatiran yang menggunung. Saya pun selalu bertanya apakah kalau saya di posisi mereka saya akan bersikap demikian? atau sebaliknya?
    Ah, barangkali memang saya saja yang kurang paham tentang mereka; kurang paham soal diri sendiri bahkan. Ketika sesuatu hal terjadi pada diri saya, saya tak lekas mencari biang onar atau orang-orang sekitar untuk saya salahkan. Sekarang ini saya gemar meneliti soal apa saja yang sudah saya lakukan; kesalahan apa yang kadung saya perbuat baik sadar maupun tidak, sebab apa yang kita alami di hari depan adalah buah dari apa yang sudah kita tanam sebelumnya. Bahkan, soal internet itu, ia tak bisa dijadikan kambing hitam. Ia hanya alat, semisal pisau dapur; bisa kau pakai untuk mengupas bawang, atau menggorok leher ayam di pekarangan belakang rumah orang. Tibalah saat menggoreng dan hal tersebut tentu saja mengundang rasa lapar di malam yang penuh pertanyaan-pertanyaan ini. Lantas, sudahkah kita paham soal diri sendiri? Bahkan menentukan waktu tidur saja sulitnya bukan main.
    Malam-malam begini, isi kepala saya terus saja mengganggu, berontak dan meracau. Ia meminta saya menuliskan ketidakjelasan ini tanpa memikirkan si pemiliknya yang belum tidur sejak hari kemarin. Alamaaak!
    Terakhir, saya bersetuju dengan Pak Kiai di kampung saya yang malam tadi mengisi sebuah tausiyah pada acara, "Nanggalaken" atau menyambut bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Intinya, hal-hal yang abu-abu sekarang ini selalu ada motif tertentu di belakangnya--kalimat ini saya sendiri yang buat dan tentu dengan kesimpulan bebas saya.
    Orang-orang yang terteriak-teriak itu, orang-orang yang mengekor itu, orang-orang yang ada di belakang itu, orang-orang yang sudah lama tak menyentuk kitab sucinya itu, saya yakin lebih banyak tidak tahunya soal masalah yang tengah terjadi. Hanya ada tiga hal yang mendasari mereka melakukan itu: satu, golongan orang-orang yang polos namun tulus. Dua, orang-orang yang hanya mengikuti tren saja atau suara mayoritas. Tiga, orang-orang yang tahu pokok permasalahan tetapi sebab sesuatu tertentu yang diinginkannya, maka ia mengikuti jalur tersebut.
    Kembali ke perkataan Kiai tadi, konon ada hadist Nabi yang bunyinya begini: "Barangsiapa yang menginginkan (mencintai) sesuatu maka ia akan menjadi hambanya (pengikutnya)."
    Hadist tersebut akan menjadi baik kalau yang dijadikan konteks atau studi kasus semisal: karena kita mencintai Rasulullah SAW, maka kita mengikuti segala sesuatu dan meneladani perilakunya. Namun, akan menjadi lain kalau konteksnya demi keuntungan pribadi, dengan memanfaatkan orang lain/kelompok (baca: picik) demi tercapainya segala keinginan kita (bisa jadi kedudukan atau pengakuan yang menimbulkan sifat sombong dan takabbur).
    Ahoi!
    Selamat datang, Desember. Selamat menyambut Hari Maulid Nabi Muhammad SAW yang akan jatuh satu minggu lagi. Semoga syafa'atnya menyertai kita umatnya hingga yaumil qiyamah. Aamiin. Wallahu a'lam bissowab.
    Cilegon, 01 Desember 2016
    Continue Reading
     Lukisan karya Gito Waluyo  berjudul “Yang Seiya Sekata”, 2012. Mixed on canvas.100x100 cm. Pernah dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia pada acara IEU KULA 2015.

    ***

    Malam ini aku berkunjung ke neraka.

    Aku mencari kakakku yang lusa lalu baru dimakamkan. Sesungguhnyalah aku hendak menengoknya di sana sehari setelah ia meninggal. Ia pasti kesepian. Akan tetapi, karena di rumah hanya ada aku seorang kini, maka aku terpaksa baru menyempatkan diri datang malam ini. Sebab rumah ramai di datangi para kerabatnya yang sekadar menyampaikan belasungkawa. Para kerabat keparatnya itu termasuk orang yang beruntung lantaran mereka tak turut mati oleh miras oplosan.

