Pages

  • Home
  • Privacy
  • Sitemaps
  • Contact
  • [PROFIL] TENTANG ADE UBAIDIL
facebook instagram twitter youtube

Quadraterz.com

    • My Book
    • Cerpen
    • Novel
    • Esai
    • Puisi
    • Buku Antologi
    • Ulasan
    • Media
    • [Self-Depression]
    • Rumah Baca Garuda
    Hujan tak kunjung mereda. Wanita di sudut halte itu masih merunduk dalam. Mantel tebal yang dikenakannya seolah tidak berfungsi dengan baik. Terlihat dari jarak tiga meter tubuhnya tengah bergetar hebat. Satu meter ke depan bibirnya berwarna ungu lebam. Gigi putihnya saling bergemerutuk. Mata sembap dan lingkar hitam di kantung matanya menegaskan bahwa dia adalah wanita yang tiga hari terakhir tidur di halte ini.

    Badrun seorang petugas kebersihan. Dia bertugas memperindah jalanan kota dan menjauhkan dari sampah-sampah yang terserak. Seperti hari kemarin dan kemarin, dia mendapatkan shift malam. Seorang diri menangani tiga kawasan. Untuk lebih mudahnya, sebut saja dia harus membersihkan dari halte satu hingga bertemu halte ketiga atau terakhir di sepanjang jalan yang dia lalui. Dan di halte paling ujung sana seorang wanita selama tiga malam berturut-turut ditemukan Badrun tengah terlelap.

    Pakaian yang wanita itu kenakan masih serupa hari pertama ketika Badrun melintas di hadapannya. Malam ini halte begitu sepi. Tetapi Badrun tak terlalu heran, sebab halte ini memang jarang sekali ada yang berhenti untuk menunggu bus datang apalagi bila malam tiba. Dua orang lelaki baru saja menaiki bus yang sejak tadi berhenti tepat di wajah halte. Seorang kondektur menghampiri wanita itu sembari menyebutkan nama-nama tempat yang menjadi tujuan keberangkatan busnya. Tak ada tanggapan. Wanita itu makin merunduk dan menggeser duduknya lebih sudut. Bus berangkat dan halte sempurna lengangnya di pukul dua belas malam.
    Badrun memarkirkan gerobak di sebelah kanan halte. Dia rasa itu tidak akan mengganggu pengguna jalan sebab tak begitu padat seperti siang hari. Sapu lidi yang menjadi senjatanya dia letakkan di atas gerobak. Lebih tepatnya di atas timbunan sampah yang sudah dia kumpulkan sepanjang perjalanan menuju ke sana.
    Ini kali pertama dia memutuskan untuk rehat di halte yang di tempati wanita itu. Badrun mengambil Jarak duduknya tiga meter lebih. Dia memilih bangku paling ujung lainnya. Sesekali dia mencuri pandang. Ekor matanya cepat bergerak dan kembali saat wanita itu menggerakkan kepalanya. Rupanya malam ini dia belum tertidur, pikir Badrun.
    Continue Reading
    Sudah dua pekan berlalu, tetapi tumpukan buku yang dibeli Maryam belum juga selesai dibaca. Hari ini, seorang tukang pos mengetuk pintu rumahnya—lagi. Sebuah benda dibaluti kertas berwarna coklat ada dalam genggamannya. Pak Pos tak banyak bertanya. Ia sudah dapat memastikan bahwa orang yang membukakan pintu itu adalah orang yang ia cari.
    “Wah, baru juga kemarin saya kemari.” Tangannya menyodorkan bungkusan kepada Maryam.
    Maryam hanya terkekeh malu. Usai itu Pak Pos pamit tanpa meminta tanda tangan penerima lagi. Saking seringnya mengantarkan kiriman untuk gadis berkulit putih itu.
    “Buku lagi?” sindir ibunya yang tiba-tiba keluar dari dapur.
    Maryam tak mau menanggapi ibunya. Gegas saja ia menaiki tangga menuju kamar. Kegemarannya memesan buku melalui media online sudah ia lakukan sejak satu tahun terakhir. Baginya buku adalah kawan yang paling setia. Buku selalu bisa menanggapi apa saja yang ia butuhkan atau ketika mencari jawaban. Buku tak akan marah sekalipun ia mencampakkannya. Buku adalah benda paling sabar kedua setelah ayah. Begitu batin Maryam. Dilain hal, ia memuji ayahnya; tetapi di sisi satunya secara tidak langsung ia menyetarakan ayahnya dengan sesuatu berupa benda.
    Maryam lebih senang menghabisi waktunya di atas balkon. Terlebih ia sudah lulus dari sekolah SMA-nya. Tak banyak kegiatan yang ia lakukan selain tidur-tiduran; membaca buku, membeli buku dan terkadang, berbincang dengan buku. Hal terakhir yang disebutkan dianggap lebih baik tinimbang berbincang dengan teman-temannya. Bahkan ia merasa tak memiliki teman. Orang-orang yang berada dalam satu ruangan di sekolahnya tak lebih serupa kanak-kakak penggembira ketika hujan tiba. Setelah reda, mereka akan kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Uniknya, Maryam berpikir ia bukan dari bagian salah satu kanak-kanak itu atau pun butiran hujan. Ia hanya tanah datar yang menjadi pijakan mereka tanpa ada yang mau memedulikannya.
    Continue Reading

