Seorang Wanita dan Isi Tasnya
February 26, 2015
Hujan tak
kunjung mereda. Wanita di sudut halte itu masih merunduk dalam. Mantel tebal
yang dikenakannya seolah tidak berfungsi dengan baik. Terlihat dari jarak tiga
meter tubuhnya tengah bergetar hebat. Satu meter ke depan bibirnya berwarna
ungu lebam. Gigi putihnya saling bergemerutuk. Mata sembap dan lingkar hitam di
kantung matanya menegaskan bahwa dia adalah wanita yang tiga hari terakhir
tidur di halte ini.
Badrun seorang
petugas kebersihan. Dia bertugas memperindah jalanan kota dan menjauhkan dari
sampah-sampah yang terserak. Seperti hari kemarin dan kemarin, dia mendapatkan shift malam. Seorang diri menangani tiga
kawasan. Untuk lebih mudahnya, sebut saja dia harus membersihkan dari halte
satu hingga bertemu halte ketiga atau terakhir di sepanjang jalan yang dia
lalui. Dan di halte paling ujung sana seorang wanita selama tiga malam
berturut-turut ditemukan Badrun tengah terlelap.
Pakaian yang
wanita itu kenakan masih serupa hari pertama ketika Badrun melintas di hadapannya.
Malam ini halte begitu sepi. Tetapi Badrun tak terlalu heran, sebab halte ini
memang jarang sekali ada yang berhenti untuk menunggu bus datang apalagi bila
malam tiba. Dua orang lelaki baru saja menaiki bus yang sejak tadi berhenti
tepat di wajah halte. Seorang kondektur menghampiri wanita itu sembari
menyebutkan nama-nama tempat yang menjadi tujuan keberangkatan busnya. Tak ada
tanggapan. Wanita itu makin merunduk dan menggeser duduknya lebih sudut. Bus
berangkat dan halte sempurna lengangnya di pukul dua belas malam.
Badrun
memarkirkan gerobak di sebelah kanan halte. Dia rasa itu tidak akan mengganggu
pengguna jalan sebab tak begitu padat seperti siang hari. Sapu lidi yang
menjadi senjatanya dia letakkan di atas gerobak. Lebih tepatnya di atas timbunan
sampah yang sudah dia kumpulkan sepanjang perjalanan menuju ke sana.
Ini kali pertama
dia memutuskan untuk rehat di halte yang di tempati wanita itu. Badrun
mengambil Jarak duduknya tiga meter lebih. Dia memilih bangku paling ujung
lainnya. Sesekali dia mencuri pandang. Ekor matanya cepat bergerak dan kembali
saat wanita itu menggerakkan kepalanya. Rupanya malam ini dia belum tertidur,
pikir Badrun.
Di luruskannya
kedua kaki Badrun menjulur ke depan. Rasa lelah seketika menjalari tubuhnya.
Sudah hampir delapan tahun hidupnya bergantung dari pekerjaannya sebagai
pembersih jalanan. Hari-hari sebelumnya biasanya ada satu atau dua orang yang
menemaninya bekerja. Tetapi beberapa hari terakhir dua temannya mengundurkan
diri. Konon, mereka sudah lelah bekerja untuk pemerintah. Rasa lelah yang
diterima selalu tidak sesuai dengan upah yang diberikan, kata mereka. Dan satu
alasan lainnya.
Setiap waktu,
sepulangnya dari dinas lapangan, Badrun pun memikirkan ucapan teman-temannya
itu. Ingin pula rasanya menggantungkan baju dinas yang warnanya serupa jeruk pontianak
itu (namun lebih gelap) dan melepaskan selama-lamanya. Bertahun-tahun pakaian
itu melekat di tubuhnya. Tidak ada kenaikan pangkat, tidak ada penambahan gaji.
Namun hatinya kembali ciut bila harus melakukan hal yang serupa dengan
teman-temannya. Apa nanti yang akan dia lakukan bila mengundurkan diri dari
pekerjaannya sekarang? akan diberi makan apa dua anak dan istrinya di rumah?
Setiap kali dia menciptakan pertanyaan, selalu saja langsung terjawab dengan apa
yang dipikirkannya. Tetapi hal itu selalu terulang dan terulang. Lagi dan lagi.
