Pages

  • Home
  • Privacy
  • Sitemaps
  • Contact
  • [PROFIL] TENTANG ADE UBAIDIL
facebook instagram twitter youtube

Quadraterz.com

    • My Book
    • Cerpen
    • Novel
    • Esai
    • Puisi
    • Buku Antologi
    • Ulasan
    • Media
    • [Self-Depression]
    • Rumah Baca Garuda

    “SEMAKIN banyak orang mengutip ucapanmu, itu menandakan bahwa kau sudah terkenal!”
    “Berhenti menggodaku.”
    “Aku serius!”
    “Aku juga serius!”
    Kau tahu? Ketika dua orang tengah berbincang dan melontarkan kalimat dengan nada kencang, yang terjadi di detik selanjutnya adalah saling diam. Membungkam. Rumah-rumah warga kampung ditelan malam. Laut tampak hitam, legam. Dua orang yang duduk bersisian itu tak saling pandang. Lebih tepatnya mereka mulai tak saling peduli. Kalaupun ada seseorang di tengah laut yang tenggelam atau kapal yang karam, mereka pasti tak akan menggeser posisi duduknya barang satu depa. Sungguh suram. Sungguh runyam.

    Ketika jam kantor usai, mereka berjanji bertemu di pesisir pantai kota C. Pantai yang terkenal dengan panorama alamnya. Biasanya mereka menghabiskan waktu untuk memuaskan matanya menikmati mentari terbenam (bermaksud menghindari kata asing: baca, sunset). Tetapi sore itu berbeda. Ada yang harus diselesaikan, kata lelaki yang masih mengenakan dasi. Orang yang ada di sebelahnya bersetuju. Jadi, dari dua tempat bekerja yang berbeda, mereka bertemu di sana.
    “Sampai kapan kita harus menjalani ini?”
    “Sampai laut mengering.”
    “Konyol.”
    “Sama konyolnya dengan pertanyaanmu.”

