[SELF-DEPRESSION] Sulitnya Memahami Diri Sendiri

June 28, 2017


foto saat berlibur ke Pantai Sawarna, Bayah, Banten.

Saya termasuk orang yang sulit dimengerti; baik oleh orang lain atau oleh diri sendiri. Orang yang baru mengenal saya tentu tidak akan merasakan hal itu. Saya gemar mengganggu, sebagian orang merasa saya sedang menghiburnya dengan lawakan, dan saya senang mengurusi apa pun. Dalam hal ini, mengurusi berarti meng-openi, gemar mengomentari segala sesuatu.

Kemarin hari seorang teman berkata, “De, nggak mau tah kayak begitu?” ia menunjuk anak abegeh yang sedang dimabuk asmara. Duduk bermesraan di sepeda motor sambil peluk-pelukan dan bercumbu. Herannya sejak dulu saya tak terlalu dibuat pusing atau minimal cemburu dengan perilaku macam itu. Bukan berarti tidak mengenal cinta, hanya saja, untuk mendapatkan hal-hal “receh” semacam itu kelewat mudah. Yang sedang jadi titik fokus saya sekarang justru soal mengejar cita-cita dan menggenapi ambisi juga impian-impian saya.

Bila saya ulur benang kusut secara perlahan, orang-orang besar dan tokoh berpengaruh tak bicara perihal cinta lebih dulu—kalaupun iya, mereka akan sangat pandai sekali menyembunyikannya. Mereka membakar semangatnya dengan ambisi dan dedikasi yang besar untuk meraih apa yang diinginkannya. Macam-macam, ada yang berambisi menjadi orang terkenal, ada yang berambisi menguasai bidang keilmuan tertentu, ada yang berambisi sekadar membuktikan kalau saya bisa ini-bisa itu, dan ada pula yang berambisi untuk meraih cinta seseorang.

Sebenarnya, saya ada di posisi paling terakhir. Namun, sebagaimana saya percaya konsep mestakung, atau faal dalam bahasa Paulo Coelho, untuk meraih ambisi tersebut saya harus berupaya melewati ambisi-ambisi di awal. Saya tidak hendak mengatakan kalau hati perempuan mudah terpaut dengan pria yang berduit, akan tetapi lagi-lagi survei ngawur saya mengatakan itulah kenyataannya. Perempuan tertarik, selain kepada pria berduit, juga pria pekerja keras dan bertanggung jawab. Termasuk soal mengejar cita-citanya dalam hidup. Ketika saya berhasil meraih impian-impian saya, saat saya sudah berada di puncak, atau minimal sudah mampu berdiri tegak, maka perempuan mana yang tidak akan kepincut hatinya ingin menjadi teman hidup saya (?)

Kesannya memang besar kepala dan angkuh, namun balik lagi, begitulah cara saya mendapatkan hati seseorang yang saya cintai. Jangan salah, sampai saat ini saya sudah menargetkan akan mendekati siapa, menikahi siapa, menjalani kehidupan dengan siapa dan sebagainya dan sebagainya. Secara perlahan-lahan saya mendekati ia tanpa harus lebih dulu menyatakan cinta sebagaimana mestinya. kalaupun ia sudah menjadi milik orang lain atau memilih orang selain saya, itu hal lain, hak ia sebab saya tak membuat ikatan dan kesepakatan. Saya akan berterima dan berlapang dada menghadapi itu, sudah terlampau banyak kesakitan-kesakitan yang sulit disembuhkan dalam perjalanan hidup ini. Dan juga, lagi-lagi saya bukanlah anak seorang raja atau pengusaha, yang seolah-olah apa pun permintaannya dapat terlaksana. Saya harus melakukan sesuatu, kalau boleh dibilang pengorbanan, untuk menjangkau hatinya. Pada waktunya, saya akan mendatangi orang tuanya lebih dulu dan menyampaikan apa yang sudah semestinya dikatakan.

Cara orang tentu berbeda-beda. Beginilah cara saya, dan seringnya berhasil. Pernah saya beritahu kepada seorang kawan bahwa ketika saya ingin mendapatkan sesuatu, saya harus tahu berapa banyak waktu, tenaga, usaha, dan biaya yang mesti saya keluarkan. Misal, di satu waktu saya ingin sekali mengenal seorang sutradara. Saya pernah mencari kontaknya, lalu berhasil mendapatkan email-nya. Saya kirimkan naskah saya dengan kepercayaan diri yang kelewat konyol. Tentu saja diabaikan dan kalau saya pikirkan sekarang tindakan macam begitu adalah balasan yang wajar.

Hal berikutnya yang saya lakukan adalah membiarkan, bukan berarti melupakan, untuk mengenal ia lebih dekat. Saya fokus lebih dulu dengan jalur yang hendak saya tuju, yakni kepenulisan. Saya perbaiki segala teknis, teori, pemahaman-pemahaman, capaian-capaian dan segala macam. Nah, saat saya sudah merasa cukup kuat, baik secara fisik, mental dan moral, dengan sendirinya, si sutradara yang sedang ingin saya kenal itu justru mengajukan diri dan menawarkan kerja sama. Ia mengontak saya lebih dulu! Padahal jauh sebelum ia mendatangi saya, saya sudah bergerilya mengirimkan naskah-naskah agar dibaca. Mungkin, karena setelahnya melihat keseriusan dan effort yang saya keluarkan juga hasilnya yang tidak mengecewakan, maka ia pun membuka diri. Ingin mengenal lebih jauh sampai akhirnya mengajak kerja sama untuk menggarap sebuah film.