Mengingat itu
semua, Badrun pun kesulitan untuk berkata atau sekadar menegur wanita di sudut
sana. Dirinya merasa remeh. Sebab selama ini, orang-orang seolah tak melihat kehadirannya.
Mereka dengan enaknya seakan tanpa dosa membuang sampah di hadapan Badrun atau
teman-temannya yang justru tengah memungutinya. Dan itulah alasan lain dari
teman seprofesinya memilih berhenti dari pekerjaannya itu. Mereka merasa tidak
dihargai.
Sepuluh menit
berlalu ketika Badrun melihat jam tangannya, namun suasana di halte masih
sunyi. Senyap. Tak ada suara manusia. Kendaraan bahkan sudah jarang berlalu-lalang.
Ingin Badrun menawari wanita itu menginap barang sehari saja di rumahnya—meski
dia tahu istrinya pasti akan banyak bertanya—tetapi wanita itu seolah tidak mau
diganggu. Kedua tangannya mendekap tubuhnya sendiri kian erat. Gigil tengah dirasakannya.
Ya, Badrun pun merasakannya. Terlebih dia hanya mengenakan pakaian seragam
serba jingga itu.
Tak lama hujan pun
berhenti.
Sungguh tak
kuasa bila harus pulang meninggalkan wanita itu, Badrun membatin. Sedangkan
sudah tiga malam dia melihat wanita itu berada di halte dengan posisi duduk
yang hampir tak berubah. Dalam pandangan lelaki berambut keriting tak terurus
itu, wanita di sebelahnya tidak sama sekali terlihat layaknya gelandangan.
Kalung emas tampak berkilauan melingkari lehernya yang setengah tertutupi
mantel. Sepatu hak tinggi melekat di kakinya. Terlihat samar-samar warna merah
legam menutupi kuku-kuku tangannya. Tetapi sepertinya wanita itu terlalu
ceroboh, pikir Badrun. Beberapa bercak merah seperti kuteks lainnya tampak
berantakan di wilayah pergelangan dan telapak tangannya. Tentu Badrun melihat
itu semua ketika tanpa diminta olehnya wanita itu melebarkan telapak tangan dan
menghadapkan ke wajahnya sendiri. Air bening dari matanya seketika menitik. Entah
tersebab apa. Badrun kembali mengalihkan pandang.
Sejak tadi,
lebih tepatnya sejak pertama kali Badrun melihat wanita itu di halte, dia
penasaran dengan tas besar yang berada di antara kedua kaki wanita itu. Bentuknya
setengah meter lebih, berwarna ungu padam sedikit pudar dengan tali punggung
yang hampir putus. Terkadang tas itu dijadikan penyanggah kedua kakinya selain
menjepitkan kaki di antara sisi-sisi tas. Badrun menatap heran. Tas semacam itu
biasa dia lihat dibawa oleh pedagang pakaian di emperan pasar. Tetapi, dari
wajah wanita yang jarang dia temui di kotanya itu tak sesuai bila dikatakan dia
adalah seorang pedagang pakaian. Lagi pula, pakaian yang wanita itu kenakan
sangatlah tidak seperti yang tercermin di pikirannya. Biasanya pedagang pakaian
mengenakan kaos atau baju alakadarnya. Tidak terlihat glamor atau pun mewah.
Dan itu berbanding terbalik dengan orang yang tengah diperhatikannya.
Badrun tak
kunjung bisa mendobrak keragu-raguan di hatinya. Namun dia masih belum juga
bisa meninggalkan rasa penasaran di halte itu. Dia memutuskan untuk mengambil
koran yang sempat dia pungut dari halte sebelumnya. Koran itu dia simpan di dalam
gerobak. Segera dia berdiri dan mengambil korannya untuk sekadar mengisi waktu
dan mencuri pandang. Ekor matanya masih mengintai gerak-gerik wanita itu. Badrun
dibuat kian-ingin-mengetahui ketika wanita itu seperti tengah memastikan isi dalam
tas miliknya lalu kembali menutupnya. Langkah Badrun semakin enggan kembali ke
bangku halte tetapi dia tetap melakukannya.
