[Ulasan Film] Ali dan Ratu Ratu Queens: Premis Tumpang Tindih dan Misi Tokoh Utama yang Hilang Arah

August 26, 2021

image by @netflixid


Efek pandemi Covid-19 berpengaruh besar bagi industri perfilman Indonesia. Film-film yang mestinya tayang di bioskop, harus dicarikan jalur alternatif dan akhirnya sebagian besar film Indonesia beralih ke platform-platform digital. Ali dan Ratu-Ratu Queens adalah satu di antaranya. Film yang berkisah tentang pencarian jati diri ini bakal tayang di bioskop tahun 2020, namun karena Covid-19, bioskop pun belum sepenuhnya dibuka, maka film ini akhirnya dirilis di Netflix secara global sebagai film asli Netflix pada 17 Juni 2021.

Ali yang diperankan oleh Iqbaal Ramadan adalah sosok remaja 17 tahun yang merindukan kehadiran ibunya yang telah lama pergi mengejar impiannya sebagai penyanyi di New York, Amerika Serikat. Kerinduannya tak terbendung lantaran ia ditinggal pergi sejak kecil. Petualangannya dimulai ketika ia menemukan tiket, yang pernah dikirim oleh ibunya, di sebuah laci yang disimpan oleh mendiang ayahnya. Ada banyak surat-surat yang baru ia ketahui saat itu.

Cerita berjalan mengalir tanpa ada hambatan yang berarti, bahkan untuk urusan visa. Setibanya Ali di New York, ia segera mencari alamat tempat tinggal ibunya yang tertera di amplop surat, sampai ia tiba di suatu daerah bernama Queens. Di sanalah cerita sesungguhnya dimulai dan keterkaitan dengan judul film. Ali berjumpa dengan para “ratu” yang tinggal di distrik Queens yang ternyata semua berasal dari Indonesia. Rupanya Mia, yang diperankan oleh Marissa Anita, Ibu Ali, sudah tidak tinggal di sana lagi. Lewat pertolongan Party (Nirina Zubir), Biyah (Asri Welas), Ance (Tika Panggabean), dan Chinta (Happy Salma) akhirnya Ali dibantu untuk mencari ibunya.

Eksplorasi ruang yang disuguhkan film Ali dan Ratu-Ratu Queens sekilas terdengar menggembirakan. Pertama, karena ada kesan bahwa film-film karya sineas Indonesia tidak hanya berkutat di setting lokasi lokal; dan kedua, kita mengenal istilah psikologi xenomania, dimana kekaguman dan kebanggaan kita pada luar negeri yang berlebihan. Jadi, segala sesuatu yang mengadopsi nilai kebarat-baratan akan mendapatkan poin tersendiri, jauh sebelum bicara isi ceritanya. Beruntungnya, film ini tidak terjebak untuk menunjukkan panorama New York yang berlebihan. Lokasi yang ditunjukkan masih sesuai porsi dengan kebutuhan adegan saja, juga dengan sentuhan sinematografi yang sangat memanjakan mata.

Bila melihat premis utama, film ini sudah selesai di satu jam pertama alias pertengahan film. 40 menit sisanya hanya upaya sutradara, Lucky Kuswandi, memanjang-manjangkan cerita. Bila skenario yang ditulis Gina S. Noer ini menerapkan metode 8 sequence (dibagi dalam 3 babak), artinya ia belum berhasil menjalankan sequence kelima yang memasuki tahap bigger problem. Peralihan babak dua ke babak ketiga malah semakin menunjukkan cerita kehilangan arah dan menurunnya intensitas cerita.

Puncak klimaks cerita jelas ketika Ali dan Mia bertemu di suatu malam, di gang kecil dekat rumah Mia tinggal, untuk mengurai segala permasalahan. Ali meminta penjelasan Mia mengapa memilih membangun keluarga baru di New York, dan Mia meladeninya dengan menjabarkan berbagai alasan yang ia amini sendiri bahwa dirinya adalah ibu yang buruk: “Ali, Mama udah ninggalin kamu. I’m a bad Mother!”