    Setiap hendak bepergian, hal yang kudu dilakukan adalah prepare barang bawaan. Ya, biasanya itu yang emak ajarkan kepada setiap anak-anaknya. Bila saya tak menanggapinya, emak akan terus-menerus rewel hingga saya akhirnya menyerah dan mengiyakan ucapannya. Karena sejak kecil sudah diajarkan berlaku disiplin, jadilah ketika saya akan berangkat ke Jogjakarta (27-28 Maret 2014) begitu heboh dan sibuk sendiri. Tiket sudah dipesan tiga hari sebelum keberangkatan. Saya saat itu memilih menaiki kereta api. Barang-barang dalam tas dicek hingga lebih dari tiga kali untuk sekadar memastikan tidak ada barang bawaan yang tertinggal.
    Waktu keberangkatan tiba. Saya berangkat seorang diri ke Jogjakarta untuk mengikuti pelatihan menulis bersama teman-teman dari berbagai kota. Tepatnya di #KampusFiksi yang digadang oleh sebuah penerbitan asal Jogja, DIVA Press group. Acara yang diselenggarakan tiap dua bulan dan para peserta terpilih sebelumnya pernah melalui tahap kompetisi. Yakni berupa cerpen yang kemudian diseleksi dan dinyatakan lolos untuk mengikuti pelatihan bersama pebimbing salah satunya Pak Edi Mulyono atau lebih dikenal Edi Akhiles, merangkap sebagai CEO Penerbit tersebut.

    Pukul 09.00 pagi Bapak mengantar saya menaiki sepeda motor sampai ke Stasiun Seruni Cilegon dekat masjid Agung dan Kantor Walikota Cilegon. Saya pamit dan menyalami tangan bapak. Bapak tidak menunggu menemani hingga kereta datang, sebab ada pekerjaan yang harus diselesaikan, katanya. Tas ransel penuh berisi barang bawaan plus laptop lengkap sudah menambah beban di punggung saya.
    Saya menunggu bersama calon penumpang lainnya. Kereta Krakatau nama dari lokomotif yang nanti akan saya tumpangi. Lima belas menit berikutnya kereta pun tiba. Saya segera mencari nomor gerbong dan kursi sesuai yang tertera pada tiket. Pagi itu suasana masih lengang. Belum banyak penumpang sebab stasiun Seruni adalah transit kedua setelah stasiun Merak. Kursi di hadapan saya masih kosong pun dengan yang berada di samping saya. Saya sangat leluasa dengan gaya duduk sesuka hati sambil membaca buku yang sengaja saya bawa dari rumah.





