Pages

  • Home
  • Privacy
  • Sitemaps
  • Contact
  • [PROFIL] TENTANG ADE UBAIDIL
facebook instagram twitter youtube

Quadraterz.com

    • My Book
    • Cerpen
    • Novel
    • Esai
    • Puisi
    • Buku Antologi
    • Ulasan
    • Media
    • [Self-Depression]
    • Rumah Baca Garuda
    Kerinduan yang Menjelma Hujan di Paru-Paru



    Judul Buku      : Hujan Bulan Juni
    Jenis Buku       : Novel/Fiksi
    Penulis             : Sapardi Djoko Damono
    Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama
    Tahun Terbit  : Juni 2015
    ISBN                : 978-602-03-1843-1
    Tebal                : vi + 138 halaman.
    Harga               : Rp.
    50.000,-


    Sejauh apa biasanya Anda sampai terhanyut dari kumpulan kata-kata dalam sebuah puisi? Kandungan tersirat apa yang kita beroleh saat sedang atau setelah membacanya? Adalah Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono—yang biasa dijuluki SDD—yang menurut saya selalu berhasil memberi rasa dari setiap puisi karangannya. Penyair sekaligus sastrawan besar Indonesia yang puisi romantiknya biasa tercetak di surat undangan nan sakral, dan kartu ucapan pada kado antar kekasih. Sedikitnya saya sebut satu puisinya berjudul “Aku Ingin”. Saya kutipkan larik lengkapnya yang hanya berisi dua bait saja, yaitu: Aku ingin mencintaimu dengan sederhana/ dengan kata yang tak sempat diucapkan/ kayu kepada api yang menjadikannya abu// Aku ingin mencintaimu dengan sederhana/ dengan isyarat yang tak sempat disampaikan/ awan kepada hujan yang menjadikannya tiada. Sederhana tapi ‘ngena’. Namun, terlepas dari karya puisi penyair yang sering (baca: sebagian besar) menyelipkan kata ‘hujan’ dalam puisi-puisinya, kali ini saya akan sedikitnya menuliskan review untuk karya teranyarnya. Yakni sebuah novel yang judulnya sama persis dengan puisi fenomenalnya yang diterbitkan pertama kali oleh Grasindo di tahun 1994 dan berhasil melambungkan namanya serta disejajarkan bersama Pujangga/Penyair besar Indonesia lainnya.
    Berkisah tentang hubungan percintaan antara Pria sederhana dan kaku bernama Sarwono dengan gadis, yang kalau boleh saya kategorikan seperti syarat untuk menjadi Miss Universe: Brain, Beauty dan, Behavior. Dialah Pingkan. Perempuan yang berdarah blasteran dari dua suku: Jawa (Solo) dan Minahasa (Menado). Toar adalah Kakak Pingkan sekaligus sahabat Sarwono. Dan dari sana kisah cinta mereka bermula.


    Sarwono seorang Antropolog. Ia tengah disibukkan dengan pekerjaannya sebagai peneliti—ia mendapatkan tugas tersebut dari dosen seniornya. Singkatnya kemudian, mereka, Pingkan dan Sarwono, karena sering bertemu maka keduanya saling jatuh cinta, meski dibenturkan oleh sebuah kendala; berbeda agama. Uniknya, cinta mereka dibumbui dengan obrolan yang remeh-temeh setiap kali sedang jalan bersama. Tetapi, justru sebab obrolan mereka itulah yang membuat keromantisan di antara keduanya semakin terbangun.

    Di bab awal, Sarwono dibuat gembira, sebab, tiga puisinya dimuat sebuah koran bernama Swara Keyakinan— (Hal.02). Sayangnya, tanggapan Pingkan setelah mengetahui itu biasa saja. Ia berkata bahwa: “Puisimu kisruh (hal.25)” dan cengeng, ketika membaca sajak Sarwono selain dari yang dimuat hari itu. Sarwono belum sempat melihatkan kepadanya, dan ia tahu, mungkin Pingkan tidak akan terlalu merespons. Tetapi, meski begitu, gadis berkulit putih itu tetap menaruh perhatian pada Sarwono. Malah ia pernah juga merasa kasihan ketika Sarwono yang bertubuh kerempeng itu terbatuk-batuk. Walau Sarwono berdalih, “tapi kan sehat. (hal.35)” dan pingkan membalasnya, “Sehat apa? Suka ngrokok dan batuk-batuk kok sehat! (hal.35)” begitu cara ia menunjukkan rasa sayangnya kepada Pria jawa yang dicintainya. Sebab, ia tahu, “Sarwono pernah gagal melanjutkan studi ke Amerika gara-gara ada flek yang mencurigakan di paru-parunya (hal.28)”.

    Sayangnya, Pingkan harus melanjutkan studinya di Jepang. Ia dikirim dari kampusnya dan mengikuti perintah Prodinya. Sarwono dibuat semakin galau ketika tahu itu. Lebih-lebih ia pernah mendengar, kalau pria Jepang bernama Katsuo yang pernah berkunjung ke Indonesia dan bertemu (baca: pernah dekat) dengan Pingkan, telah lulus program pascasarjana dan menjadi dosen di Universitas Kyoto yang tak lain kampus yang nanti menjadi tempat Pingkan menuntut ilmu—(hal.64). Di akhir bab, Sarwono jatuh sakit dan cairan dalam paru-parunya disedot—(hal.129). Ia menderita paru-paru basah. Ditambah benak dan hatinya yang basah sebab lama menahan rindunya ingin bertemu sang kekasih.
    Entah karena apa, dari novel tipis total 144 halaman ini, saya kehilangan sosok SDD. Memang menulis puisi (mungkin) tidak bisa disamakan dengan penulisan novel. Tetapi, andai saya diminta untuk memberikan bintang, bukan karena saya tidak mengenal karya beliau, saya akan beri 2,5 dari 5 bintang. Artinya, ada sedikit rasa kurang ‘terpuaskan’ (tanpa harus menyebutnya: mengecewakan) dari kalimat-kalimat sederhana yang beliau tuliskan hingga mewujud sebuah novel berjudul Hujan Bulan Juni—berbeda sekali dengan puisinya. Saya menangkap, malah seperti ada keterpaksaan dan keharusan pada novelnya ini diberi judul yang sama dengan puisi terkenalnya itu. Bahkan, sampai diakhir bab, saya tidak mendapati klimaks atau rasa penasaran yang berarti. Meski di penghujung ending-nya masih ada kemungkinan untuk hadir sequel atau seri buku berikutnya.

