[ESAI] NEGERI SINGA VS NEGERI KITA (Biem.co, 17 September 2015)

September 30, 2015


Biem.co
 
[CATATAN PERJALANAN]

Teknologi di abad ini memang sangat pesat perkembangannya. Menjamah hampir setiap ploksok di berbagai belahan dunia. Sebut saja salah satu gadget semisal telepon genggam (smart phone). Tanpa membutuhkan survei menurut data, dengan mata telanjang saja, di jalan-jalan, kalian pasti akan menemukan beratus, berpuluh-puluh ribu orang memilikinya. Tak pandang lagi dari kalangan atas; menengah atau bawah sekalipun. Jadi tak perlu heran andai kalian melihat seorang pemulung, tukang sapu atau penjaja kaki lima tengah tertawa ria dengan benda mati yang bisa hidup dalam genggaman manusia itu. Penyebutan profesi di atas tentu saja saya tidak bermaksud mendiskreditkan mereka. Hanya saja, itu sebagai contoh bahwa kemajuan zaman tak bisa dielakkan lagi.

Seperti yang saya temukan di sebuah negara kecil dengan luas wilayah hanya 710.2 km2 itu. Selama 3 hari kemarin (1-3 September 2015), saya bersama peserta rombongan #GongTraveling—yang disponsori oleh Pak Boyke Pribadi penulis buku Gaduh—menjelajahi negeri berjuluk Singapura tersebut. Perjalanan yang ditempuh hanya 1 jam dari bandar udara (bandara) Soekarno-Hatta sampai bandar udara Changi-Singapura. Jelas sekali kami tak menghabiskan waktu banyak di pesawat Air Asia yang kami tumpangi. Ini pengalaman yang luar biasa bagi saya. Apalagi, terhitung pertama kali saya menaiki pesawat ke luar negeri. Suasana di bandara yang luasnya dua kali dari bandara di Tangerang Selatan itu membuat kami takjub. Dan hal yang mengesankan adalah hampir segalanya memanfaatkan teknologi dengan baik. Ditambah ruangannya yang mengutamakan kebersihan serta kerapian. Pemandangannya akan terasa berbeda sekali. Bila kalian di sana, tentu hal pertama yang terpikir adalah membandingkan dua hal; saat itu saya membandingkan Indonesia dan Singapura tentu saja. Pelayanan yang baik (meski tak ada senyum di wajahnya), tegas serta disiplin. Berbeda jauh saat berada di bandara Indonesia. Tetapi bukan berarti bandara di negara ini tidak bisa mencapai titik pencapaian tersebut.

GEGAR BUDAYA / CULTURE SHOCK

Kembali ke pembahasan pendayagunaan teknologi. Singapura adalah contoh negara kecil yang berhasil memanfaatkan teknologi secara maksimal. Hampir setiap menaiki kendaraan umum, kalian cukup membeli sebuah kartu—seukuran kartu ATM—seharga SGD $30,- dan dengan leluasa bisa keliling ke berbagai tempat wisata, atau bagian manapun dari Singapura. Kartu itu bisa dipakai untuk menumpangi Bus, MRT dan saat memasuki stasiun. Padahal, bila kita mundur ke belakang, melihat sejarah yang tercatat, usia Singapura masih terbilang muda dibanding negara-negara lainnya di daerah Asia Tenggara. Sebut saja Indonesia yang merdeka di tahun 1945 bulan Agustus, tanggal 17. Tak jauh berbeda, masih di bulan yang sama negara bermaskot patung Merlion itu menyatakan kemerdekaannya dari inggris tahun 1965 tanggal 09. Jelas sekali perbedaanya hampir 2 dekade dengan negara ini. Tetapi, lagi-lagi terlepas dari luas wilayah yang kecil, Singapura bisa dikatakan mengungguli tanah air kita. Baik dari sektor SDM dan perkembangan tatakota serta wilayahnya. Bahkan masyarakatnya yang memiliki kultur dari berbagai latar belakang negara itu hampir semuanya berkarakter serupa: tegas dan disiplin. Kesadaran diri masing-masing sangat tinggi. Sebagai contoh, ketika kami berdiri di rambu-rambu lalu lintas (traffic light), bila lampu belum berwarna merah, sekalipun jalanan lengang dari kendaraan, mereka akan tetap menunggu sampai lampu berwarna hijau menyala dan mempersilakan pejalan kaki menyeberang. Kami, para peserta yang berjumlah 7 orang, dibuat cukup takjub sekaligus heran. Bisa dibilang kami terserang culture shock. Di mana setiap tingkah laku masyarakat lokal dibandingkan dengan masyarakat di daerah yang kami tinggali. Yakni di Indonesia.

