Serigala Berbulu Domba (Kumcer: Tuan Bahaya, FAM Publishing, 2013)
September 28, 2013
Safira sudah
bulat dengan niatnya. Satu demi satu pakaiannya ia kemas dalam koper
peninggalan mendiang Bapaknya. Tangisan ibunya di depan pintu kamar tiada ia
hiraukan. Tak sedikit pun ia menoleh, menatap wajah cemas ibunya yang sejak
malam tadi sudah tidak merestui keberangkatannya. Inah—nama ibunda Safira,
telah memohon supaya anaknya itu membatalkan keberangkatannya untuk menjadi
seorang Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Saudi Arabia. Namun, tekadnya sudah membulat,
ia bersikukuh untuk tetap mengiyakan tawaran temannya itu yang sudah lebih
dahulu berangkat lusa kemarin.
Ditariknya resleting
koper itu dengan amat tergesa-gesa. Wajahnya seketika kalut, ketika
mendapat pesan dari Wiwin—salah seorang teman TKW-nya yang memberitahukan bahwa
siang itu pesawat sudah siap berangkat ke Arab Saudi. Ia menatap sekilas mata
ibunya yang sembab, akibat tangisnya sejak malam tadi yang tak kunjung henti.
Inah sesungguhnya tak habis pikir, apa yang ada dalam benak anak semata
wayangnya itu. Apa pun yang ia minta selalu dituruti, meski keterbatasan
ekonomi terkadang menjadi salah satu faktor penghambatnya.
“Kenapa tidak
dari tadi kamu pergi, dasar anak tidak tahu diuntung!” Suara berat itu
mengiringi langkahnya.
“Aku tidak paham
maksud, Bapak?”
“Sudah, pergilah,
dan jangan pernah kembali!” Seruannya mengusir. Tanpa memandang Safira, ia
melanjutkan membaca koran di ruang tamu dengan ditemani secangkir kopi hitam. “Biarkan
aku mencari pembuat kopi hitamku sendiri, jika memang kamu ingin pergi, silakan
saja!”
Inah tidak tahu
harus berpihak kepada siapa, sebab ayah tiri Safira terus saja mengoceh. Inah
mencegah laju Safira. Pintu depan ia kunci rapat-rapat. Kedua tangannya
meregang lurus, menghadang langkah kaki anaknya.
“Sudahlah, Bu.
Pesawat sudah mau berangkat, jangan halangi Aku,” Wanita berkerudung hijau muda
itu mencari celah. Namun, ibunya terus saja berusaha menghalang-halanginya.
“CUKUP! Ibu
lelah denganmu, Ra. Kaupikir Ibu lakukan ini untuk siapa, hah? Kulakukan semua
ini demi kebaikanmu, Ra. Katakan, apa yang membuatmu ingin menjadi seorang TKW?
Apa kamu tidak pernah menonton televisi? Lihat, mereka banyak yang mendapatkan
perlakuan sewenang-wenang, pelecehan, bahkan sampai pembunuhan. Apa yang ada
dalam benakmu, Nak? Katakanlah!” ceracau Ibunya.
“Sudah
pidatonya, Bu?” ucapnya arogan, “Awas, Bu. Nanti Aku bisa terlambat!” ia
menghempaskan tubuh ibunya ke arah samping. Ibunya meraih tangan kanan anaknya.
Safira meronta-ronta, berusaha melepaskan genggaman erat sang ibu.
“Lepaskan saja,
Bu. Biarkan Dia pergi. Aku tak sudi berbicara dengan anak yang tidak tahu malu,
hatinya sudah terkunci,”
“Terserah! Lagipula,
Aku bukan anakmu, Bapakku sudah lama wafat!” Safira menoleh ke arah Ayah
tirinya. Seketika hantaman keras menyentuh pipinya. Memerah!
“Ini, tamparanmu
yang terakhir kalinya, ingat itu!” ucapnya bersumpah. Kuncian tangan ibunya
melemah, napasnya tersengal. Ia tidak kuat melihat pemandangan yang sulit ia
terima. Asmanya kambuh, namun Safira tetap berlalu dengan koper besar, tanpa
menghiraukan keadaan ibunya.
***
Hampir tiga
bulan sudah ia menetap di Arab saudi—rumah majikannya. Ucapan kedua orangtuanya
sejauh ini belum terbukti, begitu dengung hatinya. Ia menganggap perlakuan
majikannya benar-benar baik selama kedatangannya di sana, bahkan disambut hangat
olehnya.
