[Esai] Menggali Potensi, Meraih Prestasi (Serabook, 2016)

September 22, 2018

image by walli.com


A.  MENGENALI POTENSI DIRI

1                1.      Temukan Trigger-mu
Bulan lalu, tepatnya 03 Juni 2016, seorang legenda atlet tinju dunia, Muhammad Ali menutup usia yang ke-74 tahun. Dunia berduka atas kepergiannya. Siapa yang tak mengenal, “The Greatest” bagi mereka pecinta olahraga adu bogem itu. Meraih 56 kali kemenangan dalam 61 pertandingan, tercatat pula sebagai petinju pertama di dunia yang menyabet tiga kali gelar juara dunia kelas berat, hingga akhirnya beberapa pengamat olahraga dunia menobatkannya sebagai petinju terbaik abad ini. Ali menjadi petinju pujaan. Kendati demikian, bila bicara masa kecilnya, Cassius Marcellus Clay, Jr.—nama lahir Ali sebelum memutuskan untuk memeluk agama Islam—di sekolah, sungguh tak ada yang istimewa.

Mengutip ucapan Paul Gallenger, dalam bukunya, “The Real Story Behind the Ali Liston Fights”, mengatakan kalau prestasi Ali di kelas tidak terlalu menggembirakan. Ali pernah menempati peringkat ke-376 dari 391 siswa. Barangkali tidak semua orang mahir dalam segala bidang pelajaran. Beruntungnya, Ali berhasil menemukan potensi apa yang bisa ia kembangkan dari dalam dirinya.

Mulanya ketika di usia 12 tahun, sepeda kesayangan Ali hilang. Ia mendatangi salah seorang polisi lokal di kotanya. Dengan gagahnya, bocah bau kencur itu berkata kepada polisi, “andai pencuri itu tertangkap, aku bakal menghajarnya habis-habisan!” Pak Polisi itu menanggapinya dengan cukup serius, “belajarlah bertarung lebih dulu, supaya benar kata-katamu, bukan sekadar ancaman belaka.” Sejak saat itu ia memutuskan ikut pelatihan di sasana tinju. Soal sepedanya kemudian ditemukan dan pencurinya tertangkap atau tidak sudah tak jadi soal. Yang jelas, dengan kegigihannya dalam berlatih, ia mencoba menantang dirinya sendiri, yakni mengikuti sebuah pertandingan tinju amatir di tahun yang sama. Benar saja, reaksi bergantung pada seberapa besar aksi yang dilakukan. Ia memenangkan pertandingan pertamanya itu. Jelang enam tahun kemudian, Ali didaftarkan pada pertandingan Olimpiade Tinju, dan berhasil menyabet medali emas. Membual adalah ketika seseorang mengatakan sesuatu dan tidak bisa melakukannya. Saya melakukan apa yang saya ucapkan.” Memang benar, ia sungguh dapat membuktikan omong besarnya.

Alasan lain ia menekuni dunia tinju tak lain karena sebagai penduduk ras berkulit hitam, di lingkungan tempat kelahirannya Louisville, Kentucky, Amerika Serikat, ia selalu merasa dikucilkan dan disepelekan. Jadi begitulah cara ia mempertahankan diri dari olok-olok penduduk mayoritas berkulit putih.
Kita akhirnya bisa menyimpulkan, bahwa seberapa keras kita dalam melatih diri, maka hasilnya pun tidak akan mengecewakan. Tentu saja untuk mencapai segala sesuatu di titik tertentu, kita membutuhkan trigger; pemicu, penyemangat, motivasi juga alasan kenapa kita harus meraihnya. Pertanyaannya kemudian adalah ketika kita sudah menemukan trigger tersebut—mengenali potensi apa yang ada dalam diri kita—apa yang harus kita lakukan? Langkah apakah yang harus kita ambil setelahnya?
 
