Aku Tahu Kau akan Pergi (9 Puisi tentang Pertemuan dan Perpisahan)

May 14, 2019

doc. pribadi.


Kenangan yang Berlarian

setiap kenangan itu tiba
aku selalu menutup pintu hati
dari dalam. kuganjal dengan tumpukan
ingatan dan perasaan yang baru.

"pergilah dan jangan kembali,"
kataku menahan sesak.

dari jendela masalalu
kuintip kenangan-kenangan itu berlarian
ada yang terjatuh, terinjak
terjungkal dan hancur

aku ingin sekali membawanya masuk
untuk segera mengobatinya

tapi kenangan, selalu tahu kapan
waktunya menyembuhkan dirinya sendiri

Cilegon, 12 Mei 2019

***


Membakar Kesedihan

pada suatu sore kau datang membawa kembang api
dengan mata berbinar mengajak aku pergi
ke suatu masa di mana hanya ada kita

lalu hujan datang tanpa kabar
jendela matamu redup dan berembun
pamit tanpa suara
meninggalkan aku tanpa jeda

hari ini aku masih menggenggam
kembang api yang sama
di tempat yang sama
menantimu datang untuk membakar
kesedihan bersama

Cilegon, 21 Februari 2019

***


Aku Tahu Kau akan Pergi

aku tahu kau akan pergi
dari kursi di sisi pagi 
tempat kita menunggu mentari

pertemuan kita adalah perjalanan
panjang menerabas belukar 
menemukan kelokan rasa dan hati

aku tahu kau akan pergi
melewati senja di tepi danau
tempat kita memancing kebahagiaan

di sini, kanak-kanak adalah puisi yang tak pernah mati
aku ingin jadi kanak-kanak
bebas terbang menjadi burung
lalu tahu kapan dan ke mana mesti pulang

aku ingin jadi kanak-kanak 
yang bebas dari kegelisahan
bermain sampai lelah
selelah-lelahnya

dan lupa caranya menjadi dewasa

Cilegon, 26 Maret 2019

***


Bermalam dengan Penyair
:as hs

malam ini aku tidur di rumah penyair
pintunya yang mengelupas
terbuat dari bekas sampul buku.

kasur lapuk itu adalah endapan kata
yang tidak selesai.
serakan huruf di mana-mana
mengisi setiap sudut kamar

malam ini aku tidur di rumah penyair
nyamuk-nyamuk berwujud patahan
huruf menyerbu sekujur tubuh
; menghisap darah juga airmata
tak sedikit pun memberi jeda
untukku terlelap dan bertemu Engkau

malam berikutnya aku tak ingin lagi
tidur di rumah penyair
sepanjang malam matanya selalu
terjaga
berbicara panjang dengan buku-buku
dinding juga lantai bambu

katanya, ia tak lagi percaya di luar atap
serta langit-langit yang selalu menatap
tak ada lagi manusia utuh
tak ada lagi Engkau dalam
tubuhnya yang rapuh.

Ciloang-Serang, 11 Januari 2017 : 06.23.

***

Lelaki Waringin
                —kepada Abdul Salam HS

Padamu sepi hendak berkawan
di mal, di kota, di komunitas, di jalanan
suaramu adalah gemerisik padi
yang ditinggal pergi para petani
sebab rumput ilalang tumbuh
di tanah berakar baja dan besi
—kemudian gedung-gedung subur membajaki
sawah-sawah.

Dalam genggammu tersimpan sunyi
berteriak sepanjang malam.

Duapuluh empat silam
tubuhmu singgah ke dunia
digendong malaikat menjelma
rupa seorang perempuan ayu
yang tinggal di Waringin.

“Aku ingin menjadi Malaikat Waringin,” katamu pada sepi.
Laba-laba sibuk menyulam jaring
cicak di dinding berebut nyamuk
yang terjebak di sawang rapuh
lalat-lalat menyesapi sisa makan
di antara tumpukan baju kotor
gunungan buku dan catatan-catatan
yang tak pernah kau kirimkan ke manapun.

“Aku ingin menjadi malaikat Waringin!” katamu semakin lantang.
Seketika seisi kamar bergeming
hanya satu bisikan angin pada
almanak lusuh di dada tembok
yang bolong-bolong
seketika seisi kamar bersenandung
kidung selamat ulang tahun.

