[Cerpen] Sebelum Prajurit Kalah Perang
April 28, 2020credit photo by: Pixabay |
—kepada Hilman
Lemri
Suatu hari, aku
mengatakan kalau cerpen yang diawali dengan kalimat pembuka “suatu hari”,
adalah cerpen yang buruk. Lemri, kawanku, setuju. Lalu kami merasa bangga dan
puas, seolah bacaan kami selama ini tidak sia-sia. Ia tertawa dan aku pun.
Namun kemudian, waktu semakin larut dan percakapan kami semakin intim dan
serius. Salah seorang dari kami melemparkan tanya, “Apakah yang selama ini kita
cari di dunia kepenulisan sudah ketemu?” Seusai baris kalimat itu mencuat,
suara pengajian yang terdengar dari pengeras suara di masjid berhenti. Kami
masih saling diam, belum mendapatkan jawaban yang tepat.
Lemri memulai lebih
awal memantapkan diri menjadi penulis. Tiga tahun setelahnya aku menyusul.
Kurang lebih sepuluh tahun kami jadikan menulis sebagai profesi. Buku-buku
terbit, karya-karya bermunculan di media, diundang sana-sini mengisi pelatihan
menulis dan menghadiri perhelatan sastra baik lokal maupun nasional. Tetapi,
apa itu cukup?
Ia tertawa dan aku pun.
Namun kali ini, suaranya begitu lirih dan getir. Tampaknya ia belum sanggup
menjawab pertanyaan di awal. Ia mengalihkan topik, soal alasannya mengajakku
bertemu malam ini.
“Puisi yang aku
kumpulkan selama tiga tahun, akhirnya diterima penerbit. Bulan depan bakal diterbitkan!”
ucapnya gembira. Ada binar harapan di kedua matanya.
“Selamat, ini patut
dirayakan!”
Kemudian Lemri
mengajakku ke kedai kopi terdekat. “Aku yang traktir!” katanya. Sebenarnya, ada
pekerjaan mengedit buku yang belum selesai. Tapi, sebagai kawan lama, tak sepatutnya
aku menolak ajakannya, bukan?
Sebagaimana obrolan
pada umumnya, aku menanyakan kabarnya dan apa kesibukannya saat ini selain
menulis. Namun, ia hanya menjawab, “Tidak ada,” tanpa tambahan ekspresi dan
kalimat lainnya. Aku jadi tak enak hati. Demi menghilangkan kecanggungan, aku
teguk kopi gayo yang sudah kupesan limabelas menit lalu. Rupanya, ia tadi hanya
menaruh jeda dan membiarkan napasnya bekerja teratur.
“Surat lamaran sudah
aku masukkan ke banyak perusahaan, tapi begitulah. Nihil.” Aku tahu bagaimana
rasanya. Lebih-lebih, ia seorang magister, beban yang ia pikul berlipat-lipat
beratnya.
“Aku juga pernah
mengalami hal itu. Tenanglah, kau tak sendirian,” kataku meninju lengannya. Ia
tersenyum. Lalu melemparkan pandangannya pada secangkir kopi di hadapannya.
“Paling tidak, kau masih berkarya,” tambahku mencoba menenangkannya.
“Harusnya..., tapi aku
datang padamu memang dengan banyak pertanyaan. Salah satunya soal apa yang aku
cari di dunia ini? Ya, dunia yang kita jalani ini....”
Entahlah. Kalau
persoalan itu yang kau bawa, aku juga belum mendapatkan jawabannya.
Capaian-capaian yang dulu kita catat di tembok bangunan tua itu, sepertinya tak
‘kan pernah terwujud. Ingin sekali aku sampaikan itu pada Lemri. Tapi, itu
hanya akan membuatnya semakin bersedih.
“Menulis tak pernah
memberimu apa-apa selain keterpurukan. Kemarin, lamaranku ditolak oleh orang
tua Jelita hanya karena aku seorang penulis. ‘Kamu yakin itu bisa dijadikan
pekerjaan?’ kata Ayah Jelita. Aku diam dan merasa satu-satunya manusia paling
pecundang di muka bumi!” Mendadak suaranya bergetar. Aku tahu ini terdengar
berlebihan, tapi percayalah, ia tak akan menceritakan hal semacam itu pada
sembarang orang. Barangkali, itu pula tujuan sebenar-benarnya ia ingin bertemu
denganku. Ia ingin didengarkan.