    Kereta melewati beberapa stasiun seperti Tanah Abang, Gambir dan Stasiun Cikini. Selama perjalanan dan transit kursi kosong dalam kereta mulai terisi. Penumpang terbanyak biasanya datang dari stasiun Rangkas Bitung. Sebab, warga Rangkas banyak yang mencari rezeki di luar kota, begitu yang saya tahu dari teman.
    Kereta kembali melaju dan transit di Stasiun Pasar Senen. Seorang perempuan cantik masuk ke gerbong yang sedang saya tempati. Dia tengah mencocokkan nomor kursi dengan tiket yang sedang digenggamnya. Saya berharap dia akan duduk di kursi yang berhadapan dengan saya. Dan benar saja, langkahnya terhenti di kursi kosong depan saya. Setelah dia telah yakin itu kursinya, dia malah kembali pergi. Saya sempat heran. Lekas saja saya memutar kepala mengikuti langkahnya. Ternyata dia tidak keluar gerbong. Dia malah menyusul dua orang; kakek dan nenek, lalu mengarahkannya untuk duduk pada kursi kosong di hadapan saya.

    Sempurna sudah kini di hadapan saya ada sepasang suami istri yang setibanya langsung banyak bercakap. Tak lama di pemberhentian selanjutnya seorang pria duduk di kursi kosong sebelah saya. Sang nenek saya perhatikan tengah sibuk membuka-buka isi dalam tas dan kantong keresek/plastik yang tadi dibawakan oleh perempuan cantik di Stasiun Pasar Senen yang kuduga cucunya. Usia perempuan itu mungkin lebih dewasa delapan tahun dari saya. Ini hanya dugaan.
    Nenek itu telah mendapatkan yang dia cari. Sebuah koran nasional yang diberikan kepada sang kakek di sebelahnya. Kemudian dia mengambil sebuah bungkusan yang ketika dibuka ternyata nasi dan lauk yang mungkin dibawanya dari rumah. Dia tidak segera melahapnya. Kini dia disibukkan lagi dengan sesuatu yang masih dicarinya dalam kantong keresek. Kaki saya yang terjepit karena bawaannya yang banyak terpaksa harus maju-mundur dan bergeser supaya dia bisa leluasa membungkukkan tubuhnya.
    Tak lama dia mengeluarkan sendok. Membuka air mineral dan menyiramkan pada bibir sendok itu. Pada bagian ini yang masih membuat saya terenyuh/entah apa kata yang tepat. Sang kakek yang sejak tadi sibuk membaca koran menoleh ke istrinya yang sedang makan. Istrinya menyadari itu kemudian menawari suaminya—tentu sebelum itu sang nenek menawari saya namun saya menolak dengan halus. Sang suami mengangguk. Terlihat wajah yang senang istrinya itu menyuapi sang suami. Oh, ini pemandangan yang langka saya temui di tempat saya tinggal. Sang kakek tersenyum sambil mengunyah pelan sekali. Di suapan berikutnya saya tidak terlalu memerhatikan. Mata saya malah terkunci pada pemandangan persawahan yang berada di luar jendela.