Scene di atas sebetulnya bisa dipadatkan ke sequence empat dan di babak berikutnya intensitas klimaks dari konflik cerita mestinya dibuat semakin memuncak, karakter berada di titik terendah (rock bottom). Sayangnya, fokus cerita terbelah pada printilan premis yang kadung ditebar; tentang para ratu yang akan membeli rumah makan, kehidupan pribadi mereka, Ali yang memutuskan ingin menetap di New York, sampai premis tentang hubungan Ali dengan Eva (Aurora Ribero), putri tunggal Ance yang alih-alih bisa jadi pemanis cerita, malah digantung begitu saja tanpa kejelasan.

Gina S. Noer selaku penulis skenario memaksa semua tokoh show-off sampai lupa mengenai porsi karakter utama. Saya tak sedang mengatakan kalau karakter-karakter yang muncul itu buruk, tetapi justru menyayangkan, karakter sedemikian hidup di tangan para aktris kenamaan jadi anti-klimaks lantaran keluar dari misi utama film ini.

Kemungkinan adanya sekuel tampak dari akhir cerita yang dibiarkan terbuka, akan tetapi, kalau boleh memilih, saya lebih setuju film ini dikembangkan sebagai serial. Karena setiap karakter memiliki potensi cerita yang kaya dan kompleksitasnya masing-masing. Latar belakang dari masing-masing queen misalnya, lalu alasan mereka bisa terjebak di New York, motivasi hidup sebelum dan setelah hidup di sana, pemaknaan tentang jati diri dan nilai-nilai kebebasan bisa digarap lebih matang lagi di serial, ketimbang menjejalkan semua hal dan menembar banyak premis tapi dieksekusi kurang maksimal dalam durasi film tak lebih dari dua jam ini.

Kalau boleh menyebutkan satu serial, film Ali dan Ratu-Ratu Queens bisa digarap ke arah drama keluarga yang hangat seperti serial Reply 1988. Cerita yang sederhana tetapi memiliki karakter masing-masing yang begitu kuat. Ketika dibenturkan dengan masalah apa pun, akan selalu menarik karena setiap tokoh punya cara tersendiri dalam menyelesaikan masalahnya, itu pula yang saya temukan dari karakter para ratu yang dihadirkan Gina.

Sayangnya, karena kadung digarap jadi satu film utuh, fokus penonton Ali dan Ratu-Ratu Queens tidak boleh terbelah selain mengikuti misi si tokoh utama. Empat orang ratu itu cukup diberi porsi seperti para hero di film animasi Big Hero 6 (Walt Disney, 2014). Party, Biyah, Ance, dan Chinta adalah Go Go Tomago, Fred, Wasabi No-Ginger, dan Honey Lemon yang membantu Hiro Tamada (baca: Ali) untuk membongkar siapa orang yang bertanggung jawab (baca: mencari) atas kematian kakaknya Tadashi (baca: Mia) dalam sebuah kebakaran (baca: di New York).

Dalam bahasa yang lebih ekstrem, Ali dan Ratu-Ratu Queens adalah film yang kurang percaya diri dengan premis utama sehingga bersembunyi di balik karakter para ratu yang hampir atau malah terlampau lebih kuat. Bahkan, motif Mia memilih mengejar impian sebagai penyanyi di New York pun belum terjabarkan secara jelas. Segalanya terasa serba nanggung, sehingga bagi penonton seperti saya kesulitan saat akan memberi empati kepada Mia, meskipun tentu saja Marissa cukup memegang kendali dan mampu memainkan suasana untuk karakter Mia, walaupun harus berhadapan dengan Iqbaal yang emosinya lepas dan tidak utuh di beberapa scene saat menjadi Ali.[]

Cilegon, 26 Agustus 2021


 

Pengulas:
Ade Ubaidil, hobi nonton dan nulis cerita.

You Might Also Like

0 komentar