Pages

  • Home
  • Privacy
  • Sitemaps
  • Contact
  • [PROFIL] TENTANG ADE UBAIDIL
facebook instagram twitter youtube

Quadraterz.com

    • My Book
    • Cerpen
    • Novel
    • Esai
    • Puisi
    • Buku Antologi
    • Ulasan
    • Media
    • [Self-Depression]
    • Rumah Baca Garuda
    *foto saat peringatan PHBI Maulid Nabi Muhammad SAW di Masjid At-Ta'awun Cibeber, bulan lalu. Almarhum KH. Mursi Qudsi berada di tengah, baris depan mengenakan kacamata dan peci haji. Bapak saya sedang menyambut tamu, tidak ikut foto-foto)
    “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu sekaligus dari para hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama, sehingga ketika tidak tersisa lagi seorang alim, maka manusia akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin....”—[Al-Bukhari (100, 7307); Muslim (2673)]

    Kemarin malam bapak sakit. Tubuhnya menggigil dan panas dingin. Ia juga berkata kalau kepalanya pusing. Saya menawarinya untuk periksa ke dokter, tapi bapak menolak. Ya, saya tahu ia akan berkata begitu. Apa yang dialami tubuhnya ini adalah efek dari pikirannya, dugaan saya. Sebab tiga hari sebelumnya, tanggal 07 Februari 2018/22 Jumadil Awal 1439 H, seorang sahabat bapak, meninggal dunia. Kami mengenalnya KH. Mursi Qudsi atau Ustadz Mursi. Namun sapaan akrab bapak ke belio: Syekh. Begitu pun sebaliknya.

    *) KH. Hilmi Abdul Majid ketika mengumumkan berita wafatnya KH. Mursi Qudsi di Masjid At-Ta'awwun. Beliau tampak tidak kuat menahan tangisnya dan membendung airmata. (credit video & Foto: Abdul Rofiq)

    Saya pikir bukan hanya bapak yang merasa kehilangan. Hampir sebagian besar masyarakat di kampung kami, Cibeber, sedih saat ditinggal pergi beliau. Selain bapak, beliau dianggap kesepuhan dan tetua di kampung kami. Banyak pengajian yang dipimpinnya. Setelah khatam mengaji Alquran di Bapak, saya juga kemudian mendaftar mengaji di Ustadz Mursi. Tak banyak kesalahan yang diperbaiki, sebab metode pengajaran bapak dan Ustadz Mursi tidak jauh berbeda. Beliau juga pengasuh pesantren, yang setiap sore santri putrinya datang berkunjung ke Rumah Baca Garuda untuk sekadar baca dan pinjam buku.
    Pak Kiai sahabat bapak sejak kecil. Keduanya sekolah dan belajar di pesantren yang sama. Bapak pernah berkisah, betapa kontrasnya perilaku mereka dahulu. Bapak dikenal bandel dan suka ribut, sedangkan Pak Kiai pendiam dan cenderung menengahi. Barangkali, hingga sekarang pun masih sama. Bapak dikenal sebagai Ustadz yang senang "nongkrong" sama anak muda, bahkan dengan orang yang dulu diajarnya—ia hanya seorang pensiunan guru agama, tak ada gelar Kiai padanya. Mereka pun tidak canggung, karenanya tak heran ketika ingin sekadar meminta saran dan bantuan, beberapa orang akan mendatangi bapak dahulu sebelum menemui Pak Kiai. Semacam menanyakan baiknya bagaimana memulai obrolan dengan sahabat bapak itu. Rumah keduanya satu gang tetapi tidak terlalu berdekatan.
    Malam pertama tahlilan kemarin, bapak yang memimpin doa. Namun di malam berikutnya bapak tak sanggup hadir. Banyak warga yang mencari bapak, atau paling tidak menanyakan kondisinya. Apakah ada di rumah? Apakah ia baik-baik saja?
    Keesokan harinya kesehatan bapak kembali pulih. Ia kemudian banyak bercerita. Salah satunya soal apa yang dialaminya kemarin malam, sewaktu ia tak bisa menghadiri tahlilan. Katanya, Pak Kiai datang menemuinya di rumah. Beliau "menjenguk" bapak dan bertanya, "kelipun boten hadir, Syekh? Gering nape?" sampai di situ saya dibuat merinding. Banyak faktor kenapa bapak bisa mengalami atau "memimpikan" hal ini, bisa jadi karena betapa dekat dan rindunya Bapak pada beliau. Yang jelas, setelah percakapan yang tak bisa saya tuliskan kelanjutannya di sini antara bapak dan Pak Kiai, bapak terbangun dan melakukan solat malam, untuk kemudian mengirimkan doa untuk sahabatnya.
    Banyak sekali yang berusaha ingin saya ceritakan, bahkan sejak hari pertama wafat Pak Kiai. Namun apalah daya, saya dibuat cemas dan seperti "diteror" oleh pikiran saya sendiri. Bagaimana tidak, Ramadhan tahun lalu, saya dipercaya untuk menggarap naskah drama tentang Kampung Cibeber. Saya menulis cerita soal bagaimana keadaan kampung bila ditinggal pergi oleh Kiainya. (Pementasan Drama: “Kampung Cibelenger: Si Mekah Cintil”)
    Respons masyarakat dalam cerita itu banyak yang menangis dan nyaris belum siap. Penonton yang hadir terbawa suasana. Tentu saja saya merasa berhasil. Juga tak lepas atas kerja keras kawan-kawan Remaja Islam Masjid Cibeber. Tak heran kemudian banyak sambutan positif dan apresiasi dari warga. Tentu saja kami senang. Lakon drama yang selama beberapa tahun terakhir ditiadakan mulai bangkit kembali. Namun, ketika apa yang kami lakonkan tahun lalu kemudian kejadian hari ini, apa yang bisa saya sampaikan ketika banyak orang yang mengirimi saya pesan, membuat status di medsos bahkan saat bertemu pun menegur, "Dee, kok bisa, ya, mirip sama drama tahun lalu?"
    Saya masih gemetar hingga detik ini, bahkan saat berusaha menuliskan postingan ini. Apakah kita sama-sama cemas soal krisis generasi yang dulu dianggap hanya rekaan itu? Bila ditanya siapa penerus Kampung Cibeber, saya berani jawab, "kita semua. Jangan saling tunjuk, tapi saling rangkul. Jangan saling menyalahkan, tapi salinglah memperbaiki."
    Usai menyalatkan jenazah Pak Kiai.
    Tugas Pak Kiai telah selesai. Beliau sudah tenang di sisi Allah Swt. Semoga amal dan ibadahnya diterima oleh-Nya. Segala ilmunya semoga bermanfaat dan bisa terus diamalkan oleh santri-santrinya dan masyarakat Cibeber. Kini waktunya kita berbuat untuk kebaikan Kampung tercinta ini....
    Prosesi pemakaman jenazah Pak Kiai
    Mari kirimkan doa untuk guru kita semua. Alfatihah....

