Catatan: Pintu-pintu Ajaib di #UWRF17

November 27, 2017

image by Anggara Mahendra (#UWRF17 committee)

“Kafka tidak memandang bahwa menulis adalah sekadar hobi atau pekerjaan, tetapi sebagai pandangan hidup. Ia bukan hidup untuk menulis, melainkan hidup di dalam tulisan.”
—petikan kata pengantar dalam buku, Metamorfosis karya Franz Kafka.


Pintu Pertama

Malam ini saya sedang membalas chat dari Erich Langobelen, penulis asal Maumere, Nusa Tenggara Timur. Di status WA-nya ia mengunggah salah satu pantai yang ada di tempat ia tinggal. Sungguh indah dan menenangkan penglihatan saya. Awalnya saya menanggapi, “bawa saya ke sana...” lalu, dengan tenang, khas para bajak laut—begitu ia ingin dikenal—ia menjawab, “ada belasan bahkan puluhan pantai lain yang lebih bagus, Kakak, datanglah ke Flores. Saya bahagia sekali kalau dikunjungi oleh saudara-saudara saya dari pulau Jawa dan sekitarnya,” pada kalimat itu saya tertegun. Keributan soal ras-suku-agama, yang tersiar di media belakangan ini, percayalah, itu hanya sebagian kecil. Dan seperti dalam panel diskusinya yang bertema, Eastern Winds of Change, Erich menyampaikan kalau ketika sedang berkunjung ke suatu daerah di Indonesia, khususnya tempat ia dilahirkan, jangan merasa cukup dengan memandang dan mengagumi alamnya, lihat dan sapa juga orang-orang yang hidup di sana. Kami juga sama seperti kalian, kata Erich serius menatap mata audiens, kami manusia yang juga bisa berinteraksi. Ia menutup kalimatnya dengan senyuman ramah, dan tidak lama suara riuh tepuk-tangan penonton menggema.

Potongan kecil kisah di atas adalah apa yang saya saksikan selama di Ubud Writers and Readers Festival 2017 (#UWRF17) akhir Oktober kemarin. Erich salah satu dari 15 penulis Emerging #UWRF17. Beruntung saya terpilih juga di antara 15 penulis Njedul (pinjam istilah Rofiqoh) itu. Sejak pulang dari Ubud saya bingung memulai dari mana untuk menceritakannya. Sebab terlampau banyak kejadian luar biasa yang saya alami sebagai penulis, paling tidak selama saya mulai memutuskan berkecimpung di dunia tulis-menulis akhir tahun 2012 lalu. Banyak sekali kawan yang meminta “oleh-oleh” berupa pengalaman apa saja yang saya boyong dari sana. Saya selalu berhenti pada kesimpulan yang pikiran saya buat sendiri, “ceritanya khawatir biasa bagi mereka”. Ya, itu yang saya khawatirkan. Bisa jadi cara saya menuliskan ulang “rekaman-kisah” itu yang basi, atau memang apa yang bagi saya menarik, bagi pembaca bisa jadi biasa saja karena sudah sering mengalami atau terlibat dalam acara yang serupa. Entahlah. Toh akhirnya muncul juga tulisan ini... wkwkw....

Setelah tahu nama saya masuk dalam daftar penulis emerging terpilih, saya mulai menelusuri siapa saja yang pernah lolos ke perhelatan sastra dan seni yang konon terbesar se-Asia Tenggara itu. Sebagian besar dari mereka, yang memang sebelumnya sudah saya kenal baik di dunia maya maupun nyata, menanggapi dan berpesan kalau ini hanya acara serupa acara-acara sastra lainnya. Jangan sampai membuat kau terlena dan kemudian merasa besar karenanya. Oke, saya sepakat. Tetapi, selama karir kepenulisan saya, bagi saya pribadi ini adalah pencapaian terbesar dan tertinggi—sejauh ini. Setiap tahun, saya memiliki target untuk bisa melampaui apa saja yang sebelumnya sudah saya raih. Ibaratnya, tahun ini tingkat kecamatan, ya, minimal tahun depan tingkat provinsi-lah. Bukan untuk pamer atau menyombongkan diri, hanya saja itu bentuk dan cara saya untuk menjaga gairah kepenulisan saya dan sejauh apa saya bisa konsisten di jagat kesusastraan Indonesia yang mahaluas ini.

