Kumpulan Cerpen
December 20, 2012
“Kecil-Kecil
Si Cabe Rawit”
(Karya: Ade Ubaidil)
Kala mentari pancarkan
kehangatannya,dalam kegersangan siang yang teramat terik menyingsing,akan
terasa berbeda ketika kita menorehkan pandangan ke arah rumah sederhana di
persimpangan jalan,tepatnya kediaman Ibu Rina. Seorang wanita paruh baya yang
sekiranya berusia 51 tahun.Di dalam rumah yang dikelilingi dengan rumah kumuh
jua-lah dia tinggal bersama dua orang anaknya Anisa dan adik laki-lakinya
Usman.
Keberadaan Ayahnya masih sering
menjadi tanda tanya besar yang hampir
setiap waktu anak-anak tanyakan. Namun tak sedikit Sang Ibu menyangkal dan
mengalihkan pembicaraan dengan beribu alasan. Dia memang sebenarnya tidak tahu pasti kemana sang suami tinggal
sekarang,tetapi yang dia ingat sampai saat ini bahwa sang suami pergi meninggalkan
dirinya bersama Anisa ketika Usman dalam kandungan dan tanpa alasan yang jelas
mengapa Ayahnya pergi meninggalkan mereka.
“Ayah,dimana kini kau berada,Aku
ingin sekali bertemu dengan Ayah.”Gumam Usman yang hanya dapat meratapi wajah
Ayahnya melalui selembar kertas foto yang sangat ia rawat dengan baik.
“Nis,coba panggilkan Adikmu,Ada
yang mau Ibu bicarakan dengannya!” Perintah Ibunya yang terbujur lemah di kasur
tak layak pakainya.
“Baik bu.”Sahut Anisa santun
sambil menuju ke kamar Usman.
“Man,Usman!” sembari membuka
pintu kamar Usman secara perlahan.
“Man,ada apa? Kenapa kamu
menangis ?”Tanya Anisa saat melihat kearahnya seraya menghampiri.
“Ti,tidak ada apa-apa Kak,hanya saja mataku
kemasukan debu.” Jawabnya terbata sambil menghapus air matanya.
“Tidak Man,kamu pasti menutupi
sesuatu,ayolah ceritakan saja pada kakakmu ini,dengan senang hati pasti akan
Aku dengarkan.” Ujarnya yang semakin penasaran.
“Memang tidak ada Kak!” yang
masih berusaha mengelak,namun tanpa sengaja Usman lupa menyembunyikan foto
Ayah,yang biasanya ia taruh di bawah bantalnya.
“Itu foto siapa?”
Ucap Anisa yang penasaran dan langsung mengambil kertas foto yang tergeletak tepat disamping ia duduk.
Ucap Anisa yang penasaran dan langsung mengambil kertas foto yang tergeletak tepat disamping ia duduk.
“Ja,jangan Kak!” Usman yang
berusaha mencegah namun tak berhasil.
Seketika Anisa terdiam tanpa
sepatah kata pun,setelah melihat foto siapa yang ada ditangannya itu. Kini Ia
tau apa yang sedang Usman rasakan,tanpa terasa air matanya pun pecah dalam
keheningan ruang.
“Hmm,maafkan Kakak yah Man,tadi
sudah memaksamu untuk bercerita.” Nadanya lirih sambil memeluk erat Usman.
“Iya Kak. Aku juga minta maaf
karena tak mau berterus terang tentang apa yang Aku rasakan saat ini.”Ucapnya
tersedu-sedu.
“Astagfirullah,hampir saja Aku
lupa tujuanku kemari. Tadi Kakak disuruh Ibu untuk memanggilmu,katanya ada yang
ingin Ia bicarakan. Yah sudah cepatlah temui Ibu sekarang!”Ucapnya lega.
“Sungguh kasihan Usman,Ia belum
pernah sekalipun melihat sosok Ayah yang sebenarnya,hingga usianya kini telah
beranjak 8 tahun.”Bisiknya perlahan dalam hati sembari keluar dari kamar Usman.