    Cibeber, 11 Februari 2018


    *) credit video: Abdul Rofiq


    Continue Reading
    image by www.ubudwritersfestival.com
    Pukul 08.45 wita pelayan kamar hotel mengetuk pintu dari luar. Saya dan seorang kawan penulis emerging, Abdul Aziz Rasjid (Banyumas), kelimpungan mencari kunci kamarnya. Semalam, (27/10/17) kami habis menghadiri acara Private Dinner bersama Nh. Dini, penulis kanon Indonesia, di Pantjoran Retreat. Usai itu kami dengan mengendarai sepeda-motor-sewa-hasil-sokongan menuju Antonio Blanco untuk menyaksikan penampilan Eko Supriyanto dan Papermoon. Jadi wajar belaka kalau kami bangun agak telat, karena pulang larut malam sekitar pukul 02.00 wita—dan atas alasan itu juga saya ikut menginap di kamar Aziz. 

    Pagi itu Aziz mengurungkan niatnya untuk ke kamar mandi, paling tidak sebelum kuncinya ketemu. Ia bergegas mengecek saku celana, tas selempang, kantung kemeja, bawah bantal, meja televisi hingga balkon kamarnya. Saya, yang masih guling-guling di kasur dan setengah sadar seperti melihat adegan orang habis kena hipnotis, sialnya lekas berakhir setelah ia menyerah lalu bertanya, “kunci kamarnya di mana, ya, Bung?” belum saya menjawab, seseorang dari luar menyahut, “ini Mas, menggantung di luar.” Tepat setelah suara itu, kami bertukar tawa disertai umpatan dengan mulut yang belum gosok gigi.

    Sejak tiba di Ubud-Bali, Aziz orang kedua yang saya temui dari 16 penulis emerging lainnya. Dari Banten, saya tidak berangkat sendirian, tetapi 3 orang sekaligus; Aksan Taqwin Embe (Tangerang), Istrinya dan anaknya. Tentu yang lolos seleksi penulis emerging hanya Aksan. Saat pertama kali bertemu saya mencandainya, “wih, sekeluarga, nih?”, “iya, nih, sekalian bulan madu,” serobot pikiran saya. Nyatanya, Aksan cukup tertawa kecil menjawab pertanyaan basa-basi saya itu.

