[MAHASISWA WAJIB BACA] "Bicara ‘Lawan Korupsi’ Bicara Melawan Diri Sendiri" (Biem.co, 20 Februari 2016)

February 20, 2016


image by: biem.co

Mahasiswa mana pun, pasti akan bertemu dengan yang namanya tugas; bisa tugas membuat laporan makalah, paper, membuat jurnal, resume dan sejenisnya. Apalagi kalau mahasiswa yang terlibat di sebuah organisasi kampus seperti, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) dan sebagainya. Pastilah sedikitnya kita akan mengerti dan bahkan paham apa itu proposal anggaran, dan cara penyusunannya—meski hanya pada bagian nama acara dan anggaran saja yang biasanya cukup diubah—untuk menjalankan acara-acara kegiatan di kampus. Lantas, dari penjabaran itu apa yang bisa kita tarik untuk sebuah hipotesis sementara?
Ya, koruptor itu adalah kita!
Namun karena ini barulah sebuah hipotesis sementara—atau bahkan terasa terlalu tergesa-gesa—maka yang diperlukan berikutnya adalah perunutan secara detail bukti-bukti konkret atas simpulan yang kadung saya buat. Dan mencari kebenaran tentulah mutlak adanya.
Korupsi berasal dari bahasa Latin Corruptio atau Corruptus. Kemudian, muncul dalam bahasa Inggris dan Prancis Corruption, dalam bahasa Belanda Korruptie, selanjutnya dalam bahasa Indonesia dikenal dengan sebutan Korupsi. Alatas (1987), menandaskan esensi korupsi sebagai pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan. Korupsi merupakan perwujudan immoral dari dorongan untuk memperoleh sesuatu dengan metode pencurian dan penipuan. Korupsi sebagai fenomena penyimpangan dalam kehidupan sosial, budaya, kemasyarakatan, dan kenegaraan sudah dikaji dan ditelaah secara kritis oleh banya ilmuwan dan filosof. Aristoteles misalnya, yang diikuti oleh Machiavelli, sejak awal telah merumuskan sesuatu yang disebutnya sebagai korupsi moral (moral corruption).

Sedangkan mungkin, kita mengerti bahwa istilah korupsi hanya pantas disematkan bagi mereka yang menjabat sebagai kepala atau salah satu bagian di pemerintahan. Atau barangkali kita hanya mengerti bahwa korupsi adalah sebuah perilaku penyelewengan uang yang berkisar hanya dalam jumlah besar saja. Apalagi didukung dengan istilah yang dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tentang arti kata korupsi: ko·rup·si n penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Sehingga dengan begitu kita merasa lega, bahwa selama ini, apa yang telah kita lakukan, hal-hal kecil yang dirasa tidak merugikan siapa pun, bukanlah bagian dari korupsi itu sendiri. Dan tentu, andai begitu yang dipikirkan, maka kita sudah menjadi bagian dari koruptor atau penerus para pejabat-pejabat korup yang kian hari berseliweran mengisi berita di media-media Indonesia itu. Selamat!

Korupsi pantas diberangus, makanya lebih baik segera turun ke jalan, membuat barisan, atau sekadar kumpul-kumpul rapat dengan banyak aktivis dan kakak-kakak senior. Perkara membuat file laporan praktikum, paper, jurnal, resume, dan makalah cukup berbisik saja pada kakak angkatan yang satu jurusan, meminta file laporan yang mirip-mirip, kemudian tinggal ubah dan ganti saja judul, tanggal, pendahuluan, font tulisan, nama mahasiswa dan aksesoris lainnya yang pantas untuk dipoles, persis pula seperti yang dilakukan sebagian dari senior-senior mereka yang terdahulu.

Tak ada yang salah dengan titip absen ketika jam kuliah sedangkan kita memilih untuk mengikuti demo antikorupsi! Jelas-jelas itu dua hal yang berbeda, dan kita sedang ‘membela negara’. Dan begitulah terus sampai turun-temurun. Tapi, itu lebih baik ketimbang para pejabat yang kadang memutuskan sebuah kebijakan pemerintah tanpa riset serius. Bila dia mahasiswa, barulah sah-sah saja. Mengerjakan tugas memakai Sistem Kebut Semalam (SKS) pun pasti sanggup dan itu tidak dilarang. Siapkan saja kuota internet atau paket begadang, modal Wikipedia saja makalah bakalan kelar, dan mengaku hasil buah pikirnya, tanpa menyertakan sumber otentiknya. Wong, kalau dilihat-lihat, terkadang materi presentasi yang biasa dosen sampaikan saja sama persis dengan apa yang pernah kita dapatkan dari Google. Tinggal klik, semua beres! Seimbang, kan?

