Pages

  • Home
  • Privacy
  • Sitemaps
  • Contact
  • [PROFIL] TENTANG ADE UBAIDIL
facebook instagram twitter youtube

Quadraterz.com

    • My Book
    • Cerpen
    • Novel
    • Esai
    • Puisi
    • Buku Antologi
    • Ulasan
    • Media
    • [Self-Depression]
    • Rumah Baca Garuda
    [CERPEN] GUNUNG PINANG DAN ROTI PENGGANJAL PERUT (Litera.co.id, 15 Mei 2017)

    image by: bantenfoto.com

    Jika kau berjalan dari arah Timur maka tersebutlah kampung Krapcak. Sedang bila kau menyusur dari arah Barat maka kau akan melewati kampung Pejaten. Lain hal andai kau tinggal di kampung yang sama dengan Mang Asmin. Cukup menapaki tanah lurus yang mengarah langsung ke gunung pinang itu.  Kampung yang dimaksud bernama Pelabuhan Bulan. Asal-usul namanya memang unik dan mudah diingat sebab berbeda daripada dua kampung yang sudah tertulis. Tetapi, mungkin lain waktu saja sejarah dan filosofi nama kampung itu akan diceritakan, tidak untuk kisah ini.

    Plang dipasang pada tiang panjang setinggi satu meter setengah. Memuat tulisan yang mungkin bagi warga cukup meresahkan. Mobil-mobil pengunjung, di esok hari, bisa jadi tidak akan seramai hari ini atau hari-hari kemarin. Jelas saja kalau sampai itu terjadi, pemasukan warga lokal akan menurun drastis. Bahan bakar kian hari—kian berganti pemimpin—harganya semakin melonjak. Memaksa segala macam bandrol harga kebutuhan hidup melangit. Sementara biaya sekolah pun tak kunjung menurun.

    Program sekolah gratis laksana panggang jauh dari api. Warga kampung sekitar tiada merasakannya. Bahkan beberapa anak dari masing-masing kepala keluarga terpaksa memenggal cita-cita. Bagi kaum terpinggirkan, menyelesaikan sekolah tingkat SMP dan sederajat saja itu sudah sebuah prestasi. Namun ketika sebuah keputusan diambil, dan tanpa persetujuan pihak lain—dalam hal ini warga sekitar—maka salah satu sumber mata pencaharian resmi diganjal tumpukan batu besar yang akan menjelma sebuah bangunan.

    Mang Asmin, sehari sebelum plang itu dipatok pada salah satu sudut gapura, tengah merapikan barang dagangannya. Selain mengerjakan hal rutinitas di setiap akhir pekannya itu, Mang Asmin pun sering atau bahkan tak pernah terlewat membersihkan surau yang berada di antara pepohonan rindang di atas bukit sana. Beliau bisa dibilang salah satu warga yang memetik rezekinya di tempat wisata Gunung Pinang itu. Biasanya, selalu saja ada acara yang dibuat di tengah hutan lindung tersebut. Seperti ketika Mang Asmin sedang mengeluarkan botol-botol air mineral di warung sederhananya. Salah satu orang berpakaian seragam datang mengunjunginya.
    “Ada nasi uduk, Mang?” Tanya pria itu sambil segera menduduki dipan di depan warung.
    “Ada, Mas,” jawabnya lekas, “mau pesan berapa?”
    “Satu saja, atuh. Makan di sini, ya.”
    Mang Asmin menyuguhkan teh tawar hangat kepadanya. Pria itu mengenakan pakaian pengendara sepeda.
    “Ikutan, juga?” Basa-basi Mang Asmin memantik obrolan. Istrinya masih di rumah mengambil perlengkapan makan untuk pengunjung. Beruntung di warungnya ada beberapa piring plastik yang pekan lalu tidak dibawanya pulang. Mang Asmin beserta istrinya biasa memasak nasi uduk di rumah. Jadi, beliau hanya menyediakan nasi sekiranya satu bakul, kalaupun ramai pengunjung, dalam 5-6 jam saja sudah ludes.
    “Ya, nih, Mang. Kebetulan saya pertama kali juga main ke sini,” tanggapnya antusias. “Penasaran juga, euy, sama trek-nya.”
    Gunung Pinang, sekaligus hutan yang resmi didaulat sebagai hutan lindung kira-kira lima tahun lalu ini memang karismanya bak magnet bagi pecinta alam. Pun bagi mereka penggila olahraga ekstrem seperti balap sepeda gunung atau pun panjat tebing. Sebab jalanan yang terjal dan menanjak-berkelok adalah tantangan tersendiri bagi mereka. Beraneka pepohonan serta tanaman langka pun banyak tumbuh di sekitar gunung. Mang Asmin memang tak setiap hari pula berdagang di sana, sekalipun terkadang ada acara yang terselenggara selama satu minggu penuh. Jadwal berdagangnya untuk hari Senin-Jumat beliau memilih tempat di Sekolah Dasar yang jaraknya tidak terlalu jauh dari gunung pinang.
    “Ti Bandung, Kang?”
    “Leres. Tepatna ti Cianjur. Mang Asmin sendiri asli urang diye?” pria itu balas bertanya. Tentu ia tahu nama Mang Asmin sebab di atas warung beratap belarak itu terpampang namanya pada sebuah papan triplek dalam goresan arang, tertulis: NASI UDUK MANG ASMIN.
    “Kebetulan istri orang Sunda. Saya memang asli sini, Wong Banten.” Ia tersenyum lebar sembari menyodorkan sepiring nasi uduk.