    Dan lagi, saya kurang sreg dengan perdebatan dan berbincangan yang menyatakan kalau Pingkan lebih senang disebut Jawa tinimbang Menado atau sebaliknya. Bukan terhadap isi dari narasi tersebut yang saya permasalahkan, tetapi lebih ke pengulangan-pengulangan yang beberapa kali bermunculan di lembar-lembar berikutnya dan sepertinya hanya pemborosan kalimat saja dan kurang menunjang jalannya cerita. Terlepas siapa yang memperbincangkan itu; Ibu, Kakak, Sarwono atau Pingkan sendiri. Saya rasa, baiknya itu dikurangi. Dan yang berikutnya adalah beberapa typo yang saya temui, sepertinya ini menjadi catatan penting untuk editornya—pun penulisnya tentu saja—agar setidaknya membuat pembaca (seperti saya) merasa nyaman. Apalagi bukunya terbit di sebuah penerbit terbesar di negeri ini—saya tidak bermaksud membandingkan dengan apa dan siapa pun.

    Meminjam kalimat yang sedang populer di kalangan kaula muda (baca: anak Meme Comic), novel ini: kurang gereget! Meski bila bicara sampul, saya sangat jatuh cinta. Terkesan sederhana namun elegan, ditambah rintik hujan yang membuat judul itu tampak pudar dan asli. Implementasi dari makna tulisannya sendiri.
    Namun, jauh dari itu semua, saya sangat salut kepada SDD, yang diumurnya ke-75 tahun ini, beliau masih produktif menulis. Bahkan tiga bulan sebelum me-launching Hujan Bulan Juni (Juni, 2015), ia merilis novelnya yang lain berjudul Trilogi Soekram (Maret, 2015). Tentu ini menjadi lecutan tersendiri untuk mereka yang usianya jauh lebih muda dari beliau, dan berhenti pada pertanyaan: berapa banyak karya yang sudah Anda (baca: saya) lahirkan?[]

    Cilegon,  27 Juni 2015

    Continue Reading
     http://www.pasanggarahan.com/2015/10/musim-layang-layang.html

    Terpaan angin mengepakkan layang-layang beraneka warna buatanmu. Kau menikmati pekerjaanmu sebagai pengrajin mainan tradisional itu. Sejak pagi, kau sudah menempati lapakmu. Kau sadar betul, sainganmu kian bertambah di sepanjang jalan Drangong yang tak jauh dari gerbang tol Serang Barat. Rupanya, orang-orang pun tahu akan hadirnya musim panen padi dan tentu di seperempat tahun ini angin semakin kencang berembus. Orang-orang kampung sangat senang bermain layang-layang, tak menutup kemungkinan pula dengan orang-orang kota yang melintasi lapakmu.
    Alat-alat sudah memenuhi tas lapukmu. Bahan-bahan yang tidak terlalu sulit telah kau dapatkan. Bambu tipis yang sudah kau potongi seukuran kurang lebih: lebar 1 sentimeter dan panjang 40 sentimeter. Juga potongan bambu tipis lainnya, yang memiliki lebar 1 sentimeter dan panjang 80 sentimeter. Kau bahkan menerima pesanan tergantung permintaan pembeli. Ada yang berbahan kertas tissue juga kertas minyak. Kau rangkai mengikuti ukuran bambu yang sudah tersedia, seorang diri.
    Tentunya dalam tasmu juga telah terisi dengan spidol, pita gulungan yang agak tebal, temali dan benang yang biasa kau kaitkan pada satu bambu ke bambu lainnya, tak luput gunting dan isolasi. Satu lagi, penggaris dan meteran itu yang membuat layang-layang buatanmu bisa terbang stabil. Kau layaknya seorang Arsitek, membuat layang-layang sederhana namun dengan teknik yang setara mahasiswa jurusan Teknik Sipil. Kau ukur satu sama lain bambu dan benangmu dengan cermat dan teliti.
    Beraneka bentuk dan warna sebagian sudah jadi. Kau gantung pada tali yang sebelumnya telah kau ikat sejajar dari ujung pohon besar ke pohon besar lainnya. Kau amat terampil merangkai semua layang-layangmu tanpa bantuan orang lain.
    Musim layang-layang tak lebih dari tiga bulan, dan kau menyadari itu. Karenanya, pikiranmu sudah menerawang jauh, tentang pekerjaan apa lagi yang nanti akan kau lakoni bila anak-anak sudah tidak tertarik lagi bermain layang-layang.
    Ketika tak ada pembeli, kau terkadang senyum-senyum sendiri. Membayangkan saat pertama kali kau diajari cara membuat layang-layang oleh ayahmu. Bahkan kau tak menyangka sampai akhirnya kau berkeluarga dan memiliki seorang anak, kau memanfaatkan keterampilanmu itu. Kau merasa berhutang budi kepada ayahmu. Dan dengan menjajakan layang-layang, kau bisa bernostalgia. Walaupun yang kau tampakkan hanyalah senyum getir.
    Bukan sekali dua kali kau meminta anak semata wayangmu yang beranjak remaja untuk menemanimu menjual layang-layang, tetapi bentakan dan tolakan malah yang selalu kau dapatkan.
    “Sore nanti kamu temani Bapak menjajakan layang-layang, ya.” Kau mengajaknya di suatu pagi.
    “Aku sudah janji main futsal dengan teman-teman, Pak! Lagipula, aku malu kalau harus menemani Bapak menjual layang-layang. Mau di kemanakan wajahku kalau mereka melihatku di jalanan sana?!”
    Hatimu bergeletar mendapatkan jawabannya. Padahal apa pun kau kerahkan demi dia dan istrimu, hingga peluhmu berderai di sekujur tubuh. Tetapi kau ayah yang baik. Kau tidak memarahinya, tidak pula mengusirnya. Kau malah berlalu meninggalkannya dengan memberikan sejumlah uang untuk jajan sekolahnya.

