[Cerpen] Seni Hidup Lelaki Bujang (Kibul.in, 20 Maret 2018)

March 26, 2018

image by: kibul.in
Di usia ke-27 saya dipaksa khawatir soal pernikahan. Bagi saya, dewasa bukan soal angka. Dan kalau menikah dianggap tanda dari fase kedewasaan seseorang, saya lebih baik ke Timbuktu saja, menemani Donald Bebek yang, meski cerewetnya minta ampun, ia masih lebih baik ketimbang bacot tetangga yang gemar bertanya, “kamu kapan nikah?” atau “kapan nyusul?”—yang kecepatannya bisa melebihi cahaya ketika hari lebaran tiba.
Saya ingin cari angin segar, kata saya sebelum ibu bertanya, “mau ke mana?” seperti biasanya. Kunci saja, saya bawa duplikatnya, susul saya sebelum resmi menutup pintu dengan rapat—dan sebelum pertanyaan kedua ibu mencuat.
Ini malam ketiga saya ada di rumah, dan tiga kali pula saya menemukan sepah buah seri bergelimpangan di terasnya. Mulanya saya kira bulatan tak sempurna yang tak lebih besar dari kancing baju itu adalah tahi wirog atau kambing atau keduanya. Namun lima menit sebelum magrib tadi, saya ingat betul waktunya lantaran sedang menonton bokep yang sialnya gagal orgasme di menit akhir, ibu mengetuk pintu kamar saya. Saya hanya ber-hmm agak keras dari dalam. Untungnya ibu tidak memaksa saya membuka kunci pintu saat itu juga—sebab akan sangat merepotkan ketika tubuh bongsor saya harus mencari ke mana sempak dan kolor yang tadi saya lempar, di belantara kamar saya.
Kemudian ibu berkata sedikit lantang dari luar, “besok pagi tolong perbaiki atap depan. Codot sudah mulai bersarang lagi di sana. Ibu capek membersihkan lantai, apalagi sepah seri yang lengket itu.” Saya menduga kalau ibu masih akan terus berdiri di sana sebelum saya ber-hmm untuk kedua kalinya..., oh tidak, maksud saya tiga kali, sebab kalimat berikutnya menyusul, “mandi sana. Sebentar lagi magrib. Solat, Run, kamu sudah besar.” Saya yakin setelah bicara begitu ia kembali duduk di depan televisi sambil menunggu acara dangdut dimulai. Lagi pula, sejak kapan ibu melihat badan saya kecil?
Setelah tahu di lantai itu ternyata sepah seri, saya menendangnya sekalian. Sial betul codot yang masih sepupuan dengan kampret itu. Dia yang dapat manisnya, saya yang dapat sepahnya. Mana bisa tubuh tambun begini menaiki atap, Bu. Saya jadi semakin yakin seseorang yang membuat pribahasa, “habis manis sepah dibuang” mengalami hal yang sama seperti saya; bertubuh besar, disuruh ibunya memperbaiki atap, dan sebelum melakukannya ia menendangi sepah di lantai sebanyak lima kali sambil meratapi dirinya yang baru ditinggal mantannya menikah.
Ya, kalau kau ingin tahu alasan saya pulang ke rumah, selain karena uang habis, tak lain karena Ardhelia menikah. Sekuat-kuatnya lelaki, ketika mendengar kabar orang yang masih disayanginya dipersunting lelaki lain, tentu hatinya akan hancur. Apalagi terlalu banyak kenangan di indekos dengannya, saya belum sanggup untuk kembali ke sana. Saya perlu menata hati, ya, paling tidak sampai ada panggilan kerja dari salah satu perusahaan yang kemarin saya ajukan lamaran.
“Hi, kawan lamaku, lesu betul kayak tisu kesiram aer.” Sungguh suara seseorang yang ingin saya hindari bahkan sebelum saya dilahirkan. Lebih-lebih mendengar tawanya itu yang mirip suara tikus di loteng yang terjepit genting.
“Oi, Man...,” saya menoleh, lalu tertawa ala kadarnya. Si muka bopeng itu malah berjalan mendekat.
“Minggu depan bantu-bantu, ya.”
Saya hanya ber-hmm ditambah sedikit anggukan.
“Kapan, nih, nyusul?” Si keparat tampak ingin belaga. Kalau saja saya habis menenggak bir dua botol, pasti sudah saya jotos hidung babinya itu. Tapi toh, saya memilih diam. Sesekali berusaha menghindar dari rangkulan badannya yang menguarkan bau kakus terminal yang sebulan belum disiram.
“Aku kok, masih heran, ya. Bisa-bisanya Sandra mau aku nikahi, padahal kata teman-teman aku ini jelek, kamu lebih sering bilang gitu, kan?” ia terbahak sembari memberi bukti kalau barisan gigi kuningnya mengalahkan warna kecapi matang.
“Kau akan disebut lebih beruntung kalau Makhsi mantannya tak membunuhmu sebelum pernikahan,” kata saya sedikit menciutkan nyalinya.
