[Esai] 18 Tahun Banten, Mendewasalah!

November 16, 2018

image by: www.radarbanten.co.id
Terlahir dan besar di Provinsi Banten tak berarti saya kebal bacok dan mampu membengkokkan besi baja dengan tangan kosong. Kemistisan dan kejawaraan di wilayah taklukan Kerajaan Cirebon (1472-1473) ini masih sangat kental. Sering kali, ketika saya sedang di luar kota, iseng bertanya pada beberapa orang, “apa yang kamu tahu tentang Banten?” hampir dari mereka menjawab sama: debus. Kesenian debus memang sangat dikenal karena memiliki daya magis dan daya tarik tersendiri. Ketika daerah-daerah lain memiliki budaya dan kesenian di daerahnya berupa seni tari dan alat musik, warga Banten dengan gagahnya datang membawa parang lalu digorok-gorokkan ke lehernya sembari berseloroh, “saguru saelu ulah ngaganggu” di atas pentas.

Stereotip Banten sebagai “tanah jawara” masih kita dengar hingga hari ini. Bahkan, artis-artis bila sedang di acara televisi, selalu mengatakan “berguru di Banten” ketika berlagak menunjukkan kekuatan fisiknya. Apakah kita sebagai orang yang lahir dan besar di Banten senang dengan hal itu?

Sejujurnya saya sangat ingin Banten dikenal lebih jauh dari itu. Bukan tak bangga, tetapi amat disayangkan bila potensi lainnya yang ada di Banten tenggelam begitu saja. Banten punya sejarah kemenangan dan kemakmuran di masa kerajaan dulu, di bawah kepemimpinan Sultan Maulana Hasanudin. Selain itu ada potensi obyek wisata yang bisa dikomersilkan dan jadi “barang dagangan” dengan segala keeksotisannya. Curug atau air terjun pun banyak di beberapa daerah yang belum terekspos khalayak ramai. Juga pantai yang mestinya mendapatkan perhatian dan perawatan yang baik dari pemerintah setempat.

Sekadar menyebutkan semisal Pantai Tanjung Lesung dan Pantai Sawarna adalah Kawasan yang sudah diajukan menjadi Kawasan Ekonomi Khusus sejak tahun 2012 dan KEK Tanjung Lesung sudah resmi beroperasi sejak 23 Febuari 2015. Pengembangan KEK Tanjung Lesung difokuskan untuk kegiatan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Tetapi pengelolaannya sekarang menurun, sehingga wisatawan tak begitu ramai. Harus ada upaya peningkatan baik secara strategi promosi maupun kolaborasi dengan pemuda kreatif.

Namun, dari semua itu yang paling menggiriskan, beberapa tahun terakhir Provinsi Banten dikenal dengan sarang koruptornya. Satu per satu pejabat daerahnya terlibat penyalahgunaan uang negara. Mulai dari Gubernur, Walikota hingga tingkat lurah sekalipun. Beritanya tak main-main, menemus hingga media nasional dan menjadi headline di berbagai media cetak maupun online. Wajah-wajah mereka berseliweran di televisi sebagai seorang kriminal. Membawa nama Banten, putra daerah dengan gelar “tubagus” dan “ratu”—gelar kebangsawanan masyarakat Banten di masa kerajaan.

Belum lagi soal kejawaraan yang disebutkan di awal. Superioritas sebagai pribumi masih sering menghinggapi orang-orang Banten. Makna kejawaraan kini bergeser maksudnya dari arti sebenarnya. Ia bukan lagi memiliki arti pendekar atau warga yang selalu melindungi orang lain, tetapi lebih ke memanfaatkan penyematan “jawara” untuk keuntungan pribadi dan kelompok tertentu.