Itu baru satu contoh, banyak hal-hal lain yang pernah saya alami. Yang jelas, ada proses penempaan yang kudu saya lalui di sana, yang orang-orang sekitar mungkin tidak ingin mengetahuinya. Saya berbagi tulisan semacam ini hanya sebagai obat kekesalan saya saja atas tuduhan-tuduhan yang tidak perlu saya tuliskan di sini. Sungguh, orang-orang sangat sulit sekali menghargai proses, memberikan apresiasi, atau paling tidak menjaga privasi orang lain. Apakah barangkali watak orang Indonesia sulit menerima kemenangan orang lain dan selalu curiga atas capaian-capaian yang dibuatnya sendiri?

Contoh lain soal watak yang gemar curiga dan picik, seperti ini: ada seorang kawan saya yang selama ini dikenal biasa-biasa saja dan nyaris tak ada yang patut dibanggakan. Namun, ketika ia melamar pekerjaan di perusahaan A, yang notabene cukup dikenal, ia berhasil lolos dan mengalahkan banyak pelamar yang jumlahnya ribuan. Lekas saja kawan saya yang lain merasa curiga, boro-boro mengucapkan selamat lebih dahulu, ia langsung menginterogasi dan sampai berkata, “pasti ada orang dalemnya, ya?” pertanyaan bodoh macam itu hanya dimiliki oleh mereka yang tidak bisa menghargai sebuah proses—karena hal semacam inilah saya akhirnya memutuskan untuk membatalkan bertemu dengan beberapa orang yang padahal sudah saya kagumi sejak lama.

Padahal, bisa jadi kawan saya sudah melewati banyak kegagalan atas lamaran-lamaran kerja yang ia ajukan di banyak perusahaan. Banyak hal yang ia pelajari selama proses itu dan mengubah cara pandang juga perilakunya. Sialnya, para pencemburu hanya gemar menggerutu. Barangkali mereka ditakdirkan untuk itu. Seperti yang pernah saya tulis di laman Facebook bahwa untuk menunjukkan sisi baik seseorang, seorang sutradara perlu menghadirkan tokoh-tokoh jahat dan picik agar film yang digarap feel-nya dapat dan hidup nyata di mata penontonnya.

Kembali tentang mengenali diri sendiri. Saya pernah merasa di satu titik bahwa ada seseorang yang betul-betul memahami apa yang sedang saya rasakan dan inginkan. Saya sudah menganggapnya sahabat sekaligus guru yang bisa diajak bicara banyak hal. Namun, seiring berjalannya waktu, ketika saya sedang berproses dan melewati penempaan untuk menjadi seorang penulis, ia keburu hilang dari hidup saya. Saya merasa ia adalah orang yang jahat, meninggalkan sahabatnya di tengah jalan tanpa memberikan lentera satu pun. Saya nyaris putus asa dan memilih untuk tidak melanjutkan langkah. Beruntung, dalam keterpurukan itu seseorang yang lain datang.

Saya jadi teringat perkataan salah seorang tokoh bernama Jaguar D. Saulo di film serial manga Jepang, One Piece. Si raksasa itu berpesan pada Nico Robin, “dengar baik-baik, Robin. mungkin sekarang kau sendirian, tapi suatu hari nanti kau akan bertemu dengan teman-temanmu. Suatu hari nanti, pasti kau akan menemukan teman yang akan melindungimu. Tak ada hal di dunia ini yang dilahirkan sendirian!”

Saya sepakat dengan apa yang diucapkannya. Sama sepakatnya dengan apa yang disampaikan seseorang yang membawa lentera saat saya berjalan tak tentu arah. Ia memberikan petuah agar saya berbesar hati dan menganggap sahabat yang mengerti saya itu hanya sedang memberikan sedikit pelajaran dan memberikan waktu dan ruang untuk saya berproses. Ia berujar, “....kalau kau pada akhirnya berhasil, dia mungkin orang pertama yang paling bahagia. Meski dia seperti tidak tampak dan tidak mau tahu-menahu lagi tentangmu”. Saya berhenti sejenak berusaha memahami kalimat-kalimatnya. Kemudian ia melanjutkan, “De, orang yang berjiwa mendidik akan selalu memantau siapa pun yang ia didik. Jiwanya sudah terikat di sana. Kalian yang dididik ini yang lebih mungkin jadi pelupa. Percayalah, harapan pendidik jauh lebih tinggi dan kebahagiaan mereka jauh lebih besar bila melihat atau mendengar orang yang dididiknya berhasil,” ia menutup kalimatnya.

Semoga saja, balas saya dalam hati.

Malangnya, kedua orang yang benar-benar saya anggap mengerti tentang saya itu kini sudah benar-benar menjauh. Entah sengaja atau mungkin mereka merasa sudah cukup. Saya tak ingin lagi terlalu mengharap-harapkan kehadirannya. Barangkali, inilah yang terbaik yang mesti saya jalani. Akan ada teman-teman yang lain di depan sana. Saya percaya itu.

Cilegon, 28 Juni 2017

You Might Also Like

0 komentar