    Pria di samping saya berdiri dan berjalan entah menuju gerbong restorasi atau ke toilet saya tak begitu mengikutinya. Selagi saya lengah dengan pasangan kakek-nenek di hadapan saya, si nenek ber-oh. Kembali saya perhatikan wajahnya yang kaget. Kedua bola matanya lekat memerhatikan raut keriput suaminya. Saya pun mengikuti. Astaga! Kedua tangan kakek melepaskan gigi palsunya—dan saya baru menyadari kalau dia pakai gigi palsu—lalu menyentuh bagian gusinya. Saya jelas melihat darah keluar dari sana. maaf, maaf ketika itu saya merasa jijik dan sedikit mual melihat lendir air liur bercampur darah di tangannya. Sang nenek tampak panik. Dibukanya lagi tas keresek tadi, kali ini lebih terburu-buru dari sebelumnya. Terpaksa kedua kaki saya tekuk dan masukkan ke kolong kursi sendiri. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. tangan sang kakek menopang dagu seperti menghadang kalau-kalau darah itu menetes dan keluar dari mulutnya.
    Saya tidak tahu tersebab apa darah itu bisa keluar, yang saya ingat mereka tengah suap-suapan. Melihat isi kertas nasinya pun hanya ada dadar, nasi tentunya dan tempe oreg. Selebihnya tak saya lihat. Atau jangan-jangan di nasi bungkus biasanya ada kerikil dan tanpa sepengetahuan keduanya sang kakek menggigitnya. Entahlah. Sang nenek sudah mengeluarkan tisu dan kapas. Segera memberikan pada suaminya dan meminta untuk menggigitnya. Saya malah masih memerhatikan dengan wajah risih.
    Bersyukur darah dari mulutnya tidak keluar lagi. Saya malah tiba-tiba fokus ke gigi palsunya yang berada di genggaman si kakek. Hiii... saya jadi merasa geli melihatnya.
    Suasana sudah kembali tenang, pria yang tadi pergi pun sudah kembali ke kursi sebelah saya. Si kakek kembali membaca korannya, sesekali tangannya menyentuh bibir dengan ekspresi yang sedikit ngilu. Saya yang duduk di pojok dekat jendela bisa leluasa memerhatikan tingkahnya. Nenek yang ada di depan saya bertanya hendak ke mana tujuan saya.
    “Ke Jogja,” kata saya. “Nenek sendiri mau ke mana?” tanya saya balik.
    Saya lupa tujuan mereka, nenek itu entah menjawab ke Madiun/Gresik. Antara kedua tempat itu yang pasti.
    Waktu semakin malam. Sudah pukul 20.00 dan saya tidak tahu sudah sampai mana. Saya tidak begitu mendengarkan apa yang disebutkan ketika berhenti di stasiun. Saya malah bertanya pada pria di samping saya.
    “Sudah lewat stasiun Lempuyangan, Mas?”
    “Belum. Masih lama,” jawabnya singkat. Mendengar itu saya memutuskan untuk tidur sebentar. Buku yang sejak tadi saya baca, saya taruh pada meja kecil yang terpasang di dinding kereta. Bersama dengan ponsel yang masih saya charge.
    Pukul 23.30 saya terjaga dari tidur. Pria di samping saya sudah tidak ada, entah turun di stasiun mana. Sementara sepasang kakek-nenek itu masih tertidur pulas. Laju kereta melambat, terdengar dari pengeras suara menyebutkan: “Stasiun Lempuyangan” saya bergegas turun. Buku yang tadi tergeletak di meja segera saya raih bersama ponselnya, tas ransel di bagian atas penyimpanan barang-barang saya tarik dan menyangganya. Sekali lagi memastikan tidak ada yang tertinggal, setelah itu saya beranjak. Saya tak pamit dengan sepasang suami-istri yang tengah bermimpi itu.



    Stasiun ini begitu sepi. Saya menuju jalan keluar, sampai di sana beberapa ojek yang sedang mangkal menawari tumpangan. Saya menolak. Taksi yang melintas pun melakukan hal serupa dengan para pengendara ojek tersebut, tetapi saya menjawabi bahwa akan ada teman yang menjemput. Akhirnya mereka berlalu.
    Perjalanan kali ini memang sangat melelahkan. Di dalam kereta dalam posisi duduk, sesekali berdiri untuk ke toilet, dengan menghabiskan waktu sekitar 15 jam. Bokong saya terasa tepos alias menipis. Tak menunggu waktu lama, teman saya yang kebetulan sudah tiba sejak kemarin di Jogja membalas pesan saya. Katanya dia tinggal bersama saudaranya dan saya ditawari untuk sekedar bermalam di kos-kosannya. Saya diminta menunggu di pintu keluar stasiun. sejurus kemudian seseorang mengendarai motor matik berhenti di hadapan saya sembari menyebutkan nama saya. Pun saya menyebutkan nama dia seperti yang tadi sudah diberitahukan oleh kawan saya. Setelah yakin tidak salah orang, kami berjabat tangan. Usai itu tanpa basa-basi saya segera duduk di bagian jok belakang motornya.
    Esoknya, setelah saya bertemu dengan teman yang selama ini hanya mengobrol melalui dunia maya, kami beranjak ke tempat pelatihan. Banyak sekali wajah-wajah baru yang saya temui. Karena sudah sering berbincang di media sosial, kami tidak begitu canggung dan seperti sudah sering bertemu. Selama dua hari kami tinggal dan tidur di tempat pelatihan menulis semacam mes/kontrakkan. Ketika malam hari, ada gerobak angkringan khas Jogja. Tentunya kami tak boleh ketinggalan menyicip nasi kucing dan bandrek hangatnya. Baru pertama kali saya melihat langsung nasi kucing. Ternyata nasi kucing itu serupa nasi biasa/nasi uduk, hanya saja porsinya lebih sedikit. Dan memaksa saya melahap dua bungkus sekaligus. Tak lupa dengan lauknya ikan teri dan tempe oreg. Juga gorengan dan sate ati ayam. Nikmat sekali apalagi disantap bersama-sama.