Ada lagi ketika kita menaiki Sky Train. Kereta yang jalurnya berada di atas permukaan tanah dan bukan di jalur darat. Kami dibuat bertanya-tanya, mengapa setiap kali ada kursi kosong, warga asli atau orang yang sudah lama tinggal di Singapura tak lekas mendudukinya. Mereka memilih berdiri dengan kuda-kuda yang kuat dan kedua tangan tanpa berpegangan pada tali yang disediakan, sekalipun itu perempuan remaja yang sepertinya egosentrisnya lebih tinggi, dan menunggu sampai Sky Train berhenti di tempat tujuan masing-masing. Teman saya, Aprilian Cena, memiliki rasa penasaran dan keingintahuan yang tinggi. Akhirnya ia memutuskan untuk bertanya pada salah seorang penumpang. Jawabannya cukup membuat kita semakin kagum dengan mereka. “Kami menghormati para tamu (turis) yang berkunjung ke negara ini.” begitu kurang lebihnya. Betapa tingginya rasa berbagi dan rasa menghargai antara satu sama lain. Entah bagaimana cara memupuk kesadaran diri sedemikian rupa itu kepada masyarakat Indonesia yang salah satu beritanya dalam koran di beberapa waktu lalu bahwa ada seorang remaja yang tanpa berdosa duduk mengambil jatah kursi khusus ibu-ibu hamil, disabilitas maupun orang jompo. Dan di sanalah kita dibuat kagum. Mungkin memang beginilah hukum gegar budaya berlangsung.

IDENTITAS DAN RUANG KOSONG

Terlepas dari semua penjabaran saya di atas, ada satu hal pula yang membuat saya bertanya-tanya. Di mana Singapura? Atau, apa itu Singapura? Dari sekian banyak manusia yang kami temui di sana, warga pribuminya kami tidak bisa melihatnya (baca: membedakannya) secara signifikan. Memang benar, Singapura rata-rata penduduknya warga Cina. Tetapi herannya bahasa yang digunakan di sana cenderung bahasa melayu dan bahasa inggris. Dan lagi, ketika di telisik lebih jauh, kami seperti berada di sebuah ruang kosong, atau sebut saja kompleks, yang di dalamnya dihuni oleh Warga India (di blok Little India); Warga Cina (di blok Cina Town), Warga Arab (di blok Kampong Arab) serta beberapa warga negara asing lainnya yang menetap di kawasan Singapura dan mungkin resmi menjadi bagian dari Singapura itu sendiri. Menurut Wikipedia, 42% penduduk Singapura adalah orang asing yang bekerja dan menuntut ilmu di sana.
Lantas, di mana identitas mereka? Mungkin di bagian inilah kita sebagai warga Indonesia patut berbangga. setidaknya kita masih unggul sebab memiliki beraneka identitas; bahasa, adat serta budaya di masing-masing pulau nusantara. Berharap sajalah di hari depan Macan Asia benar-benar bisa kembali mengaung dan bukan hanya harapan belaka. Dan bukan pula menjadi penduduk yang terus berpura-pura.
Boleh dibilang saya mengambil kesimpulan terlalu cepat, apalagi di sana hanya beberapa hari saja. Tetapi, sekalipun kalian berkunjung di sana, sepertinya apa yang kami pikirkan tidak akan jauh berbeda. Dan bisa diibaratkan Singapura adalah ruangan kosong yang siapa pun boleh berkunjung dan menetap di sana. Entah siapa nenek moyang mereka yang lebih dahulu tinggal di sana. Yang jelas, satu hal yang sulit terlepas dari Singapura adalah Teh Tarik. Ingin sekali saya menjabarkan bagaimana rasanya, tetapi mungkin di lain kesempatan saja saya bercerita. Atau bisa pula di suatu hari kita duduk bersama di salah satu kafe pinggir jalan Singapura dan menikmati teh tarik bersama-sama sambil mendengarkan percakapan orang India di setiap sudut kota. Semoga saja![]


Cilegon, 05 September 2015

You Might Also Like

1 komentar