Pages

  • Home
  • Privacy
  • Sitemaps
  • Contact
  • [PROFIL] TENTANG ADE UBAIDIL
facebook instagram twitter youtube

Quadraterz.com

    • My Book
    • Cerpen
    • Novel
    • Esai
    • Puisi
    • Buku Antologi
    • Ulasan
    • Media
    • [Self-Depression]
    • Rumah Baca Garuda
    koran Radar Banten edisi 20 Februari 2017


    Kemarin, seorang teman bercerita soal masa kecil di kampungnya. Suatu kali, ia sedang di dalam masjid tua bersama teman sebayanya. Layaknya surau-surau di kampung lain, di daerah Banten khususnya, mereka bersalawat melalui pengeras suara masjid. Keduanya melakukan itu kira-kira sebelum masuk waktu salat asar. Tentu saja saling bersemangat menyenandungkan salawat yang mereka hafal dari guru mengajinya. Nahasnya, tak lama berselang, dari arah belakang keduanya mendapatkan sambitan keset berdebu dari seorang lelaki tua yang kemudian mereka sadari ia adalah Yai Fulan (sebut saja demikian), tetua yang dianggap kiyai, sesepuh kampung dan sejak dulu dipercaya sebagai pengurus masjid alias DKM di kampung tersebut.

    Timbullah pertanyaan kemudian, bahkan ketika teman saya beranjak dewasa. Bukankah hal lumrah, katanya, memakai pelantang suara masjid untuk hal-hal yang jelas-jelas kemaslahatannya? Justru mestinya, kalaupun mereka salah ucap bacaan, mereka diberi pelajaran untuk kemudian berani dan diberi kesempatan lagi untuk salawatan, bukan malah menakut-nakutinya dan menjaga jarak (baca: membuat kapok) datang ke masjid? Yang berakibat menimbulkan kebencian pada sosok Kiyai.
    Rupa-rupanya, setelah ditelusuri, di kampung kawan saya itu, pengurus masjidnya sangat keras, kolot dan alot pemikirannya. Beliau tidak membolehkan melakukan aktivitas apapun di masjid kecuali salat. Itu saja. Kita sama-sama tahu, di daerah Banten, budaya riungan, salawatan, musyawarah-mufakat, gotong-royong, muludan, perayaan Hari Besar Islam, dan banyak hal sejenisnya dilakukan di pelataran maupun di aula luar dan dalam masjid. Bagaimana bila hal-hal itu dilarang? Bukankah kita sebagai muslim diminta untuk “menghidupkan” dan memakmurkan masjid?
    Belakangan ini, Islam dan penganutnya benar-benar sedang menjadi sorotan. Wajah muslim yang ditampilkan di media-media adalah wajah yang keras kepala, garang, sewotan, banyak omong, intimidatif, menyerang, ingin menang sendiri, arogan, egosentris, tidak bisa berdamai dan selalu ingin dianggap paling benar.
    Sejak dahulu, di benua Amerika, Australia dan kawasan Eropa sekitarnya perseteruan dua kubu macam ini pernah berlangsung sampai terjadi perang suku dan ras. Orang-orang yang terlahir sebagai ras white skin (kulit putih) merasa paling tinggi derajatnya dibanding mereka yang ras black skin (kulit hitam). Kaum kulit putih, lantaran kaum mayoritas, merasa perlu melakukan gerilya dan terus-menerus merongrong kaum minoritas hingga terjadi pembunuhan besar-besaran. Mereka merasa berkuasa dan paling layak tinggal dengan jabatan dan posisi tertinggi di tanah tersebut. Menerima perbedaan menjadi barang langka yang sulit ditemukan pada masa itu. Namun, lambat laun semuanya berjalan sesuai sunatullah dan satu sama lain bisa saling berterima—sekalipun penindasan masih sering diperoleh kaum minoritas hingga detik ini.

    Sekarang, di Indonesia perlahan-lahan hal serupa sedang terjadi. Ada upaya “adu-domba” yang kemudian menimbulkan perpecahan. Saya bukanlah bagian dari Badan Intelijen Negara (BIN), tidak bisa sembarang asal sebut soal pihak mana yang sedang “bermain-main” dan menggodok para “korban” dengan memakai bumbu agama. Yang jelas, untuk memicu perselisihan, agama adalah satu cara yang paling ampuh.

