Pages

  • Home
  • Privacy
  • Sitemaps
  • Contact
  • [PROFIL] TENTANG ADE UBAIDIL
facebook instagram twitter youtube

Quadraterz.com

    • My Book
    • Cerpen
    • Novel
    • Esai
    • Puisi
    • Buku Antologi
    • Ulasan
    • Media
    • [Self-Depression]
    • Rumah Baca Garuda

    image by @netflixid


    Efek pandemi Covid-19 berpengaruh besar bagi industri perfilman Indonesia. Film-film yang mestinya tayang di bioskop, harus dicarikan jalur alternatif dan akhirnya sebagian besar film Indonesia beralih ke platform-platform digital. Ali dan Ratu-Ratu Queens adalah satu di antaranya. Film yang berkisah tentang pencarian jati diri ini bakal tayang di bioskop tahun 2020, namun karena Covid-19, bioskop pun belum sepenuhnya dibuka, maka film ini akhirnya dirilis di Netflix secara global sebagai film asli Netflix pada 17 Juni 2021.

    Ali yang diperankan oleh Iqbaal Ramadan adalah sosok remaja 17 tahun yang merindukan kehadiran ibunya yang telah lama pergi mengejar impiannya sebagai penyanyi di New York, Amerika Serikat. Kerinduannya tak terbendung lantaran ia ditinggal pergi sejak kecil. Petualangannya dimulai ketika ia menemukan tiket, yang pernah dikirim oleh ibunya, di sebuah laci yang disimpan oleh mendiang ayahnya. Ada banyak surat-surat yang baru ia ketahui saat itu.

    Cerita berjalan mengalir tanpa ada hambatan yang berarti, bahkan untuk urusan visa. Setibanya Ali di New York, ia segera mencari alamat tempat tinggal ibunya yang tertera di amplop surat, sampai ia tiba di suatu daerah bernama Queens. Di sanalah cerita sesungguhnya dimulai dan keterkaitan dengan judul film. Ali berjumpa dengan para “ratu” yang tinggal di distrik Queens yang ternyata semua berasal dari Indonesia. Rupanya Mia, yang diperankan oleh Marissa Anita, Ibu Ali, sudah tidak tinggal di sana lagi. Lewat pertolongan Party (Nirina Zubir), Biyah (Asri Welas), Ance (Tika Panggabean), dan Chinta (Happy Salma) akhirnya Ali dibantu untuk mencari ibunya.

    Eksplorasi ruang yang disuguhkan film Ali dan Ratu-Ratu Queens sekilas terdengar menggembirakan. Pertama, karena ada kesan bahwa film-film karya sineas Indonesia tidak hanya berkutat di setting lokasi lokal; dan kedua, kita mengenal istilah psikologi xenomania, dimana kekaguman dan kebanggaan kita pada luar negeri yang berlebihan. Jadi, segala sesuatu yang mengadopsi nilai kebarat-baratan akan mendapatkan poin tersendiri, jauh sebelum bicara isi ceritanya. Beruntungnya, film ini tidak terjebak untuk menunjukkan panorama New York yang berlebihan. Lokasi yang ditunjukkan masih sesuai porsi dengan kebutuhan adegan saja, juga dengan sentuhan sinematografi yang sangat memanjakan mata.

    Bila melihat premis utama, film ini sudah selesai di satu jam pertama alias pertengahan film. 40 menit sisanya hanya upaya sutradara, Lucky Kuswandi, memanjang-manjangkan cerita. Bila skenario yang ditulis Gina S. Noer ini menerapkan metode 8 sequence (dibagi dalam 3 babak), artinya ia belum berhasil menjalankan sequence kelima yang memasuki tahap bigger problem. Peralihan babak dua ke babak ketiga malah semakin menunjukkan cerita kehilangan arah dan menurunnya intensitas cerita.

    Puncak klimaks cerita jelas ketika Ali dan Mia bertemu di suatu malam, di gang kecil dekat rumah Mia tinggal, untuk mengurai segala permasalahan. Ali meminta penjelasan Mia mengapa memilih membangun keluarga baru di New York, dan Mia meladeninya dengan menjabarkan berbagai alasan yang ia amini sendiri bahwa dirinya adalah ibu yang buruk: “Ali, Mama udah ninggalin kamu. I’m a bad Mother!”