Ambil contoh, ketika kami sedang syuting untuk film, “Tirtayasa”, kami membuat semacam gubuk. Sehari setelahnya ketika kami cek lokasi, gubuk itu dibongkar secara sepihak (padahal belum kami pakai untuk syuting). Saat ditanya, kurang lebih mereka mengatakan kalau kami belum membayar tempat atau uang keamanan. Padahal, kami sudah mendapatkan izin dari kepala daerah setempat dengan surat bertandatangan. Artinya, kita tidak akan pernah maju dalam berpikir. Perlakuan “pungli” macam itu bukan sekali terjadi. Orang-orang Jakarta, yang hendak memakai setting daerah Banten untuk garapan filmnya selalu terhenti oleh perlakuan mereka yang sok jagoan itu. Sialnya pungli itu terus-terusan terjadi sampai proses syuting selesai. Mereka memanfaatkan keberadaan kami. Akhirnya, orang-orang Jakarta atau Production House itu menyerah. Mereka memilih untuk ambil lokasi syuting lain yang di rasa jauh lebih aman.

Alih-alih “uang keamanan” bikin aman, ini malah bikin khawatir dan tidak nyaman. Cara mereka memperlakukan pendatang sangat tidak patut untuk terus dilestarikan. Coba bila cara berpikir mereka terbuka, seharusnya mereka senang ada sutradara film yang tertarik mengangkat daerah Banten sebagai lokasi syuting. Karena bisa bersinergi dan menaikkan ekonomi warga setempat. Bukan malah memanfaatkan demi keuntungan pribadi dan membikin sineas kapok.
Tentu saja saya tidak bicara keseluruhan, saya hanya menggarisbawahi sebagian dari orang Banten atau yang mengaku orang Banten dan merasa memiliki wilayah kekuasaan di daerahnya. Sayangnya, sebagian besar warga Banten memang semacam itu.

Saya sangat yakin Banten di masa depan bisa kembali berjaya. Besar di luar dan dikenal bukan lagi sebagai wilayah dengan banyak koruptor dan jawara, selama kita mau sama-sama berbenah sejak hari ini.

Wisata ziarah perlahan sudah mulai membaik. penziarahan di Banten Lama sudah dalam proses renovasi dan perbaikan, saya sangat mengapresiasi itu. Di tangan pemimpin Banten yang sekarang, saya berharap banyak sekali perubahan baik yang terjadi. Paling tidak, janji-janji sewaktu kampanye bisa terealisasi di masa jabatannya. Kepesimisan atau keapatisan kita terhadap pemimpin daerah, saya harap bisa segera hilang dengan datangnya pemimpin yang baru. Kita sudah terlalu sering dikecewakan oleh pemimpin-pemimpin terdahulu ketika Banten mulai memisahkan diri dari Jawa Barat.

Di usianya yang ke-18 sudah semestinya Banten bersolek. Warganya mesti open-minded dengan perubahan zaman yang terus bergerak. Kalau kita tidak bergerak, kita akan tertinggal dan tergerus zaman. Pemuda Banten sudah semestinya muncul dengan ide dan gagasan besar. Membawa kreativitas dan inovasi dalam berbagai hal. Bukan lagi menjadi warga konsumtif yang tidak produktif menghasilkan karya.

Kita memang berjaya di masa lampau, tapi bukan berarti kita mesti merasa cukup dengan hal itu. Di masa depan, kita mesti kembali berjaya dan melanjutkan tongkat estafet kejayaan Banten agar gaungnya didengar seantero nusantara. Di tanah ini lahir Bapak Kitab Kuning Indonesia, Syekh Nawawi Al-Bantani, pengarang kitab termasyhur hingga hari ini. Tidak menutup kemungkinan di masa depan Banten bakal melahirkan tunas-tunas baru, penulis paling masyhur berikutnya dan menginspirasi dan membawa perubahan di negeri tercinta ini.

Berkhayal boleh, selama masih realistis dan memungkinkan untuk kita wujudkan. Dirgahayu Banten, mendewasalah!

Cilegon, 16 November 2018

You Might Also Like

0 komentar