[ESAI] KEJAYAAN BANTEN ADALAH SEBUAH KENISCAYAAN

March 02, 2017

Leaflet presentasi acara Banten Bersih

Banten, kini berusia 16 tahun sebagai sebuah provinsi. Wilayah paling barat di pulau Jawa tersebut pernah menjadi bagian dari Tatar Pasundan, yakni provinsi Jawa Barat. Namun kemudian, menurut Wikipedia, menjadi wilayah pemekaran dengan keputusan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000. Pusat pemerintahannya berada di Kota Serang. Layaknya manusia, apa yang biasanya seseorang mesti lakukan ketika menginjak usia enambelas?

Sudah bukan lagi rahasia bila bicara tentang perpolitikan gelap yang ada di provinsi remaja ini. Sejak pemerintahan pertama—bahkan sebelum jadi provinsi—di tangan ‘jawara’ Banten yang juga terlibat sebagai tokoh yang memperjuangkan pemekaran Banten, H. Chasan Sochib, adalah ‘Godfather’-nya Banten. Bahkan ia mendaku diri sebagai ‘Gubernur-Jenderal’ yang berarti penguasa sesungguhnya di Banten. Mulai dari ekonomi, politik, sosial dan budaya ia berperan aktif serta terlibat mengatur struktur kepemimpinan dan menempatkan orang-orang yang dalam lingkarannya, yakni keluarga besarnya. Hingga kemudian berlanjut di tangan anak perempuannya, Hj. Atut Chosiyah, yang semula menjabat seorang wakil Gubernur sampai menjabat Gubernur selama dua periode. Sialnya, praktik dinasti yang secara turun-temurun itu, bahkan bukan hanya di tataran Gubernur saja, di wilayah Bupati, Walikota, dan jabatan informal pun semua tak lain masih bagian keluarga dinasti, terus berlanjut dan kemungkinan terulang lagi ketika putra Atut, Andika Hazrumy, resmi mencalonkan diri di Pilgub mendatang. Nahasnya, Atut kini menjadi terdakwa atas kasus dugaan suap pengurusan sengketa Pilkada Kabupaten Lebak, Banten 2013 di Mahkamah Konstitusi (MK), dan setelah terbukti, ia mesti lengser dari singgasananya dan mendekam di bui hingga sekarang. Kemudian, dari sinilah Banten memulai perjalanannya sebagai remaja ‘broken home’.
saat presentasi esai yang dilombakan

Sesungguhnya, akan menjadi pesimis bila terus-menerus bicara perpolitikan yang itu-itu saja di tanah Banten. Kita, sebagai pribumi, akan sama-sama menyaksikan betapa suram kehidupan di tanah jawara ini. Bagaimana mungkin akan menarik minat para wisatawan datang ke daerah Banten bila pemandangan “politik-gelap” terus yang kita suguhkan?

Anak remaja, usia 16 adalah masa béger. Masa di mana sedang asyik-masyuknya mematut diri akan penampilannya. Untuk menarik lelaki maupun perempuan, tentu saja hal tersebut wajar adanya. Tetapi yang sering terlupa, kita abai mengenal diri kita sendiri lebih dalam. Anak remaja labil tak ada waktu untuk melakukan proses perenungan. Dalam dunia industri, misal, kita lebih sibuk menjadi konsumen ketimbang menjadi produsen. Dan itulah Banten hari ini.

Namun meski demikian, tentu saja sebagai pemuda yang akan menjadi pemegang tonggak estafet kepemimpinan di Banten, kita tak semestinya menjadi tak acuh dan apatis terhadap kejayaan Banten. Sudah saatnya bersama-sama dan mau mengikrarkan kalau Banten harus zero corruption. Siapa pun pemimpinnya kelak, harus sama-sama kita awasi dan ikuti terus setiap kebijakan-kebijakannya yang diambil.

Orang-orang awam, adalah warga yang pemikirannya paling mudah dikendalikan. Ketika mendapati sebuah opini, tanpa membandingkan dengan opini lain dari sudut pandang lain, ia langsung begitu saja memercayainnya—dan inilah yang bahaya. Kita sebagai pemuda tentu tak boleh berlaku demikian. Keawaman kita soal dunia perpolitikan di provinsi Banten khususnya harus lekas di-upgrade. Hidup pada zaman yang segalanya bisa dicari dengan sekali ketik dan klik—kecuali cari jodoh—tentu mudah saja dilakukan. Semisal ada kandidat calon bernama: Lidiabu Eda. Cobalah telusuri track record-nya dalam menjadi pemimpin di institusi atau jabatan-jabatan sebelumnya. Atau cobalah kenali dahulu kehidupan sehari-harinya; bagaimana cara ia berinteraksi dengan orang sekitar, berbagi ilmu dan wawasan, cara ia berpolitik; pandang pula dari sudut lingkungan ia tinggal dan berkawan dengan siapa saja, sebab itu berpengaruh pula baginya dalam mengambil tindakan dan keputusan. Kemudian, bandingkan dengan kandidat-kandidat lainnya. Setelah itu tentu saja akan sama-sama kita dapatkan kesimpulan, berdasarkan data dan fakta lapangan tadi, siapa yang layak dan ideal menjadi pemimpin di Provinsi Banten tercinta ini—pada suasana provinsi sekarang tentu saja.