Banyak orang yang beranggapan menjadi penulis itu mudah dan menyenangkan. Padahal, yang mereka mungkin tidak tahu, saban malam, atau di waktu-waktu tertentu, ketika yang lain asyik istirahat, kami para penulis menyendiri bersuntuk-suntuk di kamar sibuk menulis (mengetik) dengan banyak godaan. Mulai dari pantat keram karena kelamaan duduk, mata puyeng karena menatap monitor yang terlampau terang, atau yang paling berat menjaga dari godaan media sosial yang terus meraung-raung. Bahkan, jauh sebelum proses penulisan, kami mesti bersusah-payah dengan mencari data, riset sana-sini, wawancara dan membaca banyak buku demi melahirkan tulisan yang layak dan memuaskan diri sendiri juga pembaca yang budiman. Jadi, betapa wajar belaka kalau kemudian kami mendapatkan bonus jalan-jalan seperti lolos di #UWRF17 ini. Dan ini bagi saya bukan acara yang “hanya”. Saya tidak bisa dengan mudah meremehkannya. Sebab, untuk terpilih tahun ini, kami mesti bergelut dengan 911karya dari 700-an penulis. Bayangkeeeunn~~

Kemudian, karena barusan nyerempet soal proses menulis hingga jadi buku, alangkah saya bersepakat dengan sebuah kutipan dari buku, Writing is Great (2017), yang berbunyi: “setiap pembaca adalah kawan. Kecuali yang minta buku gratisan.”—karena proses penulisan naskah sampai jadi sebuah buku itu sungguh panjang dan kompleks. Jadi, mbok, ya, berpikir dua kali untuk meminta buku gratisan pada penulis, apalagi kalau kau menganggap ia temanmu. Ada pengalaman menarik soal ini. begini:

Saat saya selesai mengisi sesi di panel diskusi bertema, The Next Chapter of Indonesian Literature, saya melupakan satu hal: memberi buku pada moderator. Beliau adalah Debra Yatim, jurnalis senior dan editor Tempo. Tidak ada alasan khusus selain karena saya merasa terbantu olehnya dalam membawa acara dan menggali proses kreatif saya dengan baik. Nah, di panel beliau yang lain, yang saat itu jadi narasumber, usai diskusi saya menjumpainya. “Bu Debra, ini buku saya. Buat Ibu,” kata saya antusias. Namun apa yang ia katakan, sungguh menampar—dan mestinya menampar kesadaran mereka yang selalu meminta buku gratisan. Katanya, “berapaan? Saya nggak mau dikasih. Saya tahu kok susahnya jadi penulis, jangan sok bagi-bagi buku. Sudah nulisnya susah, dibagiin gratis pula, makin susah aja hidupnya penulis... hahaha.” Ia tertawa. Saya tersipu dan kemudian juga menyusul tawanya. Oh, iya, saat itu saya bersama Aksan Taqwin Embe, penulis asal Lamongan yang mewakili Tangerang—aneh, ya, dia. Hahaha.... Setelah itu, mau tidak mau saya menyebutkan harga bukunya dan Bu Debra betul-betul membelinya. Aksan juga ikut-ikutan jual buku dia. Bahkan adik Bu Debra, yang menemani ia selama di sana, juga ikutan membeli dan meminta tanda-tangan kami. Suatu kehormatan dan kebanggaan tersendiri tentu saja. Setelahnya ditutup dengan sesi foto bersama.

Cilegon, 27 November 2017




*) Cukup sampai pintu pertama dulu, ya. Kalau sempat dan banyak yang minta lanjut saya bakal usahain buka pintu kedua :v hahaha

You Might Also Like

0 komentar