    ***
    Dua jam lalu lonceng tanda pulang sudah berdentang. Murid-murid SMA Gemilang berlalu-lalang. Membanjiri pelataran sekolah, menuju gerbang. Tampak dari kejauhan dua orang lelaki tengah asyik berbincang seraya berjalan keluar dari tempat yang bukan dari salah satu ruang kelas. Di depan pintu tempat itu bertuliskan, “Rental Playstation”. Ya, sepertinya mereka tahu kalau jam pulang sekolah telah berlalu.
    “Jadi, kan, main futsalnya, Yar?” tanya lelaki sebelah kiri yang mengenakan tas selempang dengan celana seragam abu-abu yang robek di bagian lututnya.
    “Tentu, dong. Nanti kamu ajakin yang lainnya, ya. Aku mau pulang dulu, mau minta uang lagi. Jajan sekolahku ludes gara-gara kalah taruhan sama kamu,” sanggah lelaki lainnya yang memakai kaca mata hitam dan membawa tas ransel di punggungnya. Wajahnya terlihat jengkel. Rokok di tangannya sesaat ia sesap hingga tulang pipinya tampak jelas, kemudian ia menghempaskan asapnya kuat-kuat sampai mengepul ke udara.
    “Hahaha....” Ia terkekeh. “Aku juga mau pulang dulu, Yar. Mau ganti sepatu.”
    Lelaki yang mengenakan sepatu kets warna biru mengkilap itu pamit di persimpangan. Sejak kelas satu SMA mereka selalu bergaya layaknya kaum borju. Padahal, orang tua mereka hanya orang biasa yang tengah memeras peluh demi menghasilkan uang yang digunakan untuk membiayai kehidupan mereka sehari-hari. Mereka terlahir di desa, akan tetapi kerap kali mereka bergaya layaknya orang kota.
    Hari itu lelaki yang bernama Tyar memilih untuk berjalan kaki. Di kantong celananya sudah tidak ada lagi uang yang tersisa. Ia ingin meminjam kepada temannya yang tadi, tetapi karena gengsi yang begitu tinggi ia memilih untuk mengurungkan niatnya.
    “Terpaksa aku harus melewati jalan itu. Ah, sial sekali nasibku!” umpatnya merutuki diri sendiri.

    ***
    “Pa, aku mau yang warna hijau itu.”           
    Ucap seorang bocah buyarkan lamunanmu. Ayahnya mengulang permintaannya padamu ketika turun dari sebuah mobil mewah yang terparkir tepat di hadapanmu. Wajah lelahmu di sore itu sedikit terbayar. Ini pembeli ketiga di sepanjang hari sejak kau membuka lapak. Kau tetap tersenyum. Kau tetap bersyukur dengan apa yang Tuhanmu berikan. Satu buah layang-layang kau ambil.
    Kemudian, senyummu hanya tertuju untuk bocah berusia empat itu. Seraya memberikan layang-layang hijau yang diinginkannya.
    “Berapaan, Pak?”
    “Seribu lima ratus.”
    Kau polos menjawab pertanyaan Ayah si bocah lucu itu. Padahal sejak awal kau sudah melihat ia menggenggam uang kertas yang seharga 50 layang-layang yang sama. Jika saja orang itu berhenti di pedagang layang-layang sainganmu, tentu mereka akan membandrol layang-layang semacam itu seharga lima ribu lebih. Kau bisa seperti mereka, tetapi kau masih percaya akan dosa. Kau mampu mencegah hati dan pikiranmu. Lidahmu kau kendalikan supaya berkata jujur kepada siapa pun.
    “Maaf, Pak. Nggak ada kembaliannya.”
    Kau tampak bingung, uang dari mana untuk memberi kembalian padanya. Sedangkan uang di dompetmu hanya ada tiga lembar seribuan, itu pun untuk kau gunakan membeli makan.
    “Biar aku tukarkan dulu, Pak. Di warung sana.”
    Tiga puluh lima meter samar-samar terlihat warung dari pandangan Ayah si bocah itu. Kau meninggalkan mereka juga lapakmu hanya untuk menukarkan uang di warung yang cukup besar di seberang sana.
    Waktu semakin sore, kau memutar lagi langkahmu. Beberapa lembar uang kertas dan koin telah berada di tanganmu. Wajahmu masih menampakkan senyum yang tulus. Meski hatimu terus bergumam; anak dan istriku makan apa nanti malam.
    “Maaf, membuat Bapak menunggu.”
    “Oh, tak masalah.”
    “Ini kembaliannya, silakan dihitung lagi.”
    Kau menyerahkan seluruhnya. Bahkan uang seribu lima ratus hakmu masih berada di genggaman tangannya. Kau menjelaskan padanya, kemudian ayah dari bocah itu pun memberikan hakmu. Ia membayar sesuai apa yang sebelumnya telah kau sebutkan padanya.
    Bocah lucu itu masih bermain-main dengan layang-layang. Ia tidak menghiraukan percakapanmu dengan Ayahnya. Angin semakin berhembus kencang di sepanjang jalan. Secara tiba-tiba, layang-layang hijau pada tangan kecil itu terlepas hingga ke tengah jalanan. Beruntung kau bisa mencegah bocah itu berlari mengejarnya. Rasa tanggung jawabmu begitu tinggi; sama seperti Ayahmu dulu.
    Sorot matamu terkunci pada layang-layang itu. Seketika kau sudah berada di tengah jalan dengan layang-layang di tanganmu. Kau angkat lagi dadamu, kemudian matamu menangkap seorang anak berseragam putih abu-abu tengah berjalan mendekat ke arahmu. Lamat-lamat kau perhatikan wajahnya.
    Dia Tyar, Anakku....
    Batinmu yakin.
    Kau tersenyum bangga mendapati wajah anakmu di seberang sana. Sesegera kau memanggilnya.
    “Tyaaarrr!!!”
    Lelaki itu menoleh ke arahmu. Seketika ia langsung membuang batang rokok yang terselip di sela jarinya. Ia takut kalau kau memergokinya sedang menghisap racun itu. Namun, kau kemudian dibuat bingung saat melihat ekspresi berikutnya dari anakmu. Ia melambai-lambaikan tangannya seperti memberikan isyarat padamu. Mulutnya berkomat-kamit seperti sedang menyampaikan sesuatu. Namun karena faktor usia, pendengaranmu lambat laun semakin berkurang.
    Kau baru menyadari maksudnya saat suara klakson membuatmu memalingkan wajah ke arah belakang punggungmu.
    “Awas Paaaakkk!!!”
    Teriakan dari anakmu tak berhasil membuatmu berlari ke tepian trotoar. Tubuh bungkukmu terlanjur dihantam tanduk besi kuat dari kepala Truk yang melaju cepat. Kau terpental jauh melewati langkah anakmu. Kopiah hitam yang bersila di kepalamu turut terlepas meninggalkanmu. Pun sepasang sandal jepit yang hampir putus ujungnya terlontar ke pematang sawah samping trotoar. Anak-anak yang tengah mengejar layang-layang putus di sawah itu sesaat terpaku melihat kejadian yang baru saja menimpamu.
    Masih ada sisa senyuman yang kau siapkan untuk anak lelakimu sejak pagi tadi. Suara remang-remang dari anakmu semakin tenggelam. Kedua kelopak matamu pun perlahan terkatup. Napasmu yang tersengal terbebas melalui kerongkonganmu yang kering. Tak ada lagi yang kau ingat, seketika hampa dan gelap.
    Anakmu terus-menerus meraung dan air mata bening menguar hangat membanjiri wajahnya saat menghampiri tubuhmu yang sudah tak berdaya.
    “BAPAAAKKK!!!” Ia mendekap tubuhmu. Berusaha menghentikan aliran darah segar yang mengucur bak keran air dari kepalamu akibat benturan keras pada sisi trotoar. Wajah penyesalan meliputi paras anakmu.
    ***
    Satu tahun berlalu. Terlihat seorang anak lelaki tengah sibuk merangkai layang-layang di sisi jalan Drangong, Serang. Sejak pagi ia berangkat dari rumah untuk menempati lapak yang beberapa waktu lalu orang yang sangat menyayanginya berada di sana. Sesekali ia termangu dan tanpa terasa wajahnya telah dihujani air mata. Bukan perkara satu pun layang-layang yang belum berhasil dijualnya, yang ia buat sendiri dengan sangat buruk, akan tetapi sesuatu hal yang membuatnya menangis dan merutuki nasibnya adalah saat batinnya bergumam lirih:
    Pada siapakah aku harus bertanya cara membuat layang-layang yang baik dan benar?[]