    Indonesia didiami oleh berbagai suku, agama, ras, budaya, adat yang begitu beragam dan terikat. Perumusan Pancasila, UUD 1945, peraturan-peraturan yang berlaku di negara ini bukan sembarang tulis dan putuskan secara serampangan. Semuanya berdasarkan pertimbangan para tokoh besar yang membangun negara ini dengan melihat perbedaan yang ada di Nusantara. Maka adanya isu bangkitnya PKI, simbol Palu-Arit di mata uang, berdatangannya warga asing seperti China, Korea, Amerika dan segala macam adalah salah satu bumbu pemicu konflik lainnya—khususnya untuk memancing orang-orang bersumbu pendek yang kelewat banyak itu.

    Orang-orang awam, yang menelan bulat-bulat informasi melalui media cetak dan elektronik tidak sungguh-sungguh menelusuri kebenarannya. Sebagian besar mereka bahkan adalah tim hore semata dan merasa paling mengerti soal apa yang terjadi dengan bangsa tercinta kita ini. Mestinya kita memahami dahulu, seperti kata seorang kawan, bahwa jangan mengagamakan budaya, tapi budayakanlah agama.

    Problem terbesarnya tentu saja dengan “menggunakan” mayoritas sebagai kendaraan. Bukan bermaksud sepenuhnya menyalahkan media, sejak dahulu penyampai isu dan fakta terbaik ya tentu saja media. Sayangnya sebagian sudah beralih fungsi. Berita bukan lagi menunjukkan satu kebenaran (fakta) di dalamnya. Semua mengandung unsur-unsur politis dan bermain-main dengan sudut pandang tertentu. Membaca berita hari ini seperti sedang membaca karya sastra yang tafsirannya bisa beragam. Karenanya, sebelum kita benar-benar menjatuhi kepercayaan penuh pada media, kita mesti mempelajari dahulu siapa orang yang berada di belakang media itu? Kredibel-kah selama ini? Apalagi perpecahan antar warga semakin meningkat sejak Pilpres hingga hari ini menjelang Pilkada.

    Akan sangat disayangkan andai kita terpecah-belah hanya karena satu momen tertentu. Seribu teman kurang, satu musuh kebanyakan. Sebagai makhluk sosial tentu kita tidak akan bisa bertahan hidup hanya dengan mengandalkan diri sendiri maupun kelompok. Ada saatnya kita memerlukan uluran tangan kelompok lain. Saya percaya wajah muslim hari ini hanyalah segelintir dari banyaknya wajah berseri nan tulus lainnya, yang belum sepenuhnya terekspos media. Terlebih sebagai pribumi Banten, wajah-wajah sesungguhnya ulama, para pewaris Nabi, masih bisa kita dapati di surau-surau, pesantren, kobong, pondok, juga dari para santri, penerus-penerus tonggak Islam yang damai, yang dibawa Rasulullah sejak kedatangannya di dunia ini.

    Bukankah kisah-kisah Nabi Muhammad SAW masih sering kita dengar hingga saat ini? Cara beliau mengingatkan, cara beliau menegur, hingga cara beliau mengajak seseorang untuk memeluk Islam yaitu dengan perilaku yang lembut dan santun. Bagaimana cara beliau menyentuh hati seorang Kafir Quraisy yang gemar meludahinya setiap kali akan berangkat ke masjid dan sewaktu ia tidak ada beliau malah mencarinya, lalu setelah tahu sakit beliau mendatangi rumahnya, menjenguknya dan membawakan buah-buahan? Siapa yang tidak tersentuh dengan ketulusan yang Nabi tunjukkan itu? Islam adalah agama yang fleksibel dan tidak kaku, sayangnya hal demikian belum banyak yang menyadari.
    Wajah muslim hari ini, yang selalu ditunjukkan media adalah wajah “para pemula”. Ulama, Kiyai serta Ustad yang ditampilkan, sebagian besar, menunjukkan kalau mengajak seseorang untuk menganut ajaran Islam mesti dengan cara kekerasan, pemaksaan dan sindiran-sindiran yang nyelekit sekaligus melukai hati. Pada akhirnya, ketika mereka berhasil “mengislamkan” dan mengajak seseorang mematuhi syariat Islam bukan lantaran ketulusan yang datang dari hatinya, melainkan karena paksaan dan berpikir bila ia tidak menurutinya maka ia akan dibenci dan dijauhi. Padahal Islam adalah agama yang penuh sayang dan cinta kasih. Wallahu’alam bissawab.