“Kamu ada masalah, apa, toh? Mana mungkin Makhsi berani sama Herman anak Lurah Hasan. Punya apa dia?”
“Paling tidak, sekarang kau sudah bisa menjawab pertanyaanmu sendiri,” ucap saya enteng. Ia tampak tersinggung.
“Ah, gayamu, Badrun,” dengusnya kesal. “Omong-omong, sudah kerja apa sekarang? Eh, tunggu, sarjana sastra biasanya kerja apa, sih?”
Kalau saya jawab secara serius, ia pasti tidak akan paham. Kalau saya jawab bercanda pun ia pasti mengira saya sedang serius. Satu-satunya meladeni orang sepertinya adalah dengan, “Warung kopi Mang Mahdum, yuk. Kita lanjut ngobrol di sana. Sudah lama aku tidak ditraktir anak Pak Lurah,” kelakar saya menggamit bahunya, dengan sedikit lebih keras.
“Ditanya apa jawab apa. Kamu duluan saja, aku masih ada urusan. Maklum, seminggu lagi nikah. Banyak hal yang harus disiapkan,” tangkisnya seperti biasa. Herman, sejak saya kenal di bangku SD, dia satu-satunya anak yang tidak mau berbagi apa pun. Kami menjulukinya kepiting, tentu tanpa sepengetahuan dia. Dan kalau saya pikir lagi, kepiting terlalu mewah untuk disandingkan dengannya.
Pertama, ia jalannya rada miring, itu benar secara harfiah, karena kakinya pernah terserempet sepeda motor dan pelakunya baru keluar penjara setelah sepakat membayar upeti setiap bulan pada Lurah yang katanya punya kenalan banyak polisi itu. Kedua, ia juga senang “mencapit”. Kalau saya pinjam bahasa ibu, ia termasuk anak yang memen atau kerahang atau pengenan. Apa yang orang lain makan ia selalu minta. Kami para temannya tahu ia diberi jajan yang lebih, tetapi meditnya minta ampun, bahkan untuk dirinya sendiri. Kalau kau pernah lihat sekerumunan kepiting ditaruh dalam ember, kau akan tahu apa maksud saya. Ketika mereka hendak keluar dan menyelamatkan diri, pasti satu atau dua kepiting di bawahnya akan menyeret dan menariki kaki kepiting yang sudah sampai di puncak.
Itu yang yang pernah dilakukan Herman sewaktu saya dan beberapa teman hendak kabur saat jam pelajaran dulu. Rosyid korbannya, dan sejak saat itu ia bersumpah setelah lulus tidak akan lagi mengenalnya. Kalau saja ada program komputer yang bisa menghapus ingatan soal itu, ia pasti yang baris paling depan untuk memakainya. Rosyid saat itu sudah ada di atas tembok pagar. Herman, yang tanpa kami ajak ternyata ikut keluar kelas. Ia menarik-narik kaki Rosyid dan memintanya untuk dibantu naik. Lantaran kesal, Rosyid menendang-nendangi mukanya. Saya dan Aji yang sudah ada di luar pagar sebelum lonceng masuk, tertawa terbahak-bahak. Dan bagian ketika sepatu Rosyid mengenai lobang hidung Herman-lah yang tidak pernah kami lupakan. Bagian terbaiknya!
Nah, yang membuat saya tidak sepakat adalah pada poin ketiga ini; kepiting saat dijual di restoran-restoran atau warung makan sea food pinggir jalan, ia memiliki harga jual yang cukup tinggi ketimbang jenis lauk lainnya. Lah, si Herman, siapa pula yang mau menawar harga tinggi untuknya andai ia dijual di pasar loak sebelah pasar Kranggot sana? Ada yang menanyai harganya saja sudah prestasi. Jadi, maksud saya bicara begini agar kalian tahu kalau alasan Sandra mau menikah dengannya hanya karena Herman anak satu-satunya Pak Lurah. Cukup diracun ketika hendak ngewe malam pertama saja, orang tuanya pasti tidak akan curiga—barangkali malah bersyukur. Dan Sandra, sudah mengantongi mahar yang lumayan mahal yang konon dimintanya sebelum dilamar.
Saya biarkan Herman berbelok ke gang menuju rumahnya. Urusan apa, bullshit. Palingan dia cuma mau tidur sambil ngocok dan memandangi foto Sandra yang bohai itu. Kadang saya miris sekaligus merasa lucu, orang-orang seperti Herman, yang terlahir dari keluarga kaya, apa tidak bosan menjalani hidupnya? Hidup adalah perjuangan, mungkin sebaris kalimat motivasi itu tidak pernah ia rasakan. Sekolah hasil nyogok—karena otaknya mentok dan ia menolak tidak mau lanjut kuliah—, kerja di perusahaan besar pakai orang-dalem, dan hanya untuk gaya-gayaan, lalu apa pun yang dimintanya selalu dituruti. Hidup, kok, mudah betul. Kasian sekali, kau, Herman!
“Kopi hitam satu, Mang.”
“Pakai gula?”
“Nggak usah, Mang. Pahit aja.”