    Ketika hendak masuk tadi, penjaga pintu, malaikat Malik, sempat menginterogasiku.
    “Siapa, kau?”
    “Tidakkah seharusnya kita bertukar salam terlebih dahulu? ataukah ini alasan Tuhan menempatkanmu menjagai pintu neraka?” mendengar aku menanyainya begitu, ia menundukkan kepala.
    Aku masih diam menunggu.
    Tak lama, ia mengalah. Ucapan salam terucap dari bibirnya yang hitam pekat.
    “Barangkali Kiai atau Ulama atau Nabi harus menjumpaimu sesegera mungkin. Agar kau belajar agama dengan benar.” Aku memberi saran begitu tentu usai menanggapi salamnya. Akhirnya ia mengalah saja. Mempersilakanku masuk dengan satu syarat.
    “Jika bukan karena perintah-Nya, aku siap membakarmu hidup-hidup.” Benar menurut kebanyakan riwayat, malaikat Malik tidak bisa tersenyum. Kulit wajahnya kaku dan sepertinya akas. Tak jauh berbeda dengan permukaan sawah yang terpapar mentari di kala musim kemarau tiba selama satu tahun penuh. Mungkin pula ada retak-retak, hanya saja aku tak bisa sepenuhnya dapat melihat. Selain karena ia memakai tudung hitam, kulitnya pun tak jauh berbeda dengan bayangan orang Negro yang terlahir di wilayah Afrika sana. “Sepuluh menit saja, dan tinggalkan sepasang sandalmu di sini.” Ia menunjuk tepi pintu sebelah kiri. Tepat di antara pembatas antara luar dan dalam neraka.
    “Lain kali baik-baiklah. Agar banyak yang nyaman tinggal di neraka.”
    Aku tak tahu apalagi yang ia utarakan, hanya ada dengusan yang terdengar. Beruntung aku tak lagi menengok ke arahnya. Kalau sampai aku lihat, barangkali bola-bola api sudah keluar dari lubang pori-pori tubuhnya.
    Seberapa sucikah neraka sampai-sampai aku harus melepaskan sandal? Apakah surau, langgar, musola tak lebih suci darinya? Belum juga masjid-masjid yang kian tumbuh banyak itu? sepertinya Malik kurang piknik. Sesekali ia harus berkunjung ke dunia. Bahkan untuk tempat sesakral itu saja masih banyak orang yang berani mengotorinya. Apa guna neraka yang dijadikan tempat menampung orang-orang berdosa dan hina-dina diharuskan memasukinya tanpa sandal? Malik..., Malik..., dia mengaku malaikat, tetapi sibuk menunjuk-nunjuk orang agar lekas menghuni neraka, tetapi ia sendiri belum tahu banyak hal. Sungguh kasihan.
    Ah, tetapi aku pun tak hendak menuai kerusuhan. Ada dua cara untuk menanggapi sesuatu yang tidak kita yakini; pertama mendebatnya dengan membabi-buta, atau mengalah sebab kewarasan tak perlu diutarakan. Jadi, toh, aku menurutinya saja. Untuk syarat sepele macam itu tak perlu didebat serius. Hanya akan buang-buang tenaga, hingga tujuan mula dan utama kita jadi terabaikan.
    Baiklah, aku sudah berada di neraka. Terlepas dari aroma anyir darah, daging hangus, tai tumpah-ruah di tembok juga atap, ada hal lain yang jauh lebih menarik. Ternyata, neraka seperti sebuah ruangan pembuatan film. Banyak seliweran aktor-aktor sepanjang pintu masuk tadi, dengan aneka topeng hewan dan makhluk aneh. Banyak pula alat dan perlengkapan syuting yang sebelumnya pernah aku temui di dunia. Mula-mula di sebelah selatan ada ruang kecil yang berisi dua penjaga—sepertinya malaikat—tengah memegang cambuk sebesar tiang listrik. Setiap kali disabetkan ke korban, akan mengeluarkan bunyi seperti petir, cahaya berkilat-kilat dan sesaat ruangan bergetar. Tanah atau entah apa yang jadi pijakan kakiku bergoyang sesaat. Tak jauh dari sana ada salah seorang malaikat yang menyiramkan air yang mendidih ke ubun-ubunnya—aku bisa mendengarkan suara ‘cesss’ meski dari jarak yang lumayan. Barangkali itu suara otak yang meleleh.
    Aku berlanjut menoleh ke ruangan kecil di sisi barat. Tinimbang dikatakan menyeramkan dan sadis, ini lebih terlihat konyol. Bayangkan saja, badan si pendosa di lempar terlebih dahulu oleh dua orang malaikat bertudung ke langit-langit, kemudian satu orang lainnya menyabet-nyabetkan pedang seperti milik para Samurai Jepang—hanya saja ini 100 kali lebih panjang dan besar—ke hampir seluruh bagian tubuhnya, tentu kau tahu setelahnya. Seluruh bagian tubuh termutilasi dan menumpuk bak sampah. Tetapi tunggu dulu, dari sekian banyaknya potongan-potongan tubuh itu, semuanya kembali ke bentuk semula. Tanpa ada hidung yang tertukar, bagian telinga terbalik antara kiri dan kanan, lebih-lebih penis di arah belakang, atau payudara di punggung. Semuanya kembali utuh. Bergerak sendiri dan mandiri. Tanpa lem perekat juga lakban. Dan bagian lucu juga bagian buang-buang waktunya dari hal tadi adalah semua tubuh itu kembali dilempar dan segalanya terulang lagi. Ratusan juta kali. Kira-kira, berapa upah untuk ketiga malaikat itu, ya? Apa tidak membosankan bekerja demikian? Atau mereka malah asyik, sampai lupa caranya berimprovisasi. Tak adakah niatan untuk mencoba gaya baru? semisal mereka saling bunuh begitu? Toh, nanti akan utuh kembali, barangkali.

