[FF] DEVVI PURNAMA
October 08, 2016image by: google.com |
Ini kali
ketiga aku masuk toilet. Sial betul memang. Barangkali salah satu bumbu rahasia
dalam mi buatannya adalah obat pencahar. Ingin sekali aku membalikkan wajannya
saat ia membuat pesanan untuk pembeli lain, karena hal ini. Tetapi rasa-rasanya
tak mungkin, sebab tiga jam lalu hanya aku sendiri pembelinya. Dan kalaupun
sekarang aku keluar rumah, menyelusuri jejak sandal jepitnya, mengendusnya dan melihat
langit, ia tak akan mudah ditemukan.
Untuk hal yang kusebutkan paling akhir, aku memiliki alasannya.
Sebulan lalu
aku menjenguk Kakek di kampung Rantingan. Di satu kesempatan, ia berkisah soal
perempuan.
“Dahulu, setiap
malam purnama, hadirlah seorang perempuan bergaun sutra di langit. Hidungnya
selancip bulan sabit. Dia bernama, Devvi Purnama.” Semula aku mengira gigi
palsu kakek bergeser, sehingga sewaktu pikirannya memerintahkan ia mengucap, ‘Dewi’
tetapi yang melompat dari bibirnya, ‘Devvi’.
“Dewi,
maksudnya, Kek?”
“Bukan.” Kakek
bergeser, mulutnya yang bau tembakau mendekat ke telingaku, “Devvi. Ditulis pakai
dua huruf ‘v’.” Jari telunjuk dan tengahnya ia angkat ke wajahku. Baiklah, ada
apa dengan Devvi Purnama?
Selesai
membayar mi tek-tek, aku berbalik dan
kembali ke rumah. Kukunci pintu dan lekas melahap minya. Itu yang kubayangkan.
Sialnya, hal itu tak lekas terjadi. Sewaktu aku berjalan, kulihat sekelebat
bayangan melawati tubuhku dari depan ke belakang. Itu bayangan yang mungkin kau
dapati ketika melihat segerombol laron atau lembetuk atau codot berputar-putar
di bawah tiang lampu jalan dan bayangannya jatuh ke tanah. Kuangkat kepala dan,
astaga, itu perempuan yang dikisahkan kakek. Tangannya seperti menggendong
bayi.
“Devvi
melahirkan saat bulan bulat sempurna. Belum sempat ia melihat sosok anaknya, sekalipun
jenis kelaminnya, bayi itu lenyap digondol dukun
yang membantu ia bersalin.”
“Tak adakah
orang lain selain dirinya di sana? Keluarganya mungkin, Kek?”
“Dia dari kayangan.”
Aku
mengerutkan kening, ia paham, “di atas sana, setiap kali ada yang melahirkan,
ia akan dijauhi. Dianggap tak suci lagi. Karenanya ia turun ke bumi.”
Aku tak hendak
tahu lebih banyak, tetapi kakek belum selesai.
“Dukun tadi
menaruh bayinya di atas wajan yang ia bawa. Warnanya putih keperakan.”
Lalu aku
teringat pada pedagang mi tek-tek. Wajan
yang ia pentung-pentung sebagai pemanggil pembeli itu, baru. Biasanya hitam
legam, tetapi tadi sesuai dengan kisah kakek.
Tapi, ah,
nanti kulanjutkan ceritanya. Aku harus kembali lagi ke toilet.
Cilegon,
04 Oktober 2016
0 komentar