    Pinggir Trotoar Serang, Mei-Juni 2014



    *Ulasan cerpen Musim Layang-Layang dimuat di titiktemu.co klik: http://titiktemu.co/2015/11/01/motif-dalam-cerita/
    Continue Reading
    image by:poskotanews.com


    “Aku datang hanya untuk bertemu denganmu lagi dan menceritakannya....”

    Beberapa waktu lalu resmi harga BBM dinyatakan naik. Presiden sendiri yang menyampaikannya langsung melalui para media. Di indekos, sebelum berangkat bekerja, aku menyaksikan berita tersebut di layar televisi 14 inch—hasil tukar-tambah dengan sepeda ontel mendiang bapak. Entah harus berkomentar dan berekspresi seperti apa; bila bahagia, apa yang patut aku banggakan? Toh, tak ada pengaruhnya mungkin, aku tetaplah seorang buruh. Namun bila aku bersedih, untuk apa pula aku lakukan? Tetap saja tak akan ada yang peduli. Kalaupun aku berteriak-teriak di depan televisi, apa Pak Presiden akan mendengarnya? Ha-ha-ha... bisa-bisa aku dianggap gila andai tetangga lewat di gang sempit depan indekos ini.

    Ah, segera saja kubunuh televisi itu. Jam sudah menunjukkan pukul 08.53, entah aku sudah terlambat berapa menit dari jadwal masuk kerja. Malas sekali untuk mengingat-ingatnya. Beruntung aku punya banyak teman yang saling mengerti. Mereka akan memberikan alasan sebaik mungkin kepada atasan sampai aku datang—begitupun bila sebaliknya terjadi.

    Andai mencari pekerjaan semudah mendapatkan kerikil untuk menahan buang air besar, tentu aku sudah tidak ada di perusahaan sepatu ini. Kau percaya tidak, bila kerikil ditaruh di saku celana belakangmu ketika perutmu sedang mulas, maka lambat-laun, tanpa kau sadari rasa ingin buang air besar itu hilang begitu saja. Aku percaya itu, bapaklah yang sewaktu kecil mengajarkannya padaku. Seperti itu pula sebenarnya alasanku hari ini datang terlambat. Sejak pagi perutku mulas-mulas. Entah sudah berapa kali aku bolak-balik ke kamar mandi. Jadi, ketika aku ingat pesan bapak itu, lekas saja aku melakukannya. Sampai di tempat kerja, benar saja, mulasku lenyap. Betapa ajaibnya pikiran orang zaman dulu, mereka sudah menemukan teori sugesti mengalahkan seorang hipnoterapi di masa sekarang.

    Baiklah, aku berlebihan.
    ***

    Rupanya kenaikan BBM berbanding lurus dengan naiknya harga barang-barang pokok di pasaran. Dan ketika harga kebutuhan kian meningkat, tak sedikit beberapa perusahaan yang gulung tikar. Jelas sekali itu berdampak cukup besar pada kehidupan khalayak ramai. Satu di antaranya adalah terlahirnya para pengangguran. Orang-orang kehilangan pekerjaannya. Maka oleh sebab itu, aku berjanji ini kali terakhir aku datang terlambat ke tempat kerja.

    Aku bekerja tak lebih dari sepuluh jam di jadwal biasa. Tetapi, sesekali kami juga ada jadwal lembur. Karenanya jam pulang bisa sampai larut malam—tergantung pada pembagian shift juga. Sebelum pulang ke indekos, aku menuju ke salah satu minimarket untuk membeli rokok dan minuman—juga alasan lainnya..., kau tahu,  setiap pulang bekerja, di tengah perkotaan yang panas ini, memasuki sebuah mal, ruang mesin ATM, atau apa pun yang memasang AC di dalamnya adalah hal wajib yang harus aku kunjungi. Setidaknya keringat di kening dan ketiakku bisa hilang. Selagi itu gratis, kenapa tidak kita manfaatkan?