    Mereka kembali membisu. Jutaan kata-kata seolah telah habis mereka ucapkan. Burung-burung saling mengepak menyeberangi lautan. Mereka kembali pulang menemui keluarganya di sarangnya masing-masing. Penjaja makanan di sepanjang bibir pantai berbenah. Merapikan barang dagangan yang hari itu tak disentuh barang secuil oleh pengunjung. Satu per satu jiwa manusia di lingkup pantai menyublim. Perlahan menjauh, benar-benar jauh, hingga seolah tak akan kembali lagi sebab langkahnya sudah teramat jauh.
    Dalam pikiran lelaki berdasi, dia tengah bingung menghadapi orang-orang. Setiap kali apa yang ditulis dalam buku-buku karyanya, selalu banyak yang mengutip. Dia membenarkan ucapan orang yang berada di sebelahnya, tetapi justru semakin orang memakai kata-kata rangkaiannya maka semakin besar pula ketakutan yang menjelma dalam hatinya.
    “Aku kotor.”
    “Tak ada manusia yang benar-benar bersih.”
    “Aku mengajakmu kemari untuk membantuku mencarikan solusi. Bukan semakin mempersulitku.”
    “Lantas, apa yang harus aku katakan padamu?”
    “Katakan sebuah solusi.”
    “Solusi,” katanya polos. “Sudah?”
    “Aaarrgghhh!!!”
    Lelaki berdasi geram. Tak dinyana orang di sebelahnya justru semakin memperumit keadaan. Sudah tigapuluh enam purnama mereka lalui bersama, namun kali itu dia dibuat benar-benar dongkol. Pikirannya semakin diliputi bayang-bayang menakutkan. Dia memutuskan untuk tidak menulis lagi. Sebab bila dia melanjutkan, maka hatinya berontak. Aku seperti bermuka dua, keluhnya.
    “Baiknya aku sudahi karir kepenulisanku.”
    “Maksudmu?”
    “Aku ingin hidup tenang. Aku tak mau mati dalam ketakutan.”
    “Aku tak paham....”
    “Kau…” Jari telunjuk lelaki berdasi mengarah ke wajah orang di sebelah yang memasang wajah tak bersalah. Giginya saling beradu menahan kekesalan. Akhirnya dia tak sanggup melanjutkan. Pandangannya redup sesaat memalingkan wajah dari orang di sampingnya. Bumi terus berputar. Waktu kian berjalan. Malam berkelindan. Di sepanjang pantai hanya dijatuhi lampu temaram dan cahaya rembulan.
    Seperti ada yang ingin disampaikan oleh lelaki berdasi itu namun lidahnya tertahan. Orang di sebelahnya menjatuhkan kepala pada kedua paha lelaki berdasi. Lelaki berdasi bergeming. Dia tengah memikirkan sesuatu yang selama ini ditulisnya. Apa mungkin itu bagian dari dosa? Dia banyak menulis perkara agama samawi. Menjelaskan soal hukum agama dan larangannya. Itu semua tak terlepas dari jurusannya di masa kuliahnya dahulu. Namun sejak minggu-minggu kemarin, namanya semakin melejit. Mendapatkan undangan dari sana-sini untuk mengisi seminar motivasi dan mengisi kuliah meski dia pun memiliki pekerjaan tetap di sebuah perusahaan sebagai seorang Manajer. Semua yang dituliskannya dengan apa yang dikerjakannya selama ini, hanyalah kemunafikan belaka.
    “Aku mau menikah.”
    Mendengar ucapan yang tiba-tiba itu sontak membuat orang yang bermanja di kedua pahanya terlonjak. Dia tak percaya apa yang baru saja didengarnya. Sementara lelaki berdasi menundukkan kepalanya dalam. Seperti ada beban yang harus segera dia lepaskan hari itu juga.
    “Aku belum siap….”
    “Bukan….” Lagi-lagi lelaki berdasi tercekat. Dia menangkis cepat. Kepalanya berulang-ulang menggeleng. Tiba-tiba dia tak sanggup mengendalikan air mata yang jatuh berlinang. Dia membiarkan sang ombak di hadapannya berdebur berkali-kali membentur karang, kemudian melanjutkan ucapannya. “Semua ini tentang pilihan.”
    “Apa maksudmu? Sejak tadi kau bertingkah aneh. Ucapanmu tak jelas. Apa sebenarnya tujuanmu mengajakku bertemu di sini. Apa sesungguhnya yang ingin kau katakan, Wisnu?”
    “Aku…, aku akan menikah dengan seorang gadis. Dia teman kerjaku di kantor. Aku ingin merasakan kehidupan yang sebenarnya.”
    “Apa selama ini hanya kepura-puraan saja yang sedang kita jalani? Hah?!”
    “Hidup adalah tentang pemakluman-pemakluman. Dan anggaplah hubungan kita ini sebagai pencarian jatidiri.”
    Hanya desauan angin yang terdengar berikutnya. Isak tangis datang menyusul. Kali ini giliran orang yang mengenakan kemeja lengan pendek itu. Lelaki berdasi kesulitan menghadapi ini semua, namun dia sudah berani mengambil keputusan. Berhari-hari dia menantikan hari itu tiba dan terjadilah sudah. Dia memberikan pelukan terakhirnya. Berbisik tentang rencana-rencana yang akan dilakoninya dalam kehidupan barunya nanti.

    “Aku sekarang mengerti. Dalam hidup memang selalu ada pilihan. Aku terima keputusanmu meski berat.”
    “Kau tetap akan menjadi sahabat terbaikku. Hadapi segala kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi nantinya.”
    “Boleh aku meminta sesuatu padamu? Mungkin ini menjadi permohonan terakhirku.” Dia menghela napas. Kemudian mengembuskannya dengan teramat berat.
    “Katakan saja, Chris…”
    “Masih banyak orang yang mencintaimu. Maksudku…, mencintai karya-karyamu. Kumohon, janganlah berhenti menulis. Aku percaya bahwa segala sesuatu di bumi ini hanyalah tentang pilihan-pilihan yang sulit. Tetapi, menulis bukanlah sebuah pilihan. Kau yang lebih paham itu, sayang…”
    Raut muka lega terpancar seketika dari lelaki yang bernama Chris itu. Dia mendekapkan tangannya di bahu Wisnu yang kekar dan tegap. Lalu memeluknya erat, seolah belum siap untuk kehilangan sosok tinggi besar itu dalam hidupnya.
    “Aku akan penuhi permintaanmu. Terima kasih, Chris!”
    Angin membawa terbang pasir-pasir pantai. Pohon nyiur yang berjajar tak henti melambai-lambai. Mereka seperti merestui keputusan yang Wisnu ambil. Lelaki berdasi biru itu mengangkat tangan kiri di hadapan wajahnya. Jarum jam menapaki angka sembilan. Perahu-perahu cadik mengapung mendekati pesisir. Orang-orang kampung keluar rumah. Mereka menghampiri perahu seraya membawa pelita. Saling bahu-membahu mendorong perahu ke daratan. Suhu dingin menjalari tubuh besar dua orang yang memiliki warna kulit saling berlawanan itu. Keduanya masih menghadap ke hamparan laut nan tenang.