image by tirto.id
                  2.      Melatih Potensi yang Dimiliki
Masih berkaca pada kegemilangan sang Legendaris Muhammad Ali dalam bidang yang digelutinya. Ketika ia sudah mengenali potensi dirinya yang ia lakukan kemudian adalah berlatih. Ia pernah berujar, “I hated every minute of training, but i said, don't quit. Suffer now and live the rest of your life as a champion,” kesungguhannya untuk menjadikan diri sebagai pemenang benar-benar ia tunjukkan. Ia berlatih sangat keras, sebenci apa pun ia dengan pelatihan-pelatihan yang berat, akan tetapi demi menjadi seorang pemenang—targetnya saat mengucapkan kalimat itu adalah menjadi juara tinju kelas dunia—maka ia akan terus berlatih. Bahkan, ketika ia sudah ‘menggantungkan’ sarung tinju pada tahun 1981, Ali masih melatih dirinya dan sesekali bermain tinju sebagai pertandingan persahabatan atau untuk sebuah kegiatan amal dan bakti sosial. Bila kita cermati, Muhammad Ali sadar betul, untuk mendapatkan pencapaian yang maksimal dalam mengembangkan potensinya—tentu saja selain usaha kerasnya dalam berlatih—ia memilih tempat pelatihan yang tepat juga menemui pelatih yang andal di bidangnya.
Sekarang, saya mencoba mengorelasikannya dengan posisi mahasiswa; si Agent of (Social) Change. Di era yang serba cepat dengan segala kecanggihan teknologi ini, kita sebagai mahasiswa di hadapkan pada persaingan yang ketat dan sengit. Perkembangan di era digital ini sangat dinamis. Baik dalam bidang akademisi maupun bidang bisnis ekonomi kreatif. Kita dituntut untuk mampu berinovasi dan terus mengembangkan bakat juga kemampuan diri, khususnya dalam bidang teknologi informasi.
Pada akhir tahun 2012, saya mengenal Perguruan Tinggi Universitas Serang Raya (UNSERA) dari seorang kawan yang sudah lebih dahulu melanjutkan kuliah di sana. Tak ada yang istimewa barangkali kalau boleh dikatakan. Apalagi saat itu, sebagai kesan pertama, kampus terpadu UNSERA berada di jalan Amin Jasuta, Kaloran,—dengan infrastruktur gedung yang terlampau biasa—berhadap-hadapan dengan Gedung Brimob, Serang. Kegemaran saya pada ilmu komputer-lah yang akhirnya membuat saya mengambil keputusan untuk melanjutkan kuliah di UNSERA. Tentu pula atas dasar restu dari orang tua. Kendati saya sadar bahwa hanyalah lulusan dari Madrasah Aliyah jurusan IPS, tetapi saya memantapkan diri untuk meneruskan kuliah dengan mengambil jurusan Sistem Komputer (sekarang Teknik Komputer) di Fakultas Teknologi Informasi. Satu-satunya yang saya pikir keren saat itu bila memahami segala aplikasi komputer tak lain saya akan bisa menjadi seorang hacker yang andal dan profesional. Apalagi saya menyadari manusia sudah tidak bisa lagi menjauhkan diri dari segala bentuk teknologi digital—dan saya berpikir orang yang pandai mengoperasikan komputer akan banyak mendapatkan peluang dan menjadi bidang yang akan sangat dibutuhkan di banyak perusahaan.

