[Catatan] Rote, Wilayah Paling Selatan Indonesia

June 01, 2022

Captured by @beatrixyunarti14


"Kalau ada sumur di ladang

Boleh kita menumpang mandi

Kalau anda ingin terbang

Jangan lupa naik Citilink lagi"


Seorang pramugari melempar pantun lawas itu, ketika saya sedang asyik mengagumi matahari terbit di Kota Kupang dari jendela pesawat. 

Kami berangkat dari Jakarta Tanggal 24 Mei 2022 pukul 01.55 WIB dan tiba di Bandara Internasional El Tari Kupang pada pukul 06.00 WIT. Panitia sudah berada di luar dan menunggu kedatangan kami sejak satu jam sebelumnya. 

Perjalanan kali ini saya diajak oleh Duta Baca Indonesia, Gol A Gong untuk mendampinginya bersafari literasi ke Kabupaten Rote Ndao. Undangan ini kami dapat dari Bang Gusty Richarno, selaku Ketua Umum Media Pendidikan Cakrawala NTT. 

Ini kali pertama saya berkunjung ke wilayah paling selatan di Indonesia ini. Sebelumnya, saya tahu Rote hanya dari theme song Indomie yang muncul di televisi saja. Saya tak pernah membayangkan bisa datang kemari untuk berbagi ilmu kepenulisan. Banyak hal baru yang saya alami ketika menjadikan hobi menulis ini sebagai profesi. Saya berutang banyak pada kata-kata. 

Di hari pertama, kami istirahat beberapa jam di penginapan La Hasienda, sebuah hotel bergaya Meksiko, dengan kafe di rooftop yang indah sekali. Setiap detail ornamen betul-betul seperti memindahkan Meksiko dalam satu ruangan—pemiliknya memang pria Meksiko yang menikah dengan perempuan asal Kupang. 

Kami diajak berkeliling Kota Kupang dan sempat berkunjung ke kantor Gubernur NTT. Jalan, mal, dan jajaran pertokoan di Kupang mengingatkan saya dengan Kota Serang. Akses ke mana-mana pun mudah karena kotanya tidak terlalu besar. 

Pukul 16.00 WIT kami diantar panitia ke Bandara lagi untuk menyeberang ke Pulau Rote jalur udara. Ada pilihan jalur laut dengan menumpangi kapal cepat atau lambat, tetapi panitia ingin kami lekas sampai ke Rote. Sebab, perbedaan jarak tempuhnya lumayan jauh. Kalau naik pesawat kecil, kami hanya perlu waktu 15 menitan saja. Sementara kalau menaiki kapal cepat bisa lebih dua jam, apalagi kalau kapal lambat—perbedaan waktu ini tentunya berpengaruh pula pada biaya yang mesti kita keluarkan untuk beli tiket, untungnya ditanggung panitia. 

Perlu diingat, kami datang selain membawa pakaian, kami juga membawa sekardus buku seberat 15 kilogram untuk dibagikan ke sekolah-sekolah yang kami kunjungi. Ini bagian program dari DBI, yakni Hibah Buku untuk Indonesia, bekerjasama dengan berbagai penerbit. 

***

Setibanya kami di Bandara D. C. Saudale, (diambil dari nama Bupati pertama di Rote) kami dijemput oleh abang Gusty dan beberapa pejabat dari dinas pendidikan, kepala sekolah Lobalain serta Bunda Literasi yang akan dikukuhkan besoknya saat acara Literasi Sekolah. 

Singkat cerita, kami diajak berkunjung menemui Bupati Rote Ndao, Ibu Paulina Haning-Bullu, SE. Kami disambut dan dikalungkan kain tenun khas Pulau Rote dan topi Ti'i Langga. Sore harinya acara pembukaan dimulai dengan diawali tarian dan petikan alat musik khas Rote, Sasando. 

Malam harinya kami diskusi kecil dengan tim Cakrawala dan membagi tugas. Setiap sekolah negeri mendapatkan jatah 3 hari untuk pelatihan menulis kreatif. Kurang lebih ada 10 sekolah dan waktu 10 hari saya di sini. Beberapa sekolah disatukan. Jadi sekali mengajar kami sudah langsung bertemu perwakilan guru dan siswa dari 3 sekolah. Sebab kami hanya ada 7 tim formatur termasuk saya sendiri untuk mengisi kelas cerpen. Ada Suci, Dian, Umbu, Felix, Beatrix, Baldus. (Sampai tulisan ini diposting, kelas masih berlangsung sampai 5 Juni nanti). 

***

Keesokan harinya kami diantar-jemput oleh masing-masing perwakilan dari sekolah. Ada pula dari Bunda Literasi. Setibanya di sekolah, kami disambut hangat. Saya memegang kelas siswa. Mereka terlihat antusias. Kesulitan yang saya hadapi tentang membangun kepercayaan diri mereka. Tidak mudah untuk meyakinkan kalau mereka punya kesempatan yang sama. 

Mereka memiliki semangat belajar yang tinggi, tetapi memang, kemudian saya belajar bahwa tidak adil kalau mereka dituntut mesti setara dengan murid-murid di Ibukota atau kota-kota besar. Sebab, secara akses infrastruktur pun jauh berbeda. Ada dari mereka yang mesti menempuh perjalanan 15 km untuk sampai sekolah. Dan, tidak mudah mencari ojek, boro-boro kendaraan yang bisa dipesan online. 

Siswa-siswi ini harus nebeng dengan ibu guru atau temannya yang satu jalur dengan sekolah. Sebagian jalan raya pun masih rusak. Belum lagi akses mereka dengan buku bacaan. Kalau mau pesan online, mereka harus menanggung ongkos kirim yang berlipat-lipat dari harga yang dipesan. 

Saya percaya mereka bisa menulis, hanya butuh dibiasakan dan diberitahu apa nanti yang bisa dihasilkan dari kerja kreatif semacam ini. Mereka butuh kepastian. Sebab, selepas mengerjakan tugas di sekolah, sesampainya di rumah mereka harus membantu ibunya bekerja. Tidak semuanya, tetapi rata-rata kesehariannya begitu. Pengakuan dari guru-guru pun begitu, beliau tidak bisa menuntut siswa-siswinya untuk menyelesaikan PR di rumah.

Media Pendidikan Cakrawala NTT, Duta Baca Indonesia, dan Rumah Dunia, serta para guru dan pemuda di sana mencoba membagikan api semangat itu. Api literasi untuk terus ditebarkan, agar mereka percaya bahwa siapa pun bisa menjadi apa pun dan berhak memimpikan hal yang sama tanpa dibayangi rasa takut. 

Kepada semua orang-orang baik, terima kasih untuk kesempatan luar biasa ini. 🙏🙏🙏

Selamat Hari Lahir Pancasila!!! 


Rote, 1 Juni 2022

You Might Also Like

0 komentar