Memang usia usman terpaut jauh dengan Anisa,kira-kira 13 Tahun dari usianya.
“Ada apa Bu,tadi kata Kak Anis
Ibu memanggilku?”
“Iya Man,Ibu mencarimu karena
Ingin meminta tolong.”Jawabnya disertai batuk ringan.
“Baiklah,memang Ibu mau minta
tolong apa?”
“Tolong belikan obat batuk yah
Man,di warung Pak Yanto di perempatan jalan sana,kamu tahu kan ?” Ujarnya
sambil memberikan uang kepada Usman.
“Oh,Iya Bu Usman Tahu kok!”dengan
senang hati ia bergegas untuk pergi.
***
Dalam setiap derak langkahnya,tak henti-henti Usman merenung akan keberadaan Ayahnya yang sampai detik ini
belum pernah sekalipun ia temui.
“Meskipun Aku hanya di besarkan
dengan dekapan Ibu saja,dan Kak
Anisa,namun Aku harus tetap kuat dan tegar .Aku tidak boleh
mensia-siakannya.Aku akan menjaga Ibu dan Kak Anisa semampuku,seperti bagaimana
mereka menjagaku.Meskipun Aku hanya anak kecil,tetapi Aku tak boleh
cengeng hanya karena rinduku terhadap
Ayah.” Janjinya dalam hati. Perkataan yang tidak sewajarnya dapat dilontarkan
dari anak ingusan berusai 8 tahun,tetapi memiliki tekad yang begitu besar dan
dewasa bukan pada waktunya karena semua faktor
keadaan yang mendesaknya berfikir kritis.
Usman tetaplah Usman. Ia adalah
anak yang periang,semangatnya kembali bersemi dan Ia melanjutkan perjalanannya untuk
membelikan obat guna Ibundanya yang sedang sakit. Namun tak disangka Usman yang
sedang asiknya berbincang sendiri,ia tidak menyadari langkahnya beralih hampir
ke tangah jalanan,yang memang sedari tadi sepi. Berselang hanya beberapa detik
hingga saatnya Ia menyadari,terdengar
suara deru kendaraan bermotor yang melaju begitu kencang,ketika Ia
menolehkan kepalanya,terlihat sepintas dalam pandangannya seseorang berbadan
besar,mengenakan jaket kulit dan celana jeans panjang robek-robek, dan
mengenakan topeng sejenis penutup kepala yang biasanya dikenakan para penjahat
yang sering Usman lihat di televisi. Hampir saja menyerepet badan Usman yang kecil,tetapi
untunglah Ia dapat dengan cepat menghindari pengendara motor yang ugal-ugalan
itu.
“Huh,hampir saja Aku tertabrak!”
helaan nafas lega sembari mengusap keringat di keningnya.
“Bangsat,siapa anak itu?
Menghalangi jalanku saja.”Gerutu pengendara motor misterius itu,yang tetap
melaju dengan teramat kencang.
***
Tibalah Usman di tempat yang Ia
tuju,tepatnya warung Pak Yanto,meski banyak rintangan yang harus Ia lalui. “Apa
yang terjadi?”Tanyanya dalam hati. Dalam keheningan jalanan berganti suara
kegaduhan yang didengarnya dalam rumah Pak Yanto.Ketika Ia mencoba untuk
mendekat,terlihat sesosok Laki-laki dewasa bertopeng yang sama persis ciri-cirinya
dengan orang dipersimpangan jalan yang
hampir mencelakakan dirinya tadi. Benar saja kecurigaannya tentang orang
itu,Lelaki misterius itu merampok dan merampas sebagian besar harta Pak
Yanto,terlihat dari barang jarahannya yang sedang digenggam olehnya. Terjadi
tarik-menarik antara Pak Yanto dengan Perampok itu yang berusaha
mencegahnya,tetapi apalah daya perampok itu-pun mendorong Pak Yanto yang memang
sudah berusia senja hingga terjatuh,sungguh teramat keji.