    Aroma ikan asin yang dijemur warga pesisir sejak pagi tadi masih merebak. Mengusik naga di perut mereka yang lapar dan memaksanya untuk segera bangkit. Keduanya perlahan melangkah menjauhi pantai. Meninggalkan jejak kisah yang sudah dibangun sejak tiga tahun silam. Dari sana bermula dan dari sana pula berakhir. 
    Wisnu tersenyum lapang: ada cerita baru yang nanti akan aku tulis, batinnya. Esok. Lusa. Hingga nanti waktu yang akan menghentikannya.[]

    Cilegon, 03 Desember 2014

    Continue Reading
    image by ibtimes.co.uk
    Awal September lalu, saya menghadiri acara Festival Seni Multatuli 2018 di Museum Multatuli, Lebak, Rangkasbitung. Sebuah konsep acara yang mengangkat satu nama tokoh pergerakan di masa kolonial. Melalui novel masterpiece-nya yang berjudul, Max Havelaar (1860), Multatuli, atau yang bernama asli Eduard Douwes Dekker menolak sistem pemerintahan dan mengkritik perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia Belanda. Padahal, ia sendiri lahir di Amsterdam, Belanda. Berkat karya heroik itulah namanya dikenang hingga 100 tahun kepergiannya.

    Berbagai tema diskusi dan pertunjukkan seni ditampilkan, mulai dari simposium pascakolonial bersama sejarawan dan budayawan, musikalisasi puisi, drama musikal, menyanyikan lagu-lagu perjuangan hingga menerbitkan buku antologi puisi berjudul, Kepada Toean Dekker (FSM, 2018), yang ditulis oleh penyair se-Indonesia yang telah dikurasi sebelumnya oleh dewan juri yang kompeten.

    Artinya, kita patut berbangga bahwa warga Lebak masih apresiatif terhadap tokoh pergerakan di masanya, yang konon dulu membela masyarakat Lebak dari penindasan—sekalipun ia terlahir dari tanah para penjajah. Lalu, apakah tokoh-tokoh yang lahir dan besar di Banten, bahkan membawa citra baik Banten hingga ke kancah Internasional sudah mendapatkan apresiasi serupa?

    Sekadar menyebutkan, ada satu tokoh, ulama besar dari Indonesia yang lahir di Provinsi Banten, tepatnya di Kampung Pesisir, Desa Pedaleman, Kecamatan Tanara (Tirtayasa), Kabupaten Serang pada tahun 1230 H./1813 M. Beliau adalah Muhammad Nawawi atau lebih dikenal dengan julukan Syekh Nawawi Al-Jawi Al-Bantani. Lahir dari orang tua bernama Syekh Umar bin Arabi dan Zubaidah.

    Di usia lima tahun, Syekh Nawawi sudah mulai belajar agama Islam langsung dari ayahnya yang juga seorang ulama di kampungnya. Beliau mempelajari bahasa arab, fiqih, tauhid, alquran dan tafsir. Pada usia delapan tahun, bersama kedua adiknya, Tamim dan Ahmad, beliau berguru kepada K.H. Sahal, salah seorang ulama termasyhur di Banten saat itu. Kemudian, Syekh Nawawi melanjutkan menimba ilmu kepada Syekh Baing Yusuf, Purwakarta.

    Sejak kecil beliau memang sudah memperdalam ilmu agama. Bahkan di usia limabelas tahun, beliau pergi ke Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu kepada ulama-ulama masyhur di tanah suci Mekah. Ketika dirasa telah mumpuni dengan keilmuan yang diperolehnya, beliau mengajarkan kepada murid-muridnya di Masjidil Haram. Beberapa muridnya yang berasal dari tanah air bahkan telah menjadi ulama besar dan mendirikan pondok pesantren, di antaranya yakni: K.H. Hasyim Asyari (Jombang, pendiri Nadhlatul Ulama), K.H. Ahmad Dahlan (Yogyakarta, pendiri Muhammadiyah), Thahir Jamalauddin (Singapura), Syekh Kholil al-Bangkalani (Madura), K.H. Asyari (Bawean), K.H. Tubagus Asnawi (Caringin), K.H. Hasan Genggong (Jawa Timur, pendiri Pesantren Zainul Hasan Genggong), K.H. Mas Abdurrahman (Pandeglang, pendiri Mathla'ul Anwar), Syekh Arsyad Thawil al-Bantani (Tanara, pejuang Geger Cilegon 1888) dan masih banyak lagi.