Dibukanya kertas
koran pada lembar pertama. Sebuah berita yang menjadi headline tentang pimpinan perusahaan besar menghilang. Ditulisnya
dalam berita tersebut lelaki itu hilang setelah dipergoki istrinya tengah
berselingkuh. Baginya membaca berita semacam itu sudah terlalu lumrah. Dia
malah fokus kepada wajah lelaki berpostur pendek (serupa artis Ucok Baba tetapi
lebih tinggi sedikit) yang diduga hilang tersebut (seharusnya ditulis melarikan
diri atau kabur). Ternyata lelaki berkepala botak itu yang Minggu lalu ditemui
Badrun di sebuah minimarket dekat jalan. Lelaki itu yang membuat teman-temannya
kesal. Ketika keluar dari minimarket, dia berjalan menghampiri mobilnya
kemudian membuang kaleng minuman yang telah kosong ke sembarang tempat. Memang
ketika itu Badrun dan teman-teman tidak sedang memakai seragam dinas, tetapi
karena naluri profesinya sudah mendarah-daging Badrun memungut sampah itu lalu
membuangnya pada tempat sampah yang jaraknya tidak jauh dari lelaki pongah itu
berdiri.
“Pak, tolong
buang sampah pada semestinya. Hargai petugas kebersihan,” desis teman Badrun
mengingatkan. Mendengar itu, Badrun meminta temannya untuk diam kemudian mengajaknya
segera masuk ke Bank yang jaraknya berdekatan dengan minimarket. Mereka ingin
mengambil gaji di tanggal muda itu.
“Oh, mau
dihargai berapa? Segini cukup?” dengan nada menyepelekan lelaki itu menyodorkan
satu lembar seratus ribuan di hadapan Badrun. Badrun hanya diam saja, dilecehkan
baginya adalah hal yang sudah biasa. Tetapi, justru temannya yang
tersungut-sungut. Dia segera berjalan menghampiri lelaki itu.
“Sialan! Apa
maksudnya ini?” Teman Badrun menggebrak mobil lelaki itu. Namun lelaki itu bergeming
tak acuh dan memberikan kode kepada sopir untuk segera menjalankan mobilnya.
Dia sudah berada di dalam mobil.
“Dasar gembel!”
seru lelaki plontos itu saat mobilnya keluar dari tempat parkir. Sejak saat
itu, setelah mengambil gaji terakhirnya kedua teman Badrun memilih untuk
berhenti dari pekerjaannya sebagai pemungut sampah. Salah satu dari mereka
berkata: “Cukup, Run. Aku tak mau dipandang layaknya sampah!”
Badrun ingat
betul dengan kejadian itu. Entah perasaan seperti apa yang harusnya dia berikan
ketika membaca berita tersebut. Badrun membaca berita kacangan itu sampai habis,
dia baru tahu ternyata lelaki itu tinggal di provinsi yang berbeda dari
tempatnya tinggal. Badrun beranjak ke lembar berikutnya. Belum sempat dia baca
berita apa yang ada di sana, wanita yang sejak tadi duduk di sudut halte itu
sudah berada dekat di sampingnya. Badrun terkesiap. Kedua tangan wanita itu
tengah menyeret tas besarnya. Terlihat sekali dia kesulitan memindahkan tas
miliknya. Bisa jadi itu alasan kenapa dia tidak segera menaiki bus, pikir
Badrun ditengah keterkejutannya.
“Boleh minta
tolong, Mas?” volume suaranya terdengar pelan namun pelafalannya jelas di
telinga Badrun.
“Hmm..., si-silakan,”
jawabnya gugup. Koran yang dipegangnya masih merentang lebar di antara kedua
tangannya.
“Aku titip tas
ini, ya. Tolong buangkan bersama sampah-sampah lainnya.” Dia menunjuk gerobak
lapuk Badrun. Badrun masih menyimpan tanya ketika wanita itu hendak melangkah
pergi.
“Tunggu, Mbak.
Tas ini apa isinya?”
“Sampah!”
katanya singkat. “Terima kasih, ya, Mas.” Dia kemudian melangkah berbalik arah
dari tempat Badrun duduk. Kini Badrun hanya bisa melihat rambut wanita itu yang
tergerai bercahaya di jatuhi sorot lampu jalanan. Suara genangan air
bergemericik terdengar ketika wanita itu menapaki aspal dengan sepatu haknya. Badrun
masih mematung barang beberapa saat. Dilihatnya lagi tas yang sejak kemarin
hari membuatnya penasaran akan isinya. Mulanya dia ragu, namun kemudian Badrun
mengambil keputusan. Sampah seperti apa yang dimaksudkan wanita itu hingga
dimasukkan dalam tas penjual pakaian.