Belum aku tanggapi
ucapannya, sebuah pesan masuk ke ponselku. Delia. Ia mengirim pesan dan
bertanya soal kepastian pertemuan kami minggu depan. Aku tak segera
membalasnya.
“Dilematis sekali, ya.
Lewat tokoh-tokoh yang aku karang, aku membuat hidup mereka baik-baik saja.
Menemukan cintanya, diterima ramah oleh lingkungan sekitar, dan hidup bahagia.
Di dunia nyata, untuk mendapatkan hal-hal itu ternyata tidak mudah. Apa artinya
menulis ini semacam terapi atau pelarian kita, ya?”
Lemri tertawa. Sesekali
ia menyipitkan matanya ke arahku. Tampak benar ia setuju pada pernyataanku. Kemudian
tawanya meledak-ledak, khas orang dengan beban pikiran berlebih. Begitu
depresif. Menjadi penulis, artinya siap untuk menjadi manusia yang sensitif
pada sekitar. Jangan heran andai kau duduk bersebelahan dengan kami, dan kau
berkata bohong, dengan mudah kami dapat tahu kalau kau sedang berbohong.
Percayalah, kami dapat menemukan kebohonganmu lewat kerut wajah, gerak tubuh, caramu
duduk atau bahkan bisa kutemukan dari kedipan matamu. Dan aku yakin, kali ini
Lemri sedang menceritakan yang sebenar-benarnya tanpa ada yang ditutupi sedikit
pun dariku.
“Mungkin sekarang kita
bukan siapa-siapa. Tapi beberapa tahun ke depan, orang tua macam Ayahnya Jelita
itu pasti menyesal pernah menolakmu.” Lemri memutar tubuhnya ke arahku. Di
belakangnya, seorang lelaki tua dengan memakai topi patino datang, lalu menarik
sebuah kursi dan lekas duduk. Ia memesan kopi yang sama denganku. Tapi kami tak
begitu memerhatikannya. Karena tampaknya, Lemri mulai serius.
“Berapa tahun lagi
untuk menjadi siapa-siapa?”
“Aku tidak bisa
pastikan, tapi kau tahu ‘kan, banyak sekali penulis dan sastrawan besar yang
dulunya susah hidupnya. Tapi lihat, mereka mampu bertahan hingga terus dikenang
karyanya.”
“Ya, dikenang karyanya
dan kemelaratan hidupnya,” katanya ketus. Seseorang yang duduk di sampingnya
tampak meringis. Aku mendengar jelas ia seperti mengejek kami.
“Maaf, bisa jelaskan
apa arti tertawamu barusan?” aku tersinggung. Lekas aku berdiri dan menantang
lelaki paruh baya yang sebagian besar rambutnya telah beruban itu. Bersembunyi
di balik topinya.
“Hei, sudah tak perlu
tersulut begitu. Ah, sepertinya aku salah sudah mengajakmu mengobrol soal ini.
Maaf, ya.” Lemri menarik lenganku dan memintaku untuk duduk kembali. Ekor
mataku masih menatap sengit pada lelaki tua itu. Tak sedikit pun ia bergeser
dan menoleh ke arah kami.
“Ah, kenapa jadi kacau
begini. Maaf. Tak seharusnya aku menyebalkan. Aku malah menambah keruwetan
untukmu saja.” Kusesap lagi kopi yang sudah mulai dingin di hadapanku. Tak lama
berselang, lelaki tua itu bangkit. Ia keluar dari kursinya, meninggalkan gelas
kopinya dan berjalan masuk ke dalam pantri kedai kopi. Entah apa yang akan
dilakukannya, aku tak peduli. Apa lagi, setelah itu ponselku berbunyi. Masih
dari orang yang sama, bedanya kali ini ia menelepon.
“Sebentar, ya,” kataku
pada Lemri. Lalu aku keluar kedai untuk mengangkat telepon dari Delia.
Kemarin, aku sudah
memantapkan diri untuk melamar Delia. Obrolan ini sudah begitu lama bahkan
sebelum Lemri cerita soal lamarannya. Tetapi, setelah mendengarkannya tadi, aku
jadi jeri. Ragu-ragu soal apa yang bakal aku lakukan minggu depan. Delia juga
menanyakan hal itu berulang-ulang. Aku yang seorang penulis dan editor lepas
ini, apa mungkin bakal diterima lamarannya. Atau ditolak mentah-mentah dan
mendapatkan pertanyaan yang sama dengan apa yang dialami Lemri?