    Kami tiba di Ubud sekitar pukul 17.00 wita. Mulanya saya kira akan satu kamar dengan Aksan dkk (dan keluarga kecilnya), untungnya tidak. Setelah tahu, ternyata setiap penulis disponsori oleh patron-nya masing-masing. Bahkan kami beda hotel, namun jarak setiap hotel yang ditempati penulis emerging tidak terlalu jauh. Barangkali untuk memudahkan shuttle bus atau tim penjemput mengantar kami ke acara. Setiap acara yang melibatkan kami sebagai pembicara atau undangan, pasti akan diantar-jemput. Namun bila ada kegiatan atau agenda tersendiri di luar schedule yang sudah disepakati, panitia membebaskan kami. Untuk mudahnya, kami sewa motor.

    Sebelum semua yang hanya ada di khayalan itu terjadi, saya hanya penulis yang gemar coba-coba. Pada “percobaan” yang ketigalah akhirnya naskah saya berhasil lolos. Tadinya pikiran picik saya sempat menduga, “jangan-jangan panitia dan juri kasihan pada saya, jadi meloloskan agar tidak depresi,” namun dugaan itu terbantahkan di hari ketika semua penulis emerging dikumpulkan. Serunie Unie (Surakarta) yang mengirimkan 4-5 kali naskahnya itu bertanya langsung ke Ibu Janete DeNeefe (Founder & Director #UWRF), Kadek Purnami (General Manager) dan I Wayan Juniarta (Indonesian Program Manager).

    Bli Jun menanggapi kalau hal tersebut keliru. Para kurator dan penyelenggara murni menilai hanya dari karya tulisnya. “Kalaupun kemudian kalian lolos tahun ini, berarti memang naskah kalian sudah layak untuk dikenal pembaca internasional,” kurang lebih seperti itu. Mendengarnya, membuat perasaan saya menjadi sedikit lega.

    Kami anggap ucapan Bli Jun sebagai motivasi untuk menjaga kualitas karya kami bahkan agar terus membaik. Paling tidak, kepercayaan diri kami mulai meningkat berkat ucapannya. Hal pendukung lainnya yang cukup ampuh adalah name tag / tanda pengenal yang bertuliskan speaker di leher kami. Beberapa peserta atau pengunjung tak segan-segan menyapa kami bahkan ada yang meminta foto dan tanda-tangan. Di antara belantara kesunyian dan kesuntukan dengan naskah, akhirnya saya bisa menikmati juga bonusnya—dan #UWRF yang berhasil mewujudkan itu.

    Perjumpaan dengan sastrawan Indonesia pun terasa mudah berkat tanda pengenal itu. Nh. Dini, Seno Gumira Ajidarma, Laila S. Chudori, Sutardji Calzoum Bachri, Joko Pinurbo, Intan Paramaditha, Ahmad Fuadi dan penulis lainnya memosisikan kami sebagai kawan bicara yang “setara”—belum lagi dengan penulis dan pegiat seni dari mancanegara. Pelan-pelan rasa canggung pun memudar, meski dalam hati dag-dig-dug nggak keruan. Bagaimana tidak, para penulis yang saya baca karyanya selama ini, dengan mudah bisa mengobrol rileks dan makan bersama tanpa terburu-buru dan takut ditinggal pergi.

    Jauh sebelum itu semua, ketika tahu nama saya muncul dalam daftar penulis terpilih emerging Ubud Writers and Readers Festival 2017, saya cemas karena kemampuan berbahasa asing saya yang pas-pasan. Jangan-jangan nanti saat diskusi harus ngomong bahasa inggris, pikir saya. Awalnya, saya dikabarkan lolos lewat telepon tanggal 7 Juli 2017, sedangkan acara akan berlangsung tanggal 25-29 Oktober 2017. Ada sekitar waktu 3 bulan untuk saya belajar bahasa inggris lebih intens lagi. Sempat ingin ikut les dan sejenisnya, tapi karena keterbatasan biaya akhirnya saya belajar sendiri saja.

    Ketika tiba waktunya dan saat panel saya, di hari pertama program dimulai, kekhawatiran itu hilang. Selain kami diberi kemudahan komunikasi dan mengatur jadwal lewat Liasion Officer (LO), ternyata penyelenggara menyiapkan interpreter profesional bagi masing-masing penulis. Kami tidak usah dipusingkan dengan bahasa inggris, cukup berbicara bahasa Indonesia saja dan nanti akan diterjemahkan, termasuk pertanyaan dari audiens yang kebanyakan warga asing itu, kami cukup menjawabinya dengan bahasa Indonesia.