    Scene di atas sebetulnya bisa dipadatkan ke sequence empat dan di babak berikutnya intensitas klimaks dari konflik cerita mestinya dibuat semakin memuncak, karakter berada di titik terendah (rock bottom). Sayangnya, fokus cerita terbelah pada printilan premis yang kadung ditebar; tentang para ratu yang akan membeli rumah makan, kehidupan pribadi mereka, Ali yang memutuskan ingin menetap di New York, sampai premis tentang hubungan Ali dengan Eva (Aurora Ribero), putri tunggal Ance yang alih-alih bisa jadi pemanis cerita, malah digantung begitu saja tanpa kejelasan.

    Gina S. Noer selaku penulis skenario memaksa semua tokoh show-off sampai lupa mengenai porsi karakter utama. Saya tak sedang mengatakan kalau karakter-karakter yang muncul itu buruk, tetapi justru menyayangkan, karakter sedemikian hidup di tangan para aktris kenamaan jadi anti-klimaks lantaran keluar dari misi utama film ini.

    Kemungkinan adanya sekuel tampak dari akhir cerita yang dibiarkan terbuka, akan tetapi, kalau boleh memilih, saya lebih setuju film ini dikembangkan sebagai serial. Karena setiap karakter memiliki potensi cerita yang kaya dan kompleksitasnya masing-masing. Latar belakang dari masing-masing queen misalnya, lalu alasan mereka bisa terjebak di New York, motivasi hidup sebelum dan setelah hidup di sana, pemaknaan tentang jati diri dan nilai-nilai kebebasan bisa digarap lebih matang lagi di serial, ketimbang menjejalkan semua hal dan menembar banyak premis tapi dieksekusi kurang maksimal dalam durasi film tak lebih dari dua jam ini.

    Kalau boleh menyebutkan satu serial, film Ali dan Ratu-Ratu Queens bisa digarap ke arah drama keluarga yang hangat seperti serial Reply 1988. Cerita yang sederhana tetapi memiliki karakter masing-masing yang begitu kuat. Ketika dibenturkan dengan masalah apa pun, akan selalu menarik karena setiap tokoh punya cara tersendiri dalam menyelesaikan masalahnya, itu pula yang saya temukan dari karakter para ratu yang dihadirkan Gina.

    Sayangnya, karena kadung digarap jadi satu film utuh, fokus penonton Ali dan Ratu-Ratu Queens tidak boleh terbelah selain mengikuti misi si tokoh utama. Empat orang ratu itu cukup diberi porsi seperti para hero di film animasi Big Hero 6 (Walt Disney, 2014). Party, Biyah, Ance, dan Chinta adalah Go Go Tomago, Fred, Wasabi No-Ginger, dan Honey Lemon yang membantu Hiro Tamada (baca: Ali) untuk membongkar siapa orang yang bertanggung jawab (baca: mencari) atas kematian kakaknya Tadashi (baca: Mia) dalam sebuah kebakaran (baca: di New York).

    Dalam bahasa yang lebih ekstrem, Ali dan Ratu-Ratu Queens adalah film yang kurang percaya diri dengan premis utama sehingga bersembunyi di balik karakter para ratu yang hampir atau malah terlampau lebih kuat. Bahkan, motif Mia memilih mengejar impian sebagai penyanyi di New York pun belum terjabarkan secara jelas. Segalanya terasa serba nanggung, sehingga bagi penonton seperti saya kesulitan saat akan memberi empati kepada Mia, meskipun tentu saja Marissa cukup memegang kendali dan mampu memainkan suasana untuk karakter Mia, walaupun harus berhadapan dengan Iqbaal yang emosinya lepas dan tidak utuh di beberapa scene saat menjadi Ali.[]

    Cilegon, 26 Agustus 2021


     

    Pengulas:
    Ade Ubaidil, hobi nonton dan nulis cerita.

    Continue Reading
    Bisa dibaca di website: Jawapos.com

    Judul            : Keluarga Lego
    Penulis         : Cicilia Oday
    Penerbit       : Kakatua
    Cetakan       : Pertama, Juni 2021
    Tebal             : viii + 278 hlm
    ISBN              : 978-623-75432-9-9

    *** 

    Babak Pertama
    Keluarga menjadi perangkat penting bagi mereka yang dihargai hidupnya, tetapi keluarga juga bisa menjadi mimpi buruk untuk mereka yang tidak dianggap keberadaannya. Dalam novel Keluarga Lego, ada dua alasan kenapa orang bertahan hidup; cinta dan dendam.

