[Catatan] A-Hook: Tinjuan Telak Ahok!

November 29, 2019

(rifki/detikcom)
Jika di samping, depan, belakang, atau ada orang di sekitar Anda, coba dekati dan ajak bicara. Tanyakan soal keadaan perpolitikan di Indonesia belakangan ini; berapa pun usianya, saya kira ia pasti sedikitnya tahu apa yang tengah terjadi dan menjadi bahan perbincangan. Yang paling menyita perhatian kita tak lain adalah soal pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang bulan Februari lalu berlangsung. Akarnya menjadi kian runyam dan menjalar tak keruan hingga hari ini. Dan kalau Anda berani, coba tanyakan posisi ia dalam memandang politik jauh sebelum ada fenomena “Ahok” ini macam sekarang. Seberapa peduli ia pada perpolitikan di tanah air?

Media telah memberitakan, betapa publik teralihkan perhatiannya sampai rela bergontok-gontokan bahkan hingga rela tak berkawan lantaran membela dan menyerang Ahok dalam waktu bersamaan. Yang menjadi ajaibnya lagi mereka sebagian besar bukan warga yang ber-KTP DKI Jakarta, yang notabene menggunjingkan bukan (calon) pemimpinnya. Sejauh apa kita peduli pada pemimpin di daerah kita sendiri? Atau jangan-jangan kita lebih mengenal Ahok ketimbang Gubernur, DPRD, Bupati, Walikota, Kepala Desa, Pak RW, Pak RT di kampung tempat kita tinggal? Apa keuntungannya dan apa kerugiannya sampai kita mau bersusah-payah mengambil jalan ruwet itu?

Tahun 2014 lalu, sewaktu menjelang pemilihan Presiden RI, saya nyaris kehilangan semua "orang-orang baik" yang dulu ada untuk saya hanya gara-gara kita beda pilihan. Satu ke kubu Prabowo satu lagi ke kubu Jokowi. Sejak saat itu saya tidak ingin lagi memublikasikan posisi politis saya; semisal di pemilihan Walikota, Gubernur atau bahkan Lurah sekalipun. Namun apadaya, nyatanya, meskipun saya berdiam diri dan berusaha meredam untuk tidak berkoar, toh, pandangan para pembenci tidak sedikit pun berubah. Yang ada hanya kenyinyiran dan ketidak-ingin-percayaan mereka akan jalan yang saya tempuh. Alih-alih menegur saya secara langsung, yang ada mereka malah terus menyindir dan menuduh kalau saya dekat sama anu karena dia dukung anu, saya tak berkawan dengan anu karena tak dukung anu dan sebagainya dan sebagainya.

Sekarang, fenomena Ahok ini benar-benar berlangsung secara berlarut-larut. Semua kalangan dilibatkan. Bahkan anak-anak sekalipun. Apa yang hendak dicapai dengan melibatkan anak-anak? Kita telah berdosa lantaran menyita masa bermain mereka. Sekolah yang nyaris satu Minggu saja sudah membuat mereka lelah, kita malah menambah kejengkelan anak-anak dengan mendoktrin hal-hal yang tak perlu ini. Semua ada tahapannya dalam menerima pelajaran hidup. Bayi bebek tak perlu langsung bisa berenang.

Bila kita kaji lebih jauh soal kenapa orang Jakarta, luar Jakarta dan kebanyakan anak muda Indonesia yang selama ini cuek dengan politik mendadak begitu antusias memberikan dukungan dan atau caci-makian kepada Ahok, tentu akan menjadi menarik. Bahkan sebelum tulisan ini rampung, saya sudah menyatakan di akun media sosial pribadi kalau tak lama lagi kisah Ahok ini akan difilmkan—entah siapa yang akan membuatnya.

Terlepas dari semua keripuhan perpolitikannya, saya sedang membayangkan perasaan orang-orang terkasih Ahok, semisal: Istri, Anak-anak, orang tuanya dan semua keluarga besarnya. Merekalah yang mendapatkan dampak terbesarnya dan tentu juga berpengaruh pada aktivitas sehari-harinya. Bagaimana interaksi dengan orang sekitarnya yang berubah, baik di sekolah, ruang publik, tetangga rumah dan sebagainya. Bahkan yang terbaru adalah video ketika Istri Ahok, Veronica Tan, menangis tersedu-sedu saat membacakan surat yang ditulis tangan oleh Ahok yang menyatakan untuk tidak naik banding.

Sampai kapankah kita akan berhenti misuh soal Ahok ini? Kehidupan harus terus berjalan dan anggaplah ini bagian dari pendewasaan diri—bagian ini saya maksudkan untuk “orang-orang baik” yang sekarang memilih bertengkar dengan saya. Saya cukup salut dengan cara berpikir Ahok. Bagaimana cara ia menempatkan diri dan menjalankan semua yang memang harus ia tempuh—sekalipun saya tahu, sejak pertama kali video di Kepulauan Seribu itu tidak ada kekeliruan yang berarti, namun menjadi viral dan diperkarakan gara-gara postingan Buni Yani di akun Facebook-nya (yang tak perlu lagi saya bahas di sini).


