Cahaya Permata (Kumcer: Air Mata Sang Garuda, AG Litera 2013)
September 11, 2013
BERMODALKAN dua puluh enam
huruf, ia mampu membiayai sekolahnya hingga jenjang Perguruan Tinggi. Sejak
tiga tahun silam, sewaktu ia masih duduk di bangku SMA, ia memulai karir
kepenulisannya. Dari sekadar ajang meluapkan hobinya, Intan Nur Afifah yang
memiliki nama pena Cahya Permata itu, kini bisa menghasilkan pundi-pundi
rupiahnya dengan hasil dari peluhnya sendiri, setidaknya untuk tambah-tambah
kebutuhan sakunya.
Nama penanya ia dapatkan dengan mudah, cukup mengartikan
nama tengahnya ‘Nur’, yang berarti Cahaya, serta nama depan, ‘Intan’, yang ia
sama artikan dengan permata.
Beberapa novelnya
pernah menjadi best seller sejak pertama kalinya diterbitkan oleh salah
satu penerbit mayor yang cukup ternama. Meski dilahirkan dari keluarga yang bisa
dibilang serba kekurangan. Namun, Intan mampu merajut kisah pilunya itu melalui
rangkaian kata dan kalimat hingga menjadi sebuah karya yang mampu menginspirasi
para pembacanya. Terlebih, sejak kembalinya sang Ayah kepada Keharibaan yang
Maha Kuasa. Intan berpikir kritis, demi menghidupi kedua adik perempuaannya
yang masih belia dan untuk membantu mengurangi beban Ibunya, karena keadaannya
yang mendesak itulah terpaksa akalnya mesti mampu berputar, tidak hanya berdiam
diri.
Ibunya hanya
sebagai buruh cuci, bisa dibilang, orangtua tunggalnya hanya seorang pembantu
rumah tangga. Sekolahnya hampir terhenti karena kekurangan biaya, namun berkat
kecerdasannya Intan mendapatkan beasiswa ketika
masih SMA hingga lulus sekolah.
masih SMA hingga lulus sekolah.
“Syukurlah, Nak.
Ibu beruntung memiliki anak sepertimu,” puji ibunya sambil mengelus rambutnya
perlahan.
“Tidak, Bu. Aku
yang beruntung memiliki orangtua seperti, Ibu. Yang dengan tulus mau mengasuhku
serta adik-adikku hingga detik ini.” Senyumnya mengembang penuh ketulusan hati.
***
Tiga tahun lebih
telah berlalu, berganti waktu, berganti perilaku. Intan yang pendiam, kini
telah terseret pada arus kemewahan. Sejak buku-bukunya laris manis di pasaran,
ia seolah disulap menjadi selebriti bak bintang film yang berseliweran di
televisi.
Konon, salah satu judul bukunya kini sedang digarap oleh
sutradara terkenal di kota, menjadi sebuah film yang akan disukai para penikmat
drama cinta. Iya, tiga tahun silam, Intan merantau ke Ibukota, meniti karir
kepenulisannya yang sedang menjadi buah bibir di tengah masyarakat.
Pernah suatu masa,
Ibunya meminta ia untuk kembali ke desa, menemaninya serta kedua adiknya yang
beranjak remaja.
“Sudahlah, Bu. Aku
janji akan pulang ke Desa, dan mengajak Ibu untuk tinggal bersamaku di Kota,
tenang saja!” sahutnya ringan dari ujung telepon.
“Tidak, Nak. Ibu
tidak ingin tinggal di Kota, biarkan Ibu dan adik-adikmu tinggal di sini, kami
sudah merasa nyaman, kok. Hanya saja, ibu inginkan kamu tinggal lagi bersama
kami, di desa, Ibu merindukanmu, Tan!” lirihnya dengan suara yang gemetar.
“Sudahlah, Bu.
Biarkan Kak intan tinggal di sana, mungkin dia tidak ingin kita ganggu, dia
‘kan sedang sibuk dengan urusannya,” ucap Andin adik pertamanya menenangkan,
“Lagi pula, ibu ‘kan sedang sakit, sudah tak perlu memikirkan sesuatu yang malah
nantinya membuat Ibu bertambah stres, Ibu mesti banyak istirahat!” imbuhnya
mengingatkan.
“Sudah, ya, Bu. Aku
sedang ada urusan dengan proyek film yang mengangkat karyaku, ini kesempatanku,
Bu. Aku tidak ingin menyia-nyiakannya,” Ucapnya antusias, seolah mengabaikan
perasaan rindu yang mendera hati ibundanya.