    Cicilia Oday mempercayakan ceritanya dituturkan lewat seorang nenek cerewet bernama Yohana. Ia salah seorang pasien yang tinggal di sebuah panti jompo Rumah Peristirahatan Termulia. Ia berkisah tentang dirinya dan teman sekamarnya bernama Naomi. Dalam ceritanya yang putus-putus, Yohana menangkap kalau Naomi ingin keluar dari tempat yang baginya penjara itu.

    Yohana ingin membantu Naomi keluar dari sana setelah menemukan iklan lowongan adopsi yang terpampang di sebuah surat kabar. Lewat lembaran koran itulah sebuah “grand design” cerita Cicilia Oday dimulai. 

    Victor Yuda menjadi nama penting di sepanjang cerita. Ia mengenalkan dirinya sebagai “Seorang pria, 33 tahun, lajang, berprofesi sebagai pengusaha, dan tidak memiliki keluarga.” (halaman 18). Semua posisi dari Ayah-Ibu hingga Nenek, diberi kesempatan untuk menjadi keluarganya dengan sederet syarat yang ia tulis secara detail di surat kabar tersebut. Tak pernah ada yang menduga, bahkan penghuni panti jompo yang lain, setelah Naomi ikut seleksi, ia diterima sebagai Nenek Victor Yuda.

    Di dalam dunia rekaan yang dibangun Cicilia, mengadopsi keluarga selain anak menjadi sesuatu yang lazim. Membaca Keluarga Lego mengingatkan saya pada novel Rumah Kertas karangan Carlos María Domínguez. Sebab setelah Naomi pergi dari panti jompo, petualangan sebenarnya yang dihadapi Yohana baru dimulai. Persis ketika tokoh aku dalam Rumah Kertas yang mendapat paket buku misterius berprangko Uruguay datang untuk Bluma yang mati tertabrak saat sedang membaca buku puisi Emily Dickinson. Kedua buku ini memberikan perjalanan yang rumit bagi tokoh-tokohnya dan bertemu dengan banyak orang asing. Bedanya, Yohana dipertemukan dengan kisah masa lalunya yang berusaha ia kubur dalam-dalam.

    Babak Kedua
    Memasuki babak baru, Yohana bertemu seorang wanita sebaya di dalam sebuah bus yang mengenakan bros pohon di dadanya. Bros kecil itu terbuat dari susunan lego dan ada lampu yang menyala berwarna merah. Ia nantinya akan tahu kalau wanita tua itu adalah sebuah robot yang dipekerjakan oleh perusahaan jasa sewa-menyewa anggota keluarga bernama Keluarga Lego. Robot-robot ini bisa dipesan lewat aplikasi di ponsel android. Yohana merasa tertarik untuk menyewa seorang anak apalagi setelah tidak memiliki teman berbincang seperti Naomi. Suatu hari ia mendatangi perusahaan Keluarga Lego. “Di dinding utama di belakang konter tertulis dalam huruf-huruf balok yang besar, Keluarga Lego; Create Your Family As You Wish.” (Halaman 46).

    Isu yang diangkat oleh Cicilia ini sekilas terkesan konyol. Namun bagi saya ia berhasil meyakinkan pembaca bahwa suatu hari, fenomena sewa-menyewa anggota keluarga akan betulan terjadi. Persis seperti semesta yang ia bangun dalam novel perdananya ini. Masyarakat bakal menganggap itu adalah hal lumrah. Sama halnya yang dialami Theodore dalam film Her. Ia berhubungan asmara dengan sebuah sistem operasi komputer. Bedanya dalam novel Keluarga Lego robot yang dibekali kecerdasan buatan ini berbentuk fisik persis seperti manusia.

    Gaya tutur yang luwes menunjukkan kematangan Cicilia Oday sebagai penulis. Informasi yang diberikan pun tidak terkesan mengada-ada dan asal tempel. Artinya, ia membekali dirinya dengan pengetahuan mumpuni mengenai robot-robot. Bahkan ia bisa dengan detail mendedah aplikasi yang ketika membacanya memberi kesan seperti sedang menonton film.