    Di blog pribadi saya sudah menuliskan perihal pengalaman terlibat di #UWF17. Ini catatan saya yang ke-4 yang juga masih berbicara soal keseruan acara tersebut. Namun, lagi-lagi saya merasa belum semuanya tertuang. Terlampau banyak hal menarik untuk dituliskan. Apalagi hanya dibatasi 700 kata. Yang jelas, saya sangat berterima kasih kepada semua pelaksana acara super keren ini. Kalau harus memilih satu kata untuk #UWRF, saya akan bilang: totalitas! Semua acara diskusi, pameran, pementasan seni dls, diatur sedemikian “niat”. Saya betul-betul beruntung bisa menyaksikan langsung acara sastra dan seni terbesar se-Asia Tenggara ini. Saya menjura untuk kerja keras kalian semua, guys!

    Cilegon, 16 Januari 2018



    _____________________________
    *) tulisan ini pernah dimuat di website: www.ubudwritersfestival.com,(15/02/18)
    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About me

    Photo Profile
    Ade Ubaidil, Pengarang, Cilegon-Banten.

    Pria ambivert, random dan moody. Gemar membaca buku dan berpetualang. Bermimpi bisa selfie bareng helikopter pribadinya. Read More

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: Perangkap Pikiran Beni Kahar

    (AG Publishing | 204 halaman | Rp75.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telat Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: SAHUT KABUT

    (Indonesia Tera | 160 halaman | Rp. 60.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Novel Adaptasi: YUNI

    (GPU | 174 halaman | Rp. 63.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Pengunjung

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Bedah Buku Dee Lestari

    Bedah Buku Dee Lestari

    Workshop & Seminar

    Workshop & Seminar

    Popular Posts

    • [RESENSI] NOVEL: HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (GPU, 2015)
    • Musim Layang-Layang (Pasanggarahan.com, 30 Oktober 2015)
    • [MY PROFILE] Terjerembap di Dunia Literasi: Lahan untuk Memerdekakan Pikiran (Utusan Borneo-Malaysia, 13 Desember 2015)

    Blog Archive

    • ►  2012 (5)
      • ►  October (3)
      • ►  December (2)
    • ►  2013 (41)
      • ►  January (1)
      • ►  March (5)
      • ►  April (4)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  August (1)
      • ►  September (3)
      • ►  October (3)
      • ►  November (16)
      • ►  December (5)
    • ►  2014 (20)
      • ►  January (2)
      • ►  April (3)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  July (1)
      • ►  September (1)
      • ►  November (6)
      • ►  December (4)
    • ►  2015 (21)
      • ►  February (5)
      • ►  March (2)
      • ►  April (3)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (5)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
      • ►  December (1)
    • ►  2016 (31)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  April (2)
      • ►  May (4)
      • ►  June (1)
      • ►  July (2)
      • ►  August (5)
      • ►  September (4)
      • ►  October (5)
      • ►  November (2)
      • ►  December (3)
    • ►  2017 (41)
      • ►  January (4)
      • ►  February (3)
      • ►  March (8)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  June (8)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (3)
      • ►  November (4)
      • ►  December (3)
    • ▼  2018 (24)
      • ►  January (3)
      • ▼  February (2)
        • [Catatan] #UWRF17: Kisah yang Tak Tuntas-tuntas Di...
        • [Memoar] Bapak dan Sahabat Kecilnya
      • ►  March (3)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  November (4)
      • ►  December (2)
    • ►  2019 (16)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (3)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (14)
      • ►  January (1)
      • ►  February (1)
      • ►  March (2)
      • ►  April (1)
      • ►  May (2)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (1)
      • ►  November (1)
      • ►  December (2)
    • ►  2021 (15)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  April (1)
      • ►  May (1)
      • ►  June (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (3)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  December (1)
    • ►  2022 (30)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  May (3)
      • ►  June (5)
      • ►  July (1)
      • ►  August (4)
      • ►  September (3)
      • ►  October (2)
      • ►  November (2)
      • ►  December (7)
    • ►  2023 (38)
      • ►  January (4)
      • ►  February (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (9)
      • ►  November (15)
      • ►  December (4)
    • ►  2024 (3)
      • ►  January (1)
      • ►  March (2)
    • ►  2025 (1)
      • ►  January (1)

    Followers

    youtube facebook Twitter instagram google plus linkedIn

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top