    Awan berarak, matahari cerah bersinar. Kawanan kambing berlarian digiring penggembala. Dekat warung nasi Mang Asmin, bertumbuhan rumput-rumput liar. Di sekitar sana memang tak ada larangan untuk menggembala hewan ternak. Sayangnya, itu tidak akan bertahan lama. Abah Rohman, bapak sepuh berusia sekira enampuluhan itu mengeluh.
    “Kopine, Mang.” Keringatnya mengucur deras. Ia harus menyeberangi jalan raya yang ada di depan pintu masuk Gunung Pinang. Berjalan kaki sambil mengarahkan ternaknya adalah hal yang merepotkan, apalagi diusia senjanya kini.
    “Endi Muhrojine, Mang? Dewekan bae, tah?” ia bertanya bungsu Abah Rohman. Sebab setiap ke sana, bapak tua itu mengajak cucunya. Ia gemar sekali bermain di Gunung Pinang.
    “Iya, keh. Dewekan. Muhroji lagi sakit, Mang.” Ia mengela napas panjang. “Payah, yah, Mang. Ada-ada saja pemerintah. Gunung yang lagi tenang gini masa mau dikeruk. Aneh!”
    “Ya, wong cilik. Bisa apa, coba? Mengeluh dan mengeluh saja. Mau rumah digusur, gunung dikeruk, pohon ditebang, jalan diperlebar, kita mah nggak bisa apa-apa,” ucapnya lemas. Ia berjalan keluar. Kemudian duduk di sebelah Abah Rohman. “Cuma manut dan nurut.”

    Terlihat dari pintu gerbang banyak pendatang. Mereka sedang menurunkan sepeda dari atas mobil masing-masing. Satu-satunya upaya dari pemuda dan Karang Taruna setempat ya menyelenggarakan kegiatan itu. Barangkali, mereka berpikir, kalau sampai ramai, semoga penggusuran dan pengerukan lahan oleh pemerintah dan pihak terkait bisa dipikirkan ulang. Beruntungnya kegiatan itu bisa terlaksana dan mendapatkan izin jauh-jauh hari.
    “Mampir, Mas...,” ucap Bu Kusuma setibanya di warung. Ia menegur sapa para pendatang. Mereka pun bertukar senyum. Ada satu dua orang yang beristirahat sejenak di warung nasi uduknya.
    “Lama sekali, Bu? Bapak hampir saja kehabisan piring tadi.” Ia menyambut barang-barang yang dibawa oleh istrinya ke dalam warung.
    “Iya, Pak, Maaf. Di jalan tadi terjadi kecelakaan.”
    “Rawan pisan, ya, Bu. Di jalan Wulandira itu, ya?”
    “Bener, Bah. Duh, anak zaman sekarang. Kalau bawa kendaraan nggak bisa pelan-pelan.” Raut muka Bu Kusuma tampak sembilu.  “Makanya saya mah cerewet sama anak-anak, kalau bawa kendaraan mesti hati-hati. Kalau udah kecelakaan kayak tadi, keluarga juga yang repot.”

