[Catatan Seorang Anak]

June 14, 2014



Maaf, Aku Membencimu, Ibu

Aku paling tidak bisa berkisah tentang ibu. Entah mengapa, terkadang aku sampai pusing sendiri jika harus mengungkapkan dan mendeskripsikan ibu dengan kata-kata. Aku lahap kamus besar bahasa Indonesia yang aku beli minggu lalu, namun tak ada kata terindah yang bisa menjelaskan tentangmu, ibu. Aku benar-benar membencimu ibu. Begitu sulit menggambarkan semua kebaikanmu semenjak aku dalam rahimmu dengan diksi-diksi yang puitis. Kurasa bahkan seorang penyair pun tak menemukan itu. Jika pelangi adalah penggambaran tentang warna-warni yang menakjubkan, engkau lebih dari itu bahkan tidak sebanding dengannya. Lalu, dikala gersang mengisi siang, satu-satunya yang dinanti adalah hujan, maka engkau jauh dan sangat jauh dari jauh, hadirmu sungguh menyejukkan. Dan apabila masih ada yang berkata warna jingga ketika sore tiba itu adalah hal yang paling dinanti sekaligus dengan hadirnya sunset, maka engkau sungguh wanita yang selalu ditunggu kehadirannya dalam setiap waktu.
Ibu, aku membencimu. Hanya itu yang bisa aku ungkapkan. Ketulusan kasih sayangmu terlalu besar, atau mungkin memang benar, Ibu adalah sinonim dari kata CINTA dan juga kata ganti dari KASIH SAYANG yang tulus. Aku malu padamu, Ibu. Aku hanya selalu merengek bahkan memarahimu dengan alasan yang tidak jelas. Aku membencimu karena engkau terlalu baik menjadi manusia, atau tunggu… engkau bukan sepenuhnya manusia, itu yang aku duga sejak lama. Engkau adalah penjelmaan dari bidadari surga yang tak bersayap yang telah Tuhan kirimkan bagi anak sepertiku.
Teringat dengan beberapa hari yang lalu, ketika bapak jatuh sakit. Sangat jelas engkaulah orang pertama yang khawatir dengan keadaannya. Terlebih, saat itu bapak harus dilarikan ke rumah sakit. Kau berangkat di pagi hari menemaninya, sedang aku masih terlelap, tanpa tahu harus berbuat apa. Maishkah pantas aku disebut anak yang berbakti, Bu?
Ibu, maafkan anakmu ini. Aku hanya bisa datang mengunjungi kalian ketika mentari berdiri tepat di atas kepala. Kau sibuk dengan segalanya sesuatu yang harus diurus saat itu juga. Mulai dari pendaftaran, persyaratan, hingga biaya yang harus dikeluarkan. Sungguh tidak aku duga, engkau sangat cekatan dengan semuanya. Engkau sudah berkemas dengan detail dari rumah, sejak subuh tadi; tak sedikit pun luput dari ingatanmu. Jangankan itu, perangkat solat saja sudah tertata rapi dalam tas yang sedang kau kenakan saat itu.
Jika ada yang berkata superman adalah penggambaran dari seorang pahlawan yang sangat tangguh, tentu tidak akan ada apa-apanya denganmu, Ibu. Engkau begitu kuat dan hebat. Engkau wanita yang sangat tangguh. Engkau adalah wanita yang tak mengenal lelah. Bahkan sebelum kau berangkat mengantar bapak ke rumah sakit, telah engkau siapkan hidangan untuk aku lahap di meja makan. Lalu apa kerjanya anakmu ini, bu, yang hanya bisa menyusahkanmu saja. Aku tahu, engkau belum sedikit pun mengganjal perutmu dengan sesuap nasi. Aku mengenalmu sudah hampir 20 tahun lamanya. Selalu keluarga yang kau jadikan prioritas utama. Ketika kulihat ibu kurang sehat, Ibu tetap saja bekerja layaknya ibu rumah tangga pada umumnya. Ibu sebenarnya kau itu siapa? Begitu kuatnya dirimu menahan lelah.