Rupanya
Usman tidak terima dengan perlakuan perampok itu,yang sangat tidak manusiawi
dalam pandangannya. Bergegas Ia membantu Pak Yanto untuk bangkit,bersamaan
dengan kaburnya Perampok itu.Tanpa rasa takut,Usman justru berteriak kencang
sekali.
“Maling..maling..!!!” Serunya
lantang.
Perampok itu-pun takut bukan
kepalang,belum sempat menaiki motornya karena ketakutan,Ia langsung berlari
tanpa menghiraukan sepeda motornya,mungkin saja warga kampung akan datang dan
menangkap lalu memukulinya,fikirnya yang
terlintas dalam benak Usman ketika
itu.
“Maling..maling..!!!” Ucap Usman
semakin keras hingga beberapa warga sekitar keluar dari rumahnya masing-masing.
Usman berteriak sembari berlari berusaha mengejar perampok misterius itu,tanpa
rasa takut langkahnya pasti bak seorang jagoan.
“Sialan itu anak mau ngapain
lagi,bukankah anak itu yang hampir Aku tabrak tadi ?”gerutu sang rampok yang
terus bertanya-tanya. Sementara Usman hafal betul dengan jalanan yang dilalui
rampok itu,tanpa buang waktu langsung saja di memotong jalan dan berlari
melalui jalan pintas yang dengan yakin bahwa rampok itu pasti akan melaluinya.
“Wah kemana larinya anak yang
mengejarku tadi ?semoga saja Ia sudah lelah dan pergi meninggalkanku.”nadanya
sedikit bingung namun sudah nampak terlihat lega.
Benar saja apa yang sudah di
rencanakan oleh Usman,perampok itu melalui jalan yang sudah Usman persiapkan
beberapa jebakan,dan tak lama kemudian akhirnya dia terkena perangkap. Dari
mulai tersandung tali yang diikat
menyebrang,hingga jebakan balok kayu yang membuat Ia tersungkur dan jatuh
menimpanya.
“Hore… akhirnya Aku
berhasil!”Sorak sorai terdengar dari balik tempat sampah.
“Sialan anak kecil tadi,ini
ulahmu yah ? awas kamu!!!” kesal sang rampok yang mengancam tetapi tak mampu
berbuat apa-apa,karena tertimpa balok kayu dan langsung diikat dengan beberapa
utas tali yang Usman temukan dijalan sempit itu. Dengan penasaran Usman terus
menatap matanya,tanpa ragu Ia langsung membuka topeng yang dikenakan oleh Perampok
itu,ketika melihat parasnya,Ia seketika termenung seperti sedang mengingat
sesuatu.
“Ayah..? ini Ayahkan? ” Ucapnya
spontan.
“Bicara apa kamu,Aku bukan
Ayahmu! Seenaknya saja kau berkata.” dengan sontak Perampok itu mengelak.
“Aku Usman Yah,mungkin Ayah tidak
kenal siapa Aku,tetapi Aku tahu siapa Ayah!” dengan tersedu-sedu Ia
menjelaskan.
“Ayah sudah tega meninggalkan Ibu
cukup lama,dan pada saat Ibu sedang mengandung.Harusnya Ayah tahu,itulah Aku
yang ada didalam kandungan Yah,Aku adik Kak Anisa. Ibuku Rina. Pasti Ayah
mengetahui ini semua! Kenapa Ayah tega melakukan ini semua kepada kami?”