    Hari semakin terik. Warung-warung lain sudah buka. Banyak warga yang berkeliling menjaja air mineral. Mereka mendatangi satu per satu para pendatang dan peserta. Di bawah pohon asem, ada gadis kecil tengah menangis seorang diri. Ia meringkuk sembari terus sesenggukan. Seorang anak perempuan, sekitar usia tiga belas tahun datang mendekat. Ia membawa sekantong karung besar. Keduanya ternyata pemulung. Dari dalam kantung itu, ia mengeluarkan satu plastik berisi makanan.
    “Ini makan dulu. Habis ini kita pulang.”
    Anak kecil itu menggeleng, meski ia tampak begitu lapar. Kedua tangannya memeluk perut mungilnya.
    “Nanti kamu juga sakit kalau nggak makan.”
    “Tapi Ibu juga belum makan, Kak.”
    “Kakak sudah pisahkan buat Ibu, tenang saja.” Mendengar itu, ia lekas melahap roti dari dalam plastik merah yang digenggam kakaknya. Lahap betul. Sampai lupa menawari kakaknya.

    Suara gemuruh orang-orang dan bunyi kendaraan saling bersahutan. Namun tidak ada waktu untuk sepasang kakak-adik itu. Mereka harus segera pulang dan menemani ibunya yang sedang sakit. Bahriah, si adik, tampak riang setelah berhasil mengganjal perutnya. Sementara Siti, tengah memutar otak. Ia mau tidak mau berbohong pada adik bungsunya itu. hanya ada satu buah roti dalam karung yang dibawanya. Ia berkata seperti tadi agar Bahriah mau memakannya. Tentu akan sangat merepotkan kalau adiknya ikut sakit juga. Soal perutnya sendiri, ia tak ambil pusing. Karungnya berisi banyak sekali barang bekas juga botol-botol plastik. Apalagi setiap kali ada acara semacam ini, pikirnya. Bahkan ia pun berniat untuk datang lagi ke sana setelah memastikan perut ibunya terisi makanan dan juga meminum obat. Ia yakin akan mendapatkan cukup uang setelah menjual barang rongsokannya itu ke pengepul.

    Sekitar duapuluh menit, mereka hampir sampai rumah. Namun sebelum itu, di dekat gang kampungnya, ia berbelok ke kanan. Di sana ia akan menukarkan isi karungnya dengan uang.
    “Cuma sekilo. Nih!”
    “Yang bener, Bang? Tambahin, dong. jangan segini....” Ia tampak kecewa dan berharap uang yang diterima lebih dari itu.
    “Gua kepret, Lu. Masih untung gue bayar! Pergi sana!”
    Adiknya ketakutan. Ia menarik ujung baju kakaknya sembari bersembunyi. Siti tak bisa berbuat banyak. Ancaman itu benar sering terjadi. Ia pernah menukar hasil rongsokannya dan tidak mendapatkan sepeser pun. Makanya ia lebih baik mengalah dan mengajak Bahriah pergi dari sana.
    “Cuma dapet tiga rebu.” Ia sedang menghitung-hitung, sembari berjalan menuju warung terdekat. Tak lama kemudian, ia telah sampai di depan warung.
    “Bu Anah, rotinya satu sama obat batuk yang semalem itu satu lagi, ya....” Ia celingak-celinguk. Tak ada siapa-siapa di dekat warung itu. Ibu Anah menyilakan Siti mengambil sendiri rotinya yang ada di depan. Sementara ia mengambil satu tablet obat batuk. Ia mengguntingnya sebuah. Tanpa ia tahu, di luar Siti mengambil dua buah roti. Satu ditunjukkan padanya, satu sudah Siti sembunyikan di balik bajunya.
    “Berapa duit, Bu?”
    “Tiga ribu.” Siti tersenyum getir. Adiknya sudah lebih dulu berlari tanpa tahu apa yang telah kakaknya lakukan. Setelah Siti menyerahkan uangnya, ia melangkah pulang dengan hati gamang. Namun ia bergumam berusaha menenangkan diri sendiri, “besok bakal saya ganti sembari minta maaf.” Ia telah sampai di depan pintu rumahnya. Ibunya sudah menunggu.