Layaknya seorang pria yang pertama kali melihat perempuan (cantik), tentu ia memiliki kesan pertama; entah pada mulanya yang ia nilai dari segi fisiknya, ataupun ia menilai dari cara bicaranya yang santun maupun sebaliknya. Akan tetapi, pada akhirnya saya menyadari ternyata dari “keterbatasan” gedung UNSERA yang biasa-biasa saja bila dibandingkan dengan kampus lain di Banten, terbukti ada banyak hal menarik lainnya yang baru saja saya ketahui. Bisa jadi ini pula terkait akan wawasan saya yang masih terbatas dan sedikit saat itu.
Begini, selama saya sekolah di Madrasah Aliyah Al-Jauharotunnaqiyyah Cibeber—sekalipun saya tidak bermaksud mendiskreditkannya karena jelas berbeda lembaga, sasaran dan tujuannya—baru kali itu saya temukan hal-hal yang saya katakan menarik tadi. Semuanya bermula saat masa Orientasi Pengenalan Kampus (OSPEK) dimulai. Di Madrasah Aliyah, beberapa kegiatan luar kelas (ekstrakulikuler) yang saya ikuti hanya keorganisasian OSIS; menjabat ketua Mading, lalu Paskibra, dan menjadi salah satu pelopor kegiatan musik islami, yakni marawis. Sebatas itu saja, sekalipun saya merasa memiliki beberapa keahlian lainnya yang masih perlu diasah dan dibimbing.
Semisal dalam bidang olahraga, saya menggemari olahraga Bulutangkis. Boleh dibilang saya pemegang juara tingkat kampung Cibeber, begitu kelakar saya ketika ada yang bertanya seberapa ahli saya memainkan raket dan kok di lapangan. Kemudian hal lainnya yang saya yakini saya bisa mengembangkan bakat di bidang tersebut adalah mendaki. Sebagai anak yang dilahirkan di kawasan pegunungan (Ibu saya penduduk asli Nembol, Pandeglang), saya tertantang untuk mencoba memanjat tebing, menaklukkan gunung tertinggi dan sejenisnya.
Ada lagi yang pernah ingin coba saya geluti adalah bidang musik dan bernyanyi—selain menabuh rebana di marawis. Saya selalu merasa memiliki suara merdu dan syahdu ketika sedang bernyanyi sendirian, lebih-lebih di kamar mandi. Dan saya berandai-andai saat remaja dulu, ketika lelaki pandai bernyanyi dan bermain alat musik minimal gitar, pasti perempuan mudah jatuh hati. Sungguh asumsi yang amat dangkal bila saya pikirkan saat ini. Bakat lainnya yang pernah saya coba tekuni saat di bangku Madrasah Tsanawiyah (MTs) adalah menulis—barangkali ini akan menjadi pembahasan yang amat panjang dibanding tiga bakat lainnya.
Ketika kelas VII MTs, saya mencoba-coba melatih diri untuk menulis sebuah novel. Pada lembar per lembar kertas dalam binder, layaknya buku diary, saya mulai menulis. Apa pun saya tulis yang ada dalam kepala saya saat itu, secara otodidak saja sebab belum tahu dasar-dasar kepenulisan juga tekniknya secara baik dan benar. Setiap jam istirahat, saya lebih banyak menghabiskan waktu menulis di ruang kelas. Lucunya, tak ada siapa pun yang boleh membacanya saat itu kecuali beberapa teman saja yang saya anggap bisa dipercaya dan tidak akan cerita-cerita kepada teman lainnya soal isi tulisan saya itu.
Barangkali, dari beberapa bakat yang saya yakini dan secara langsung sudah saya praktekkan itu pada akhirnya terpilih sendiri secara alamiah. kendatipun semua bakat terpendam tersebut belum sepenuhnya mendapatkan tempat, beruntungnya, saat di masa Ospek itu saya merasa Allah mengabulkan semua cita-cita saya. Hanya saja, karena saking banyaknya pilihan akhirnya saya dibuat kelimpungan—karena menurut kakak senior, masing-masing mahasiswa hanya boleh memilih satu atau dua saja dari Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang ditawarkan untuk bergabung.
Bagaimana tidak, ketika saya merasa ingin menjadi pebulutangkis profesional, kampus UNSERA menawarkan UKM PO (Pengembangan Olahraga). Para pengurusnya pun sebagian besar para atlet-atlet yang biasa mewakili turnamen olahraga di tingkat provinsi bahkan nasional. Kemudian saat saya ingin melatih fisik saya dengan mendaki gunung, ada pula UKM LENTERA (Lead Adventure Universitas Serang Raya)—yang pada masa putih abu-abu dulu tidak saya temui tampungan sejenis. Setelah itu ada pula UKM AKUSTIK (Apresiasi Komunitas Seni Universitas Serang Raya). Saya ingin sekali belajar bermain musik dan bernyanyi—selain menabuh marawis—meski di kemudian hari saya tahu ada juga sejenis vocal grouping, serupa paduan suara, yakni Unsera Voice. Dan ternyata belum cukup sampai di situ. Masih ada UKM WISMA (Wahana Inspirasi Mahasiswa), yakni UKM yang titik fokusnya pada jurnalistik dan broadcasting. Ini kesempatan baik, pikir saya, untuk mengasah teknik kepenulisan saya agar lebih matang lagi. Apalagi menjadi penulis sepertinya terkesan keren; memiliki wawasan yang luas, kritis dan juga memiliki intelektualitas yang tinggi.
UKM yang tersisa lainnya adalah UKM KAMUS (Kajian Mahasiswa Unsera) dan UKM KARISMA (Kajian Ruhul Islam). Untuk dua UKM tersebut saya tak terlalu menaruh minat yang tinggi, sebab, UKM yang pertama fokus di bidang kajian ilmu IT, sedangkan saya sudah mengambil jurusan Sistem Komputer yang saya pikir akan ada mata kuliah yang mempelajarinya lebih detail. UKM yang kedua tentu saja bisa ditebak sendiri. Saya lulusan Madrasah Aliyah, bahkan sejak kecil sudah di Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD) dan Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP). Jadi, hampir 12 tahun saya terus-menerus berkutat dengan pelajaran yang hampir sama, yakni tentang agama Islam. Bukan berarti saya keberatan untuk menekuni lebih dalam perihal agama, sebab ilmu apa pun perlu dipelajari sampai ke akar-akarnya, hanya saja saya merasa butuh ada wawasan baru yang perlu saya pelajari. Karena kita semua tahu, ilmu Allah di dunia ini teramat luas dan banyak sekali. Sayang bila tak kita coba pelajari keseluruhannya, meski kemudian kita akan mendapatkan tempat dan pilihan tersendiri, bila boleh dikata hasil dari seleksi alam, ilmu mana saja yang pada akhirnya menjadi muara keseriusan kita untuk mempelajarinya.

