Jembatan Cita-Cita
Di ruangan ini, aku seperti tengah menyaksikan video usang. Benakku kembali ke sebuah peristiwa yang terjadi persis dua puluh tahun lalu. Aku masih ingat jelas apa yang dikatakan sahabat kecilku itu. Serupa suara bocah usia tiga belas tahun pada umumnya. Tak beda. Namun ada sebuah cita-cita besar yang ia punya. Yang tak semua anak miliki, termasuk aku. Tentang masa depan sebuah tempat. Tempat kami dilahirkan. *** Kakiku berhati-hati meniti jembatan gantung ini. Kayu-kayunya rapuh. Bahkan, di beberapa bagian sudah rusak dan patah. Sehingga terlihat dari lubang itu aliran Sungai Ciberang yang deras. Setiap pagi, kami harus melalui jembatan ini untuk sampai ke sekolah. Letaknya ada di jalan raya yang bila ditempuh melalui jalur darat maka akan menghabiskan waktu selama dua jam. Itu sebabnya sejak kecil, setiap kali kami akan ke kota, ibu dan kakakku selalu melalui jembatan ini. Jalur penghubung antara kampung Waru, desa Sangiangtanjung dan desa Pasirtanjung. “Tunggulah...