    Cilegon, 05 Februari 2017
    Continue Reading
    image by: sinarharapan.co

    Hujan di luar dan kering di dalam. Tubuh saya bahkan terasa kosong. Setiap kali mendapati diri dengan perasaan yang ganjil begini, saya memilih untuk membaca buku. Pada momen tertentu, ada keterkaitan yang sulit sekali dijelaskan antara perasaan saya dan isi buku yang hendak maupun sedang dibaca (dalam istilah Paulo Coelho disebut Faal). Tak melulu ia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkelindan dalam benak saya, tetapi bisa juga berupa ‘dugaan’, ‘tuduhan’ dan ‘pertanyaan’ lainnya. Semacam berkonsultasi dengan seorang psikiater yang menjawab pertanyaan pasiennya dengan sebuah pertanyaan baru.

    Malam ini saya memutuskan untuk menuliskannya dalam tajuk, “Self-Depression” yang belakangan mengisi jurnal atawa blog pribadi saya ini. Bagi yang belum tahu, kolom ini akan bicara apa saja secara random soal pikiran-pikiran yang mengganggu di kepala saya; itu pun bila saya memiliki waktu luang di antara kesibukan bermalas-malasan saya yang rutin.

    Pernahkah Anda begitu terbuka ketika bertemu dengan orang baru (asing)?
    Hal yang biasa ditemui adalah ketika kita sedang menunggu bus, atau di dalam bus. Orang yang ada di sebelah kita entah siapa kita tidak mengenalnya. Namun, kita bisa bicara banyak dengannya saat ada satu saja obrolan pemicu. Tentu tidak sering dan selalu memancing percakapan panjang, tapi bukan berarti tidak pernah.

    Adakalanya saat kita tidak mengenal orang lain, justru di sanalah kita bisa sebebasnya bicara apa pun; semau kita. Tanpa perlu ada tedeng aling-aling, merasa tersinggung dan was-was soal kehidupan pribadi kita. Itulah yang beberapa kali pernah saya lakukan. Listening is loving, begitulah kata François Lelord dalam bukunya, Hector and the Search for Happiness. Itu pula yang sering saya alami. Saya lebih banyak menjadi pendengar ketimbang pembicara, namun toh saya menikmatinya juga. Ada pengalaman-pengalaman tak terduga saat mendapati grundelan, unek-unek, curhatan orang lain. Di lain sisi saya pernah mengalaminya, di lain hal saya sama sekali baru tentang cerita yang dituturkan olehnya. Apalagi, sebagai orang yang gemar menulis, mendapati kisah-kisah unik dengan segala problemanya itu saya bisa menemukan ide baru untuk kemudian saya rekonstruksi ceritanya dengan sedikit bumbu khas dalam dunia fiksi yang saya geluti.

    Sialnya, dua bulan terakhir saya benar-benar mandek. Ini seharusnya menjadi sebuah rahasia saja, sebab terbilang “memalukan”, akan tetapi saya butuh berbagi. Barangkali, kalaupun cerita ini tidak berguna untuk orang lain, setidaknya ada manfaatnya untuk saya. Segala keresahan ketika telah dituangkan biasanya kemudahan akan menghampiri kita, dan saya percaya itu. Saya hanya sedang memperbanyak bacaan dan menonton film. Kemandekan macam begini tentu semua penulis pernah mengalaminya; mungkin pula semua orang-orang yang bekerja dalam bidang yang menuntut kreativitas dan mengedepankan inovasi secara progresif sangat sering. Penulis harus terus aktif dan memberikan pandangan serta gagasannya kepada pembaca. Karenanya saya memutuskan untuk menulis ini meski tanpa didasari gagasan yang jelas.

    Setelah saya amati, beberapa hari ini saya belum melakukan perjalanan yang sebenar-benarnya perjalanan. Sesuatu aktivitas yang memicu daya khayal dan imajinasi saya untuk menemukan gagasan-gagasan serta permenungan baru. Belakangan saya hanya dipusingkan dengan kegiatan bolak-balik kampus, berkumpul dengan kawan yang itu-itu saja, juga kegiatan sastra yang tidak begitu banyak mengundang gairah. Tetapi tentu saja aktivitas demikian tidak bisa menjadi alasan saya mandek dalam menulis, khususnya fiksi. Segalanya kembali dalam diri saya sendiri; komitmen!