“Jadi, bagaimana,
minggu depan kamu ke rumah, kan? Jangan ngomong ngalor-ngidul. Kasih kepastian.
Biar aku bisa kasih tahu orang rumah,” ucap Delia yang begitu cerewet. Aku
hanya ber-hmm sebanyak dua kali. Delia pasti jengkel, tapi biarkan dalam sisa
hari ini aku pikirkan ulang secara matang-matang. Meskipun, keluargaku sudah
setuju untuk mengantarku nanti ke rumah Delia.
“Iya, sampaikan salamku
ke orang tua kamu. Aku pasti datang,” kataku akhirnya sebelum kemudian Delia
menutup teleponnya. Sepertinya ia ngambek. Terserahlah, aku memilih tak begitu
memikirkannya malam itu dan kembali ke dalam kedai.
Lemri menatapku seperti
menagih sesuatu. Mungkinkah ia mendengarkan percakapanku dengan Delia? Ah,
betapa malunya.
“Ya, kita senasib.
Hampir....”
“Ya, hampir..., tapi semoga
bernasib lebih baik dibanding aku,” kata Lemri yang tak berarti apa-apa di telingaku
malam itu.
“Kalian masih muda,
kenapa obrolannya terdengar seolah kalian sudah begitu banyak mengalami
kegagalan?” Pertanyaan itu muncul bukan dari kami berdua. Sewaktu kami
mendongakkan kepala, ternyata itu suara lelaki bertopi patino yang tadi hampir
aku marahi. Siapa sangka, ia ternyata orang yang karyanya kami kagumi.
“Eyang Pramoe?” ucap
kami hampir bersamaan.
“Maaf soal tadi, ya.
Aku tak kuasa menahan geli mendengar percakapan kalian. Terima kasih sudah
mampir ke kedai kopiku. Cuma kedai ini yang nanti bakal aku wariskan ke anak
cucuku. Minkeu ini cucuku dari anak kedua. Ia cukup rajin menjaga kedai ini,”
terang Eyang menunjuk pria muda yang tadi membuatkan kami kopi. Ia menundukkan
kepalanya memberi salam.
Aku dan Lemri lekas
menjabat tangan Eyang. Tentu ini pertemuan di luar dugaan kami. Tak kusangka
kalau kedai kopi yang saban hari aku lewati ini ternyata milik seorang
sastrawan besar.
“Kalian tahu, kehidupan
ini ibarat medan perang. Prajuritnya bukan hanya penulis, tapi juga dari lintas
profesi. Semua orang berperang untuk mendapatkan hak dan kebebasannya
masing-masing. Ada prajurit yang rajin menembak tanpa perhitungan, ada yang
membidik dulu sasaran sampai ia yakin kapan waktunya menembak, dan ada yang
menunggu musuhnya menghabiskan pelurunya sampai mereka menyerah dengan
sendirinya tanpa ia harus repot-repot membuang-buang pelurunya,” Eyang menaruh
jeda, lalu menyesap kopi yang baru dibuatnya. “Sekarang, kalian prajurit yang
mana?”
Mendapati pertanyaan
itu, kami tak bisa segera menjawab. Kami bahkan tak menyadari kalau kami bagian
dari prajurit-prajurit itu. Mendadak, aku merasa seperti prajurit yang tidak
kalah dan juga tidak menang.
“Persetan kalian prajurit
yang mana, yang penting sebelum kalian kalah perang, kalian harus melawan
sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”
Kami sama-sama prajurit
yang berada di medan perang. Dan sebelum prajurit kalah perang, kata Eyang, di
kepalaku terlintas sebuah tanya, “Untuk apa aku ada di sini? Di dunia yang kita
jalani ini....”[]
Cilegon, 11 Februari 2020
4 komentar
Ok juga. Ada Pram, Minke. Hajar bro
ReplyDeleteHahaha, bulan puasa, gabole baku hantam, bangs. Tengkyu sudimampir~
DeleteAsyik. Aku menikmati
ReplyDeleteTerima kasih sudah membacanya, mz~
Delete