                  3.      Yakini Potensimu dan BertanggungJawablah
Ini akan menjadi sulit untuk dijelaskan. Bagaimana tidak, dari sekian pilihan UKM yang ada—dan sangat cukup membuat saya dilema—akhirnya pilihan saya jatuh kepada UKM PO. Entah apa yang membisiki saya saat itu, melalui pertimbangan yang sangat mepet, terlebih belum banyak teman yang bisa saya ajak tukar pikiran, paling-paling hanya teman satu kelompok saat Ospek.
Barangkali kecintaan saya pada olahraga bulu tangkis-lah yang pada akhirnya keputusan itu saya ambil. Selain itu, saat pengenalan UKM masing-masing, saya menangkap bahwa pengurus UKM PO-lah yang paling berkompeten. Banyak mahasiswa senior yang bergabung di sana dengan masing-masing jenis olahraga yang digelutinya dengan segudang prestasi yang ditunjukkan. Karenanya saya tergerak untuk lebih jauh mengenalnya.
Akan tetapi mau dikata apalagi. Ketika sudah bergabung dan selang beberapa bulan berjalan, lagi-lagi saya “terjebak”. Bayangan untuk menekuni olahraga bulu tangkis tak semulus yang ada di benak saya. Ketika sudah terjun ke dalam kegiatan UKM PO, saya ternyata lebih tertarik dalam keorganisasiannya. Serupa Muhammad Ali yang tak peduli lagi ia bakal berhasil membogem pencuri sepedanya di masa kecil, saya pun demikian. Cita-cita untuk menjadi atlet dan mengembangkan bakat yang saya miliki menjadi tak terlalu penting. Passion saya lebih besar kepada kegiatan-kegiatan yang menjadi agenda tahunan atau program kerjanya. Rutinitas itulah yang akhirnya membuat saya mengorbankan cita-cita saya. Tak jadi soal, saya tak begitu menyesalinya, sebab sekalipun saya tak menjadi atlet profesional yang didelegasikan kampus pada event POMDA (Pekan Olahraga Mahasiswa Daerah) misal, saya tetap bisa mengikuti kegiatan tersebut, di awal-awal semester, sebagai tim official terpilih. Karena tidak semua anggota bisa mengikuti event tersebut. Saya tetap bersyukur.
Banyak teman yang saya kenal dari berbagai semester, fakultas, jurusan. Bahkan dari lain kampus. Dan setiap keputusan selalu disertai segala resiko. Yang saya alami, ketika saya mengikuti event POMDA yang saat itu diselenggarakan di Lebak dan selama seminggu menginap di sana, saya harus mengorbankan tidak mengikuti UTS pertama saya sebagai mahasiswa. Saya, dengan membawa surat dispensasi untuk menghadap kepala Prodi, sudah menyetujui untuk ikut UTS susulan saja. Dan itu termasuk keputusan yang tidak semua mahasiswa baru siap melakukannya.
Di tahun berikutnya setelah saya bergabung, saya dicalonkan sebagai ketua umum UKM PO. Mulanya saya menolak, karena siapa sangka, saat itu saya mulai menekuni dunia kepenulisan. Bermula dari iseng-iseng mengikuti lomba menulis puisi yang ada di media sosial, beberapa puisi yang saya sertakan ternyata berhasil masuk sebagai nominator dan dibukukan. Alangkah bahagianya saat itu—setelahnya saya mulai banyak menulis, bergabung di beberapa grup dan komunitas, rajin datang pada diskusi buku, mengikuti lomba menulis dan membaca. Maka fokus saya mulai terbagi antara: kuliah, organisasi, dan..., menulis. Ini akan menjadi asyik kalau saya tetap bisa seimbang di atas sampan sembari terus mengayuh dan dapat mengatur letak layar saat mengendalikan arah mata angin, gelombang, juga karang. Tetapi akan menjadi bencana dan hujan badai bila tak ada satu pun yang bisa saya kendalikan. Lebih gawatnya lagi sampai membuat saya  terjebur dan tenggelam di lautan aktivitas yang saya tetapkan sendiri.
Pencalonan saya sebagai ketua ternyata hampir disetujui semua teman-teman seangkatan. Dan mereka sungguh mengamininya, saat dengan sedikit terpaksa saya akhirnya menyerah saja dicalonkan, di dalam forum 80% suara berpihak pada saya. Ada tiga orang yang dicalonkan, dan satu di antaranya saya tahu, ia sangat ingin sekali menjadi ketua umum. Ia banyak bercerita alasannya ingin menjadi seorang pemimpin. Jadi, ketika tahu saya yang terpilih ia tampak sangat kecewa. Saya, dengan menggunakan hak jawab saya, barangkali serupa hak prerogatif, akhirnya menyatakan untuk menjabat sektretaris umum saja. Jabatan ketua saya serahkan pada lawan “politik” saya itu. Melalui banyak pertimbangan dan kebijakan dari Dewan Penasehat Organisasi dan para senior, akhirnya keinginan saya dikabulkan. Permintaan naik banding saya terealisasi. Keputusan yang saya ambil saat itu dirasa tepat. Lebih-lebih saya mengatakan kalau saat itu saya sedang menggandrungi dunia kepenulisan, ada buku yang sedang saya persiapkan. Dan menjadi sekretaris sepertinya tidak terlalu jauh dengan dunia tulis-menulis. Meski saat itu yang banyak ditulis tak jauh-jauh tentang surat undangan, proposal kegiatan, laporan pertanggungjawaban dan segala jenis tugas kesekretariatan pada umumnya.