    Sekali lagi, saya butuh melakukan perjalanan jauh seorang diri, kalaupun berdua dengan orang yang akrab jangan terlalu banyak interaksi, agar saya bisa mendengarkan suara lain; suara semesta. Saya butuh melihat, memandang, merasakan, merenungi, mencermati keramaian. Saya yakin ini akan berhasil dan akan membangkitkan gairah saya dalam menulis. Saya percaya itu, sungguh. Tetapi, hendak ke mana tujuan membawa kaki ini pergi?

    Saya baru saja kelar membaca buku Juan Arias, seorang reporter Majalah El Pais-Spanyol, yang mewawancarai penulis kenamaan asal Brazil, yang kini bermukim di Rio de Janeiro, Paulo Coelho. Buku itu berjudul, Paulo Coelho: Obrolan dengan Sang Penzirah. Dari sana saya tertampar oleh kisah fantastis Coelho. Pertemuan saya dengannya masih sebatas dalam karya; tentu saja saya berharap ada satu kesempatan (yang ajaib) untuk kita bertemu. Buku karangan beliau yang untuk pertama kalinya saya baca berjudul, Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis, itu pun dapat pinjam dari teman. Saya belum begitu penasaran dengan karya beliau, itu hanya menuntaskan sekaligus pembuktian atas ucapan teman saya kalau itu buku bagus. Dan sungguh, setelah membaca itu saya bertekad untuk mengoleksi semua karya-karyanya, termasuk yang paling fenomenal yang melambungkan namanya, kalau boleh dibilang masterpiece, berjudul, Sang Alkemis (The Alchemist).

    Setelah membaca wawancaranya, saya semakin yakin untuk memasukkan nama Paulo Coelho kejajaran penulis idola saya. Cara bertuturnya yang sederhana namun mengena, apa adanya, jujur dan teratur, rupa-rupanya sebagian besar kisah yang tertuang adalah pengalaman pribadi penulis. Semua bermula dari perjalanan rohaninya (Ziarah ke Santiago). Demikianlah akhirnya saya memutuskan untuk melakukan perjalanan. Barangkali proses kreatif antar penulis bisa sangat berbeda-beda, namun entah saya menemukan kecocokan dengan gaya kepenulisan Coelho.

    Pengalaman-pengalamannya sangat fantastis, mulai dari menjadi pemuda pemberontak saat sekolah, dianggap gila hingga dimasukkan ke rumah sakit jiwa, pecandu narkoba, mengikuti aliran sekte ekstremis tertentu, lalu menjadi atheis hingga sampai kembali ke kepercayaannya yang semula; Kristen Katolik taat. Ia sekarang justru bisa disebut sebagai pengkhotbah setelah melalui perjalanan panjang yang luar biasa itu dan bukunya diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa di dunia; konon banyak mengubah dan memengaruhi kehidupan pembacanya. Semua itu tersebab ia telah jujur dalam buku-bukunya dan menyampaikan kebenaran meski dengan luka-luka di sekujur perjalanannya. “Saya menuliskan ini untuk diri saya sendiri. Kebetulan ada pembaca yang merasa bahwa saya sedang mengisahkan kehidupannya, maka kemudian ia menjadi pembaca karya-karya saya,” kurang lebih begitu ucap Coelho dalam salah satu wawancaranya.

    upaya untuk ria dengan memamerkan
    koleksi buku karya Paulo Coelho
    Saat melakukan perjalanan, yang terpenting bukan ketika sampai ke tujuan, tetapi tantangan apa serta proses yang dilaluinya yang menjadi pelajaran penting, begitu Coelho berujar. Bagi sebagian orang tentu bisa jadi sangat tidak penting dan menjenuhkan, namun kembali lagi pada diri masing-masing. Proses kreatif Coelho ya semacam itu. Bahkan ia ketika malam sering terbangun untuk mengelilingi lingkungan tempat tinggalnya. Dan saban subuh ia sudah menyusuri tepi pantai, sebab kebetulan rumahnya berada di pinggir pantai Copacobana, Rio de Janeiro.