    Keterkaitan Babak Pertama dan Kedua
    Novel ini dibagi ke dalam lima bab. Saya membaginya dalam tiga babak. Di bagian ketiga inilah cerita akan terang dan pembaca akan melihat keterkaitan antara babak satu dan babak kedua. Dugaan-dugaan pembaca diawal bisa saja benar tapi masa lalu Yohana hanya benar-benar akan kau temui kalau membacanya sampai halaman terakhir.

    Sejak masa muda hingga di usia senjanya, Yohana seperti dikejar karma. Hidupnya sedemikian nelangsa tetapi lewat narasi yang dituturkannya ia seolah hidup baik-baik saja dan lebih beruntung dari siapa pun yang ditemuinya. Seperti ketika ia bertemu dengan Nina, seorang perempuan muda yang rajin datang ke panti jompo untuk membantu para suster merawat pasien. Nina merasa hidupnya berarti di panti ketimbang di keluarganya. Ia merasa tak dianggap oleh kedua orang tua dan saudaranya. Berbeda ketika Nina bertemu dengan Yohana. Kedua orang yang sama-sama kesepian itu merasa satu sama lain saling melengkapi. 

    Cicilia Oday cukup jitu menyindir fungsi keluarga. Ia menunjukkan secara gamblang kalau tidak ada keluarga yang sempurna, dan lewat novelnya ia ingin mengajak kita untuk mengamini hal itu tanpa berusaha ditutupi dari dunia luar. Hadirnya Keluarga Lego adalah upaya ia untuk mengkritik mereka yang menganggap keluarga sedarah adalah segalanya. Lewat tokoh-tokoh yang dihadirkan, Cicilia Oday seolah ingin menunjukkan perspektif lain bahwa keluarga, bukan hanya mereka yang terikat pertalian darah. Tetapi lebih dari itu, keluarga adalah ia yang hadir ketika kita dalam situasi sulit atau menggembirakan. Mereka adalah support system yang penting kehadirannya dalam kondisi apa pun.

    Selain itu, Cicilia melihatkan simbol ketika seseorang sudah tidak dianggap keberadaannya, maka seperti yang dialami Nina, ia melihat pantulan dirinya di cermin tampak memudar.

    “Di dalam sana, ia hanya segumpal ampas. Ia melihat pantulan wajahnya di cermin. Ia terlihat nyaris transparan dan bukan karena efek cahaya lampu. Kulitnya memang setengah tembus pandang seperti kulit cicak atau sehelai kertas tisu.” (Halaman 90).

    Keluarga Lego menghadirkan tokoh yang nyata karena ketidaksempurnaannya. Segala konflik dan realitas objektifnya, menentukan kita sebagai pembaca akan berdiri bersama siapa.

    Cilegon, 06 Agustus 2021

    Continue Reading

    Foto: REUTERS/Leonhard Foeger)

    Orang yang paling direpotkan atas kemenangan Greysia Polii dan Apriyani Rahayu di Olimpiade Tokyo 2020 kemarin adalah tukang desain gratis grafis. Bersyukurlah andai mereka sudah dipesan membuat ucapan selamat sebelum pertandingan final berlangsung. Tapi, coba bayangkan kalau kondisinya begini: Si tukang desain menonton pertandingan final di detik-detik akhir, lalu Greysia dan Apriyani dinyatakan menang, seketika ponselnya berdering yang diketahui kemudian pesanan ucapan selamat, pasti suara hati mereka kurang lebih sama, "baru seneng langsung kerja lagi"! Tentu itu suudzon saya saja. Siapa, sih, yang menolak kerjaan atau project di saat sulit seperti sekarang?

    Pertandingan final Greysia/Apriyani melawan ganda putri China, Chen Qingchen/Jia Yifan ini memang paling ditunggu oleh masyarakat Indonesia kebanyakan. Terbukti dari kabar yang diberikan teman saya, ketika dia harus melaksanakan zoom meeting di jam yang sama dengan pelaksanaan pertandingan, dengan santainya si bos chat di grup wa "kita undur satu jam ya meetingnya, yang lagi santai, silakan tonton pertandingan final badminton ganda putri. Ayo dukung Indonesia!”

    Betapa pertandingan ini dapat menghentikan banyak kegiatan sekrusial apa pun. Bulu tangkis dan Indonesia ibarat kepala dan otak. Saya ngasal aja soal ini tapi poinnya, dua hal ini tidak bisa dipisahkan.