    Sore ini sedang banyak pembeli rupanya. Tak sekali dua kali bahkan aku sampai beradu bahu. Tentu tanpa kesengajaan.

    “Maaf.” Entah berapa kali aku mengucapkan kata itu. Heran, kenapa orang-orang begitu buru-buru sekali menjalani kehidupannya. Seolah pagi akan segera datang lagi dan menyediakan berbagai kesibukan dan kesumpekan. Terus begitu sampai presiden berganti hingga seratus kali—mungkin. Padahal, nikmati sajalah.

    “Sorry.” Dengan arti yang sama seseorang mengatakan itu setelah menyenggol punggungku. Ia tampak tergesa sekali. Aku mengangguk tak mempermasalahkannya. Ia melanjutkan lajunya tanpa menoleh ke arah belakang—bahkan mungkin sewaktu ia meminta maaf tadi tak menunjukkan wajahnya. Entahlah aku tak begitu memerhatikannya. Kemudian aku lanjut mengambil air mineral dan menuju kasir. Apa yang terjadi? Dompetku lenyap. Satu yang kuingat adalah seseorang dengan jaket hitam tadi. Beruntung di saku baju ada beberapa lembar uang. Cukup untuk membayar rokok dan minuman. Lekas saja aku keluar minimarket. Kepalaku seperti kipas angin, memutar dari kanan ke kiri berulang-ulang. Aku mencari orang yang memakai topi jeans dan ada sedikit robek di bagian punggung jaketnya.

    Minimarket ini berada di bahu jalan. Kebetulan jalan raya sedang macet, maklum jam pulang para karyawan. Ini kesempatan untukku.

    Aku harus segera mengejarnya. Bukan apa, di dompet itu masih kusimpan uang gajian lusa lalu. Mati aku kalau sebulan ke depan tak ada uang. Makan apa coba, di kota sebesar ini?—sedang di indekos aku tinggal sendiri. Ibu dan kedua adikku berada di desa. Apalagi aku belum mengirimi mereka uang untuk tambah-tambah biaya hidup dan sekolah. Aku harus segera menangkap pencopet itu. Pasti belum jauh dari sini.

    “Mas, permisi. Ngeliat orang pakai topi sama jaket item nggak?” tanyaku tergesa-gesa. Bahkan aku lupa mematikan mesin motor Astrea Legenda warisan dari almarhum bapak ini.

    “Barusan ngeliat, Mas. Tapi dia pake helm. Jaketnya agak robek di punggung—”

    “Ya itu!” aku menyela.

    “Orang itu kayak lagi kebingungan. Dia bawa motor mondar-mandir di depan saya. Bahkan mau lawan arah. Mungkin karena di depan ada polisi, dia puter balik lagi. Ngelewatin minimarket itu.” Dia menunjuk tempat kejadian bermula.

    “Dia nyopet dompet saya, Mas.” Aku mengangguk tak jelas. Orang yang kuajak bicara terlihat bingung, mungkin dia berpikir, apa yang kudu gue lakuin?

    Gegas saja aku memutar sepeda motorku. Pasti dia belum jauh, aku terus-menerus menghibur diri. Apalagi, di depan jalan setelah persimpangan ada lampu lalu lintas. Semoga dia terjebak di sana, di tengah kemacetan. Kalau sampai ini benar dan aku berhasil menangkapnya, aku akan bersyukur bahwa kemacetan di kota besar ada manfaatnya juga. Aku masih memacu motor Astrea ini. Meski konon mesinnya telah berumur, setidaknya motor bapak ini masih lincah, buktinya beberapa kali aku berhasil menyalip mobil dan motor lainnya.

    Saking tergesanya bahkan aku tak peduli dengan kepalaku yang tak mengenakan helm. “Nggak ada waktu,” batinku. Toh, polisi juga bakalan memaklumi kalau-kalau melihatku kebut-kebutan di jalan raya tanpa helm. Justru pencopet tadi akan lebih mudah dibekuk bila ada bantuan polisi.

    “Nah, ada polisi.” Ucapanku seolah terkabul begitu saja. Dengan pede-nya aku bangga mendengar sirene mobil patroli polantas. Dari spion aku memastikan, dan benar saja, mereka ke arah kami. Bisa jadi mereka turut mengejar pencopet itu karena diberitahu orang yang tadi aku tanyai. Dari jarak tiga mobil ke depan, aku melihat orang berjaket hitam itu. Tak salah lagi pasti dia. Celaka, saat jarak kian dekat, lampu lalu lintas berganti hijau. Kendaraan berebut jalan. Pandanganku semakin kabur. Tetapi aku masih terus menancap gas motornya.

    “Dia belok!” tak sadar aku berteriak lantang. “Woy, copet!” orang-orang mengalihkan perhatiannya. Sebagian bertanya yang mana, aku sekenanya memberi petunjuk pada mereka yang peduli. Lantas membantuku mengejar pria itu.



    Sesekali aku menatap spidometer, aku tercengang. Ini kali pertama aku memacu sepeda motor dengan kecepatan hampir 100km/jam. Aku ingin mengurangi tarikan gas, tetapi apa daya, pencopet itu pasti akan mudah lepas dari pandanganku. Alih-alih fokusku terbagi pada sisi kiri-kanan jalan, mataku lekat tak lepas mengunci gerakan pencopet itu. Bahkan, sampai aku tak sadar, di jalan yang tak cukup lebar itu, sebuah truk melaju cukup kencang keluar dari salah satu pertigaan. Aku kalap. Stang motorku hilang kendali. Truk itu melaju dari arah kiri. Aku berusaha membelokkan motorku ke arah berlawanan, tetapi tak berhasil. Kecepatannya terlalu tinggi. Seketika saja oleng. Kontan saja ban depan motorku beradu dengan sisi kanan truk. Tubuhku melayang. Aku merasakannya setelah terdengar bunyi, “braaakk!!!”—benturan antara tubuhku dengan truk. Lalu terpelanting lagi ke bahu jalan. Tulang-tulangku seperti remuk. Kepalaku terantuk trotoar dengan suara debam yang keras sekali. Setelah itu pandanganku samar. Jalanan depan tertutupi truk. Entah ke mana pencopet itu berlari. Orang-orang berkerumun mengitari tubuhku. Sesuatu mengalir dari kepalaku yang tak mengenakan helm. Tanganku sempat mengelusnya. Ia berwarna merah dan hangat. Ini darah. Aku menyisakan jejak di bahu jalan.