Kerut di kedua sudut pelipismu menandakan usiamu yang telah senja. Namun semangatmu melebihi anak-anakmu yang usianya terpaut jauh denganmu. Ibu, maaf, aku membencimu karena engkau terlalu baik kepadaku. Pernah aku dengar jika orang baik selalu meninggal lebih cepat. Aku tidak mau itu terjadi denganmu sebelum aku bisa membahagiakanmu. Aku ingin melihat air mata haru di kedua matamu yang teduh karena prestasiku. Aku ingin membuat ibu dan bapak bangga dengan tingkahku, entah dalam hal apa pun. Aku hanya tidak ingin kehilanganmu, Ibu. Tidak akan ada seorang pun yang sanggup menggantikanmu.
Dua minggu lamanya kau menemani bapak di rumah sakit. Sedang aku hanya datang setelah selesai dengan aktifitas kuliahku yang kebetulan sedang ada UAS. Pernah suatu ketika aku mendapati ibu tertidur pulas dalam keadaan duduk di samping ranjang tempat bapak berbaring— yang juga sedang tertidur. Kulihat wajahmu menggambarkan keletihan setelah seharian penuh menemani bapak, sekalipun ada suster ibu selalu saja turut sibuk. Kupandang parasnya yang cantik lekat-lekat. Tak terasa air mata jatuh membasahi pipi. Kuelus kepalanya yang tertutup kerudung berwarna merah yang tidak diganti-ganti sejak kemarin pagi. Ibu selalu sibuk mengurusi orang lain ketimbang dirinya sendiri. Beliau selalu menjadi orang pertama yang merasakan kekhawatiran bila diantara keluarganya sedang sakit.
Aku menyesal ketika di suatu hari pernah membentaknya karena capek sepulang dari kuliah. Suaraku benar-benar mengagetkannya saat aku menjawabi pembicaraannya. Aku tahu, kala itu hati ibu terluka. Bagaimana tidak, beliau memintaku untuk makan siang bersamanya tetapi aku menolak dengan bentakan yang cukup kasar. Aku tahu ibu saat itu ingin menangis, matanya berbinar. Tetapi ibu adalah ibuku yang aku kenal. Dia tetap wanita tangguh yang jarang menunjukkan kesedihannya didepan kami: anak-anaknya. Selepas kejadian itu aku baru berpikir, betapa bodohnya aku. Ucapan lembut yang terlontar dari bibir tipisnya, malah aku tanggapi dengan perkataan yang tidak semestinya aku lontarkan.
Namun lagi-lagi aku harus mengatakan bahwa aku membencimu, Ibu. Entah mengapa saat itu tidak kau balas amarahku yang tidak jelas itu, Bu. Kau hanya tersenyum kemudian berlalu. Bahkan engkau yang meminta maaf seolah ibulah yang melakukan kesalahan. Itu adalah pelajaran berharga, bu. Ibu tunjukkan kebesaran hatimu yang melawannya dengan kesabaran seperti sabarnya dirimu menanti Allah memanggilmu untuk pergi menunaikan rukun islam yang kelima.
Satu hal yang selalu mampu membuat bulir air mataku mengalir. Ketika ibu menyaksikan tanah suci melalui televisi. Ya, hanya melalui televisi. Engkau selalu menitikkan air mata ketika menyaksikan ribuan orang yang menunaikan ibadah haji di tanah Mekkah. Dan saat menghadiri undangan tetangga yang akan berangkat haji, engkau berbisik penuh harap padaku.
“Dek, kapan ya ibu bisa pergi haji, bareng Adek dan bapak,”