    Pasca dinyatakan ganda putri asal Indonesia meraih medali emas, teman-teman saya ramai mengucapkan selamat atas kemenangan duo wonder women ini. Bahkan ada yang kayaknya akrab banget tuh sampe ngetag akun mereka, berharap di-notice dan direpost story-nya. Hahaha (iri? Bilang, boss!)

    Hampir semua medsos, secara serentak, di jam yang sama semua bicara soal badminton, bahkan yang tidak paham atau tidak menonton langsung siaran live-nya sekalipun. Yang penting ucapin selamat aja dulu. Macam rangorang di grup wasap yang hanya kirim stiker ucapan selamat atau belasungkawa yang akhir-akhir ini ramai kita temui, seolah dengan mengirim stiker sudah paling peduli. Padahal dalam beberapa kitab menilai tidak dianggap dan tidak dihitung (sia-sia) doa yang disampaikan lewat stiker kalau tidak dilafalkan kepada sohibul musibah.

    Saya tak langsung mengikuti teman-teman lainnya membuat story atau status wasap serempak memberikan ucapan serupa. Bukan berarti tidak ikut senang, sungguh belum afdol jadi orang Indonesia bila tidak bangga atas kemenangan medali emas pertama bagi atlet Indonesia di Olimpiade Tokyo 2020 ini.  

    Hanya saja, ada yang mengusik saya. Yaitu status pesbuk teman saya, Agung Pangestu menulis, "Tungguin aja, bentar lagi pasti banyak poster pejabat yang ngucapin selamat ke Greysia dan Apriyani. Tapi poster muka sama partainya lebih gede daripada poto atlitnya."

    Tentu tanpa ramalannya itu pun, seperti yang saya bilang diawal, semua pejabat, publik figure, para tokoh dan yang menganggap dirinya tokoh penting, bakal membuat poster dengan desain yang tentu saja wajib ada foto mereka terpampang, dan, meski tidak lebih besar dari juara, paling tidak sama besarnya.

    Saya tahu, kemenangan pebulu tangkis ganda putri ini kabar baik yang bisa meningkatkan imun di kala situasi pandemi (meskipun saat malam hari Pak Presiden yang terhormat mengumumkan PPKM diperpanjang sampai kamu balikan sama aku 9 Agustus) tapi alangkah baiknya jangan semacam, kalau bahasa influencer-nya, pansos ~> panjat sosial.

    Persis yang dilakukan Chicco Jerikho dengan kedai Filosofi Kopi-nya. Publik figure memang pandai mengelaborasi suatu ide yang masih mentah menjadi mentah bangetlah. Dia menulis di akun instagramnya:

    "Kopi atau minuman apa pun gratis seumur hidup di seluruh kedai @filosofikopi dan @filosofikopiride buat sang juara INDONESIA @greyspolii dan @r.apriyanig."

    Saya tahu belio sedang terbawa euforia dan bangga. Tapi mbok ya apa tidak mikirin lambung para atlet kebanggaan kita itu. Nggak lucu dong, waktu Greysia mau smash tiba-tiba perutnya mules terus izin ke toilet di tengah pertandingan berlangsung?

    Nggak usah dikasih gratis seumur hidup juga mereka kalo mau ngopi ke sono tetep ke sono kok, tanpa takut kagak bisa bayar. Itu ibaratnya Greysia sama Apriyani lagi duduk santuy di kedai kopi terus Chicco lewat nawarin kopi produknya, ya sia-sia aja.

    Saya juga bisa aja bilang sekarang kalau duo ganda putri ini gratis jajan di warung emak saya seumur hidup. Meski terdengar lebih tidak mungkin terjadi. Dalam momen apa mereka jalan ke kampung saya terus niat banget jajan di warung emak?

    Kalau mau pansos dan promosi dan dapat tepuk tangan, coba lakuin apa yang Arief Muhammad kasih ke mereka. Bahkan dia berjanji sebelum pertandingan usai:

    “FINALLY!!! Bangga banget sama @greyspolii dan @r.apriyanig!!! Terima kasih sudah membawa pulang medali emas untuk Indonesia. Sesuai janji, cabang @basoaciakang untuk kalian sudah menunggu di Indonesia. Masing-masing dapet satu!”

    Begitu baru bener. Ya tetep aja sih namanya marketing, tetep mengandung promosi. Cuma, kan, bermodal gitu, ada hadiah jelas yang diberikan. Karena kita tahu, atlet ini rame waktu menang gini doang, banyak contohnya yang di masa tua persis veteran perang yang diabaikan hidupnya oleh negara. Paling nggak, kalau setelah pensiun nanti, apes-apesnya mereka jadi bos baso aci, kan?