    Tiba-tiba aku bertemu bapak. Lekas saja aku memeluknya.

    “Beruntung aku bisa menjumpaimu di sini, di sebuah ruang kosong dengan pintu dari jeruji besi. Sengaja memang aku datang hanya untuk menceritakan segalanya. Lalu akan kuajak kau bertemu dengan bapakku juga. Simpan saja dompetku dan segala macam isinya itu. Di sana uang tak lagi berguna.”[]

    Cilegon, 29 Oktober 2015

    -----------------------------------------------------------------------------------------------
    *Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com
    Continue Reading

    Salah satu fungsi dari sebuah paku adalah sebagai alat penghubung dan penguat suatu benda atau bangunan yang satu dengan benda lainnya. Katakanlah sebuah papan kayu akan mudah direkatkan oleh paku pada dinding-dinding bangunan sehingga menyatu dengan kokoh. Tentu saja dibutuhkan paku yang tajam dan palu sebagai alat bantunya. Begitulah fungsi dasar paku. Lantas, apa kiranya yang hendak saya analogikan dari fungsi sebuah paku?

    Dalam hal ini saya mencoba mengaitkan kegunaan paku dengan manfaat keberadaan sebuah madrasah. Menurut kaidah bahasa, madrasah sama artinya dengan sekolah, hanya saja tambahannya di madrasah mengenalkan ilmu agama kepada peserta didiknya. Lebih jauh lagi kita kenal, madrasah selalu erat hubungannya dengan pondok pesantren, sebagaimana kita tahu, di sana mempelajari ilmu-ilmu penerapan yang bersumber dari Al-quran dan Al-hadist. Kemudian akan dikenalkan juga tata-cara membaca kitab gundul atau kitab kuning; baik secara makna, penulisan dan pelafalannya (nahwu-sharaf).

    Dewasa ini, terlepas dari pembahasan sistem pendidikan di Indonesia, mulai banyak sekolah-sekolah swasta maupun negeri yang kian menggeliat. Bukan hanya soal bangunan yang satu per satu berdiri menjulang, tetapi di saat yang sama biaya keperluan sekolah pun kian melangit. Kendati demikian, para orang tua seolah berlomba mendaftarkan anak-anaknya ke sekolah terbaik, sekalipun tak sedikit dari mereka yang ngos-ngosan mencari biaya untuk menyekolahkan anak-anaknya. Sayangnya, dari sekian romantisnya hubungan antara orangtua-dan-sekolah, mereka tak secuil pun memasukkan sekolah madrasah atau pondok pesantren dalam daftar ‘sekolah yang dijadikan rumah kedua’ bagi anak-anak mereka. Padahal, bila dilihat dari peninggalan orang-orang terdahulu, dalam hal ini para pendiri Banten, adalah para ulama besar yang disegani dunia. Bahkan ada sebuah sajarah yang dikenal dengan sebutan Geger Cilegon.

    MADRASAH PERTAMA

    Pendidikan akhlak atau attitude adalah pelajaran dasar yang harus diterapkan kepada anak-anak kita sejak dini. Pengetahuan tentang segala macam perkara agamawi jelas harus berjalan beriringan dengan ilmu duniawi. Menurut Albert Einstein, ilmu agama dan ilmu dunia (pengetahuan umum) bila dipegang oleh orang cerdas maka akan didudukkan secara beriringan. Sedangkan bila orang bodoh yang memegangnya maka ia akan mendudukannya secara hadap-hadapan. Alih-alih buah hati kita menjadi manusia yang baik dan bijak, ia malah menjadi sulit diatur dan selalu menyalahkan satu peraturan dengan peraturan lainnya. Selalu berusaha membentur-benturkan suatu hal yang pada hakikatnya sudah tidak bisa diubah lagi. Peran orang tua dalam hal ini sangatlah diperlukan. Ibu dan bapak menjadi madrasah pertama bagi mereka. Pengenalan tauhid dan keimanan sudah semestinya mereka kenyam. Miris sekali bila melihat kondisi pergaulan anak-anak di zaman modern ini. kehidupan hedonisme diagung-agungkan, seolah tujuan ia hidup di dunia hanyalah untuk mengejar materi dan kenikmatan yang sementara. Padahal jauh daripada itu ada alam nan kekal, yakni alam akhirat yang harus dipersiapkan bekalnya sejak hidup di dunia.

    Bisa kita saksikan sendiri, melihat dalam berita di televisi atau membaca dalam media cetak; kasus kekerasan, perilaku menyimpang hingga pemerkosaan kian menjangkiti anak-anak di bawah umur. Mereka sudah mengenal perbuatan yang belum saatnya untuk mereka ketahui. Mereka kesulitan dalam memilah mana yang boleh mereka kerjakan dan mana yang tidak. Padahal, tidak ada satu kepercayaan atau agama apa pun yang mengajari kita untuk berbuat keji dan melawan aturan. Di titik inilah pendampingan orang tua harus lebih intens, jangan biarkan anak kita bertumbuh dan berkembang tidak sesuai seperti yang kita harapkan. Berani menentang dan melawan norma-norma agama dan negara.

    Seharusnya kita yang tinggal di provinsi Banten ini patut bersyukur. Masih banyak pondok pesantren dan madrasah-madrasah yang bertahan di beberapa daerah. Walaupun di tengah hiruk-pikuknya sekolah-sekolah bergengsi lainnya. Ini kesempatan yang tak boleh disia-siakan. Sebab, di beberapa provinsi atau bagian Indonesia lainnya, sekolah-sekolah agama semakin sulit ditemukan. Bisa jadi alasannya karena pelajaran umumlah yang wajib dipelajari. Salah satu acuannya bisa jadi lantaran di Ujian Nasional pendidikan agama tidak diujikan; tidak termasuk dalam mata pelajaran wajib dan berjejer dengan ilmu pengetahuan umum lainnya. Itu kesalahan sistem pendidikan kita yang sudah seharusnya ditinjau kembali. Andai kita berdalih bahwa negara kesatuan Indonesia ini tergabung dari penduduk yang heterogen, tetapi mau bagaimanapun kita adalah negara yang menganut budaya timur. Sopan santun dan tatakrama menjadi hal utama yang harus didahulukan.