Ketika itu saya menjabat sebagai Sekretaris Umum UKM PO UNSERA masa bakti 2013-2014. Saya benar-benar merasa harus bertanggung jawab dengan keputusan yang saya ambil dan yakini. Menjaga moril ketua umum, khususnya, pun jadi tanggung jawab saya. Saya tak ingin lepas begitu saya. Saya harus terlibat dalam setiap langkah dan keputusannya, lebih-lebih kalau mendapati bisikan kawan yang merendahkannya, semisal kalau ia menjabat ketua umum hanya gara-gara rasa belas kasihan dari saya. Mental dan perasaannya setidaknya harus bisa saya jaga sebaik mungkin. Dan ucapannya, ketika ia memintai tolong, saya harus berada di posisi yang paling terdepan. Sekalipun ada hal-hal pribadi yang harus saya lakukan, saya tetap memprioritaskan permintaan atau tugas yang ketua umum berikan pada saya saat itu. Sebab, dalam keorganisasian profesional, sekalipun kalian adalah teman baik satu sama lain, tetapi kita harus tetap berperan sesuai jabatan yang diemban. Di luar itu baru bisa kembali berkawan. Kemudian secara otomatis di tahun berikutnya saya demisioner dari jabatan dan lepas dari itu rupanya masih ada tanggung jawab yang belum bisa bebas dari UKM PO. Saya menjabat sebagai Dewan Penasehat Organisasi bersama mantan ketua umum dan bendahara umum pada periode 2014-2015.

Keseriusan saya dalam menggeluti dunia literatur semakin tak terbendung. Pada tahun-tahun awal sebagai mahasiswa, saya mulai kritis dalam menyikapi sebuah keadaan. Barangkali memang beginilah seharusnya ketika memutuskan menjadi penulis. Segala bentuk keresahan, ketakutan, kekhawatiran dan gagasan selalu saya coba tuliskan. Seperti saat itu, saya banyak mencoba menulis artikel kritik tentang kampus. Tentang kebijakan-kebijakan yang dirasa memberatkan mahasiswa hingga infrastruktur kampus yang kurang baik.
Semisal ketika kampus sudah berpindah lokasi dari Jalan Amin Jasuta-Brimob ke  Jalan Drangong, Taman Kopassus-Serang. Di gedung baru inilah ada musola yang terletak di lantai 5 (khusus untuk laki-laki) yang hanya memiliki 1 kran air untuk berwudhu. Tentu itu sangat menghambat waktu beribadah. Belum lagi yang tergesa-gesa akan masuk mata kuliah yang waktunya mepet dengan jadwal salat. Saya menulis keresahan dan gagasan itu dan menempelnya di mading-mading yang disediakan dari lantai Ground sampai lantai 6. Dan beruntung memperoleh respons yang baik. Selang hanya beberapa hari mendapatkan tanggapan. Musola di lantai 5 lekas direnovasi dan ditambah beberapa kran air. Sayangnya, meski permintaan saya lainnya seperti mendirikan musola “beneran” atau masjid untuk segera direalisasikan belum juga ditanggapi.

B.  MENENTUKAN TARGET PENCAPAIANMU
 
image by pixabay.com
1.    Meraih Prestasi dan Melampaui Diri
Saya percaya, sejauh ini, menulis adalah cara terbaik saya untuk menegur seseorang dan menyuarakan sesuatu hal tanpa perlu banyak-banyak berteriak. Zaman sudah berubah, dan tentu saja cara-cara kuno yang dulu berhasil dilakukan belum tentu bekerja baik di saat ini. Karenanya, demi mengasah kemampuan saya, beberapa lomba menulis dan kegiatan sejenisnya banyak yang saya ikuti; baik yang diselenggarakan kampus UNSERA maupun yang di luar kampus. Pada tahun 2013 saya pernah menjuarai lomba menulis Esai Islami yang diadakan oleh UKM Karisma pada event Gebyar LDK Karisma 2013. Selang dua bulan setelahnya saya juga menyabet juara 1 lomba menulis cerpen yang digadang oleh Fakultas Fisip pada agenda tahunannya Fisip Day 2013. Di tahun itu pula buku perdana saya, sebuah kumpulan cerpen berjudul, “Air Mata Sang Garuda” (AG Litera), terbit.

Pada tahun 2014 pun saya tak henti berkarya, sekalipun mulai disibukkan oleh kegiatan-kegiatan perkuliahan juga keorganisasian. Di tahun tersebut saya berhasil menduduki peringkat 1 pada event Semarak Sastra 2014 di Perguruan Tinggi IAIN Banten, Juara 1 lomba cerpen tingkat Provinsi Banten pada event Milad Majalah Ummi 2014, terpilih menjadi peserta #KampusFiksi penerbit Diva Press 29-30 Maret 2014 di Jogjakarta dan terpilih menjadi salah satu dari 12 besar peserta dari berbagai daerah di Indonesia (saya yang mewakili Banten) untuk mengikuti Akademi Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2014 selama 3 bulan. Bertempat di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Bukan berarti setiap mengikuti ajang lomba saya pasti memenangkannya, dari segelintir kemenangan itu di baliknya banyak sekali kegagalan yang berdarah-darah yang harus saya lewati. Sebab tak ada kesuksesan yang dapat diraih dengan instan—kecuali hasil turun-temurun dari orang tuanya, sebut saja warisan harta dan jabatan. Atau mungkin sebaliknya, karena mempertahankan lebih sulit daripada meraih. Sebab itulah, lantaran saya menyadari diri ini bukan bagian dari anak orang terkenal, seperti yang pernah dituturkan Imam Al-Ghazali, “Bila kau bukan anak raja, juga bukan anak ulama besar, maka menulislah!”. Karena karyalah warisan yang sesungguhnya. Yang akan abadi sampai ke masa berikutnya dan akan menjadi sejarah yang terus dikenang dan beruntung bila sampai dipelajari.