Akan tetapi, sebelum bicara jauh ke sana, saya pun ingin menyarankan kepada pemimpin dan penggerak di Banten hari ini dan kelak, ada hal-hal krusial yang harus lekas dibenahi. Salah satunya: Sumber Daya Manusia (SDM).
Investasi akan Sumber Daya Manusia (SDM) sangat lemah dan kurang mendapat perhatian pemerintah. Padahal, sebagai “anak” yang sedang berkembang, Banten memerlukan itu. Para warganya, khususnya pemuda yang baru lulus sekolah atau bahkan yang tidak mengenyam bangku formal pun, sudah selayaknya mendapatkan jaminan hidup yang mumpuni. Masing-masing dari kita tak lebih bagai penduduk hutan yang sibuk mempertahankan diri, tanpa peduli akan kehidupan orang lain. Padahal, Banten yang tak diragukan lagi religiositasnya, seharusnya memikirkan itu, mencari jalan keluarnya secara bersama-sama. Dalam hadisnya, nabi Muhammad SAW bersabda: “Sebaik-baiknya manusia, adalah manusia yang bermanfaat untuk orang lain”. Akan sampai kapan kita makan daging yang lezat sementara tetangga kita sudah tiga hari belum makan nasi sebab tak sanggup membeli beras?

Jangan salahkan ketika mau tidak mau, industri besar yang ada di wilayah Banten mesti mengimpor pekerja asing datang kemari. Jangan terus-menerus menunjuk dengan jari telunjukmu dan terus menyalahkan sementara ketiga jari lainnya secara bersamaan menunjukmu balik. Pergerakan waktu dari masa ke masa tiada pernah berubah. Segalanya masih sama, 24 jam. Tinggal bagaimana cara kita mengaturnya agar terasa efektif dan bermanfaat. Dewasa ini, kita dituntut menjadi kreatif. Pemuda selayaknya terus mengembangkan minat dan mengembangkan ide-ide yang ada secara progresif. Tak akan bertahan lama bagi mereka yang konstan dan monoton dalam melakukan sesuatu.

Bila boleh dikatakan, Banten memiliki potensi yang sangat besar dalam wilayah kelautan. Anyer, Tanjung Lesung, Sawarna, Pulau Seribu, Pulau empat Karangantu, serta pulau-pulau yang masih banyak tersebar, belum benar-benar “digarap” secara serius. Hanya sebatas euforia-gimik media. Itu saja. Sejauh ini, bisa sama-sama kita lihat, Tanjung Lesung yang resmi dijadikan tempat wisata yang dikelola pemerintah, belum maksimal. Terbilang masih sangat sedikit wisatawan dari daerah lain yang datang. Sebab apa? Karena kita, sebagai pribumi, tidak diberikan edukasi dan pengetahuan yang menunjang. Promosi-promosi tak lebih dari sebuah lembaran di emperan lampu merah, banyak orang yang tak peduli dan bahkan bagaimana mau membacanya, untuk menerimanya saja mereka sungkan. Jelas sekali ini pe-er yang besar bukan hanya ditanggung pemerintah namun menjadi tanggung jawab kita semua.

15 Februari 2017 mendatang, akan berlangsung Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak di beberapa daerah di Indonesia. Di Banten sendiri, keriuhannya bisa sama-sama kita saksikan dan rasakan sejak tiga bulan terakhir, hingga hari ini. Kehingar-bingarannya terus mengusik kesunyian orang-orang di luar “ring atau stadion” yang hanya ingin menjadi penonton belaka; tanpa ingin membeli tiket masuk, berseragam salah satu “pemain” yang beradu-tanding, atau berhati-hati dan tidak ingin terlibat kalau-kalau terjadi perseteruan antar pendukung. Akan tetapi, pertanyaannya kemudian adalah: sampai kapan kita hanya ingin menjadi penonton gratisan macam itu? sedangkan yang tengah dijadikan “pertaruhan atau kado pertarungan” tak lain adalah daerah yang kita tinggali atau bahkan tempat kita dilahirkan. Ketidakikutsertaan kita dalam meramaikan Pilkada mendatang berbanding lurus dengan ketidakcintaan dan ketidakpedulian kita pada tanah kelahiran. Pada akhirnya, saya berpikir ulang soal menyia-nyiakan hak suara yang dimiliki masing-masing dari kita sebagai pribumi atau ber-KTP provinsi Banten. Sebab, mau bagaimanapun, ketika di hari depan orang-orang yang tidak kita pilih tersebut mau tidak mau menjadi pemimpin kita, kita hanya bisa angkat tangan—dan tak bisa mengelak. Banyak harapan dan semua kemajuan yang kita harapkan benar-benar bisa dilaksanakan dan dijalankan oleh pemimpin yang terpilih nanti. Dan kita salah satu penentu kemenangan satu di antara para calon lainnya. Satu hal yang tak bisa ditawar-tawar lagi yakni: Banten harus menjadi remaja baik-baik.

Dahulu, Banten adalah sebuah Kerajaan Islam yang dikenal dengan Kesultanan Banten dan disegani oleh banyak Kerajaan lain di bawah pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin, putra Sunan Gunung Jati. Banten menjadi Kerajaan yang berhasil memakmurkan rakyatnya. Sebab sejarah gemilang itulah sepatutnya bersama-sama kita amini kalau kejayaan Banten adalah sebuah keniscayaan yang harus direngkuh kembali.

Cilegon, 13 Oktober 2016

Mbaknya yang dari STAN pulang duluan, jadilah foto bertiga doang hehehe....

Penyerahan hadiah. Juara satu ditiadakan, jadi saya juara 2, deh.


______________________________________________
*) esai ini berhasil meraih juara ke-2 pada event menulis opini, "16 Tahun Banten: Dinasti dan Korupsi di Banten" yang diselenggarakan oleh Banten Bersih dan Indonesia Corruption Watch (ICW) di Saung Serpong, Tangerang Selatan, Kamis, (22/12/16).

You Might Also Like

0 komentar