    Untuk menjaga paku-paku itu tetap tajam dan kokoh, tentu kita harus terus merawatnya, menyiapkan palu yang juga sama kuatnya, dengan cara menjadikan anak-anak kita bagian dari sekolah-sekolah berbasis agama seperti madrasah, pondok pesantren, TPA dan semacamnya, serta memberikan pemahaman yang baik, agar suatu kelak anak-anak kita, para penerus bangsa tersebut tidak kehilangan jati dirinya. Seseorang akan mudah hilang kontrol ketika nafsu sudah mengendalikan diri sepenuhnya. Hati dan pikiran tak akan berguna lagi ketika tak ada sedikit pun iman di dalam dirinya. Itu sebabnya mengajari anak-anak kita budi pekerti dan pemahaman tentang adanya Tuhan sangatlah penting.
    Kembali ke Madrasah adalah salah satu cara yang patut dilakukan. bila paku itu sudah menancap kokoh, berharaplah bumi ini akan hidup lebih lama lagi; atau biarkanlah sisanya alam yang bekerja.[]

    Cilegon, 10 oktober 2015



    *Ade Ubaidil, Alumni Madrasah Aliyah Al-Jauharotunnaiyyah Cibeber angkatan tahun 2011-2012.

    (Esai ini dimuat bertepatan setelah peringatan Hari Santri Nasional pada tanggal 22 Oktober 2015 di Kantor Gubernur Banten, Palima-Serang).
    Continue Reading

    Banten Raya (Jawa Pos Group), 29 September 2015



    Kota adalah daerah permukiman yang terdiri atas bangunan rumah yang merupakan kesatuan tempat tinggal dari berbagai lapisan masyarakat. Itulah yang termaktub dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) keluaran tahun 2013. Namun, bila bicara lebih jauh lagi, kota adalah sebuah tempat di mana warganya bisa merasakan hidup nyaman dan tenteram di bawah naungan pemimpin berjuluk Walikota. Pembahasan ini belum termasuk soal kesenjangan sosial, ekonomi dan budaya.
    Lantas apa yang dimaksud dengan hidup nyaman dan tenteram tersebut? Kota, atau mungkin juga provinsi bahkan negara, hanyalah sebuah ruang dimensi tempat para warga untuk saling berinteraksi satu sama lain. Baik kaitannya dalam keluarga, teman sebaya, atau rekan kerja sekalipun. Yang kemudian menjelma sebuah ruang ekspresi untuk saling berbincang mengenai banyak hal. Sebutlah dalam konteks ini ruang publik. Satu di antaranya adalah taman kota atau alun-alun kota. Sebagaimana jalan raya, keberadaan alun-alun di tengah-tengah kota juga sama pentingnya, dan patut diberikan perhatian yang proporsional. Sebab, masyarakat dewasa ini sering disibukkan dengan kegiatan rutin yang kadang sangat melelahkan dan mencerabut aktivitas berkumpul dengan sanak famili maupun teman sejawat.

    RUANG PUBLIK SEBAGAI RUANG BEREKSPRESI
    Adanya ruang publik sangat dibutuhkan kehadirannya di tengah-tengah kepenatan kota yang kian terasa padat dan menghimpit. Bangunan-bangunan perusahaan kian menjamur, menjelma serupa hutan beton yang mengakar kuat. Oleh sebab itu, ruang berekspresi dan melepas penat tentunya perlu segera direalisasikan. Supaya kita sebagai masyarakat terus bisa berinovasi dan menciptakan hal-hal kreatif yang dibutuhkan dalam dunia bisnis maupun dunia kerja.
    Pertanyaannya kemudian adalah: sudah cukup memadaikah ruang publik di setiap kota di provinsi Banten ini? bila belum, lantas apa yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah daerah setempat? Dan lagi, seandainya ruang publik sudah tersedia dan masyarakat dipersilakan untuk memakainya, maka sudahkah kita sebagai masyarakat mau turut andil dan berpartisipasi dalam merawatnya?
    Berbagai pertanyaan yang diajukan, cukup dijawab dalam hati masing-masing pribadi masyarakat itu sendiri. Untuk kemudian diejawantahkan dalam bentuk perilaku dan perbuatan. Kita, dalam hal ini pemimpin dan masyarakatnya, sudah seharusnya mau merawat dan menjaga keberadaan ruang publik. Dan setiap masukan serta kritik yang membangun diharap bersedia untuk mendengarkan lalu menerima dan sama-sama memperbaiki demi keberlangsungan tata kota dan wilayah yang baik. Sesuai visi kita ke depan. Dalam hal ini, kepekaan serta kesadaran diri masyarakat dan pemimpinnya sangatlah diperlukan. Karena negara yang baik, maupun wilayah yang baik dibangun dari komitmen yang baik pula.

    MENCIPTAKAN BUDAYA BACA
    Masyarakat yang berbudaya adalah masyarakat yang mau membaca. Membaca di sini bisa diartikan secara harfiah; pertama, yakni membaca tulisan dalam buku atau media massa dan internet; kedua, dalam etimologi, membaca diartikan sebagai bentuk dari kepekaan dalam melihat lingkungan sekitar. Keduanya sangat diperlukan guna menunjang pemikiran intelektualitas masyarakat yang kritis dan tidak apatis dalam menanggapi suatu hal yang terjadi di lingkungan tinggalnya. Karena yang dikhawatirkan, menggeliatnya media sosial dan berkembang pesatnya teknologi abad ini, selalu saja beriringan dengan banyaknya hal negatif yang bisa menjangkiti perilaku masyarakat. Bahkan istilah, ‘menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh’ untuk media sosial itu sangatlah benar adanya. Bisa dirasakan bagaimana ketika kita tengah berkumpul dengan teman-teman, disatu kesempatan, kita hanya saling diam sementara kedua tangan menggenggam gadget masing-masing dan kepala terus merunduk. Alih-alih bercengkerama dan suka ria bersama, kita malah sibuk dengan dunia kita sendiri. Berselancar dan berbincang dengan kawan di dunia maya yang mungkin seseorang itu belum pernah kita temui sekalipun.