Koran yang
berada di tangannya dia taruh di atas bangku halte. Dengan hati-hati dia tarik ritsleting itu dari arah kiri ke kanan.
Isi dalam tas itu sedikit demi sedikit mulai terlihat bentuknya. Semakin lebar
tas itu menganga, semakin deras pula keringat yang keluar di dahi Badrun.
Tangannya bergetar ketika mengakhiri tarikannya pada ritsleting itu. Kedua bola matanya terbelalak. Lidahnya tercekat,
tak mampu mengeluarkan kata-kata. Apalagi ketika melihat noda serupa bercak
darah telah kering di bagian luar hingga dalam tas.
Diambilnya lagi
koran yang tadi sempat dia taruh. Badrun berhenti pada lembar pertama. Di
bagian kolom headline dia perhatikan
lamat-lamat wajah lelaki pendek yang disinyalir hilang tersebut. Kemudian dia
menjauhkan korannya dari atas tas itu namun tangannya masih tetap menggenggam
erat korannya. Kepalanya yang kini dipenuhi keringat jagung itu dia miringkan.
Serupa tadi, dia perhatikan sesuatu di dalam tas tersebut dengan saksama.
Astaga!
Ternyata benar, isinya sampah!
gumam Badrun lalu pergi membiarkan tas itu tergeletak di halte bus.[]
Cilegon, 12
November 2014
9 komentar
Ohhh.
ReplyDeleteJempol De. Dari 3 tulisan trakhirmu, aku paling suka yg ini. Tokoh tukang bersih2nya antimainstream. Sip.
sbg org yg lbh sering baca via mobile smartphone, saran dong, temanya lebih dikontrasin. Biar warna font dan latar ga melebur bgt, jd lbh enak org baca blognya. :)
This comment has been removed by the author.
DeleteMakasih kak Yula :)
DeleteIya nih, blog masih dalam perbaikan :D
owh iya, tentang template blog, tadi maksudku yg versi mobile-nya aja yg lebih dikontrasin. Yang agak kurang nyaman versi mobile-nya aja kok. Tapi kalo yg versi PC nya mau dibenahin itu terserah Ade. Semangat nulis terus ya :))
DeleteOH-nya dapet! XD
ReplyDeleteKoreksi dikit boleh? Harus boleh ya. *maksa
1. Badrun mengambil Jarak duduknya tiga meter lebih. >> Ini duduk di halte kan? emang halte bus biasa itu panjangnya berapa ya kira-kira?
2. Kalung emas tampak berkilauan melingkari lehernya yang setengah tertutupi mantel. >> Agak gagal paham. Apakah kalungnya besar atau mantelnya yang tidak tertutup? Bukannya dia lagi kedinginan ya? Logikanya (logika gue doang sih) kalau kedinginan, pasti dia menutup mantelnya dengan baik.
3. typo: gemerutuk>gemeletuk, resleting>ritsleting, di tempati>ditempati, di luruskannya>diluruskannya.
4. Ternyata lelaki berkepala botak itu yang Minggu lalu ditemui Badrun >> Ini maksudnya hari Minggu atau minggu=pekan? Kalau maksudnya pekan, nggak perlu kapital ya kayaknya. Tapi kalau memang merujuk pada nama hari, mungkin diberi keterangan jadi "...yang hari Minggu lalu ditemui Badrun ...."
Udah ah, gitu aja koreksinya. (Nulis aja belum, udah komen banyak aja kamu!) XD
Wow teliti sekali kamu, wulan. Makasih ya saran dan masukannya sangst membantu :-)
DeleteThis comment has been removed by the author.
DeleteEnjoy banget bacanya, bahasanya ngalir, 'oh'-nya juga dapet. Idem sama yula, dari tiga tulisan terakhir, aku paling suka sama yang ini: dari awal udah bikin penasaran :)
ReplyDeleteTerima kash kak hana hameed :-)
ReplyDelete