    Sisi utara, timur, tenggara, juga arah lainnya, tak begitu aku perhatikan bentuk hukumannya. Yang aku perhatikan lamat-lamat justru wajah para korbannya. Adakah salah satu di antara mereka adalah kakakku? Ini sungguhpun menyulitkan. Sebab sebagian wajah mereka telah berubah. Tampak serupa topeng beraneka rupa binatang, tetapi sebenarnya itu nyata dan menjadi bagian dari wajah mereka. Belum lagi tampilan perutnya, bokongnya, dadanya, bibirnya, kakinya, dan bagian tubuh lainnya yang tak lazim aku temui di dunia.

    Tiba-tiba sesosok malaikat datang ke arahku. “Apa yang hendak kau cari?”
    “Bukan apa, tapi siapa tepatnya,” kataku cepat mengoreksi.
    “Kurang ajar betul. Siapa dirimu belaga seperti itu?”
    “Sabar dulu, Mas Malaikat. Adakah warung kopi di sini? Kita bisa bicara baik-baik. Sebab, otak yang beku perlu dihangatkan, agar mencair. Tak mudah emosi.”
    Ia bersiap mengayunkan palu maharaksasa di genggamannya. Mulanya aku dibuat gentar, beruntung Malik datang. Sepertinya ia sudah mendengarkan ceramah Kiai di dunia, ia tahu caranya menolong.

    “Tahan dulu, Zabaniah. Tahan!” ia melerai. Gayanya seperti seorang satpam yang mencoba menghentikan kerusuhan antar-kampung. “Tuan, begini sajalah.” Kali ini ia mengarah ke wajahku.
    “Ya, bagaimana?”
    “Aku tahu siapa yang hendak, tuan, cari. Biarkan aku yang antar saja. Asal bersedia berjanji, setelah berjumpa tuan segera pergi. Sebab waktu kesepakatan kita hanya sisa sedikit lagi.” Malik kehilangan wibawanya. Ia seperti bawahan yang baru mendapati omelan dari atasannya.
    “Kenapa tidak bilang begitu sejak tadi, Malik. Kan aku tak perlu repot-repot menyeleksi wajah orang-orang seperti memilih calon istri.”