“Pasti nanti waktunya giliran ibu tiba,” aku hanya menjawabnya singkat. Itu yang masih menjadi impian terbesarku sampai detik ini, Bu. Aku ingin sekali mampu membiayai ibu dan bapak untuk menunaikan rukun islam yang kelima itu. Setiap kali ibu berkata demikian, aku tidak mampu berkata banyak. Aku selalu berpaling dan berlalu meninggalkanmu. Aku hanya tidak ingin ibu melihat anak lelakinya menangis. Aku tidak ingin terlihat cengeng dihadapan kedua orangtuaku yang membesarkanku sejak pertama kali aku mengenal dunia.
Ibu…
Hanya kata maaf yang bisa aku  sampaikan padamu di hari istimewamu ini, tetapi bagiku, setiap hari adalah hari istimewa selama aku masih bisa melihat lengkungan senyum terindah di wajahmu yang menua. Ibu, sungguh tidak mampu aku membalas semua jasa-jasamu. Sekalipun Allah menghendaki aku untuk membiayai keberangkatanmu ke tanah suci, tentu itu tiada bandingannya dengan apa yang telah ibu dan bapak berikan kepadaku selama ini.
Ibu…
Dalam setiap waktu, selepas dari sujudku padaNya, selalu tak pernah luput aku selipkan doaku untuk ibu, bapak juga keluargaku supaya dikaruniai kesehatan. Aku selalu memohon pada Allah agar mengizinkan ibu dan bapak hidup lebih lama lagi denganku di dunia sebelum aku bisa menunaikan janjiku dalam hati untuk bisa memberangkatkan haji bapak dan ibu.
Ibu…
Mohon doakan juga, supaya kuliahku lancar dan sesegera aku bisa mencari biaya kuliahku dengan hasil jerih payahku sendiri. Malu rasanya bila masih terus-terusan ditanggung oleh gaji pensiunan bapak yang tidak seberapa. Aku tahu, tanpa diminta tentu ibu selalu mendoakan yang terbaik untukku.
Tetapi sekali lagi aku memohon maaf padamu, bu. Aku harus berkata aku membencimu karena engkau terlalu baik dengan semua yang telah kau berikan kepadaku pun tanpa meminta pamrih atau balasan. Aku belajar ketulusan darimu. Aku belajar tentang arti sabar yang sesungguhnya. Aku belajar mengartikan kehidupan darimu, bu. Aku benar-benar berhutang budi padamu dan tidak akan mampu aku ganti. Sebab, kasih sayang serta ketulusan hatimu laksana air laut yang tak pernah surut, sedangkan balasan apa pun, sebesar apa pun dariku hanya ibarat jemari yang dicelupkan kedalamnya lalu ketika diangkat meneteslah air yang terbawa pada jemari itu, dan itu tidak lebih banyak dari apa yang telah kau berikan.
Ibu, teruslah menjadi motivator hidupku. Tetaplah menjadi pelangi bagiku ketika badai besar menghantam.
Ibu, teruslah engkau menjadi senja yang dinanti kehadirannya, pun jadilah hujan disaat kekeringan merengkuh hatiku yang lemah. Siramlah jiwaku dengan kata-kata penyejuk yang bisa menenangkan dari segala masalah yang aku hadapi. Ibu aku mencintaimu melebihi cinta itu sendiri. Aku menyayangimu melebihi kasih sayang itu sendiri, dan ibu, aku belum siap melepasmu sebelum aku bisa membuatmu bangga akan segala pencapaianku dan melunasi cita-citaku untuk memberangkatkan engkau haji ke tanah suci, Mekkah. Semoga saja Allah mengabulkan doaku, bu; segera… Aamiin ^_^

Ruang Inspirasi, 22 Desember 2013
***
Salam senyum, salam semangat^^
FAM1198M, Cilegon.

*Tulisan ini juga pernah di posting di laman cerpen Kompasiana: [Untukmu Ibu] Maaf, Aku Membencimu, Ibu...

You Might Also Like

0 komentar