Air mata menetes
menyiram wajah keriputnya. Batuknya yang semakin menjadi, menambah sesak
pernapasan di kerongkongan tenggorokannya. Tak heran jika hampir dua minggu
terakhir, ibunya jadi tidak nafsu makan. Kedua anaknya yang cemas, selalu
memaksa ibunya untuk makan dan menyuapinya dengan tulus. Karena mereka takut,
akan kehilangan orang tua satu-satunya yang membesarkannya sampai sekarang.
Mereka bangga dengan kesuksesan kakaknya, namun, di sisi lain mereka kesal akan
sikapnya yang dingin serta menomor-duakan keluarga, dibanding kerjaannya, meski
kebutuhan sehari-hari kini meraka merasa dicukupi oleh Intan yang tidak pernah
absen mengirimi uang tiap bulannya melalui ATM Ibunya.
***
Hari ketiga jumpa
fans pun sebagai hari terakhir di salah satu kafe ternama di Ibukota.
Benar-benar sebuah kenyataan yang tidak pernah Intan duga
sebelumnya. Jalan hidup yang menyenangkan dalam pandangannya kini tengah ia
jalani. Sungguh sulit dipercaya, katanya dalam hati. Antrian panjang lurus
berbanjar ke belakang, mungkin ada juga yang sampai bermalam di cafe itu, hanya
demi mendapatkan tanda tangan serta bisa foto bersama sang penulis idolanya
yang saat itu tengah menjadi “Rising Star”.
Tepat pukul 08.00
pagi, jumpa fans dibuka kembali. Berjubel pengunjung tak terelakan, bahkan
sempat ada yang hampir baku hantam, karena hal sepele dan salah paham, seperti
hari-hari sebelumnya.
Intan duduk di
kursi kehormatannya, dengan senyum simpul menghiasi wajahnya nan ayu. Lelah yang
ia rasakan, seolah hilang saat melihat antusiasme para fansnya yang rela
datang, demi untuk bertemu dengannya. Satu-persatu fans maju bergantian, dengan
pengawalan bodyguard yang menjaga keamanan situasi.
Nada dering ponsel
Intan, tak henti-hentinya berbunyi. Sesekali ia lihat dari siapa panggilan itu,
dan rupanya itu dari Andin, adik pertamanya. Karena jengkel, ia mematikan
ponselnya. Lama ia menonaktifkan ponselnya. Tiga jam sudah berlalu, dan waktu
istirahat pun tiba. Ia mencoba mengaktifkan lagi ponselnya. Masuk sebuah pesan,
yang tertera nama Andin, sekitar dua jam yang lalu.
“Kak Intan, maaf.
Mungkin aku tadi mengganggu aktifitas kakak, sampai kakak tidak mau menerima
telepon dariku, tetapi ada yang ingin aku sampaikan kepadamu, yang selaku
kakakku. Ibu sedang sakit di desa, dan sudah hampir satu bulan belum juga
membaik. Jika kakak ada waktu luang, tolong sempatkan menjenguk ibu. Dengan
sangat berharap kakak bisa segera berkunjung ke rumah ini.” Pesannya penuh
pengharapan, namun Intan membalas dengan sangat singkat.
“Iya, tapi aku
sedang sibuk. Salam saja pada Ibu, semoga cepat sembuh.”
“Kak Intan!” Tegur
seorang fans.
“Hai!” Ia memasang
paras bahagianya lagi. Ia geletakkan ponselnya di atas mejanya.
“Gak
nyangka, aku bisa bertatap muka langsung dengan Kakak. Aku fans beratmu, Kak!
Kakak adalah penulis favoritku,”
“Terima kasih, ya,”
“Tahu gak,
Kak. Aku dari kemarin lo ada di kafe ini, Aku bela-belain demi untuk bertemu
langsung dengan Kakak. Aku dari Banjarmasin, jadi Aku tidak pulang dari
kemarin, terpaksa deh, Aku menginap di sini,” tawanya ceria, seraya
menjelaskan hal yang tanpa ada yang memintanya.
“Wah, terima kasih
banyak, ya. Kamu masih sekolah? Kelas berapa?” tanyanya mencairkan suasana.
“Ya, Aku masih
sekolah. Kelas 2 SMP. Aku ke sini bareng teman-temanku, he-he-he... kita bolos
bersamaan,” ujarnya polos, diiring tawa sipunya.
“Wah, jadi merasa
bersalah. Oh, ya, berarti kamu seumuran dengan adikku...” sejenak ia
menghentikan ucapannya.