Ujarnya yang terus memaksa perampok itu untuk mengakui bahwa Dialah Ayah
kandungnya. Begitu keras kepalanya sang Perampok itu,cerita Usman tidak
langsung membuat Ia mengakui semua itu.Namun Usman tidak mau mensia-siakan
kesempatan,terus dan terus Ia menceritakan semua yang Ia ketahui meski tak
jarang perampok itu berontak dan berusaha keras untuk melepaskan diri dari
ikatan tali yang Usman lakukan tadi,meski tak pernah berhasil.Akhirnya karena
kegigihan Usman,Permpok itu mengakui bahwa memang benar apa yang Usman
katakan,bahwa Dialah Ayah biologisnya. Paras penyesalan kini nampak terlihat
dari wajahnya yang nampak sudah tua. Mereka-pun saling berpelukan. Namun tak
lama kemudian polisi datang yang rupanya mendapati laporan dari Pak Yanto.Usman
tak bisa berkutik saat melihat Ayahnya diseret paksa dengan Polisi,dan
terdengar kabar ternyata Ayahnya adalah
buronan polisi yang selama ini sedang dicari.
“Terimakasih yah Dek,kamu telah
membantu menangkap Perampok ini,kamu memang Anak kecil yang tangguh!” puji
seorang Polisi dengan senyum mengembang di wajahnya. Usman hanya dapat
termenung dan tetap diam.tak seutas katapun keluar dari bibirnya,Ia hanya dapat
memandang Ayahnya dengan tatapan yang kosong,begitu pula sebaliknya,hingga
mereka berpisah dari persimpangan jalan itu.
***
Tanpa berfikir panjang,Usman
lekas berlari pulang.Dia lupa akan tujuan semulanya,jusru Ia bergegas pulang
Untuk segera mengabarkan kejadian yang baru dialaminya kepada Kak Anisa dan
Ibundanya yang sedang sakit.Sungguh malang beribu sayang,Usman kecil harus
dihadapkan dengan kehidupan yang penuh akan cobaan. Dalam kesedihannya justru
sekarang Ia melihat kepulan asap dan memarnya api menyelimuti hampir seluruh
rumahnya. Percikan dan kobarannya terasa begitu membara dalam pandangannya yang
berlinangan air mata.Disekitar rumahnya sudah terlihat orang-orang berkerumun
menyaksikan dan tak sedikit yang berusaha membantu memadamkannya.
“Apakah Kak Anisa dan Ibu ada
didalam rumah ?”Pertanyaan besar yang terbesit dalam benaknya.
Usman terus mencari,dan berusaha
mendekati rumahnya. Berdesak-desakan Ia dalam gang sempit itu. Ia terus memberikan
harapan besar dan berharap semoga saja Kak Anisa dan Ibunya sudah tidak ada
didalam rumah. Tidak lama kemudian Ia
melihat Kak Anisa,namun dimana Ibu ? Ujar hati kecilnya seraya berlari
menghampiri Kak Anisa.
“Kak ini ada apa? Ibu dimana
Kak?”Tetesan air mata yang terus membanjiri lesung pipinya yang manis.
“Maafkan Kak Anisa Man,ini semua
salahku. Kakak tadi sempat pergi sebentar ke rumah teman,tetapi karena asyiknya
mengobrol Kakak tidak segera pulang dan Kakak lupa bahwa sedang memasak air
untuk Ibu. Mungkin api itu menyambar kabel lampu yang memang berdekatan dengan
kompor tempat Kakak memasak.Tetapi entahlah,yang pasti sekarang Ibu masih terperangkap
di dalam rumah.”Sembari menahan isak tangisnya.Tempat mereka tinggal memang
teramat jauh dari jangkauan pemadam kebakaran,sebab jalanannya tidak cukup
untuk dilalui sebuah mobil,itu sebabnya api tak kunjung padam karena kurangnya
bantuan yang datang.Tanpa seizin Kak Anisa,Usman langsung melepaskan pelukannya
dan segera bergegas masuk menuju rumahnya yang terbakar.