    Cilegon, 16 Februari 2017



    ________________
    *) pernah dimuat di: Litera.co.id - Gunung Pinang dan Roti Pengganjal Perut













    Continue Reading
    [TIPS MENULIS] SHOW, DON'T TELL!
    (Famindonesia.com, 11 Mei 2017)

    image by: famindonesia.com

    Tunjukkanlah, jangan menceritakannya! Barangkali begitulah makna secara harfiahnya. Tidak salah, karena memang materi kali ini akan membahas tentang tata cara membuat narasi dan deskripsi secara “menggugah”. Kenapa menggugah? Karena sejauh ini, banyak dengan mudah kita dapati sebuah cerita ditulis asal jadi saja. Tanpa adanya sentuhan “rasa”, sehingga cerita terasa hambar. Ibarat masakan, pasti akan kurang sedap apabila kurang garam atau kebanyakan garam—sebaik apa pun nama masakan tersebut dan diracik dari bahan-bahan pilihan yang berbandrol mahal. Sebenarnya, sebuah cerita tak perlu bertema “berat” dan rumit. Cukup sederhana saja, asalkan ditulis dengan baik—tersampaikan apa buah pikir penulis—dan dengan racikan bumbu yang pas tentu saja.

    Mari kita mengenalinya melalui sebuah contoh:

    Badrun berjalan menuju warung Bu Risna. Setibanya di sana ia memesan kopi dan sepiring nasi uduk. Sekira lima menit kemudian, Siti, putri bungsu Bu Risna, menyodorkan pesanan Badrun. Tak buang waktu Badrun lekas menyantapnya. Sesekali matanya jelalatan melirik ke arah Siti yang membantu ibunya di dapur.

    Bagaimana? Ada yang kurang? Begitulah, tetapi kira-kira penggambaran itu mendekati apa yang dimaksud, “show, don’t tell”. Lalu ‘bumbu’ apa yang sekiranya perlu dibubuhi agar ‘masakan’ di atas terasa sedap? Kita perlu menambahkan sejumlah detail, terutama dialog dan action. 

    Contoh kedua:

    Badrun melangkah membelah udara, dari jauh matanya mengarah ke warung Bu Risna. Setibanya di sana, ia menggeser sebuah bangku kayu yang sedikit rapuh, kemudian meletakkan bokong teposnya. Jarinya menunjuk serenteng kopi, merek yang ia sukai, lalu memesan sepiring nasi uduk, sebab suara perutnya memelas sedari tadi. Sesekali ia celingukan, memastikan kalau orang yang berada di belakang Bu Risna adalah seseorang yang ingin dilihatnya. Sekira lima menit kemudian, bibirnya terangkat. Tentu ia tujukan untuk Siti, putri bungsu Bu Risna yang sudah lulus SMA itu. Gadis itu tampak tersipu, kedua lesung pipinya membalas senyum Badrun.
    “Silakan, Kang,” ucapnya sopan, sembari menyodorkan pesanan Badrun. Bulu halus di lengannya membuat Badrun mengerjap-ngerjapkan mata. Ditambah aroma kopi di atas meja yang meruap sedemikian menggodanya.
    “Nuhun, Neng Siti.” Dengan memasang wajah genit, ia berlaga tak sengaja menyenggol lengan Siti. “Eh, maaf, Neng.”
    Seketika hati Badrun berdesir, sambil lekas meredam suara perutnya. Satu-dua sendok nasi uduk sudah mendarat di mulutnya, silih-berganti dengan sesapan kopi yang khas buatan Siti, terasa lebih manis. Ia tidak suka kopi terlalu manis, tetapi kalau itu Siti yang buat, ia telan saja setulus hati.
    Tiba-tiba ia ingat sesuatu, dulu ketika mendapatkan hati Wanah, istrinya, ia melakukan cara yang sama. Giat mendatangi warung yang dijaga Wanah dan sesekali menggombalinya. Sekarang ia terlihat begitu gigih mencuri perhatian Siti. Jari-jarinya terampil melinting-linting kumis tebalnya, sesekali matanya jelalatan melirik ke dalam, menangkap Siti yang tengah membantu ibunya di dapur.

    Jadi, begitulah kira-kira: kita memerlukan detail. Dan pada contoh kedua kita sudah melihat ada perasaan, pikiran, keinginan, aroma dan lainnya yang terlibat demi keperluan jalannya cerita. Dengan begitu kita bisa mengajak pembaca masuk ke dunia rekaan yang kita sampaikan. Dan bila kita cermati secara saksama, di teks kedua bisa kita dapati Deskripsi dengan Lima Indra. Sebab dalam deskripsi yang baik, penulis seharusnya membuat pembaca melihat sesuatu, mencium baunya, merasakan persentuhan dengannya, mendengar bunyinya, dan mencecap rasanya, karena jika dalam deskripsi kita hanya “menceritakan” sesuatu yang hanya tampak dalam mata, maka yang kita lakukan tak beda dengan menyodorkan sebuah foto atau gambar kalender; membosankan dan biasa saja—(Creative Writing, AS Laksana, hal.55).