    Nama Syekh Nawawi kian masyhur setelah beliau diberi amanah untuk menjadi imam besar di Masjidil Haram menggantikan Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi atau Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Tidak hanya di kota Mekah dan Madinah, bahkan di negeri Suriah, Mesir, Turki, hingga Hindustan pun namanya harum. Ketokohannya sebagai ulama juga terbukti pada karya-karya intelektualnya, yang telah menuliskan sekitar 115 kitab, yang meliputi kitab ilmu fiqih, tauhid, tafsir, tasawuf dan hadist.

    Salah satu karangannya yang fenomenal dan monumental adalah Tafsir al-Munir. Bahkan ada yang mengatakan lebih baik dari Tafsir al-Jalalain, karya Imam Jalaluddin as-Suyuthi dan Imam Jalaluddin al-Mahalli yang sangat terkenal. Sementara dalam bidang Ilmu Hadits misalnya beliau menulis, Tanqih al-Qaul. Khusus di bidang Ilmu akidah ada Tijan ad-Darary, Nur al-Dhalam, Fath al-Majid. Dalam bidang Ilmu Fiqih yakni beliau menulis kitab Sullam al-Munajah, Nihayah al-Zain, Kasyifah al-Saja. Untuk kalangan santri di daerah Jawa, ada syarah’Uqud al-Lujain fi Bayan Huquq al-Zaujain yang sering dijadikan kajian. Selain itu, beliau juga dikenal sebagai ahli tasawwuf, beberapa karyanya yang populer adalah Qami'u al-Thugyan, Nashaih al-'Ibad dan Minhaj al-Raghibi.

    Tak heran, banyak sekali julukan yang beliau terima baik dari ulama Arab Saudi maupun ulama dari dalam negeri. Di Indonesia sendiri, beliau mendapat predikat sebagai Bapak Kitab Kuning Indonesia. Sampai di sini, bukankah telah cukup mumpuni dan tak perlu diragukan lagi untuk diselenggarakannya Festival Kitab Kuning di Banten? Tetapi sejauh ini, saya belum menemukan apresiasi yang cukup besar dan pantas terhadap karya beliau dari pemerintah Banten sendiri. Padahal, kita perlu menghadirkan tokoh atau role model untuk dikenalkan, atau diberi semacam penghargaan atas karya dan dedikasinya dalam bidang ilmu pengetahuan, khususnya pengarang kitab kuning (mushanif), apalagi sampai membawa nama baik Banten ke kancah internasional. Beliau wafat dan dimakamkan di  Hijaz, Mekah pada tahun 1314 H/1897 M. Meski beliau telah tiada, tetapi, sampai hari ini, karyanya terus dikaji dan dipejari oleh para generasi santri dan akademisi di perguruan tinggi dalam negeri dan luar negeri.
    Belum lagi, selain Syekh Nawawi Al-Bantani dikenal sebagai ulama, beliau juga seorang pejuang di masa pemerintah Hindia Belanda—tahun lahir Syekh Nawawi hanya selisih tujuh tahun dengan Multatuli. Setelah tiga tahun bermukim di Mekah, Syekh Nawawi kembali ke tanah kelahiran, namun sesampainya di tanah air dia menyaksikan praktik-praktik ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan penindasan yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat.
    Tak ayal, gelora jihad pun berkobar. Sebagai intelektual yang memiliki komitmen tinggi terhadap prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran, Syekh Nawawi kemudian berdakwah keliling Banten mengobarkan perlawanan terhadap penjajah sampai pemerintah Belanda membatasi gerak-geriknya seperti dilarang berkhutbah di masjid-masjid. Bahkan beliau dituduh sebagai pengikut Pangeran Diponegoro yang ketika itu sedang mengobarkan perlawanan terhadap penjajahan Belanda (1825 - 1830 M.), hingga akhirnya ia kembali ke Mekah setelah ada tekanan pengusiran dari Belanda, tepat ketika puncak terjadinya Perlawanan Pangeran Diponegoro pada tahun 1830 masehi.
    Selain pelajaran agama, Syekh Nawawi juga mengajarkan makna kemerdekaan, anti-kolonialisme dan imperialisme dengan cara yang halus. Mencetak kader patriotik yang di kemudian hari mampu menegakkan kebenaran. Perjuangan yang dilakukan Syekh Nawawi memang tidak dalam bentuk revolusi fisik, namun lewat pendidikan dalam menumbuhkan semangat kebangkitan dan jiwa nasionalisme.[1]

    Dari jejak sejarah di atas, melihat jasa-jasa besar beliau untuk negeri ini, menurut saya, apresiasi semacam dibuatnya Festival Kitab Kuning atau sejenisnya adalah sebuah keharusan, karena berguna untuk menambah pengetahuan dan memupuk kebanggaan, khususnya untuk santri, umumnya untuk masyarakat Banten sendiri. Juga bisa dijadikan motivasi bagi para generasi milenial bahwa untuk mengisi hari-hari bisa dengan belajar menulis dan mengkaji karya-karya para pendahulu.

