[Esai] Uji Kompetensi Calon Pemimpin

March 22, 2019

Image by indiatoday.in

Selepas ikamah, jamaah salat magrib merapatkan barisan. Satu di antara mereka maju ke tempat pengimaman atas kehendaknya sendiri. Tidak ada yang protes, paling tidak secara verbal. Barisan terbentuk dan salat berjamaah pun dimulai.

Sewaktu sang imam membaca surat al-fatihah, terasa ada yang janggal, kurang sempurna. Bacaan ayat sewaktu ibadah salat magrib mestilah jahr (dengan suara keras). Ia tidak begitu fasih membaca ayat, juga sewaktu memproduksi huruf dari rongga tenggorokannya semisal huruf ‘ain pada kalimat iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in. Selain itu ia juga mesti memenggal ayat ke-7 saat berjumpa wakaf, bila memang tidak kuat napasnya hingga akhir ayat. Sayangnya ia terus saja membaca dengan lantang hingga pada kalimat, “walaa dhdhaalliin” ia kehabisan napas.

Contoh kasus di atas bukanlah yang pertama terjadi dan biasa kita temukan di masjid-masjid atau surau yang kita singgahi. Banyak orang merasa kompeten dalam satu bidang bukan lantaran karena ia seorang ahli, tapi bisa jadi karena modal nekat, modal berani, dan modal dukungan. Sebab seperti dalam ruang kelas, diam berarti setuju: itu pola pikir yang terbentuk di masyarakat dan calon pemimpin di Indonesia.

Pada pemilihan umum 2019 ini, semua mata mengerucut pada Pemilihan Presiden (Pilpres) saja. Padahal, di tahun yang sama kita juga mesti menentukan pilihan untuk anggota legislatif (DPR, DPRD, DPD). Riuhnya orang di media sosial, seolah menafikan hal ini. Pemilihan calon anggota legislatif dianggap tidak menarik bagi kebanyakan orang.

Pilpres dianggap lebih menarik karena pertarungan partisan terlampau begitu menonjol. Apalagi pada Pilpres sekarang, warga dipaksa mendukung dua calon saja, walau setelah diamati secara mendalam tidak banyak perbedaan antara kedua kubu. Program kerja, visi dan misi tak ada yang tampak baru, bahkan nyaris usang dan mengulang apa yang dulu pernah dijanjikan. Jadi, sekalipun minat menjadi anggota legislatif tetap tinggi, umumnya warga kurang memperhatikan manfaatnya.

Bila kita cermati, para calon anggota legislatif ini nantinya akan menjadi perwakilan masyarakat sebagai legislator alias penyusun undang-undang, dengan kata lain menciptakan hukum. Andai kita memilih pemimpin yang salah dan tidak kompeten dalam bidangnya, tentu ibarat meminta kambing untuk membajak sawah. Hanya akan menimbulkan kekacauan dan polemik, persis seperti beberapa waktu lalu tentang legislasi pembuatan UU Permusikan.

Kita bisa saja meminimalisir keputusan-keputusan mentah dari para calon anggota legislatif nantinya, andai kita sudah menentukan calon pemimpin yang terbaik sebelum tiba waktu pemilihan. Paling tidak, pilih mana yang mendingan dari yang terbusuk.

Studi kasus lainnya soal kesalahan fatal memilih pemimpin yakni pada video ceramah yang beredar belakang ini di media sosial. Seorang yang mengaku ulama bernama Nur Sugik (Gus Nur), berdakwah dengan gaya yang jauh dari norma dan nilai kesantunan, bersama jamaahnya melakukan persekusi yang dialami seseorang bernama Ahmad Muzani, Ketua Rijalul Ansor Deli Serdang dalam acara yang mengundang Gus Nur sebagai pembicara. Banyak kalimat-kalimat kasar yang semestinya bisa ia redam tapi memilih untuk mendiamkan jamaahnya melakukan tindak kesewenang-wenangan itu. Lalu ia mengaku tidak paham soal kitab kuning, dalil-dalil usul fikh, dan bahkan ia dengan yakin mengutip Alquran padahal ia salah menyebutkan ayatnya.

Sebagai makhluk yang dibekali akal, jamaah yang hadir mestinya menginterupsi, bukan mendiamkan kesalahan itu lalu mengamininya bersama-sama. Gong dari cacat logika dan cara berpikirnya ialah ketika ia diminta menunjukkan apa kaidah fiqh yang bisa dijadikan landasan untuk menyesatkan istilah Islam Nusantara? Untuk menjawab pertanyaan itu ia malah bertanya balik pada jamaahnya, lalu mengambil suara terbanyak dan ia menyatakan itulah dalilnya. Dalil kearifan lokal, katanya.
Kalau kita membiarkan pemimpin-pemimpin tidak kompeten alias amatiran ini muncul kepermukaan dan duduk sebagai penguasa, alangkah tidak bijaknya kita sebagai masyarakat yang memiliki hak suara (konstituen).

Uji kompetensi pemimpin sangatlah penting untuk diadakan. Paling tidak, bisa kita mulai dari diri kita sendiri, cara berpikir kita dan mempelajari hak dan kewajiban yang bakal dijalankan oleh setiap pemimpin.

Khususnya kepada para calon pemimpin, seharusnya memiliki kesadaran penuh atas kemampuan yang dimilikinya. Persis seperti contoh imam salat di atas, karena ia menaungi banyak orang dan menjadi contoh atau panutan untuk diikuti orang banyak (makmum), juga memiliki tanggung jawab beribadah, mestinya ia sudah selesai dalam urusan keilmuan semisal fasih dalam bacaan; mengerti tajwid, fikih, syarat dan rukun salat serta semua perkakas dan perangkat salat. Bukan cuma modal nekat, modal berani, dan modal dukungan—dan modal uang—seperti para calon pemimpin kita itu.

Jangan biarkan kebodohan membutakan kita. Apalagi soal agama dan memilih pemimpin negara. Bila kita hendak taklid pada salah seorang ulama, pastikan kita tahu soal sanad keilmuannya, dari mana ia belajar, siapa gurunya, apa saja yang ia baca dan pelajari, andai merasa cocok dengan apa yang kita butuhkan, angkat ia jadi guru.

Sama halnya ketika hendak memilih pemimpin. Kita bisa mulai dengan menyusuri track record-nya jauh sebelum ia mencalonkan diri. Baik di lingkungan masyarakat, pendidikan atau akademik, bagaimana ia dipandang di lingkungan partainya, serta yang paling penting posisi ia dalam lingkaran keluarga. Sebab, bila di lingkungan keluarga ia diterima, didukung, dan dibanggakan, artinya ia sudah siap untuk terjun langsung ke masyarakat. Jangan sampai hanya memilih calon pemimpin yang cuma jago “mendongeng”. Karena terlampau banyak pemimpin yang banyak bicara di awal, ketika terpilih sedikit bahkan nyaris sedikit kontribusi yang bisa ia berikan.

Selalu curigai motif para calon pemimpin kita, apa alasan ia mengajukan diri sebagai pengabdi masyarakat. Kalau hanya untuk mengikuti tren—public figure misal (demi menghindari menyebut artis)—, adu gengsi, mencari proyek dan bukan mementingkan kepentingan rakyat, pastikan dirimu untuk menghindarinya sejak radius 10 kilometer dari tempatmu berdiri.[]


Cilegon, 01 Maret 2019

You Might Also Like

0 komentar