    Singkatnya, pelatihan menulis berakhir. Keesokan harinya sebagian teman memilih langsung pulang karena sudah memesan tiket dari rumah. Tetapi beberapa lainnya tidak langsung memilih pulang. Mereka mengajak saya untuk bertandang dulu ke tempat wisata seperti Candi Prambanan. Tentu saya setuju dan tanpa cingcong, dari pihak panitia menemani perjalanan kami ke sana.
    Antrian cukup padat. Ketika itu di dominasi dengan wisatawan mancanegara. Tubuh mereka tinggi besar dan kulitnya jauh lebih putih dari saya. Kami turut mengantri. Harga tiketnya kalau tak salah ingat Rp35.000. Kalau mau sekaligus menaiki mobil wisata di dalam lingkungan candi, tarifnya Rp75.000. Kami memilih yang pertama. Alasannya karena ingin berjalan-jalan supaya bisa lebih leluasa menikmati pemandangan sekaligus berfoto-foto. Satu lagi, sebab mengirit biaya untuk ongkos pulang.
    Kami sudah memasuki kawasan Candi Prambanan yang begitu luas. Terlihat di ujung sana, di hadapan kami beberapa candi megah, besar menjulang. Tetapi untuk memasuki dalam Candi Prambanannya langsung, sebelum ke sana di depan pintu masuk kami di berhentikan. Kami diminta mengeluarkan uang sepuluh ribu rupiah saja untuk membayar kain batik warna putih bermotif candi. Saya kira kain itu nantinya boleh dibawa pulang, ternyata hanya dipinjamkan saja. Sebab, di pintu keluar pada arah lainnya kain itu diminta untuk diletakkan dalam sebuah wadah seperti di pintu masuk tadi. Di dalam wadah itu, semua kain-kain terkumpul. Saya tidak sempat menanyakan filosofi atau sekadar apa maksudnya mengenakan kain tersebut ketika akan memasuki wilayah candi Prambanan.


    Usai berselfie-selfie ria, kami pun memutuskan untuk segera ke tempat berikutnya yakni Malioboro, sekadar berbelanja dan makan di sana. kalau saya selain itu karena ingin pernah dan tahu saja seperti apa Malioboro. Ternyata tak lebih seperti pasar di tempat saya, hanya saja di sana lebih rapi dan banyak pedagang barang-barang ciri khas daerah Jogja. Seperti: Blankon, Batik, Keris, Baju-baju bertuliskan Jogja dls. Kami pun menaiki Delman dan Becak.


    Setelah dari Malioboro, berbelanja oleh-oleh untuk orang rumah dan teman-teman, kami sudah merasa lelah dan memutuskan untuk segera pulang. Salah seorang teman menghubungi panitia yang mengantar kami tadi. Tak lama mobil Avanza hitam itu datang di depan pintu masuk di luar kawasan candi, seperti kesepakatan sebelumnya. Kami di antar ke stasiun atau terminal masing-masing. Saya sendiri memilih pulang menumpang bus. Alasannya karena mau tahu saja apakah berbeda tarif dengan tujuan yang sama: ke Cilegon. Dan satu lagi karena saya belum pernah pula menaiki bus dalam perjalanan yang menempuh waktu berjam-jam. Ternyata harga tiket tidak terlalu jauh perbedaannya. Bahkan lebih mahal naik bus. Tekorlah saya!
    Pulang dari Jogja sekitar pukul 17.30. Kami berpisah dan berpamitan dengan teman-teman lainnya di terminal.
    Sepanjang perjalanan pulang, saya tersenyum-senyum sendiri. Sambil sesekali memandangi foto yang tadi sempat diambil dari kamera ponsel saya. Pertemuan singkat tersebut meninggalkan kesan yang luar biasa hingga sekarang.
    Dan perjalanan ke Jogjakarta adalah perjalanan terjauh selama ini yang pernah saya kunjungi seorang diri. Mudah-mudahan di hari-hari atau bulan-bulan atau tahun-tahun berikutnya, saya bisa pergi lebih jauh lagi hingga ke luar negeri dan menikmati sisi lain dari dunia yang selama ini saya tempati. Dan bisa lebih mensyukuri lagi akan luasnya semesta yang telah Tuhan ciptakan.
    Cilegon, 13 November 2014