    Dan pada akhirnya, hidup adalah perjalanan. Selamat berjalan-jalan, wahai jiwa-jiwa kesepian. Sebab kesunyian adalah altar paling tinggi bagimu yang bosan dan merasa asing dalam keramaian.[]

    Cilegon, 17 Februari 2017.

    ______________________________________________
    source by: [KLIK]

    Continue Reading

    Dinamika News-Lampung, edisi 380, 1-14 Februari 2017
    —kepada Ken Hanggara


    Terakhir kulihat, ia sedang menebas pelangi dan menyeretnya ke dalam bangunan tua—yang kutahu kemudian itu lebih layak disebut gudang tua. Sulur-sulur setiap warnanya seperti lembar kain yang belum digunting. Lebar dan panjang sekali. Ia membopong dan menyeretnya satu helai demi helai warna. Aku melihat itu melalui teropong yang tak sengaja kutemukan dan kunyatakan pinjam dari kantor—entah milik siapa. Di ujung sebuah tebing, sewaktu lelah seharian bekerja, aku melempar pandang berkeliling di bagian bawahnya. Aku tak berekspektasi akan mendapati pemandangan yang membuatku takjub macam ini. Memang tak begitu aneh bagaimana ada pelangi, sebab satu jam sebelumnya telah terjadi hujan lebat, tetapi bagaimana bisa ia menjaring pelangi dan menggudangkannya? Apa yang hendak ia buat dari itu?

    Hari berikutnya sampai satu minggu penuh, aku tak lagi menjumpai lelaki tua itu. Lelaki tua yang kutaksir berusia tujuh puluhan. Rambutnya keperak-perakan disoroti sinar mentari. Janggut dan kumisnya menyatu, melingkari mulutnya. Bagian itu agak berbeda warnanya. Lebih tampak berwarna krem condong keemas-emasan. Namun langkahnya tak gontai layaknya kakek-kakek tua yang aku temui sehari-hari. Jejakkan kakinya kian kokoh dan bahunya amat tegap.

    Hari kian petang, namun belum juga aku ingin angkat kaki. Seminggu terakhir kerjaan semakin  menyebalkan. Berkata jujur selalu disalahartikan.
    “Kira-kira, apa kamu merasa cukup dengan gaji bulanan dari kantor ini?” tanya atasanku, mendadak dan mengejutkan.
    “Mohon maaf, Pak. Sejauh ini, saya rasa sudah lebih dari cukup. Barangkali karena keperluan hidup saya tidak terlalu banyak. Terlebih saya tinggal sendiri di kota ini.” Ia memang tak meminta aku menjelaskan sedemikian rumit, tetapi sekalian saja, agar aku tak ditanya-tanya begitu lagi. Bukan apa, masalahnya, kalau sampai gajiku naik, teman satu kantor pasti akan menjauhiku. Kau tahu, sekalipun kau tinggal di kota yang segalanya serba ada ini, pasti saja memiliki kekurangan. Yakni cara mendapatkan teman. Kau boleh percaya ketika kau berada di atas, orang-orang akan menganggapmu teman baiknya, tetapi siapa peduli ketika kau berada di bawah? Sialnya, untuk mengetahui kapan waktunya kita di bawah atau sebaliknya, kita semua tak bisa memperkirakannya dengan jitu. Jadi setelah jawaban itu meluncur, aku mohon izin keluar dari ruangannya dan kembali ke ruang kerjaku. Berkutat dengan data-data administratif yang kian hari membuatku mumet. Ingin rasanya lepas dari ini semua.

    Sekitar empatpuluh lima menit setelah percakapan itu, jam makan siang tiba.
    “Badrun, kamu ikut meeting, ya. Kita makan siang sekalian di sana.”
    Aku tak lekas mengangguk, juga tak lekas menggeleng. Kenapa lagi-lagi dadakan begini?
    Kulemparkan pandangan sesaat pada tumpukan kertas-kertas di meja. Kemudian aku bangkit dan berkata, “maaf, Pak. Saya menyesal harus mengatakan ini, tetapi tugas-tugas saya belum selesai benar.”
    “Makhsi!” ia berbalik badan, berbincang dengan orang  di depan mejaku, yang tampak lebih sibuk, “kamu tolong lanjutkan kerjaan Badrun, ya. Kami mau ada meeting.”
    “Tapi, ini..., Pak...,” ia tak melanjutkan kata-katanya. Lebih tepatnya menyusun alasan penolakan. Kau tahu, mata seorang atasan ketika membelalak, itu lebih mengintimidasi ketimbang mata oknum polisi lalulintas yang minta disuap. Dan..., hal berikutnya yang terjadi adalah aku memberikan tumpukan tugas-tugas itu, dengan amat hati-hati menaruhnya di meja kerja Makhsi. Aku tersenyum kecut, ia membalasnya dengan memijit tuts keyboard komputer dengan amat keras. Jari-jarinya sangat kejam menindasi biji-biji simbol angka dan huruf itu.
    Sejak saat itu, hubungan perkawanan kami jadi berjarak. Bicara hanya seperlunya saja—sialnya kami tak pernah sama-sama memiliki keperluan yang genting.

