[ESAI] Pasar dan Identitas Kebangsaan Kita

August 31, 2017


Pasar Kranggot, Cilegon.

Mengenal Pasar
Kotler dan Amstrong (1999) mendefinisikan pasar adalah seperangkat pembeli aktual dan potensial dari sebuah produk atau jasa. Ukuran dari pasar sendiri tergantung pada jumlah orang yang menunjukan kebutuhan, memiliki kemampuan dalam pertukaran. Banyak pemasar memandang penjual sebagai industri, dan pembeli sebagai pasar; di mana penjual mengirimkan produk dan jasa yang mereka produksi dan mengomunikasikan atau menyampaikannya kepada pasar, sebagai gantinya, mereka akan menerima uang dan informasi dari pasar.
Apa yang bisa Anda temukan di pasar selain orang yang bertransaksi jual-beli? Andai Anda memberi waktu sedikit saja untuk mengamati, maka akan Anda temukan bahwa pasar adalah identitas kebangsaan kita. Mulai dari ras, agama, suku, budaya, watak bahkan cara berkomunikasi pun akan kita dapati secara lengkap dan bersatu-padu di dalamnya.
Pertanyaannya kemudian, masih adakah pasar di daerah yang kita tinggali?

Sebelum kita menjawab hal tersebut, baiknya membaca dulu pandangan lain dari Handal Ma’aruf (2005) perihal pengertian pasar. Pertama, pasar memiliki arti, ‘tempat’, yaitu tempat bertemunya para penjual dan produsen dengan pembeli atau konsumen. Kedua, pasar yang dijabarkan (lebih luas) sebagai, ‘interaksi permintaan dan penawaran’, yaitu pasar sebagai tempat terjadinya transaksi jual-beli. Ketiga, pasar dalam pemahaman yang lebih detail, ‘sekelompok anggota masyarakat yang memiliki kebutuhan dan daya beli’. Pengertian tersebut merujuk pada dua hal; kebutuhan dan daya beli. Jadi, pasar adalah orang-orang yang menginginkan sesuatu barang atau jasa dan memiliki kemampuan untuk membeli.

Membaca pemaparan Handri tersebut, berarti toko-toko swalayan (baca: pasar modern) masuk ke dalam sebutan pasar. Hanya saja, yang hendak saya garisbawahi adalah tentang pasar tradisional—pasar, yang di dalamnya masih menganut budaya tawar-menawar. Lain hal bila di pasar swalayan dan sejenisnya; merujuk dari namanya saja swalayan, yang berarti pelayanan (dilakukan) sendiri oleh pembeli karena perusahaan tidak menyediakan pramuniaga. Dan proses tawar-menawar pun nyaris sama sekali tidak akan kita temui.

Pernahkah Anda merasakan sebuah kejanggalan dan ketidakpuasan—atau seperti ada yang hilang—ketika di pasar membeli sayuran, misal, dalam jumlah besar tanpa melakukan tawar-menawar? Barangkali, selain kita sebagai pembeli, mungkin penjual pun merasakan hal yang sama. Sebab esensi dari pasar adalah adanya prosesi negosiasi tersebut, jangan sampai hilang dan ditiadakan. Asalkan, satu yang mesti diingat, ketika melancarkan negosiasi, jangan sampai menimbulkan kerugian di salah satu pihak. Sebab intervensi dan lobi yang berlebihan bukan budaya masyarakat Indonesia sesungguhnya.

Mengakrabi Pasar Tradisional
Kemarin, sekadar mengisi waktu luang, saya dan kawan-kawan berkeliling di Pasar Lama Serang. Ada banyak cerita yang kemudian terungkap. Misal soal dahulu kawasan tersebut konon pernah dijadikan tempat atau markas PKI (tentu ini perlu kajian khusus), lalu perihal keberadaan Bioskop Apollo—bioskop yang berjaya pada masanya—,penemuan lorong di gorong-gorong saat penggalian tanah, yang diduga peninggalkan masa kolonial Belanda (yang entah sampai sekarang masih misteri) dan juga banyak hal lainnya.

Keberagaman sejarah, kisah yang terbentuk dan juga orang-orangnya itu sendiri yang membuat pasar menjadi “hidup” dan menarik. Pertanyaannya kemudian, setelah jawaban dari pertanyaan pertama di atas tadi, “ada pasar”, sebersih apa pasar yang ada di tempat tinggalmu? Seberapa layak ia ditempati oleh sebagian besar orang untuk bertransaksi, berdagang dan berjual-beli?

Pasar, atau sistem perdagangan sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Indonesia sendiri dianggap sebagai negara yang strategis untuk dijadikan pusat dagang internasional. Bahkan, di masa kolonial, negara-negara penjajah rela datang untuk menguasai dan memonopoli perdagangan yang pada masa itu mengincar rempah-rempah dari negara ini.

Kemudian, jauh setelah itu, seketika saya diingatkan atas dibukanya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) / Asean Economic Community (AEC) sejak tahun 2015. Proyek yang telah lama disiapkan seluruh anggota ASEAN yang bertujuan untuk meningkatkan stabilitas perekonomian di kawasan ASEAN dan membentuk kawasan ekonomi antar negara Asean yang kuat.

Dengan diberlakukannya MEA pada akhir 2015 lalu, negara anggota ASEAN akan mengalami aliran bebas barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja terdidik dari dan ke masing-masing negara. Dalam hal ini, yang perlu dilakukan oleh masyarakat Indonesia adalah bagaimana Indonesia sebagai bagian dari komunitas Asean berusaha untuk mempersiapkan kualitas diri dan memanfaatkan peluang MEA yang sudah berjalan hampir dua tahun ini, serta harus meningkatkan kapabilitas untuk dapat bersaing dengan Negara anggota Asean lainnya sehingga ketakutan akan kalah saing di negeri sendiri akibat terimplementasinya MEA tidak terjadi.

Memberdayakan Local Genuine
Nah, yang sering didengung-dengungkan adalah seluruh masyarakat digiring untuk menjadi produsen, dalam artian luas, bukan hanya pasar tradisional. Padahal, satu yang sering terlupa adalah soal pemberdayaannya Local Genuine, atau dalam disiplin antropologi dikenal local genius. Istilah ini pertama kali dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local genius ini. Antara lain Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity/identitas (kepribadian) budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19).

Sementara Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Local Genuine atau kearifan lokal sudah barang tentu yang bisa dijadikan gacon masyarakat Indonesia. Ada dua macam, secara umum, kearifan lokal: yang dapat dilihat dengan mata (tangible) seperti objek-objek budaya, warisan budaya bersejarah, kegiatan keagamaan, penganan khas, kerajinan tangan; dan kearifan lokal yang tidak dapat dilihat oleh mata (intangible) yang berupa nilai atau makna dari suatu objek atau kegiatan budaya.


Akan menjadi panjang sekali penjabaran perihal Local Genuine, namun, ringkasnya, pertanyaan yang timbul, selain menyiapkan “penjual”, sudahkah kita menyiapkan “pembeli”? Sebab mau bagaimanapun, hidupnya pasar tradisional ada dari dukungan masyarakat Indonesia sendiri-khususnya campur tangan pemerintah. Semenarik apa pasar tradisional tersebut? Masih layakkah andai skala kebersihan tempat saja jauh berada di bawah nilai mutu standar? Selain itu, untuk menarik minat, tentu saja dibutuhkan kreativitas dan inovasi.

Barangkali, kalau kita belum mencapai hal-hal tersebut, pantaskah bila dikatakan kita sudah “merdeka”?[]
Cilegon, 14 Agustus 2017

You Might Also Like

0 komentar