    Continue Reading

    Di antara ketiga anak Mendiang Pak Anwar, Salma-lah yang dianggap paling rajin. Bukan hanya ibu dan bapaknya saja yang mengakui hal tersebut, Retno dan Lisna juga mengakui adiknya itu lebih baik dari mereka.
    Setiap pukul 03.00 dini hari, Salma sudah terjaga dari tidurnya. Apa pun ia kerjakan, seperti: mencuci piring, mencuci pakaian, menanak nasi pada tungku di halaman belakang rumahnya, sampai memberi makan Ayam dan Bebek peliharaan bapak—dan kini ibu yang memelihara. Wajar apabila orang tua tunggalnya itu sangat menyayangi Salma melebihi kedua kakak perempuannya. Begitu pun almarhum bapaknya sewaktu masih ada bersama mereka.
    “Ibu pilih kasih!” ucap Si Sulung suatu ketika.
    “Kamu kenapa sih, Nduk? Sudah dewasa, kok masih bicara begitu.”
    “Habisnya, Ibu cuma perhatian dengan Salma. Setiap kali Aku dan Lisna meminta sesuatu, tak pernah Ibu turuti. Salmaaa saja!” Tas ransel yang dibawanya ia banting di balai-balai bambu samping ibunya yang tengah memasak air.
    “Apa sih maksudmu, Nduk?”
    “Ah, Ibu pura-pura tak paham. Lihat itu, cuma Salma saja yang dibelikan sepatu baru. Sedangkan kita?!” kedua matanya sinis, sesekali tangan kirinya menyenggol Lisna yang sedari tadi diam di sampingnya.
    “Oh, itu. Sepatu Salma ‘kan sudah rusak, kasihan adikmu itu. Kamu sudah mau lulus SMA, Nduk. Jangan bertingkah macam anak SD-lah. Ibu tak suka,” suara paraunya berusaha mengendalikan amarah. Kedua anaknya itu berlalu ke kamar dengan memasang wajah kusut. Bahkan mereka lupa atau mungkin sengaja tidak menyalami tangan ibunya seperti yang sering mereka lakukan di lain hari.
    Sejak saat itu, Retno dan Lisna memutuskan untuk memusuhi Salma. Meski di awal mereka mengakui sifat adiknya lebih rajin, tekun serta pandai dari mereka, akan tetapi akhirnya mereka kadung kesal dengan Salma. Hari-hari mereka dipenuhi dengan kebencian pada gadis yang Desember nanti genap tiga belas tahun itu.
    Continue Reading



    Judul Buku      : Makam untuk Gadis Skizofrenia
    Jenis Buku       : Novel/Fiksi
    Penulis             : Bella Vanilla, dkk.
    Penerbit           : UNSApress
    Tahun Terbit   : November 2014
    ISBN                 : 978-602-71176-2-4
    Tebal                : viii + 170 halaman.
    Harga               : Rp.
    48.000,-



     “Sekelumit Kisah Tentang Kinkind Eureka”

    Kinkind merasakan dirinya sudah berada di alam roh. Seseorang dengan manik-manik mata sebulat anggur mendekapnya. Ia meyakinkan kepada gadis bernama lengkap Kinkind Eureka itu bahwa ia masihlah hidup. Meski gadis yang biasa dipanggil Kind itu tetap belum bisa percaya. Sebab beberapa hari sebelumnya, ia ingat saat itu kakinya melompati jendela apartemen di mana tempat ia tinggal. Bella Vanilla menuliskan mini novelnya—yang kemudian judulnya didaulat sebagai judul utama buku ini, “Makam untuk Gadis Skizofrenia”—cukup rapi, baik dan konsisten. Di antara ketiga cerita yang termaktub dalam buku ini, memang mini novel Bella yang memiliki alur cerita yang kuat, menonjol dan teknik penulisan yang cukup baik pula.