Cilegon, 15 Juni 2016

***




Aku Harus Melalui Jalan Ini

aku harus melalui jalan ini
lewat gang-gang sempit
bau apak dan tikus-tikus
berkejaran

aku mau tidak mau
meningkahi tangga kayu rapuh
yang meliuk ke entah menuju
pintu sebelah mana
ke tempat tinggal siapa

langit mendung dan
kepala rasanya ingin copot

tapi buku puisi
yang menemani perjalananku
membebat tangan kuat-kuat
lalu ia berkata seolah pernah hidup
jutaan tahun lamanya,
"jalanmu masih panjang
merunduklah dan kan kau temui Tuhan."

aku harus melalui jalan ini
bukan karenanya

aku harus melalui jalan ini
karenaNya menunjukkan satu
arah saja.

Cilegon, 04 Januari 2017
*) puisi ini ditulis pra-sidang skripsi

***
Seseorang yang Mengenalkanku pada Rindu
: teruntuk engkau yang hendak berbahagia
sepertinya baru kemarin kita
menuntaskan perjalanan. Menyusuri jejak
yang pernah ada, lalu menggantikannya.
sayangnya jejak itu akan lusuh
menguap dan terhapus oleh hujan
yang jatuh dari sulur-sulur kelopak mata
mengalir dari hulu ke hilir
sampai jauh mengiringi langkahmu.
aku bukan tak senang engkau hendak
melaksanakan sunah rasul; menggenapi
yang ganjil. hanya saja, caramu pergi
yang belum bisa kuterima.
dari bibir yang kian kering; terucap
doa yang selalu basah untuk kebaikanmu
jangan beritahu padaku siapa penemu
rindu. atau matamu akan sukar terpejam
meski lampu telah padam.
tahniah. berbahagialah!
Cilegon, 16 Juli 2015

***


Seperti Ada yang Hilang (?)


Seperti ada yang hilang
entah apa
Kemarin langit wajahmu
masih cerah
hari ini hujan datang
tiba-tiba tanpa pertanda.


Seperti ada yang hilang
entah apa
Sepetak ruang di dadamu
tandus lalu basah
kau menyiraminya
dengan airmata.


Seperti ada yang hilang
entah apa
dengus hangatmu menjalari
lagi tubuhku yang papa.


Seperti ada yang hilang
entah apa
Kamu, adakah?

Cilegon, 15 Mei 2016

***

Rumah Seorang Penyair
: tentang engkau Muhammad Rois Rinaldi


bunyi menggerisik itu adalah isyarat rumput
yang tumbuh di atas aspal retak. tiga detik
kemudian rusak hilang-gerak
digilas roda truk.

lurus ke depan suara bising meraja
kiri sedikit, menyelinap gang sempit,
memiringkan badan di antara
dua rumah yang menghimpit,
mata menyipit, lepas itu ‘kan kau temui
rumah seorang penyair membungkam jerit.

melangkahlah.

sejauh mata memandang
hamparan sawah menyambut riang.
bocah dengan aroma lempung
tengah asyik mencari lubang. katak, cacing
dan gemelende adalah umpan urek-urek
untuk pancing. niat menjebak belut
tapi lebih sering ular yang turut.

sisanya sepasang kakek-nenek tengah ngegebod
memilah gabah untuk dijual
hasil keringatnya bakal dipakai mengganjal
perut sebulan mendatang, barangkali.
anak-cucunya pindah ke kota
mengadu nasib bermodal
dadu keberuntungan.

di sisi lain, di bawah pohon randu itu
sepasang remaja berseragam putih abu-abu
berkelakar perkara guru, sekolah dan kekasih
sesekali kikuk bertukar peluk.

berhentilah.

kau telah sampai pada
sebuah rumah seperti di dukuh paruk*
: sederhana, tenteram dan tenang.
pintu terkuak sesaat setelah kau ketuk. penyair datang
menyambutmu dengan segala yang dimilikinya.

di teras bertukar cakap, beradu topik
rokok dan kopi dan rebusan
kacang, mantang, dangder, setia berbagi
kepulan asap, aroma dan rasa ke tetangga-tetangga.

sunyi menyergap malam menantang
penyair izin ke dalam. lantas kembali
untuk memilih tak lagi bungkam
kali ini berteriak;
mengerang
meraung
melawan!

waspadalah!

Cilegon, 19 Desember 2015


*) Nama sebuah perkampungan yang ada di dalam novel “Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari.


You Might Also Like

0 komentar