    Kulihat di lengan kiriku, jarum jam menjejak angka sembilan lewat sedikit. Tak terasa, hampir lima jam aku di atas tebing ini.Pemandangan minggu lalu sebenarnya sangat menghibur, aku berharap bisa melihat kejadian-kejadian serupa di sini. Ah!
    Dengan berat hati, aku berdiri. Menepuk telapak tangan, membersihkan dari kerikil-kerikil yang masih menempel. Kulongokkan lagi kepala ke bawah tebing, dan belum ada apa-apa. Hanya kudapati gelap yang pekat. Baiklah, masih ada hari esok.

    Perlahan-lahan aku menuruni bukit tebing. Menuju mobil yang sengaja kuparkirkan di bawah jajaran pohon randu. Namun, dari jarak sekitar dua lompatan kuda, mataku mendapati seorang bocah tengah berjongkok melakukan sesuatu pada mobil bagian depanku.
    Aku tak lekas meneriakinya, sengaja aku bersembunyi di balik salah satu pohon randu terdekat. Kuperhatikan ia sepertinya tak hendak merusak mobil, hanya saja, keajaiban lagi-lagi terjadi di depan mataku. Sejak tadi, tubuh bocah tak berpakaian itu terselubung kabut tipis dan menguarkan aroma minyak kasturi—aku tahu ini dari mendiang kakek, ia sering membaluri minyak kasturi di pakaian salatnya. Rambutnya sebahu, tetapi aku yakin kemudian, meski gelap, ia laki-laki.
    “Hei, sedang apa, kau?” ia berdiri tegap, memutar kepala ke tempatku berdiam. Matanya cerlang, seperti sorot lampu senter.
    “Hihihi..., hihihi....” Ia ngikik tak jelas. Lalu melompat-lompat berjingkatan. Aku berjalan mendekat, meski dengan hati jeri. Untungnya ia memilih berlari dan masuk ke dalam rimbun pepohonan. Kubiarkan ia sesaat. Kini pandanganku beralih ke mobil. Setelah kuperhatikan lamat-lamat, plat nomor mobilku yang semula bertuliskan A 2493 UF, entah dengan cara apa kombinasi huruf dan angka itu lenyap. Yang kudapati hanya sebuah lempengan seng berwarna hitam polos, tanpa ada tulisan apa-apa. Lekas kuambil kunci mobil, aku masuk ke dalam dan ingin langsung menginjak pedal gas, meninggalkan tebing ini. Namun, aroma minyak kasturi tadi masih kental di udara. Kabut tipisnya memanjang menandai ke mana arah bocah tadi pergi. Herannya, di tengah kengerianku, sisiku yang lain menuntun mobil yang kukendarai untuk mengikuti ke mana aroma itu menuju.

    “Di mana, ini?” aku merasa asing.
    Sejak limabelas menit lalu, mobilku berjalan masuk ke dalam hutan. Dan kini aku terhenti di sebuah padang rumput yang gersang. Nyaris tampak tak ada kehidupan. Pohon-pohon dan rumputnya berwarna arang habis dibakar. Waktu seperti mundur tiga jam lebih awal. Langit tak pantas disebut cerah, namun tidak bisa pula disebut gelap. Ia kelabu dan sendu, sekalipun matahari kembali menampakkan diri. Aku keluar dari dalam mobil. Kepalaku kuajak berkeliling. “Ini bencana.”