Lantas, kenapa harus Ahok?

Inilah wajah masyarakat Indonesia sekarang. "Orang-orang baik" yang kemudian menebar kebencian yang saya sebutkan di atas itu adalah contoh ketidakdewasaan dalam mengambil sikap. Sedangkan, kekritisan masyarakat kita kini lantaran sudah sejak lama jengah (nyaris muak) dengan tipe kepemimpinan sebelum-sebelumnya. Hadirnya Ahok, bagi sebagian besar warga adalah angin segar dan seperti namanya, Tjahaja Purnama. Ia membawa sinar penyejuk baru bagi orang yang dinaunginya. Semacam ada kebaruan dan dobrakan yang ia bawa, yang tidak sembarang pemimpin berani lakukan—meski lagi-lagi, kesalahan fatal Ahok adalah pada cara mengekspresikan kekesalannya yang berpangkal pada setiap kata-kata yang dilontarkan terdengar “kurang sopan” bagi para “ orang santun”. Walau kita tahu, ia sudah mau belajar dan mengontrol diri soal itu.

Namun bila kita contohkan pada diri sendiri, seandainya kita begitu muak pada kebathilan, yang orang lain lakukan dan merugikan hak banyak orang, secara naluriah kita pun akan memaki dan mengumpat, dan hal itu akan dianggap wajar belaka—sialnya tidak bagi Ahok. Kita pun sebenarnya enak saja menyebut nama orang yang lebih dewasa ‘Ohak-Ahok-Ohak-Ahok’, semisal anak-anak sekalipun. Bila ingin terus mengajarkan kesantunan, adil-lah sejak dalam pikiran, ucapan dan tindakan. Saya pun harusnya demikian, tapi karena sudah terbiasa menyebut Ahok, hilanglah sebutan, “Pak”, “Mas”, “Koh” dan lain sejenisnya.

Kembali lagi soal kenapa harus Ahok?
Saya yakin betul bahwa di hari depan beliau akan dijadikan semacam panutan sebagai contoh pemimpin yang baik, meski tentu dengan segala catatan-catatannya. Tapi saya pikir perjalanan Ahok masih panjang. Salah satu alasan Ahok tidak naik banding barangkali ini cara ia berdiam dan tanpa perlu lagi memancing keributan. Justru, cara ia diam seperti ini adalah sebuah bentuk pukulan telak (a-hook).

Istilah “Hook” dalam dunia tinju dikenal sebagai sebuah pukulan yang mematikan. Hook dapat dilontarkan kedua tangan, kanan dan kiri. Dan memang posisi seperti itu yang dilakukan oleh seorang petinju dalam melontarkan hook. Seperti kita ketahui bersama, Petinju kelas berat Mike Tyson dulu sangat ditakuti karena pukulan hook-nya sering berhasil memukul KO lawan, sedang petinju Indonesia Ellyas Pical memiliki pukulan hook kiri yang sangat keras, dan sering memukul KO lawan dengan senjata andalannya itu. Karena keandalan pukulan tersebut Pical dijuluki sebagai Exocet. Itulah yang tengah dilakukan Ahok bagi lawan-lawannya sekarang!

Para pembenci membutuhkan reaksi agar bisa menggodok terus tipu muslihatnya. Bila yang didapati sikap diam Ahok, maka materi menipis dan cepat atau lambat ke-superioritas-annya lekas memudar. Dan ke-megalomaniak-annya akan segera lenyap. Inilah langkah yang paling tepat untuk Ahok ambil. Terlebih Bulan Ramadhan, bulan yang dimuliakan umat Muslim sudah di ambang pintu. Saya kira Ahok memperhitungkan sampai sejauh itu. Ia pula barangkali tidak ingin melupakan rasanya ‘sepi’, ia ingin menghargai keberadaannya, seperti kata Tulus dalam bait lagunya berjudul, “Ruang Sendiri” berbunyi: “Hingga aku lupa rasanya sepi / Tak lagi sepi bisa kuhargai // Kita tetap butuh ruang sendiri-sendiri / Untuk tetap menghargai rasanya sepi”. *lagu ini enak betul, sungguh!

Sayangnya, ‘sebagian’ kita hanya belum siap menerima kepemimpinan macam yang diterapkan Ahok. Tapi suatu hari kelak, Ahok-Ahok lain akan bermunculan. Koruptor-koruptor segera dibumihanguskan, dan Indonesia lekas kembali berjaya. Tunggu saja....

Cilegon, 24 Mei 2017 / larut malam~


You Might Also Like

1 komentar

  1. I am very sure that in the future he will be used as a role model as an example of a good leader, although of course with all his notes.

    ReplyDelete