“Man,jangan Man! Berbahaya,kamu
hanya Anak-anak,Aku takut nanti terjadi sesuatu denganmu.”teriak Kak Anisa yang
mencoba mencegah langkah Usman,tetapi tidak Usman hiraukan. Teringatlah Ia
dengan kejadian tiga hari yang lalu,sebelum Ibunya jatuh sakit. Dia sedang
bermain sepak bola bersama teman-temannya di belakang rumah.Namun tanpa sengaja
Usman menendang dengan keras dan meleset lalu mengenai dinding pojok dari pintu
dapurnya.Kebetulan pada hari itu Ibu dan Kak Anisa sedang pergi berbelanja di
pasar. Robohlah dinding itu, dengan lubang yang cukup besar untuk dilalui anak
kecil seukuran Usman yang memang sudah amat rapuh dan belum pernah direnovasi
ulang semenjak ditinggal pergi Ayah mereka.Teman-teman Usman langsung berlari
meninggalkannya,Usman semakin ketakutan,Karena takut akan ketahuan lalu
dimarahi.Usman segera berfikir untuk menutupinya dengan tumpukan kardus dan
meja yang ada didapur.Hingga kini Ibu dan Kak Anisa belum mengetahui hal itu.
Sekarang Usman berfikir untuk
melalui lubang itu,karena sudah tidak ada jalan masuk lagi,semua sudah hangus
terbakar. Dengan tergesa-gesa Ia mendorong meja dan tumpukan kardus yang
sebelumnya pernah Ia perbuat sendiri.Di dalam Ia bingung,semua ruangan sudah
terpenuhi dengan kerumunan asap hitam yang amat tebal,tetapi tidak lama Usman
mendengar teriakan lirih meminta bantuan.”Tolong…tolong!” Usman hafal betul
suara itu. Dia terus mencoba mencari dari mana asal sumber suara
tersebut,hingga akhirnya Ia menemukan Ibunya tergeletak lemah dalam ruang
kamarnya.
“Ibu! Apa kau baik-baik saja?”
memeluk Ibunya dengan erat. Tanpa menbuang waktu Usman segera mengajak Ibunya
keluar dan mencoba menuntunnya meski Ia terlihat kelelahan.Ibunya mengikuti
jalan yang Usman arahkan walau langkahnya tertatih-tatih.Usman menuju lubang
yang tadi Ia lewati,tetapi diatap terlihat kayu yang terbakat,dan hampir saja
menimpa Usman dan Ibunya.Sampailah Ia dilubang tadi,dengan susah payah Ibunya
melewati lubang Itu,namun terus dipaksakan karena tidak ada jalan keluar
lagi,selain lubang itu.
“Al-hamdulillah,syukurlah Ibu dan
Usman selamat!”Ujar Kak Anisa lega dan menghampiri mereka.
“Ibu maafkan Aku yah,Aku telah
meninggalkan Ibu sendirian di rumah.”Sambungnya dengan kata penyesalan sambil
memeluk Ibunya erat.Ibunya menganggukan kepala saja,karena belum dapat berkata
apa-apa.
“Man,kamu memang Adikku yang
tangguh dan ksatria. Kamu sangat pemberani,Aku bangga padamu Man.”Memuji
Adiknya dan mendekat untuk memeluknya.
***
Sebulan sudah berlalu
dari kejadian itu,meski kini mereka tinggal bersama saudaranya,sementara
rumahnya sedang diperbaiki,namun cahya mentari senja mengiringi langkah mereka
menuju bui dibarengi dengan pengakuan
akan kesalahan yang telah Usman lakukan. Dedampainya di penjara mereka saling
bercerita,lalu Ayahnya meminta maaf dan menyesali perbuatannya yang telah menelantarkan mereka semua hanya karena
masalah ekonomi,dan Ibu Rina beserta Anak-anaknya menerima kesalahan Ayah
mereka dengan lapang dada,Ayahnya berjanji setelah keluar nanti akan tinggal
bersama Ibu dan Anak-anaknya. Mereka menjadi keluarga yang harmonis dan utuh
kembali dengan memegang prinsip bahwa keberlimpahan materi bukanlah sebuah
acuan sebagai tolak ukur suatu kebahagiaan,melainkan kuncinya adalah bersyukur
sebagai alternatif menuju sebuah kebahagiaan.
terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membacanya.
Silahkan post-kan komentar anda,dan berikan tanggapan serta pendapat tentang cerpen tersebut.
0 komentar