    Di sela-sela kelimbunganku, pikiranku bertanya banyak hal. Salah satunya tentang muasal kebiasaanku yang akhir-akhir ini sering mengunjungi tebing setiap pulang bekerja. Aku pun tak tahu jawaban pastinya. Dalam ingatanku yang tersendat-sendat, saat itu aku hanya ingin sendiri. Dan entah dari mana tebing ini tergambar begitu saja dalam benakku, lalu aku mencarinya. Dan ketika sudah berhasil kutemukan, aku merasa akrab dengannya. Setiap berdiri di atas tebing itu, hatiku tenang.
    Sekarang, apa yang ada di hadapanku yang kini mulai mengusik. Di sebelah timur, yang baru kusadari, berdiri sebuah bangunan tua. Kayu-kayunya, kendatipun dilihat dari jarak belasan meter, ia tampak rapuh dan reyot. Dari atas gentingnya keluar kabut kelabu yang pekat. Ah, mungkinkah?

    Kakiku seperti memiliki kehendaknya sendiri. Ia menyeret tubuhku untuk mendekati bangunan tua itu. Aku sepenuhnya tak merasakan kakiku menjejak ke tanah. Namun aku pasrahkan saja, sebab tak sanggup melawannya. Bulu-bulu halus di tengkuk dan lenganku meremang. Angin dari arah tenggara berpusing kian kencang. Tubuhku seperti hendak terbang. Saat aku melemparkan pandangan, kutemui lagi lelaki tua yang seminggu lalu kulihat. Masih sama-sama mengejutkannya. Kali ini ia menggeret sebuah tambang, di belakangnya ternyata sebuah angin tornado yang berputar-putar seperti anjing piaraan yang mengejar ekornya sendiri. Dalam genggaman tangan lainnya, ia memegang sebuah kurungan. Kini aku kian dekat padanya. Kulihat, dalam kurungan itu berisi anak-anak petir. Tapi tetap saja mereka ganas dan gahar. Setiap kali tubuhnya menyentuh besi kurungan, suara guntur terdengar dari langit-langit.
    “Kakek!” aku tak ingin buang kesempatan. Ia menengok dengan wajah sekejam algojo saat akan mengeksekusi mati seorang terdakwa. Ia sungguh tak peduli. Lantas berjalan lagi menuju bangunan tua di hadapan kami.
    Kukejar. Lalu kutepuk pundaknya. “Kek, siapa sebenarnya Kakek ini? dan di mana kita?”
    Lagi-lagi ia menengok dengan sorot mata kejam. Namun kali ini ia bersuara. “Aku Mudakir. Sisanya tak lama lagi kau akan temukan sendiri jawabannya di dalam.” Anak-anak petir saling beradu. Seketika suara guntur tak tertahankan saling menyahut. Langit seolah hendak runtuh detik itu juga. Ia kembali berjalan. Entah bagaimana aku bisa percaya, angin tornado yang tingginya dua kali dari kantorku itu, berhasil masuk melalui pintu bangunan tua yang padahal hanya setinggi pohon randu dewasa.

    Kini aku sudah ada di depan pintu. Satu langkah lagi, aku akan tahu akhir dari semuanya, begitu aku menerjemahkan maksud kakek Mudakir.
    Rupanya, bangunan ini lebih cocok disebut gudang tua. Semua barang-barang rongsok nyaris bisa kau temukan. Sempalan kubah yang kuterka akibat terkaman tsunami beberapa tahun silam di barat sana, ada dan utuh. Pesawat yang konon lenyap misterius di kepulauan entah, tak kusangka, ada pula di dalam gudang yang membingungkan ini; dari luar, ia tampak tak begitu besar, namun saat kau sudah di dalam, barangkali kau bisa membangun Ibukota baru yang lebih luas di dalam sini. Dan benar, aroma minyak kasturi semerbak di sekujur dinding dan atap bangunan.

    Aku terus berjalan sampai kemudian terhenti oleh dua hal: pertama, bocah yang menghilangkan kombinasi simbol di mobilku, ia benar ada di sini dan ketika itu aku tak lagi penasaran padanya. Sebab semua keajaiban di dalam bangunan tua lebih menarik minatku. Dari jari-jarinya keluar sinar seperti lampu tembak. Ia melakukannya lagi, kali ini pada tubuh pesawat. Baiklah, setidaknya aku sudah mengantongi satu jawaban dan aku puas; kedua, sosok di balik ini semua. Kau tahu, aku menduga sedemikian cepat sebab dari jarak tak kurang tiga meter di hadapanku, seseorang tengah duduk memunggungiku. Ia tampak serius dengan apa yang tengah dikerjakannya. Suara, “tik-tak-tok-tik-tak-tok” berulang-ulang terdengar dari mejanya. Ia tengah mengetik memakai mesin tik usang.