    Lantas Malik mengajakku ke sebuah tebing. Kami sudah tiba dan berdiri tepat di ujungnya yang tinggi dan curam.
    Malik menunjukkan sebuah jembatan yang hampir samar dan tak kasat mata. Ia membalikkan badan berusaha menjelaskan padaku, tetapi sebelum suaranya keluar aku menahan, “aku tahu, Malik. Itu jembatan Shiratal mustaqim.”
    Di bawah jurang ini, ada lautan api. Ombaknya tidak menggulung ke tepian, tetapi bertubrukan. Barangkali bak kepala banteng yang saling adu, saling hantam. Celakanya bukan itu bagian paling mengerikannya. Pada bagian tengah laut, banyak orang-orang timbul-tenggelam. Tak ada pelampung, perahu, atau tim evakuasi. Mereka semua hanya bisa berteriak-teriak meminta tolong sembari memohon pengampunan Tuhan. Ada yang menyebut-nyebut segala kesalahannya, ada yang berjanji tak lagi melakukan dosa, ada yang diam saja sembari menangis dan menjerit sekencangnya yang ia bisa. Namun ombak api yang berkobar-kobar, beraneka warna hitam, putih, biru, kuning, dan merah itu bercampur-aduk. Beradu. Bertubrukan. Bergulung-gulung. Menerpa-nerpa berulang-ulang.
    Tahukah apa yang membuat aku tak percaya? Orang-orang yang aku lihat itu, yang berhasil menampar-nampar letak hatiku, membolak-balikkannya, berhasil memancing pertanyaan-pertanyaan yang tiada seorang pun mau menjawabnya. Mereka yang timbul-tenggelam itu berpakaian gamis dan bersorban. Aku mendengar salah seorang dari mereka memanggil-manggil namaku dan ketika aku menoleh ia berkata, “aku guru mengajimu dulu. Bantulah aku, Nak.” Bulu halus di tubuhku meremang. Ada apa sebenarnya?
    Belum lagi penghuni neraka lainnya. Yang terapung-apung di bagian tengah itu adalah para penegak hukum, para pemimpin, pejabat pemerintahan, orang-orang yang rajin mengaji dan datang ke surau. Barangkali—hanya dugaan tak mendasarku—jumlah mereka mendominasi ketimbang orang-orang bertato, berpakaian ketat tidak syar’i, para pemabuk, penjudi, pemerkosa, penzina. Yang jelas-jelas secara hukum mereka bersalah. Ada apa, ini?

    “Seharusnya aku melihat dia di antara mereka, Malik.”
    “Apa dasar, tuan, berkeyakinan semacam itu?”
    “Ia pemabuk. Ia tiada rajin salat. Lebih-lebih mengaji. Sudah pasti ia ada di sini, Malik.”
    “Tuan, Tuhan bukan?[1]”
    “Apa-apaan, kau ini, Malik. Jelaskanlah, lekas.”
    “Apa tuan selalu berada di sisi Kakak, tuan, selama ia hidup? Apa tuan tahu hal lainnya yang ia lakukan?” aku tak bisa menjawabinya. Aku geleng-geleng kepala. Wajahku panas. Sesuatu menggenang di mataku. Sebab mau bagaimanapun, kakakku jarang sekali pulang ke rumah.
    “Begitulah manusia. Dari pengetahuannya yang terbatas, mereka selalu merasa tahu segalanya. Bahkan soal kehidupan seseorang yang dinilai secara sepihak.” Malik berjalan mengitari tubuhku yang mematung. “Segalanya terjadi karena kehendak Tuhan. Tetapi manusia selalu lancang berlaga mendahului-Nya. Padahal Tuhan Mahatahu akan apa yang manusia lakukan.”
    “Tapi, Malik, segalanya tertulis di kitab suci. Hal-hal apa saja yang berdosa dan apa saja yang bernilai pahala. Dari situ kita dapat melihat seseorang layak ditempatkan di surga atau neraka.”