    Mengangkat issue penyakit yang sedang menjadi sorotan di dunia medis, khususnya bidang kejiwaan memang menarik untuk diuntai dalam sebuah cerita. Kinkind, si tokoh utama, yang didiagnosis terkena penyakit Skizofrenia—bagian dari gangguan kejiwaan yang disebabkan adanya kerusakan atau gangguan pada fungsi dan struktur syaraf di dalam otak manusia. Kind mengalami waham golongan nihilistik, atau biasa pula diartikan sebagai delusi dimana si penderita merasakan, berpikir serta berkeyakinan kuat mengenai sesuatu yang tidak sesuai pada kenyataannya. Seseorang yang bermata sebulat anggur yang memiliki nama Grace itulah yang mengatakan hal tersebut kepada Rhesa Anggaresta, tunangan Kind yang tak lain adalah saudara sepupunya sendiri.

    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About me

    Photo Profile
    Ade Ubaidil, Pengarang, Cilegon-Banten.

    Pria ambivert, random dan moody. Gemar membaca buku dan berpetualang. Bermimpi bisa selfie bareng helikopter pribadinya. Read More

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: Perangkap Pikiran Beni Kahar

    (AG Publishing | 204 halaman | Rp75.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telat Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: SAHUT KABUT

    (Indonesia Tera | 160 halaman | Rp. 60.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Novel Adaptasi: YUNI

    (GPU | 174 halaman | Rp. 63.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Pengunjung

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Bedah Buku Dee Lestari

    Bedah Buku Dee Lestari

    Workshop & Seminar

    Workshop & Seminar

    Popular Posts

    • [RESENSI] NOVEL: HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (GPU, 2015)
    • Musim Layang-Layang (Pasanggarahan.com, 30 Oktober 2015)
    • [MY PROFILE] Terjerembap di Dunia Literasi: Lahan untuk Memerdekakan Pikiran (Utusan Borneo-Malaysia, 13 Desember 2015)

    Blog Archive

    • ►  2012 (5)
      • ►  October (3)
      • ►  December (2)
    • ►  2013 (41)
      • ►  January (1)
      • ►  March (5)
      • ►  April (4)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  August (1)
      • ►  September (3)
      • ►  October (3)
      • ►  November (16)
      • ►  December (5)
    • ►  2014 (20)
      • ►  January (2)
      • ►  April (3)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  July (1)
      • ►  September (1)
      • ►  November (6)
      • ►  December (4)
    • ▼  2015 (21)
      • ▼  February (5)
        • [RESENSI] NOVEL: MAKAM UNTUK GADIS SKIZOFRENIA (UN...
        • Air Mata Ibu yang Jatuh di Atas Sepiring Nasi Keti...
        • Bertandang ke Jogjakarta (Sebuah Catatan Perjalanan)
        • Dunia Maryam
        • Seorang Wanita dan Isi Tasnya
      • ►  March (2)
      • ►  April (3)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (5)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
      • ►  December (1)
    • ►  2016 (31)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  April (2)
      • ►  May (4)
      • ►  June (1)
      • ►  July (2)
      • ►  August (5)
      • ►  September (4)
      • ►  October (5)
      • ►  November (2)
      • ►  December (3)
    • ►  2017 (41)
      • ►  January (4)
      • ►  February (3)
      • ►  March (8)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  June (8)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (3)
      • ►  November (4)
      • ►  December (3)
    • ►  2018 (24)
      • ►  January (3)
      • ►  February (2)
      • ►  March (3)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  November (4)
      • ►  December (2)
    • ►  2019 (16)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (3)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (14)
      • ►  January (1)
      • ►  February (1)
      • ►  March (2)
      • ►  April (1)
      • ►  May (2)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (1)
      • ►  November (1)
      • ►  December (2)
    • ►  2021 (15)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  April (1)
      • ►  May (1)
      • ►  June (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (3)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  December (1)
    • ►  2022 (30)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  May (3)
      • ►  June (5)
      • ►  July (1)
      • ►  August (4)
      • ►  September (3)
      • ►  October (2)
      • ►  November (2)
      • ►  December (7)
    • ►  2023 (38)
      • ►  January (4)
      • ►  February (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (9)
      • ►  November (15)
      • ►  December (4)
    • ►  2024 (3)
      • ►  January (1)
      • ►  March (2)
    • ►  2025 (1)
      • ►  January (1)

    Followers

    youtube facebook Twitter instagram google plus linkedIn

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top