    “Ma-maaf. Siapa kamu?” aku gegap. Kedua lututku bergetar. Ruangan seketika terasa panas. Kulonggarkan kerah kemeja kerjaku.
    Ia berhenti mengetik? Belum..., ia sedang memberi jeda rupanya. Menghela napas, kemudian, ‘tik!’
    “Selesai!” serunya lantang. Lelaki yang kutaksir berusia duapuluh limaan itu, membalik badan. Ia hanya berkata satu kalimat saja, dan semuanya berakhir, “kembalilah, kau sudah selesai kutulis.”

    Cilegon, 10 September 2016

    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About me

    Photo Profile
    Ade Ubaidil, Pengarang, Cilegon-Banten.

    Pria ambivert, random dan moody. Gemar membaca buku dan berpetualang. Bermimpi bisa selfie bareng helikopter pribadinya. Read More

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: Perangkap Pikiran Beni Kahar

    (AG Publishing | 204 halaman | Rp75.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telat Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: SAHUT KABUT

    (Indonesia Tera | 160 halaman | Rp. 60.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Novel Adaptasi: YUNI

    (GPU | 174 halaman | Rp. 63.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Pengunjung

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Bedah Buku Dee Lestari

    Bedah Buku Dee Lestari

    Workshop & Seminar

    Workshop & Seminar

    Popular Posts

    • [RESENSI] NOVEL: HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (GPU, 2015)
    • Musim Layang-Layang (Pasanggarahan.com, 30 Oktober 2015)
    • [MY PROFILE] Terjerembap di Dunia Literasi: Lahan untuk Memerdekakan Pikiran (Utusan Borneo-Malaysia, 13 Desember 2015)

    Blog Archive

    • ►  2012 (5)
      • ►  October (3)
      • ►  December (2)
    • ►  2013 (41)
      • ►  January (1)
      • ►  March (5)
      • ►  April (4)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  August (1)
      • ►  September (3)
      • ►  October (3)
      • ►  November (16)
      • ►  December (5)
    • ►  2014 (20)
      • ►  January (2)
      • ►  April (3)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  July (1)
      • ►  September (1)
      • ►  November (6)
      • ►  December (4)
    • ►  2015 (21)
      • ►  February (5)
      • ►  March (2)
      • ►  April (3)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (5)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
      • ►  December (1)
    • ►  2016 (31)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  April (2)
      • ►  May (4)
      • ►  June (1)
      • ►  July (2)
      • ►  August (5)
      • ►  September (4)
      • ►  October (5)
      • ►  November (2)
      • ►  December (3)
    • ▼  2017 (41)
      • ►  January (4)
      • ▼  February (3)
        • [CERPEN] MEMATA-MATAI KERJA PENULIS (Dinamika News...
        • [SELF-DEPRESSION] SEBERAPA PENTINGKAH MELAKUKAN PE...
        • [ESAI] WAJAH MUSLIM HARI INI (Radar Banten, 20 Feb...
      • ►  March (8)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  June (8)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (3)
      • ►  November (4)
      • ►  December (3)
    • ►  2018 (24)
      • ►  January (3)
      • ►  February (2)
      • ►  March (3)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  November (4)
      • ►  December (2)
    • ►  2019 (16)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (3)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (14)
      • ►  January (1)
      • ►  February (1)
      • ►  March (2)
      • ►  April (1)
      • ►  May (2)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (1)
      • ►  November (1)
      • ►  December (2)
    • ►  2021 (15)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  April (1)
      • ►  May (1)
      • ►  June (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (3)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  December (1)
    • ►  2022 (30)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  May (3)
      • ►  June (5)
      • ►  July (1)
      • ►  August (4)
      • ►  September (3)
      • ►  October (2)
      • ►  November (2)
      • ►  December (7)
    • ►  2023 (38)
      • ►  January (4)
      • ►  February (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (9)
      • ►  November (15)
      • ►  December (4)
    • ►  2024 (3)
      • ►  January (1)
      • ►  March (2)
    • ►  2025 (1)
      • ►  January (1)

    Followers

    youtube facebook Twitter instagram google plus linkedIn

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top