Bertemu orang-orang seperti Herman-lah yang membuat saya tidak betah lama-lama di kampung. Lagipula untuk apa terburu-buru menikah? Tetapi herannya, di kampung, teman lelaki seusia saya hampir semuanya sudah menikah bahkan sudah punya dua anak. Orang macam dia, di pikirannya barangkali hanya soal ngewajang, selangkangan, pamer kekayaan, adu gengsi dan mengukuhkan, “gue bisa elu kagak!”. Ketika saya mendapati informasi kalau negara lain berkompetisi dalam ilmu pengetahuan, di kampung saya malah berkompetisi soal pacar atau istri siapa paling bahenol.
“Ini, Run, kopinya.”
“Nuhun, Mang.
Mang Mahdum kembali ke dapur. Lalu terdengar suara piring dan gelas saling beradu, juga suara air dari keran. Malam sepekat kopi. Sedang dinginnya sedingin hati saya yang gamang. Tiba-tiba pertanyaan Herman tadi menyeruak di benak saya. Sial! Ibu juga sering bertanya apa kerjanya seorang sarjana sastra? Guru, bapak lekas menjawab di dalam kepala saya. Sewaktu bapak masih hidup, ia yang paling mendukung. Sialnya ia meninggal sewaktu saya di semester lima. Bukan meninggalnya yang membuat saya sedih, tetapi biaya dari mana untuk melanjutkan semester berikutnya? Ibu hanya pedagang kecil-kecilan. Ia membuka warung di depan rumah. Bapak yang seorang guru honorer tidak mendapatkan pesangon, selain sumbangan belas kasihan dari teman sepekerjaan. Saya harus putar otak untuk bisa membiayai kuliah. Beruntung ada seorang kawan di perantauan yang mengerti keadaan saya. Ia menawari saya pekerjaan sebagai editor buku di penerbitan kecilnya. Lumayan. Paling tidak saya bisa membuktikan kalau saya bisa lulus dari hasil jerih payah sendiri, melanjutkan biaya yang ditanggung bapak dan ibu di awal masuk kuliah.
“Kamu masih kerja di temanmu itu?” pertanyaan ibu tiga hari lalu.
“Sudah lama berhenti, Bu.”
“Kenapa?”
Saya berjalan menuju kamar setelah melepas sepatu. “Bangkrut kantornya, Bu. Saya, ya, nulis-nulis saja di koran,” terang saya secukupnya.
Lamunan saya buyar ketika dua orang datang ke warung kopi dengan tergopoh-gopoh.
“Lihat orang lewat sini, nggak, Mang?”
“Kalau pun saya lihat, saya nggak ingat mukanya, Mang, dan nggak peduli juga, sih,” kata saya malas.
“Bawa motor?” susul Mang Mahdum, “kalau Mamang, sih, tadi lihat bolak-balik depan warung. Dua orang boncengan. Kayak orang nyasar, tapi nggak tahu lagi terus ke mana.”
“Wah, benar, itu dia orangnya!”
“Ada apa gitu, Mang?” tanya Mang Mahdum. Sementara saya lihat dari gang rumah Herman orang-orang tampak tergesa-gesa, saling celingungan dan setengah berlari.
“Teror, Mang, teror! Ada yang nggak seneng sama Si Herman. Pulang-pulang dia babak belur, Mang. Ada yang cegat dia di jalan.” Setahu saya dari gang yang tadi Herman lalui, untuk sampai ke rumahnya tidak terlalu jauh. Tetapi sebelum rumah Pak Lurah memang ada jalan kecil dan pohon-pohon besar; semi-hutan. Khas perkampungan tempo dulu. Saya tidak mau terlibat percakapan lebih jauh dan tak peduli soal kontur wajah Herman bonyok atau rahangnya hancur. Justru saya berharap itu akan mengubah presisi wajahnya agar lebih enak dipandang.
“Kamu benar nggak ngelihat siapa-siapa, Run?” seseorang lainnya menepuk bahu saya.
“Soalnya Herman cerita kalau dia habis ketemu kamu sebelum gang itu,” pria satunya menyahut. Heran, sudah berapa lama saya tidak pulang kampung sampai banyak wajah yang asing di mata saya.
“Sudah saya katakan, saya tidak tahu. Tak peduli,” saya bangkit. “Berapa, Mang?”
“Tiga ribu,” sahut Mang Mahdum.
“Ini, Mang. Nuhun.” Kemudian saya memilih untuk menjauhi kerumunan. Mengganggu saja!
Saat jalan pulang, ponsel saya berbunyi. Sebuah pesan singkat masuk. Tertulis namanya Rosyid. Saya sedikit lupa Rosyid yang mana. Lalu saya buka pesannya, “Run, saya sedang di depan rumahmu, nih. Keluar dong. Mau mampir. Saya berdua sama Makhsi!” Seketika saya ingat, ia ternyata yang tadi saya ceritakan, Rosyid yang pernah dicapit Herman saat SMA dulu. Tak biasanya ia datang bersama adiknya. Akhirnya ada kawan untuk berbincang, ucap saya senang. Saya berjalan lebih cepat, tak sabar ingin menemuinya.[]

Cilegon, 06 Januari 2018


You Might Also Like

0 komentar