“Aku
merindukanmu, Bu...!”
nuraninya berbisik.
“Aku rindu
Safira, Pak. Apa ia baik-baik saja, di sana?”
“Semoga saja,
Bu. Kita harus banyak berharap. Aku coba hubungi ponselnya, tetapi tidak ada
jawaban, mungkin ia masih marah denganku. Anak kok, ora weruh dieman toh, Bu,
bingung Aku,” jawabnya dengan campuran bahasa jawa yang kental khas
Semarang.
Ayah kandung
Safira meninggal saat ia berusia delapan. Sudah hampir sepuluh tahun dari
usianya ia menjadi anak yatim. Lalu, beberapa bulan terakhir, ibunya di
persunting oleh Pak Zaka—yang menjadi Ayah tirinya kini, yang hanya seorang
petani di desanya.
Memang, Safira hanya tamatan SMA, dan
itu belum genap satu tahun. Namun, entahlah, apa yang mendorongnya ingin
menjadi seorang Pahlawan Devisa, padahal tidak sedikit yang bernasib tragis dan
kurang beruntung.
***
Sudah hampir menginjak
delapan bulan, Safira tidak mengirimi kabar kepada kedua orangtuanya. Mereka
semakin cemas akan keadaan anaknya di negara orang lain itu. Terlebih negara
penghasil minyak tersebut, tersiar kabar bahwa majikan-majikan di sana kurang
bersahabat dan selalu anarkis terhadap pembantu-pembantunya; TKI. Hampir seusai
dari melaksanakan salat, ibundanya selalu memohon perlindungan untuk anak
satu-satunya itu yang amat ia kasihi.
Ya Allah Ya
Gofuur
Sungguh tiada
daya dan upaya untuk hambaMu yang Dhoif ini
Sungguh pun
hamba adalah orangtua yang berdosa,
tiada mampu
menjaga amanah dariMu dengan baik...
Maka ampunilah
Hamba, lindungilah kami, dan juga Anak kami, Safira... Aamiin!
***
Drttt... drrrtt...
drrttt
Ponsel Safira bergetar di meja yang baru
saja ia rapihkan. Sebuah pesan dari Wiwin, teman satu perjuangannya yang juga
mendapatkan majikan di negara yang sama.
Ra, ada berita
penting!
Bunyi pesan dari Wiwin, membuat Safira
terperanjat sekaligus bingung tentang maksudnya.
Berita tentang
apa?
Balas Safira cepat.
Obrolan mereka
berpindah ke perbincangan langsung melalui sambungan telepon. Mata Safira
membulat saat mendengar kronologi yang sebenarnya tentang pengiriman ia sebagai
Tenaga Kerja Wanita di Arab Saudi.
“Iya, Ra. Aku
berkata benar. Sungguh aku pun tak percaya ketika Santi teman kita yang di
pekerjakan di Malaysia bercerita begitu. Bahwa agen TKI yang mengirim kita
kemari adalah agen dari perusahaan ilegal, mereka bukan agen resmi yang
dinaungi pemerintah...,” ia menghela napas kuat-kuat dari ujung telepon.
“Halo, Win...,
Kamu masih di sana?” ucapnya cemas, karena suara Wiwin menghilang tiba-tiba.
“Satu hal yang
paling membuatku semakin bergelinjat ketakutan, Ra. Agen dan jasa dari TKI itu
mengirim kita pada majikan yang sebenarnya masih bekerjasama dengan agen terselubung
itu. Mereka akan memutilasi korbannya, yaitu kita (TKI), lalu menjual
organ-organnya pada bisnis yang sedang mereka jalankan,” ucapnya berbisik di
dapur rumah majikannya. Ia takut majikannya yang berjanggut lebat dan tinggi
besar mendengarnya, meski sebenarnya majikannya tidak sepenuhnya mengerti
bahasa yang ia gunakan.
“Kamu terlalu
mengada-ada,Win. Majikanku fine-fine saja, kok. malahan dia begitu baik
menerimaku selama hampir 8 bulan ini,” Ia tak percaya, sambil mengelu-elukan
kebaikan majikannya.
“Majikanku pun
begitu, Ra. Perlakuannya amat manis kepadaku, seolah aku tidak seperti seorang
pembantu. Tapi tahukah kau, Ra, mereka berlaku begitu karena memang menginginkan
organ kita sehat dan segar, supaya nantinya bisa ia jual dengan harga mahal.