    Jangan biarkan kita terjerat dalam hal negatif tersebut. Istilah generasi merunduk sudah seharusnya kita jauhi dan hapuskan. Kehadiran teknologi sejatinya untuk memudahkan manusia dalam beraktivitas, bukan malah menghambatnya. Karena itulah, kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan teknologi, karena pada dasarnya teknologi itu bersifat netral. Tergantung pada penggunaan dan pemanfaatannya. Kita, sebagaimana dikenal masyarakat dunia, adalah warga yang ramah dan pandai berinteraksi sosial. Jangan sampai kemajuan zaman menghilangkan tradisi tersebut. Kendati demikian teknologi seharusnya memanusiakan manusia.
    Mengenalkan budaya baca di masyarakat adalah satu di antara banyak hal lainnya untuk menghidupkan masyarakat yang produktif. Sebab kita dituntut untuk terus aktif dan bergerak. Menciptakan banyak sumber daya manusia demi kehidupan dan penghidupan di era digital dan globalisasi yang serba cepat ini. Kita sudah terlalu jauh tertinggal dari wilayah-wilayah lainnya. Sudah saatnya menjadi produsen bukan lagi konsumen.
    Kehadiran taman baca, misalnya di alun-alun kota, tentu saja akan disambut baik oleh masyarakat. Atau mungkin menerapkan cara lain, ambil contoh setiap Kepala Desa dilibatkan, dan di satu desa ada satu taman baca atau perpustakaan mini. Kemudian dibentuklah pangurus-pengurusnya di masing-masing teritorial desa itu. Satu hal yang terpenting adalah pengemasannya haruslah menarik. Lebih-lebih bagi anak-anak, remaja hingga para pemuda.
    Boleh dikata, kita adalah masyarakat yang senang didesak. Anggaplah membaca sebagai pembentukan dari kebudayaan yang baru, maka untuk menimbulkan dan melahirkan keinginan membaca adalah dengan cara: dipaksa, lalu bisa, jadi terbiasa dan terciptalah sebuah budaya. Karena harus diakui, mau bagaimanapun, kita adalah masyarakat yang kurang banyak membaca.[]

    Cilegon, 27 September 2015

    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About me

    Photo Profile
    Ade Ubaidil, Pengarang, Cilegon-Banten.

    Pria ambivert, random dan moody. Gemar membaca buku dan berpetualang. Bermimpi bisa selfie bareng helikopter pribadinya. Read More

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: Perangkap Pikiran Beni Kahar

    (AG Publishing | 204 halaman | Rp75.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telat Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: SAHUT KABUT

    (Indonesia Tera | 160 halaman | Rp. 60.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Novel Adaptasi: YUNI

    (GPU | 174 halaman | Rp. 63.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Pengunjung

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Bedah Buku Dee Lestari

    Bedah Buku Dee Lestari

    Workshop & Seminar

    Workshop & Seminar

    Popular Posts

    • [RESENSI] NOVEL: HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (GPU, 2015)
    • Musim Layang-Layang (Pasanggarahan.com, 30 Oktober 2015)
    • [MY PROFILE] Terjerembap di Dunia Literasi: Lahan untuk Memerdekakan Pikiran (Utusan Borneo-Malaysia, 13 Desember 2015)

    Blog Archive

    • ►  2012 (5)
      • ►  October (3)
      • ►  December (2)
    • ►  2013 (41)
      • ►  January (1)
      • ►  March (5)
      • ►  April (4)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  August (1)
      • ►  September (3)
      • ►  October (3)
      • ►  November (16)
      • ►  December (5)
    • ►  2014 (20)
      • ►  January (2)
      • ►  April (3)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  July (1)
      • ►  September (1)
      • ►  November (6)
      • ►  December (4)
    • ▼  2015 (21)
      • ►  February (5)
      • ►  March (2)
      • ►  April (3)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (5)
        • [ESAI] PENTINGNYA RUANG PUBLIK DAN TAMAN BACA MASY...
      • ►  October (2)
        • [ESAI] AYO KEMBALI KE MADRASAH! (Banten Raya, 24 O...
        • [CERPEN] Jejak di Bahu Jalan
      • ►  November (1)
        • Musim Layang-Layang (Pasanggarahan.com, 30 Oktober...
      • ▼  December (1)
        • [RESENSI] NOVEL: HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJ...
    • ►  2016 (31)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  April (2)
      • ►  May (4)
      • ►  June (1)
      • ►  July (2)
      • ►  August (5)
      • ►  September (4)
      • ►  October (5)
      • ►  November (2)
      • ►  December (3)
    • ►  2017 (41)
      • ►  January (4)
      • ►  February (3)
      • ►  March (8)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  June (8)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (3)
      • ►  November (4)
      • ►  December (3)
    • ►  2018 (24)
      • ►  January (3)
      • ►  February (2)
      • ►  March (3)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  November (4)
      • ►  December (2)
    • ►  2019 (16)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (3)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (14)
      • ►  January (1)
      • ►  February (1)
      • ►  March (2)
      • ►  April (1)
      • ►  May (2)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (1)
      • ►  November (1)
      • ►  December (2)
    • ►  2021 (15)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  April (1)
      • ►  May (1)
      • ►  June (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (3)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  December (1)
    • ►  2022 (30)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  May (3)
      • ►  June (5)
      • ►  July (1)
      • ►  August (4)
      • ►  September (3)
      • ►  October (2)
      • ►  November (2)
      • ►  December (7)
    • ►  2023 (38)
      • ►  January (4)
      • ►  February (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (9)
      • ►  November (15)
      • ►  December (4)
    • ►  2024 (3)
      • ►  January (1)
      • ►  March (2)
    • ►  2025 (1)
      • ►  January (1)

    Followers

    youtube facebook Twitter instagram google plus linkedIn

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top