    “Layak?!” Malik membentak. Kali ini aku tak dapat mengelak dan menyalak. “Manusia memiliki keterbatasan dalam berpikir. Tetapi kenapa seberani itu? kami, para malaikat saja tidak menyanggupi ketika harus menjadi khalifah di bumi. Tetapi, manusia, dengan gagahnya menyepakati. Padahal kerusakan ada pada kalian, wahai manusia. Akan banyak pertumpahan darah, berebut kekuasaan, tak kenal kasih sayang yang kekal.”
    “Bukan itu yang ingin aku ketahui, Malik. Aku hanya ingin tahu ke mana Kakakku? Kenapa ia tak ada di sini?” suaraku bergetar. Aku merunduk dalam, tak berani menatap mata Malik yang menusuk dan membakar.
    “Itulah sekali lagi kesalahan manusia. Bahwa sesungguhnyalah, penempatan surga dan neraka hanyalah hak prerogatif Allah. Tiada satu pun dari makhlukNya yang bisa memastikan itu, sekalipun Rasulullah, kekasih-Nya.”
    Kakiku gemetar lemas. Seketika aku ambruk berlutut.
    “Waktumu sudah habis, tuan. Kesepakatan kita hanya sampai di sini.” Dua malaikat mendatangiku. Mereka lekas menggandeng masing-masing lenganku.
    “Berikan aku waktu sedikit lagi, Malik. Berkawanlah denganku.”
    Aku diseret menjauh. Bukan, bukan ke pintu masuk yang semula aku lalui. Tetapi aku di bawa ke tepi jurang tadi, hanya saja kali ini jauh lebih tinggi.
    “Sungguh menyedihkan, manusia. Bahkan ludah yang sudah dimuntahkan ke tanah sanggup ia telan lagi.”
    “Baiklah, Malik, aku menyerah. Izinkanlah aku menjumpai, Tuhan. Ada satu hal yang ingin aku tanyakan.”
    “Katakanlah, sepelan apa pun suaramu, Tuhan pasti mendengar.”
    Dua malaikat di kedua belah sisiku menghentikan langkahnya. Aku terengah-engah mengatur napas.
    “Kenapa sandal itu tak boleh kubawa masuk? Apakah neraka terlampau suci ketimbang masjid?” aku seperti setengah melantur. Namun aku tak kuasa menimbun rasa penasaran ini.
    “Oh, soal itu. Begini, sebelum aku jawab, coba tuan ingat baik-baik dan dengarkan pertanyaanku dulu. Sandal siapakah yang tuan pakai sebelum masuk ke neraka?”
    Di antara kesadaran dan ketaksadaranku, aku mengingat. Seketika saja tak kuasa aku menjawabinya. Tubuhku bergetar hebat. Kepalaku mengeras dan airmata tak henti-hentinya meleleh di wajah. “Mohon ampun, ya Allah, atas sangkaan-sangkaanku.”
    “Begitulah bangsa kalian yang dianugerahi hawa nafsu. Kesombongan tak secuil pun pantas kalian genggam. Memohon ampunan ketika sudah berada di neraka adalah hal sia-sia.” Sayup-sayup aku mendengar suara Malik. Dan jawabannya sesuai dengan rekaanku. Ia berkata, “Sandal itu milik mendiang Kakakmu. Haram baginya memasuki neraka sedang pemiliknya berada di sorga. Sungguh Mahasuci dan Mahabesar Allah. Bila Dia berkehendak, langit pun bisa runtuh, gunung pun seketika hancur-lebur.”
    Aku tak bisa keluar dari neraka. Sebab hal berikutnya yang terjadi adalah tubuhku melayang. Kedua malaikat itu melemparkan aku jauh-jauh ke tengah lautan, hingga mendarat tepat di hadapan guru mengajiku.[]