Santi saksinya, Ra. Itu mengapa ia sekarang pindah agensinya ke Singapura,
karena ia tahu agen yang pernah mengirimnya ke Malaysia itu ilegal, dan agen
itu pun yang mengirim kita ke Arab ini. Santi sudah hampir 7 tahun menjadi TKI,
wajar saja jika ia tahu belangnya tentang seluk-beluk bisnis agen pengiriman
TKI itu,” terangnya jelas.
Tuut...
tuuut.... tuuuuttt
Sesaat sambungan
teleponnya terputus. Bunyi derap pintu menakuti Safira. Suaranya memecah hening
di ruang tamu yang sedang ia tempati. Pria bertubuh gempal, dengan sorban
melingkari kepalanya yang juga besar. Wajah bengis, serta jenggotnya yang
memenuhi dagunya menambah ketakuan Safira. Yang tak lain ia adalah majikannya.
Keringat dingin menyiram hampir sekujur tubuh Safira, saat ia melihat
majikannya membawa sebilah pedang. Benaknya berlari tentang obrolannya barusan
dengan teman seprofesinya. Lebih-lebih saat melihat darah segar masih mengalir
dari pedangnya yang terlihat merah legam.
“Apa mungkin itu
darah Aisyah?”
duganya membatin, mengingat seorang temannya dari Malaysia yang lebih awal
kerja di rumah mewah dan besar itu. Memang ia belum sempat mengabari berita
dari Wiwin itu kepada Aisyah.
Orang arab itu
mempercepat lajunya. Safira berdiri menatapnya ketakutan. Ia berjalan mundur
saat majikannya semakin mendekati tubuhnya. Saat itu juga Safira membenarkan
kisah Wiwin yang diceritakan kepadanya. Terlebih majikannya berujar, “Saufa
aqtulki, saufa aqtulki!!!1” berulang kali pria besar itu
berbicara seperti itu kepada Safira, menambah jantungnya berdegup semakin cepat.
Safira sempat
berlari menuju kamarnya, ia kemasi pakaian yang ada di lemari; sekenanya.
Segala apa pun yang ia miliki segera diraih dan memasukkannya dalam koper
tuanya. Pria itu menggedor-gedor pintu yang sebelumnya ia kunci rapat. Namun
tidak sulit baginya, karena majikannya menyimpan kunci serep kamarnya itu.
Terbukalah dengan mudah pintu itu, jendela yang setengah terbuka menjadi
satu-satunya jalan keluar dalam pandangannya. Jilbab lebar berwarna biru muda
yang melingkar di kepalanya itu sempat menghambat lajunya, karena tersangkut
engsel jendela. Ia memaksakannya, dan ujung jilbabnya robek, namun ia berhasil
keluar dari kandang singa itu.
Helaan napas
panjang mengiringi langkahnya. Tangisnya pecah sepanjang jalan, tak peduli
dengan orang di sekelilingnya yang memerhatikan dia. Ia merasa bersalah akan
perbuatannya yang tidak mendengarkan ucapan kedua orangtuanya. Bahkan ia sempat
berpikir, lebih baik membuatkan kopi kesukaan Ayah tirinya ketimbang mengabdi
kepada orang gila yang tidak memiliki hati nurani itu. Matanya sembab kemudian.
Air bening yang berlinang di wajahnya tiada henti. Pandangannya selama ini
berubah tentang hidup seorang TKI. Selama ini ia melihat kesuksesan orang-orang
yang tinggal di desanya yang berprofesi sama dengannya—itulah alasan ia ingin
menjadi seorang TKI. Hatinya mengangguki ucapan bibir Ibunya. Terlebih
kekurangan ilmu pengetahuannya tentang agen dan jasa pengiriman tenaga kerja ke
luar negeri yang ternyata masih banyak yang tidak amanah, bahkan belum memiliki
izin dari pemerintah. Ia terus menerus menyalahkan diri sendiri karena
keteledorannya itu. Namun ia pun bersyukur bisa terlepas dari cengkeraman
majikan gilanya itu. Safira berniat akan segera mengabari Wiwin dan kawan
lainnya setibanya di tempat yang dirasanya aman dan jauh dari jangkauan srigala
berbulu domba, yang tak lain adalah majikannya sendiri.[]
Ket: *Saufa aqtulki!1 = Aku
akan membunuhmu!
*Cerpen ini aku dedikasikan untuk para TKW/TKI Tanah Air
*Cerpen ini aku dedikasikan untuk para TKW/TKI Tanah Air
Salam senyum, salam semangat^^
Ade Ubaidil
FAM1198M, Cilegon
0 komentar