    Dengan begitu, kita bisa meningkatkan produktivitas yang bernilai positif. Adapun, untuk pelaksanaannya sendiri, Presiden Republik Indonesia, dua tahun lalu, telah mengukuhkan Hari Santri Nasional jatuh pada tanggal 22 Oktober. Artinya, pemerintah setempat, bekerjasama dengan pondok pesantren bisa menyelenggarakan Festival Kitab Kuning bersamaan dengan peringatan Hari Santri Nasional. Ini bisa dijadikan momentum untuk menyatukan para santri dan mendekatkan diri dengan masyarakat di Provinsi Banten.

    Cilegon, 19 Oktober 2018


     *) pernah dimuat di laman Perpusda Banten: [KLIK]





    [1] Solahudin, M. (2012). 5 Ulama Internasional dari Pesantren. Kediri: Nous Pustaka Utama. ISBN 9786029872026.

    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About me

    Photo Profile
    Ade Ubaidil, Pengarang, Cilegon-Banten.

    Pria ambivert, random dan moody. Gemar membaca buku dan berpetualang. Bermimpi bisa selfie bareng helikopter pribadinya. Read More

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: Perangkap Pikiran Beni Kahar

    (AG Publishing | 204 halaman | Rp75.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telat Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: SAHUT KABUT

    (Indonesia Tera | 160 halaman | Rp. 60.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Novel Adaptasi: YUNI

    (GPU | 174 halaman | Rp. 63.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Pengunjung

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Bedah Buku Dee Lestari

    Bedah Buku Dee Lestari

    Workshop & Seminar

    Workshop & Seminar

    Popular Posts

    • [RESENSI] NOVEL: HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (GPU, 2015)
    • Musim Layang-Layang (Pasanggarahan.com, 30 Oktober 2015)
    • [MY PROFILE] Terjerembap di Dunia Literasi: Lahan untuk Memerdekakan Pikiran (Utusan Borneo-Malaysia, 13 Desember 2015)

    Blog Archive

    • ►  2012 (5)
      • ►  October (3)
      • ►  December (2)
    • ►  2013 (41)
      • ►  January (1)
      • ►  March (5)
      • ►  April (4)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  August (1)
      • ►  September (3)
      • ►  October (3)
      • ►  November (16)
      • ►  December (5)
    • ►  2014 (20)
      • ►  January (2)
      • ►  April (3)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  July (1)
      • ►  September (1)
      • ►  November (6)
      • ►  December (4)
    • ►  2015 (21)
      • ►  February (5)
      • ►  March (2)
      • ►  April (3)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (5)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
      • ►  December (1)
    • ►  2016 (31)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  April (2)
      • ►  May (4)
      • ►  June (1)
      • ►  July (2)
      • ►  August (5)
      • ►  September (4)
      • ►  October (5)
      • ►  November (2)
      • ►  December (3)
    • ►  2017 (41)
      • ►  January (4)
      • ►  February (3)
      • ►  March (8)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  June (8)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (3)
      • ►  November (4)
      • ►  December (3)
    • ▼  2018 (24)
      • ►  January (3)
      • ►  February (2)
      • ►  March (3)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  November (4)
      • ▼  December (2)
        • [Esai] Festival Kitab Kuning di Banten (dpk.banten...
        • [Cerpen] Percakapan di Pesisir (Rakyat Sultra, 27 ...
    • ►  2019 (16)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (3)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (14)
      • ►  January (1)
      • ►  February (1)
      • ►  March (2)
      • ►  April (1)
      • ►  May (2)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (1)
      • ►  November (1)
      • ►  December (2)
    • ►  2021 (15)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  April (1)
      • ►  May (1)
      • ►  June (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (3)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  December (1)
    • ►  2022 (30)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  May (3)
      • ►  June (5)
      • ►  July (1)
      • ►  August (4)
      • ►  September (3)
      • ►  October (2)
      • ►  November (2)
      • ►  December (7)
    • ►  2023 (38)
      • ►  January (4)
      • ►  February (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (9)
      • ►  November (15)
      • ►  December (4)
    • ►  2024 (3)
      • ►  January (1)
      • ►  March (2)
    • ►  2025 (1)
      • ►  January (1)

    Followers

    youtube facebook Twitter instagram google plus linkedIn

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top