    Cilegon, 05 Juli 2016/
    30 Ramadhan 1437 H.
      


    *) Cerpen ini terinspirasi dari cerpen fenomenal berjudul, "Robohnya Surau Kami" dan "Man Rabbuka" karya A.A Navis. Juga tafsir secara bebas atas lukisan karya Gito Waluyo  berjudul “Yang Seiya Sekata”, 2012. Mixed on canvas.100x100 cm. Pernah dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia pada acara IEU KULA 2015.

    **) pernah dimuat di: seword.com

      




    [1] Meminjam bait pertama puisi Sapardi Djoko Damono berjudul, “Tuan”.
    Continue Reading


    Selagi asyik ngobrol ngarol-ngidul, sampailah kami di sebuah percakapan yang janggal, namun menarik untuk disimak. Tetapi sebelumnya, agar pembaca lebih merasakan dan turut andil dalam cerita, maka setelah kalimat ini, saya akan memosisikan diri sebagai si pemilik cerita, yakni teman saya yang nyantri puluhan tahun di pesantren Cibeber, begini ia berkisah:

    Siapa yang tak kenal Desa Cibeber soal pesantrennya yang menjamur? Lebih-lebih mereka yang tinggal di kawasan provinsi Banten. Saya sendiri kelahiran Kolelet, Kec. Mandalawangi, Kab. Pandeglang. Cibeber adalah cita-cita. Siapapun, yang ingin mendalami ilmu agama atau perpesantrenan, Cibeber adalah salah satu pilihan yang terbaik. Ia melahirkan banyak ulama kenamaan, sekadar menyebutkan, satu saja, yakni guru kita, Kiai Haji Abdul Lathif. Beliau lahir pada tahun 1878 M. atau bertepatan tahun 1299 H. ini. Berasal dari keturunan ulama besar, ayahanda beliau Kiai Haji Muhammad Ali adalah ulama yang juga pejuang Geger Cilegon, kakek beliau Kiai Haji Said juga adalah ulama terpandang dan terkenal karena karomahnya, dan juga beliau keturunan ke-10 dari Nakhoda Bergos yang makamnya terletak di kampung Panakodan, Kelurahan Bulakan, kecamatan Cibeber. Juga keturunan ke-11 dari Syeh Mansyur Cikaduen, Pandeglang. Beliau sosok ulama yang karismatik dan sangat disegani oleh beberapa kalangan; mulai dari kalangan pesantren, ulama, pejabat, sampai lapisan masyarakat biasa. Kepribadian beliau yang rendah hati penuh dengan sifat tawaddu dan tidak banyak bicara menambah tinggi simpati masyarakat terhadapnya.
    Begitu barangkali pengantar dari saya hingga akhirnya memutuskan untuk melanjutkan sekolah dan nyantri di Cibeber. Pilihan saya jatuh di pesantren Darul Ulum yang didirikan oleh mendiang KH. Habibi Aadullah—mugi padang kubure—(alasannya sederhana, di pesantren itu kakak saya lebih dulu nyantri, jadi setidaknya ada satu orang yang saya kenal). Saat itu lumayan banyak santri yang mengaji dan menuntut ilmu pada beliau. Tempatnya masih asri dan sejuk. Belum lagi di depan majelis kami terhampar luas persawahan yang masih hijau, sungguh mengingatkan dengan kampung halaman. Jarak dari asrama ke majelis tidak terlalu jauh, kami hanya perlu melewati beberapa rumah warga dan kali, atau sebatang sungai yang ketika saya tahu kemudian, musiman; seketika asat, tetapi bisa banjir meluap-luap saat musim penghujan datang. Oh, iya, sampai lupa disebutkan, keramahan warga asli Cibeber pun menambah rasa nyaman bagi saya, “ini keputusan yang tepat,” gumam saya saat itu, Alhamdulillah.
    Di tahun pertama, saya “terpaksa” harus bangun pagi alias subuh bereret, untuk ngaji sorogan, yakni menyetorkan hasil coretan kitab sehari sebelumnya. Atau di kali lain, kami mengaji Alquran. Bacaan tajwid, kefasihan pelafalan huruf betul-betul poin utama yang ditekankan oleh Abah Bibi, begitu sapaan para santri terhadap KH. Habibi.
    Pada satu kesempatan, badan saya benar-benar merasa berat untuk diajak mengaji. Semalam habis ziarah keliling Banten bersama santri dari pesantren lain. Ini sudah masuk tahun kelima di pesantren barangkali, saya lupa. Yang jelas, saat itu di kamar pondok ada saya dan dua kawan lainnya. Kami tidur satu kasur yang ukurannya astagfirullah, tetapi tak selayaknya kami mengeluh, jadi kami syukuri saja. Kami ‘ngeringkel’ seperti trenggiling yang menggulung dirinya saat berlindung dari musuh. Bedanya, malam itu kami melindungi diri dari cuaca dingin yang menusuk hingga ke balik sarung. Apalagi di luar hujan deras tak seperti biasanya, ditambah guntur yang cetar-ceter. Angin semakin tak terkendali menyelinap dari sela-sela jendela dan ventilasi yang ditambal dengan kertas kalender bekas. “Brrrrr!!! Dingin sekali!”
    Jadilah kami tidur “mpet-mpetan”. Walau begitu, tidur tetap saja nyaman dan mudah terlelap.

    Namun, malam itu terasa berbeda. Jarak ke subuh terasa panjaaang sekali. Apalagi saya bermimpi bisa melakukan sesuatu yang luar biasa sekaligus menakjubkan. Sebelumnya saya memang sering dengar, konon para ulama zaman dulu memiliki ilmu yang di luar nalar manusia biasa. Seperti bisa menghilang, membelah tubuh—semisal pada jam yang sama ia bisa berada di tempat yang berbeda—, melakukan kontak langsung dengan alam jin dan segala macam. Dalam mimpi itu, saya bisa terbang dan melayang-layang di udara. Tanpa membaca ajian dan amalan apapun. Setelah itu, terdengar suara gaduh dan sahutan dan teriakan yang semakin lama semakin mengganggu. Ketika tersadar, astagfirullah, ternyata saya benar-benar terbang. Tetapi bukan di udara, melainkan di atas air. Kami terapung-apung di atas kasur kapuk itu. Rupanya air dari kali meluap di musim penghujan ini. Kami berpelukan seolah di bawah kasur itu ada ikan hiu yang siap menerkam. Gusti Allah, salat subuh kelewat! Inikah teguran-Mu?
    ***