    Satu hal yang harus diingat, bahwa dalam sebuah deskripsi memang tidak melulu harus melibatkan lima panca indra, ikuti saja intuisimu, dikira-kira bagian yang mana yang perlu, sebab kalau semua diterapkan pasti cerita akan begitu panjang dan jumlah halaman membengkak semakin tebal. Juga tak semua harus “show” sesekali pakailah “tell”. Kita sudah harus bisa mengidentifikasi cerita kita sendiri. Cari titik fokusnya, apa yang ingin penulis sampaikan, dan letakkan detailnya di sana. Tetapi minimal dua panca indra harus kita libatkan, agar cerita tidak terasa menjemukan dan pembaca terus bertahan mengikuti jalan cerita yang kita tulis sampai titik paling akhir.

    Cilegon, 070416



    _______________________
    *) pernah dimuat di: Show Don't Tell - FAM Indonesia

    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About me

    Photo Profile
    Ade Ubaidil, Pengarang, Cilegon-Banten.

    Pria ambivert, random dan moody. Gemar membaca buku dan berpetualang. Bermimpi bisa selfie bareng helikopter pribadinya. Read More

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: Perangkap Pikiran Beni Kahar

    (AG Publishing | 204 halaman | Rp75.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telat Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: SAHUT KABUT

    (Indonesia Tera | 160 halaman | Rp. 60.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Novel Adaptasi: YUNI

    (GPU | 174 halaman | Rp. 63.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Pengunjung

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Bedah Buku Dee Lestari

    Bedah Buku Dee Lestari

    Workshop & Seminar

    Workshop & Seminar

    Popular Posts

    • [RESENSI] NOVEL: HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (GPU, 2015)
    • Musim Layang-Layang (Pasanggarahan.com, 30 Oktober 2015)
    • [MY PROFILE] Terjerembap di Dunia Literasi: Lahan untuk Memerdekakan Pikiran (Utusan Borneo-Malaysia, 13 Desember 2015)

    Blog Archive

    • ►  2012 (5)
      • ►  October (3)
      • ►  December (2)
    • ►  2013 (41)
      • ►  January (1)
      • ►  March (5)
      • ►  April (4)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  August (1)
      • ►  September (3)
      • ►  October (3)
      • ►  November (16)
      • ►  December (5)
    • ►  2014 (20)
      • ►  January (2)
      • ►  April (3)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  July (1)
      • ►  September (1)
      • ►  November (6)
      • ►  December (4)
    • ►  2015 (21)
      • ►  February (5)
      • ►  March (2)
      • ►  April (3)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (5)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
      • ►  December (1)
    • ►  2016 (31)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  April (2)
      • ►  May (4)
      • ►  June (1)
      • ►  July (2)
      • ►  August (5)
      • ►  September (4)
      • ►  October (5)
      • ►  November (2)
      • ►  December (3)
    • ▼  2017 (41)
      • ►  January (4)
      • ►  February (3)
      • ►  March (8)
      • ►  April (3)
      • ▼  May (2)
        • [TIPS MENULIS] SHOW, DON'T TELL! (Famindonesia.com...
        • [CERPEN] GUNUNG PINANG DAN ROTI PENGGANJAL PERUT (...
      • ►  June (8)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (3)
      • ►  November (4)
      • ►  December (3)
    • ►  2018 (24)
      • ►  January (3)
      • ►  February (2)
      • ►  March (3)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  November (4)
      • ►  December (2)
    • ►  2019 (16)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (3)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (14)
      • ►  January (1)
      • ►  February (1)
      • ►  March (2)
      • ►  April (1)
      • ►  May (2)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (1)
      • ►  November (1)
      • ►  December (2)
    • ►  2021 (15)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  April (1)
      • ►  May (1)
      • ►  June (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (3)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  December (1)
    • ►  2022 (30)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  May (3)
      • ►  June (5)
      • ►  July (1)
      • ►  August (4)
      • ►  September (3)
      • ►  October (2)
      • ►  November (2)
      • ►  December (7)
    • ►  2023 (38)
      • ►  January (4)
      • ►  February (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (9)
      • ►  November (15)
      • ►  December (4)
    • ►  2024 (3)
      • ►  January (1)
      • ►  March (2)
    • ►  2025 (1)
      • ►  January (1)

    Followers

    youtube facebook Twitter instagram google plus linkedIn

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top