2.      Mempecundangi Rasa Malas dan Teruslah Berkarya
Pada tahun 2014, saya pernah pula menulis serangkaian impian dan capaian apa saja yang ingin saya raih. Saya mencoba membagi dua daftar mimpi; jangka panjang dan jangka pendek. Total keseluruhannya tak sampai berjumlah 100 daftar impian—padahal saya menargetkannya lebih dari itu, tetapi ketika dituliskan saya kebingungan sendiri, karena ternyata mimpi saya tak terlalu banyak.
Salah satu di antaranya, saya menulis ingin menginjakkan kaki di negeri Singapura; ini masuk dalam daftar jangka pendek. Tentu saja secara cuma-cuma, lebih-lebih dari hasil jerih payah saya sebagai penulis. Keinginan kuat tersebut dilatarbelakangi karena harapan saya melihat secara langsung negara yang konon melalui rilis indeks The Environmental Performance Index (EPI) yang dimiliki oleh Singapura ini mencapai 81,8 dan menempatkannya dalam urutan ke-4 negara terbersih di dunia. Secara perekonomian dan tingkat kesejahteraan pun negara ini termasuk yang paling baik di dunia. Indeks kualitas hidup yang dimilikinya pun diklaim sebagai yang terbaik di Asia dan berada pada urutan 11 di dunia.

Satu tahun berikutnya, tepatnya ketika saya sedang melaksanakan KKM di Baros, saya mendapatkan kabar kalau saya terpilih sebagai nominator atas lomba resensi buku yang sedang saya ikuti. Bahkan, saat itu saya sudah lupa, sebab, sebagai ketua di KKM pikiran saya seluruhnya sudah terfokus di sana.
Lomba resensi buku itu diadakan oleh salah seorang dosen yang mengajar di kampus negeri di Banten. Bukunya sebuah kumpulan esai dilombakan bagi siapa saja yang merasa bisa untuk meresensinya. Lomba itu dikhususkan hanya untuk mahasiswa se-Banten atau orang pribumi yang kuliah di luar provinsi Banten. Maka ketika ada waktu luang dari banyaknya program kerja di tempat KKM, pagi sekali saya pamit sebentar. Kegiatan berada di Rumah Dunia, Ciloang. Waktu terus berjalan dan tibalah pengumuman pemenang. Hadiah yang ditawarkan adalah untuk 3 pemenang akan mendapatkan tiket PP Jakarta-Singapura, sekaligus study tour ke negeri Merlion itu. Sungguh, itu adalah pengalaman yang sangat di luar dugaan. Lebih-lebih ketika panitia menyebutkan nama pena saya, “Ade Ubaidil” dinobatkan sebagai juara ke-3.
Tak ada yang bisa saya sampaikan selain kata syukur yang terus menerus digaungkan. Rasa haru pun tiba-tiba menjalari diri saya. Sungguh tak terbayang, apa yang sudah saya tuliskan satu tahun lalu benar-benar Allah berikan jawabannya saat itu juga. Malam harinya lekas saya merayakan kemenangan itu bersama teman-teman di tempat KKM. Saya membelikan makanan sebagai rasa terima kasih saya kepada Allah Swt. Tak lupa juga saya segera menelepon Emak. “Mak, Ade bakalan berangkat ke Singapura.” Saya langsung berkata begitu setelah berucap salam. Emak mengira saya tengah bergurau, sebab ia tahu saya sedang berada di tempat KKM, bagaimana mungkin? Tetapi keterkejutan Emak akhirnya surut setelah saya jelaskan alur ceritanya. Di ujung telepon sana, saya mendengar suara serak Emak sembari mengucap rasa terima kasih kepada Allah Swt. Ya, Mak, saya bisa membuktikan bahwa jalan kepenulisan yang saya tekuni ini akan memberikan manfaat untuk diri saya sendiri dan terus berharap juga untuk orang lain.
Satu hal yang membuat saya merasa dihargai sebagai mahasiswa UNSERA, pihak Yayasan Pendidikan Informatika, Bapak H. Mulya R. Rachmatoellah, memberikan apresiasi atas prestasi saya tersebut. Juga dari pihak rektorat dan Ka.Biro Kemahasiswaan, sedikit banyak memberikan dukungan baik secara moril maupun materil. Sungguh rasa terima kasih dan hormat saya untuk beliau sekalian.