    Saya dan Mang Abu ngakak sampai menahan kencing mendengar cerita unik dari Enday Sanjaya siang tadi. Sayangnya, ketawa itu tiba-tiba surut seperti banjir yang berhasil memporak-porandakan kamar Enday waktu itu. Ia berkata, “meski penuh cobaan, kalau bersama-sama terasa nikmat dan seru.” Kini Enday menjadi penghuni terakhir di pesantren Darul Ulum itu, para santrinya sudah mengelana dengan cita-citanya masing-masing. Ia mengabdikan dirinya di sana, ‘menguruk’ ngaji kepada cucu-cucu Abah Bibi. Tentu saja, mendoakan kesehatan untuknya adalah satu dari banyaknya hal yang ia butuhkan. Dan lagi, setidaknya, ia pernah merasakan “terbang” tanpa amalan selama nyantri di kampung Cibeber. Ini sebuah prestasi!


    Cilegon, 19 Oktober 2016
    Continue Reading


    Bukankah berkarya tak melulu mesti soal tulisan? atau bagaimana kalau sebuah rangkaian kata diberi nada? Nah, kali ini, saya bersama seorang kawan saya Yubino Baihaki​, yang jago bermain musik dan nge-remix, mengerjakan project sebuah lagu anak "kekinian". Jadi theme song lagu anak ini dipadupadankan dengan musik Electro Dance Music (EDM) yang belakangan mulai "dimusimkan" di Indonesia. Lebih-lebih, para penyanyi cilik angkatan '90-an, yang dikomandoi Joshua Suherman, sedang menggalakkan kampanye #SaveLaguAnak. Jadi beginilah cara kami turut andil, meskipun tak begitu banyak. Karenanya, bagi kawan-kawan, yang ingin mendukung juga, ya dengan menyebarkan ke lebih banyak orang lagi lagu ini. Sangat disarankan diajarkan juga di sekolah-sekolah PAUD dan TK. He-he-he....

    Tak usah berlama-lama, let's download! Feel free!

    ============================================================


    Tittle        : Ayo Kawan
    Producer      : Yubino
    Song Writer   : Ade Ubaidil
    Vocalist      : Nila

    >>> DOWNLOAD LAGU ANAK:AYO KAWAN-NILA <<<


    CORD LAGU ANAK: AYO KAWAN-NILA

    [INTRO]

    Fmaj7  DMin7  EMin7  CMaj7 DMin7
    Fmaj7  DMin7  EMin7  CMaj7 DMin7
    Fmaj7                DMin7

    Ayo kawan kita menari bersama
    EMin7                CMaj7           DMin7
    Ke depan ke belakang ke kiri dan ke kanan
    Fmaj7                DMin7
    Ayo kawan kita bernyanyi bersama
    EMin7 
    Sambil bertepuk tangan
    CMaj7
    Sambil bertepuk tangan


    [DROP INSTRUMENTAL]

    Fmaj7  DMin7  EMin7  CMaj7 DMin7
    Fmaj7  DMin7  EMin7  CMaj7 DMin7


    [CHORUS]

    Fmaj7                     DMin7
    Ayo kawan kita melompat bersama
    EMin7        CMaj7       DMin7
    Genggam erat tangan kawanmu
    Fmaj7                     DMin7
    Ayo kawan kita melompat bersama
    EMin7        CMaj7       DMin7
    Genggam erat tangan kawanmu


    [DROP INSTRUMENTAL]

    Fmaj7     DMin7     EMin7     CMaj7   DMin7
    Fmaj7     DMin7     EMin7     CMaj7   DMin7


    [OUTRO]

           F     F     F      F
    F     F     F      F




    biodata kreator











    Continue Reading



    Penulis: Ade Ubaidil
    Editor: AS
    Cetakan: 1, September 2016
    Tebal: v+53 hlm

    Penerbit: Gong Publishing




    Sinopsis:

    Banyak tempat. Banyak hal. Banyak rasa. Namun hanya satu; tentang kamu.

    Cara melihat sesuatu dari luar, mengenali diri, mengenali orang lain, mengenali Indonesia; lebih intim, dalam dan dekat. Sehimpun tulisan beraneka gaya tutur serta lintas genre. Memberitahu kita bahwa rindu bisa diungkapkan dalam berbagai cara, rupa dan rasa.

    ***

    Alhamdulillah, telah terbit buku ke-4 saya. Salah satu proyek menulis dari kegiatan#beasiswavokasimenuliskemendikbud2016. Berisi esai, catatan perjalanan, cerpen, dan puisi. Akhirnya berojol juga. Terima kasih untuk semua pihak yang terlibat dalam proses penerbitan buku ini.