“Kak, minta tanda
tangannya dong, di sini,” sambil menyodorkan salah satu buku karya Cahya
permata. Selesai itu, gadis polos itu pun meminta foto bersama. Namun,
tiba-tiba orangtuanya datang menjemput.
“Shena! Astaga...
Ibu mencarimu dengan Bapak. Tahunya kamu ada di Jakarta. Sudah tiga hari kamu
tidak pulang, ibu khawatir, Nak, dengan keadaanmu. Kenapa tidak mengabari Ibu
jika ingin menghadiri acara ini, kan Ibu bisa antar. Jakarta-Banjarmasin itu
jauh lo, untung saja temanmu memberitahu Ibu!” ucap seorang ibu berbadan besar itu
cemas.
“Maaf, Bu. Habis
waktu Aku mau berangkat kemari, Ibu tidak ada di rumah,” jawabnya menyangkal.
“Maaf ya, Bu.
Mungkin ini juga salahku, jadi anak Ibu melakukan itu!” ucap Intan merasa
bersalah.
“Oh, tidak apa-apa.
Ini bukan salah Mbak, kok. aku senang jika anakku ada di acara ini, dia
banyak cerita tentang, Mbak Intan. Hanya saja dia tidak pamit denganku.” Sambil
menunjuk anaknya.
Percakapan mereka terpaksa disudahi, karena bodyguard
mulai menyuruh mereka turun dari panggung itu, sebab saat itu masih jam
istirahat dan antrian semakin ramai.
“Sekhawatir itukah
seorang ibu? Padahal baru tiga hari, namun dia rela mencari anaknya dengan
susah payah. Aku jadi merasa bersalah dengan tingkahku,” katanya, “Ada apa
denganku? Ibu yang benar-benar merindukanku, tapi malah aku abaikan. Bahkan sampai
adikku mengabari bahwa ibu sakit, aku pun masih membiarkannya, malah memilih
profesiku yang akhirnya benar perkataan Andin, aku seolah menomor-duakan
keluargaku.” Intan mulai terdiam, ia izin sebentar untuk keruangannya. Air
matanya membuat wajah penuh make-up-nya itu berantakan. Raut penyesalan
terlukis jelas tanpa bisa ia sembunyikan lagi.
“Bodohnya diriku,”
Ia memaki diri sendiri. “Aku ini wanita, mau bagaimanapun aku pasti akan menjadi seorang ibu. Merasakan
apa yang ibuku kini sedang rasakan. Mengapa jiwa ini tertutupi dengan
kemewahan, keglamoran dengan kejayaan yang malah membutakan mata hatiku.
Maafkan aku, Bu. Maafkan aku, ya Allah. Aku anak yang tidak tahu diri, tidak
tahu terima kasih. Tanpa Ibu, mungkin aku tidak ada di sini, merasakan kegemilangan
yang luar biasa.” Tangisnya pecah membanjiri wajahnya.
***
Sehari setelah itu,
Intan segera berbenah diri. Ia mengambil keputusan yang orang lain tidak
menyangkanya. Intan memutuskan untuk kembali tinggal di desa, bersama keluarga
tercintanya. Keputusannya sudah bulat, bahkan tawaran untuk membintangi film
yang mengadaptasi cerita dari novelnya, sebagai peran utama, ia tolak. Kini Intan
mencoba menjadi Intan yang dahulu. Wanita desa, yang penuh pendirian dan
komitmen.
Pekerjaan wanita
yang paling mulia adalah melayani keluarga dan suaminya kelak. Menjadi Ibu
rumah tangga adalah tujuan akhirnya kini. Ia berjanji akan mengabdikan hidupnya
untuk keluarga, dan calon pendamping hidupnya nanti. Cita-cita sebagai wanita
karir yang sukses dan populer, seolah ia simpan dalam kotak kayu,
membungkusnya, lalu menimbunnya dengan seuntai penyesalan.
Kedatangannya di
sambut meriah dengan Ibu serta kedua adiknya. Mereka mengiyakan keinginan Intan
untuk kembali menetap bersama di desa yang penuh aroma kenyamanan.
Meski begitu, Intan
tidak meninggalkan dunia literasi yang sudah pernah membesarkan namanya, hanya
saja ia mengurangi porsinya antara sebagai penulis dan selebriti. Intan hanya
ingin berbagi pengalaman melalui karyanya, dan berharap dapat terus menginspirasi
para pembaca setianya. Ia hanya ingin kembali menjadi sosok Intan Nur Afifah
yang dahulu, bukan sebagai Cahya Permata yang ‘pernah’ menimbun hati nuraninya
dengan keglamoran duniawi belaka.[]
0 komentar