[SELF-DEPRESSION] TENTANG KERINDUAN DAN SISI LAIN YANG SULIT DIKISAHKAN

September 25, 2016

image by: klik


Satu minggu terakhir, pikiran saya benar-benar terganggu dengan masa lalu. Kalut sekali. Sebisa mungkin saya alihkan dengan banyak kegiatan, tetapi kau tahu, semakin kau melupakan, semakin deras kenangan itu datang. Sial memang. Itu sebabnya, saya tak ingin terlalu serius soal perasaan sekarang-sekarang ini, dan merasa biasa saja pada semua hal, pada siapa pun. Biarkan saya menyalurkan keresahan ini dengan terus meluap-luap melalui tulisan. Karena di sana, saya menemukan ketenangan—sekalipun harus kembali bertemu dengannya dalam wujud yang lain.

Orang-orang yang (merasa) mengenal baik tentang saya, sejatinya tak benar-benar mengenal saya sebenarnya. Mereka, orang-orang itu, mana tahu kalau di suatu malam yang gigil, saya pernah menangis seorang diri di dalam ruangan yang sempit. Tiba-tiba pikiran saya diseret sangat jauh sekali, ke sebuah momen yang, astaga, setiap kali mengingatnya, saya selalu mengutuk diri sendiri mengapa tak membawa kamera dan berfoto ria dengannya. Sekadar mengabadikannya untuk saya lihat sesering mungkin.

Ketika mula mengenalnya, hati saya sudah berbisik bahwa ia orang yang tepat untuk dijadikan teman dekat. Cara ia berkomunikasi dengan saya, cara ia meladeni perkataan-perkataan tak jelas saya, cara ia mendengarkan ocehan-ocehan saya. Ia sungguh orang yang baik—terlewat baik bahkan. Bagaimana tidak, ketika kami sudah dekat, dan saya anggap ia kakak saya sendiri, dengan seenaknya saya memanggil dia. Bukan namanya lagi. Begitulah saya, ketika sudah merasa nyaman dengan seseorang, saya lebih sering memanggilnya dengan sebutan yang aneh-aneh.

Sialnya, sejak saya sudah benar-benar dekat dengannya—apa pun yang saya inginkan pasti ia lakukan selama ia mampu—saya mendapati dugaan kalau sesuatu begitu saja terasa berjalan mulus, pasti di kemudian hari ia akan benar-benar pergi. Dan saat ia sudah pergi, ketika orang-orang baik pergi, ia sungguh-sungguh pergi. Sekalipun tempat tinggalnya sebelahan dengan rumahmu, misal, ia pasti tak akan lagi merasa mengenalmu seperti sedia kala. Dan, shit! bayangan itu benar-benar menjadi nyata. Kami, dengan segala pengetahuan masing-masing yang saling tahu satu sama lain, setiap kali berjumpa kini segalanya terasa asing. Tidak, saya tidak benar-benar ingin menjauhinya, dialah yang lebih dulu memilih untuk melakukan itu. Entah saya tidak tahu kenapa ia menjaga jarak dengan saya, sejauh ini, apa yang saya lakukan padanya sungguh wajar-wajar saja—sekalipun saya sering kali diberi kesempatan untuk kurang ajar, semisal menempeleng kepalanya, mendorong tubuhnya hingga tersungkur atau mungkin menggembosi perutnya yang sering keranjingan makanan berlebih hingga porsi saya mesti diembat dia juga. Tetapi saya tak melakukan itu. Karena saya tahu hal itu kelewat ngelunjak.

Tapi astaga, pikiran saya, semenjak jauh dengan dirinya, tak bisa lepas dari bayang-bayang wajahnya. Segala kebaikannya, segala apa pun yang dimilikinya, sungguh masih sangat tergambar jelas. Saya masih membutuhkan kehadirannya.

Pernah satu kali ia mengirimi saya pesan pendek—ya, pesan yang benar-benar pendek sekali. Isinya hanya, “De, minta nomer si xxxxx.” Tak ada kalimat salam, tegur-menegur yang menyebalkan tetapi selalu dirindukan, ataupun sapaan lebih dulu. Ia langsung saja bilang begitu dan saya balas dengan memberi nomer seseorang yang dia minta. Setelah itu ia membalas sekali lagi dan untuk terakhir kalinya barangkali, ia mengucapkan, “thanks,” dan saya lama sekali dilema; mengetik kalimat-kalimat panjang kemudian menghapusnya dan akhirnya hanya memilih untuk membalas, “your welcome,” sudah, itu saja. Setelah itu semesta mulai memberikan kode-kode yang tak bisa saya hindari. Soal tempat-tempat yang terasa tiba-tiba begitu saja membawa saya ke sana—semacam laut, danau, kota, kereta—soal orang-orang yang tidak tahu sesuatu tiba-tiba menyebutkan namanya—padahal ia tak mengerti pula apa yang dimaksudkan dengan apa yang aku tangkap. Soal nama-nama makanan, soal film-film lama yang dulu kami tonton, soal musik dan lagu-lagu kesukaan, soal buku-buku, soal cerita-cerita, soal kenangan Facebook (thanks, Mark!), bahkan soal mimpi-mimpi. Tuhan, inikah yang biasa orang lain rasakan ketika rindunya terlampau membengkak sedemikian besar?

Dan, sekarang, saya mulai mencari sosok sepertinya di dalam diri orang lain. Tetapi lagi-lagi ini hanyalah hal bodoh yang sia-sia. Kita sering kali tahu bahwa apa yang kita lakukan hanyalah buang-buang waktu, namun kita tetap saja melakukannya. Dan benar, tak ada yang sungguh-sungguh seperti dia. Ia tak tergantikan. Orang-orang yang saya akrabi tak semengerti dirinya. Sama halnya dengan orang-orang yang (merasa) mengenal baik siapa saya, yang saya sebutkan di atas. Mereka hanya tahu bahwa saya tak pernah bersedih; saya tak pernah merasa gelisah; saya tak pernah merasa terasing di hadapan mereka. Yang mereka tahu tentang saya hanya sisi lain saya yang sangat sedikit porsinya dalam diri ini; yakni seorang kawan yang selalu menghibur dan periang; seseorang yang selalu ada ketika mereka membutuhkan kehadiran saya; seseorang yang siap memasang telinga dan mendengarkan keluh-kesahnya. Padahal, sungguh, saya selalu membayangkan diri saya berada di posisi mereka.[]


Cilegon, 25 September 2016

You Might Also Like

0 komentar