Setelah kegembiraan yang bertubi-tubi itu, tentu saja saya menjadikannya sebagai motivasi bagi pencapaian-pencapaian prestasi berikutnya. Terlebih saya berhasil menggondol kepercayaan Emak kalau saya bisa bertanggung jawab atas keputusan yang saya ambil ini. Hal yang Emak khawatirkan, kalau saya terlalu fokus dengan menulis, kuliah saya akan berantakan. Tetapi itu bisa saya patahkan. Kepada kedua orang tua saya, saya membuktikan kalau saya baik-baik saja. Tentu saya tunjukkan melalui nilai akademik IPK saya yang selalu bertahan di angka rata-rata 3,00 ke atas.
Perlahan-lahan saya kalahkan rasa malas yang sering kali datang bertandang mengusik ketekunan saya dalam menyeriusi dunia kepenulisan. Di tahun 2015 bulan Agustus pun, buku kedua saya, “Kafe Serabi” (de Teens, 2015) sebuah novel, terbit. Kebahagiaan yang berhasil membuat saya termenung dan mengingat sebuah ayat Alquran yang diulang sebanyak 31 kali dalam surat Ar-rahman: “Fabiayyi alaa irabbikumaa tukadzdzibaan,” maka nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan?

Saya semakin rajin menulis, sedikit pilah-pilih lomba, dan memberondong media cetak maupun online. Dan syukur Alhamdulillah, segala capaian dan target yang saya inginkan pun beberapa kali terwujud. Profil saya, esai, cerpen, puisi dan semacamnya tersiar di beberapa media lokal maupun nasional. Sebut saya; koran Radar Banten, Banten Raya, Majalah Femina, Majalah Jawara, Majalah Ummi, Tabloid Ruang Rekonstruksi, koran Harian Republika, Majalah Kandaga (Badan Bahasa provinsi Banten), Biem.co, InilahKoran Bandung, hingga koran Utusan Borneo Malaysia, dll. Dalam semua media itu karya saya tersebar.

Satu per satu goal-goal itu berdatangan. Bahkan dalam beberapa waktu, kawan-kawan penulis atau dari redaksi meminta tulisan saya untuk mengisi media yang dikelolanya. Tentu ini bagian dari capaian yang tidak mudah. Mendapatkan kepercayaan semacam ini adalah prestasi bagi saya—bisa pula dikatakan bonus. Sejauh ini, saya merasa apa yang sudah saya kejar dan tekuni akhirnya membuahkan hasil. Sebab, ketika di masa merintis dalam menulis, jangankan dimuat atau diminta mengisi kolom tertentu, berhasil kirim naskah saja sudah bahagia, sekalipun mendapat berpuluh-puluh kali penolakan.
Beruntungnya, kepercayaan itu sampai pula kepada Ketua Yayasan Pendidikan Informatika, atau pihak UNSERA, untuk mengajak saya dalam berpartisipasi dan bekerjasama atas penyusunan buku bunga rampai yang bertajuk, “Berkhidmat untuk Negeri: Sewindu Universitas Serang Raya” ini. Tentu ini adalah sebuah kebanggaan sekaligus tanggung jawab yang mesti saya laksanakan sebaik mungkin. Di antara banyaknya mahasiswa, saya menjadi satu-satunya yang terpilih dan mewakili suara mahasiswa di provinsi Banten, khususnya di UNSERA. Sebab, yang mengisi buku ini adalah orang-orang yang hebat dalam bidangnya. Berjumlah 21 penulis dari berbagai disiplin ilmu yang tentu saja sudah expert. Akan banyak ilmu yang saya peroleh dan bisa saya teladani.
Sebelum kerjasama ini, saya dan ketua Yayasan (dengan bookstore Seramart-nya) pernah pula terikat dalam kerjasama penerbitan buku ketiga saya, sebuah kumpulan cerpen terbaru berjudul, “Mbah Sjukur” (Indie Book Corner, 2016). Totalitas seorang pemimpin/guru dalam mengapresiasi sebuah karya muridnya adalah bukti bahwa ia sangat menghargai segala jenis karya sekaligus peka dalam menangkap momen tersebut. Sekalipun, di Universitas Serang Raya belum ada Fakultas Bahasa Indonesia dan Sastra, tetapi atas inisiatif beliau bersedia mensponsori buku saya patut diacungi jempol. Kawan saya, yang berkuliah di salah satu kampus di Banten yang ada jurusan sastranya saja dalam mengapresiasi karya mahasiswanya tidak menampakkan kesungguhan. Bahkan konon, proposal pengajuannya tak kunjung digubris oleh bagian kemahasiswaan hingga membuat ia geram. Barangkali begini pulalah kerja sebuah nasib dan takdir. Tentu juga kesempatan hadir atas kerja keras dan perjuangan kita yang sungguh-sungguh.
Sebagai rasa syukur saya atas pencapaian-pencapaian dalam bidang yang saya geluti ini, di samping rumah, sejak akhir tahun 2014, saya mendirikan sekaligus mengelola sebuah perpustakaan mini yang saya beri nama, “Rumah Baca Garuda”. Cita-cita saya sederhana, saya hanya ingin virus gemar membaca dan menulis ini bisa menular kepada orang-orang sekitar, meskipun dalam lingkup kecil, setidaknya saya ingin merasakan bahwa apa yang sudah saya petik ini juga bermanfaat bagi banyak orang. Saya mengimani, bagi siapa saja, selama engkau gemar membaca dan menulis, maka engkau akan baik-baik saja.
Beruntungnya lagi, bulan Juni 2016 lalu, TBM saya terpilih dari 100 peserta TBM dan FTBM dari 3 provinsi yang ditunjuk langsung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk mengikuti program bimbingan teknis vokasi menulis Kemendikbud 2016. Sasaran untuk study tour-nya rupanya ke Negara Singapura lagi. Tak ada kalimat yang saya ucapkan mendapat kabar itu selain rasa syukur pada Allah atas karunia yang luar biasa itu. Program ini membawa misi satu peserta merampungkan satu buku. Gagasan yang diangkat adalah apa saja yang bisa diperbandingkan antara negara Indonesia dengan negara maju yang masih dalam lingkup asia tenggara tersebut.