Akhir-akhir ini, kita kembali dihebohkan—meski setiap periode selalu hal serupa terulang—oleh pemberitaan media bahwa para pejabat pemerintahan, yang sebagiannya DPR menggunakan APBN hanya untuk studi banding. Celakanya studi banding itu lebih pantas diistilahkan dengan jalan-jalan belaka. Apa yang kita dapatkan dari hasil kinerjanya? Tak jelas adanya. Berbeda dengan mahasiswa yang serius saat kunjungan ke sebuah perusahaan industri, misal, lalu diminta dosen untuk membuat sebuah laporan dari hasil kunjungannya. Sayangnya karena ada urusan dan hal-hal yang lebih genting seperti; mengurusi proposal acara dan anggaran untuk kegiatan, maka dengan berat hati laporan atas kunjungan itu cukup menyadur saja dari laporan yang dibuat oleh teman-teman yang pendiam tetapi sedikit cerdas di kelas. Tak masalah, toh, mahasiswa yang seperti itu sedang memperjuangkan keperluan khalayak ramai demi kemaslahatan mahasiswa lainnya, tentu kita wajib mendukungnya. Daripada pejabat, yang sebagian besar para mafia a ka maling berdasi itu, mereka pandai memain-mainkan uang rakyat, menggelapkannya hingga siapa pun sulit mendeteksinya, sekalipun itu sebuah lembaga sebesar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Masih lebih mulia kawan-kawan kita di bangku perkuliahan, yang jiwanya masih menggebu-gebu. Hati dan pikirannya masih jernih dan ‘idealis’ dalam mengambil keputusan. Bahkan sesama anggota begitu royal dan saling memahami. Kesalahan tulisan anggaran di lembar proposal acara, dengan Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang sedikit mengelembung, itu tak masalah, bisa dimaklumi. Karena memang mengurus organisasi butuh biaya, ada ‘ongkos capeknya’. Meskipun tidak setimpal.

Begitulah yang bisa saya pertanggungjawabkan atas simpulan hipotesis sementara di atas. Anda bisa sepakat atau tidak, yang jelas disadari atau pun tidak kita seringkali melakukan sesuatu tanpa benar-benar paham dan menyadarinya secara menyeluruh. Padahal, paling lama, kita akan menjadi mahasiswa dalam kurun waktu 4-7 tahun saja. Boleh sekarang kita asyik dan merasa nyaman dengan apa yang kita lakukan, tetapi, tanpa kita sangka dan sadari, kita akan menjadi bagian dari kata sakral, “korupsi” itu sendiri. Kita menjadi warga sipil yang terjerat di dalamnya. Sesungguhnya kita tidak berada di mana-mana. Kita terikat, di sebuah lingkaran sistem yang mengurung kita untuk lari di tempat. Sesungguhnya ini baru perumpamaan dalam dunia kampus belaka, masih banyak contoh-contoh korupsi kecil dalam kehidupan sehari-hari, yang lagi-lagi secara sadar ataupun tidak, telah kita lakukan. Dalam beribadah pun kita sering melakukan tindakan korupsi waktu. Menawar-nawar kepada Tuhan soal waktu ibadah yang sudah ditentukan. Datang di akhir, pulang di awal bahkan saat pengkhotbah masih memimpin doa, misal.
Kita, adalah warga Indonesia yang sejak kecil selalu dicekoki dengan apologia, pemakluman-pemakluman tentang hal-hal yang dianggap sepele. Sekalipun itu melanggar peraturan dan norma adat, negara, lebih-lebih agama. Dan nahasnya hal itu terus membudaya sampai sekarang. Maka berhentilah beretorika melawan dan menentang korupsi, bila kita belum sepenuhnya berkaca diri.
Karenanya, bila bicara ‘Berjamaah Lawan Korupsi’, maka bersiaplah berjamaah melawan diri sendiri!
Cilegon, 03 Januari 2016

*) Esai ini sudah dimuat di biem.co (20/02/2016)

You Might Also Like

2 komentar