    Barangkali, setelah ini saya memilih rehat sejenak dari buku-buku. Sebab teman-teman angkatan saya sudah kelar sidang skripsi dan bulan ini akan diwisuda. Setidaknya, tahap akhir itu yang harus segera saya selesaikan. Mohon doa dan semangatnya, rekan-rekan sejawat.

    #bukubaru
    #beasiswavokasimenuliskemdikbud2016
    #sehimpuntulisan
    #kemendikbud
    #menuju100buku
    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About me

    Photo Profile
    Ade Ubaidil, Pengarang, Cilegon-Banten.

    Pria ambivert, random dan moody. Gemar membaca buku dan berpetualang. Bermimpi bisa selfie bareng helikopter pribadinya. Read More

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: Perangkap Pikiran Beni Kahar

    (AG Publishing | 204 halaman | Rp75.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telat Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: SAHUT KABUT

    (Indonesia Tera | 160 halaman | Rp. 60.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Novel Adaptasi: YUNI

    (GPU | 174 halaman | Rp. 63.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Pengunjung

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Bedah Buku Dee Lestari

    Bedah Buku Dee Lestari

    Workshop & Seminar

    Workshop & Seminar

    Popular Posts

    • [RESENSI] NOVEL: HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (GPU, 2015)
    • Musim Layang-Layang (Pasanggarahan.com, 30 Oktober 2015)
    • [MY PROFILE] Terjerembap di Dunia Literasi: Lahan untuk Memerdekakan Pikiran (Utusan Borneo-Malaysia, 13 Desember 2015)

    Blog Archive

    • ►  2012 (5)
      • ►  October (3)
      • ►  December (2)
    • ►  2013 (41)
      • ►  January (1)
      • ►  March (5)
      • ►  April (4)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  August (1)
      • ►  September (3)
      • ►  October (3)
      • ►  November (16)
      • ►  December (5)
    • ►  2014 (20)
      • ►  January (2)
      • ►  April (3)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  July (1)
      • ►  September (1)
      • ►  November (6)
      • ►  December (4)
    • ►  2015 (21)
      • ►  February (5)
      • ►  March (2)
      • ►  April (3)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (5)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
      • ►  December (1)
    • ▼  2016 (31)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  April (2)
      • ►  May (4)
      • ►  June (1)
      • ►  July (2)
      • ►  August (5)
      • ►  September (4)
      • ►  October (5)
        • [SEHIMPUN TULISAN] KOMPILASI RINDU: TIADA YANG IST...
        • [LAGU ANAK] AYO KAWAN - NILA ( Cipt. Ade Ubaidil &...
      • ►  November (2)
        • [MOMENT] NYANTRI DI CIBEBER, BISA TERBANG TANPA AM...
        • [CERPEN] SEPASANG SANDAL DI DEPAN PINTU NERAKA (Se...
      • ▼  December (3)
        • [SELF-DEPRESSION] RACAUAN DAN PERTANYAAN YANG MENG...
        • [MOMENT] XL TAWARKAN BEASISWA S2 DI PERGURUAN TING...
        • [CERPEN] LELAKI YANG (MERASA) DIBERCANDAI TUHAN (B...
    • ►  2017 (41)
      • ►  January (4)
      • ►  February (3)
      • ►  March (8)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  June (8)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (3)
      • ►  November (4)
      • ►  December (3)
    • ►  2018 (24)
      • ►  January (3)
      • ►  February (2)
      • ►  March (3)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  November (4)
      • ►  December (2)
    • ►  2019 (16)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (3)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (14)
      • ►  January (1)
      • ►  February (1)
      • ►  March (2)
      • ►  April (1)
      • ►  May (2)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (1)
      • ►  November (1)
      • ►  December (2)
    • ►  2021 (15)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  April (1)
      • ►  May (1)
      • ►  June (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (3)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  December (1)
    • ►  2022 (30)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  May (3)
      • ►  June (5)
      • ►  July (1)
      • ►  August (4)
      • ►  September (3)
      • ►  October (2)
      • ►  November (2)
      • ►  December (7)
    • ►  2023 (38)
      • ►  January (4)
      • ►  February (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (9)
      • ►  November (15)
      • ►  December (4)
    • ►  2024 (3)
      • ►  January (1)
      • ►  March (2)
    • ►  2025 (1)
      • ►  January (1)

    Followers

    youtube facebook Twitter instagram google plus linkedIn

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top