3.    Berkarya, Berkarya, dan Berkarya!
Kembali lagi pada sosok inspiratif yang sejak awal tulisan sudah saya singgung kehidupannya. Muhammad Ali pernah berujar, “he who is not courageous enough to take risks will accomplish nothing in life”. Segalanya butuh resiko. Hanya orang yang kurang cerdas saja kalau menganggap bahwa kehidupan ini tak dibayang-bayangi segala macam resiko dari setiap keputusan yang kita ambil.

Orang-orang yang berhasil merengkuh kesuksesan dalam hidupnya adalah mereka yang mampu membuat resiko bertekuk lutut di bawah kakinya. Sebab ketika kita tidak cukup berani mengambil resiko, seperti kata Ali, kita tidak akan mencapai apa-apa dalam hidup. Sama halnya dengan apa yang dikatakan Albert Einstein, sang ahli Fisika dan penemu teori relativitas itu bahwa, “kegilaan adalah melakukan hal yang sama secara terus menerus dan mengharapkan hasil yang berbeda.” Tentu saja saya sangat setuju.
Kutipan di atas bisa kita kaitkan dengan ketika seseorang dalam menghasilkan sebuah karya. Kita terkadang dalam melakukan sesuatu hanya setengah-setengah tanpa mau repot-repot fokus dan memaksimalkan apa yang kita miliki. Padahal, dalam berkarya diperlukan sense of creativity and innovation. Sebab seperti yang sudah dibahas sebelumnya, untuk menjadikan karya kita dikenal oleh banyak orang adalah dengan menjadi “berbeda”. Perbedaanlah yang membuat sebuah karakter terasa kokoh dan mudah diingat. Tak peduli berapa kali kita gagal, kita menghadapi ribuan resiko dan beban yang begitu berat, karena mereka, para pencemburu tidak akan peduli dengan itu.
Berkaryalah seperti kita menghirup napas setiap waktunya. Seperti kata Seno Gumira Ajidarma, sastrawan dan budayawan, “apa boleh buat, jalan seorang penulis adalah jalan kreativitas”. Tetapi tentu saja itu tidak hanya berlaku pada profesi penulis, khususnya sekarang ini. Segala bidang dan profesi dibutuhkan tangan-tangan ahli dan cara berpikir yang berbeda, penuh kreativitas tinggi, dan sudut pandang yang unik.
Barangkali di awal-awal bereksperimen orang lain tidak mudah untuk menerimanya, tetapi, selama kita nyaman dengan apa yang kita kerjakan, serta bersiap atas segala resiko dan tanggung jawab yang harus dipegang, maka teruslah berjalan. Berkarya, berkarya, berkarya sajalah terus. Ketika kita diremehkan orang lain atas karya yang kita hasilkan, tetap saja, mau bagaimanapun kita telah memenangkan satu poin darinya.[]
Cilegon, 3 Agustus 2016


*) esai ini telah terbit dalam buku, Berkhidmat untuk Negeri: Sewindu Universitas Serang Raya” (Serabook, 2016)
 ______________________________________
DAFTAR PUSTAKA

Gallenger, Paul. Sonny Liston-The Real Story Behind the Ali-Liston Fights. New York:
CreateSpace Independent Publishing Platform, 2012.

[Diakses pada 25 Juni 2016]

[Diakses pada 26 Juni 2016]

[Diakses pada 26 Juni 2016]

[Diakses pada 30 Juni 2016]

[Diakses pada 03 Juli 2016]

[Diakses pada 10 Juli 2016]

You Might Also Like

0 komentar