    Otak kreatif orang Indonesia emang nggak ada habisnya dah. Selain twit-twit di atas, ada satu yang mengetwit begini: “Coba pelaksanaan olimpiade waktunya dicocokin sama pelaksanaan pemilu di Indonesia. Pasti nggak kisruh, karena bakal bersatu.”

    Iya, sih, orang Indonesia bakal bersatu, tapi kalau itu terjadi, tentu bisa dibayangkan para atlet kita bakal diusung sebagai salah satu calon dari partai tertentu atau malah sibuk jadi tim kampanye pemilu ketimbang latihan buat kejuaraan?

    Rabu, 04 Agustus 2021

    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About me

    Photo Profile
    Ade Ubaidil, Pengarang, Cilegon-Banten.

    Pria ambivert, random dan moody. Gemar membaca buku dan berpetualang. Bermimpi bisa selfie bareng helikopter pribadinya. Read More

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: Perangkap Pikiran Beni Kahar

    (AG Publishing | 204 halaman | Rp75.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telat Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: SAHUT KABUT

    (Indonesia Tera | 160 halaman | Rp. 60.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Novel Adaptasi: YUNI

    (GPU | 174 halaman | Rp. 63.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Pengunjung

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Bedah Buku Dee Lestari

    Bedah Buku Dee Lestari

    Workshop & Seminar

    Workshop & Seminar

    Popular Posts

    • [RESENSI] NOVEL: HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (GPU, 2015)
    • Musim Layang-Layang (Pasanggarahan.com, 30 Oktober 2015)
    • [MY PROFILE] Terjerembap di Dunia Literasi: Lahan untuk Memerdekakan Pikiran (Utusan Borneo-Malaysia, 13 Desember 2015)

    Blog Archive

    • ►  2012 (5)
      • ►  October (3)
      • ►  December (2)
    • ►  2013 (41)
      • ►  January (1)
      • ►  March (5)
      • ►  April (4)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  August (1)
      • ►  September (3)
      • ►  October (3)
      • ►  November (16)
      • ►  December (5)
    • ►  2014 (20)
      • ►  January (2)
      • ►  April (3)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  July (1)
      • ►  September (1)
      • ►  November (6)
      • ►  December (4)
    • ►  2015 (21)
      • ►  February (5)
      • ►  March (2)
      • ►  April (3)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (5)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
      • ►  December (1)
    • ►  2016 (31)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  April (2)
      • ►  May (4)
      • ►  June (1)
      • ►  July (2)
      • ►  August (5)
      • ►  September (4)
      • ►  October (5)
      • ►  November (2)
      • ►  December (3)
    • ►  2017 (41)
      • ►  January (4)
      • ►  February (3)
      • ►  March (8)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  June (8)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (3)
      • ►  November (4)
      • ►  December (3)
    • ►  2018 (24)
      • ►  January (3)
      • ►  February (2)
      • ►  March (3)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  November (4)
      • ►  December (2)
    • ►  2019 (16)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (3)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (14)
      • ►  January (1)
      • ►  February (1)
      • ►  March (2)
      • ►  April (1)
      • ►  May (2)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (1)
      • ►  November (1)
      • ►  December (2)
    • ▼  2021 (15)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  April (1)
      • ►  May (1)
      • ►  June (1)
      • ►  July (1)
      • ▼  August (3)
        • [Esai] Pansos Adalah Jalan Ninja Kita~~
        • [Ulasan Buku] Perihal Keluarga dan Dendam Masa Lal...
        • [Ulasan Film] Ali dan Ratu Ratu Queens: Premis Tum...
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  December (1)
    • ►  2022 (30)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  May (3)
      • ►  June (5)
      • ►  July (1)
      • ►  August (4)
      • ►  September (3)
      • ►  October (2)
      • ►  November (2)
      • ►  December (7)
    • ►  2023 (38)
      • ►  January (4)
      • ►  February (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (9)
      • ►  November (15)
      • ►  December (4)
    • ►  2024 (3)
      • ►  January (1)
      • ►  March (2)
    • ►  2025 (1)
      • ►  January (1)

    Followers

    youtube facebook Twitter instagram google plus linkedIn

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top