[Ulasan] Rekonstruksi Musik a la Tulus

April 21, 2018

image by: TulusCompany.
Kamis, 19 April 2018, musisi kenamaan Indonesia, Tulus, merilis videoklip atau Official Music Video (MV) lagu “Langit Abu-Abu” di akun Youtube-nya, musiktulus. Salah satu lagu andalannya yang ada di album Monokrom yang rilis 3 Agustus 2016 lalu itu terasa berbeda dari videoklip kebanyakan. Termasuk videoklip lagu-lagu Tulus sebelumnya. Memang, Tulus selalu berusaha menunjukkan sisi musikalitas dan nilai estetis dari setiap videoklip lagu-lagunya, tetapi kali ini betul-betul ada sentuhan yang berbeda.

Mengambil latar tempat sebuah bangunan yang masih dalam tahap renovasi, bermain dengan gradasi warna monokrom (berwarna tunggal) dan lain sisi didominasi warna abu-abu, video tersebut menceritakan sang penyanyi, yang diperankan oleh Tulus, tengah mempersiapkan mikrofon dan soundsystem-nya seorang diri. Setelah itu ia mulai mendendangkan sebuah lagu. Awalnya, saya mengira di bagian tengah video akan ada semacam hentakan alat musik masuk mengiringi suara merdu Tulus. Namun ternyata dugaan saya keliru. Langit Abu-Abu ini dibawakan dalam versi akapela. Dengan penuh rasa dan penghayatan khas Tulus, dalam video ini seolah sang penyanyi ingin menyampaikan kalau bunyi-bunyi di sekelilingnya adalah bagian dari musik juga, bahkan kata-kata itu sendiri mewakili setiap nada tanpa harus dipadu-padankan dengan alat musik apa pun.

Sebagaimana yang saya ketahui dan saya duga, melalui videoklip ini ada upaya rekonstruksi musik yang Tulus dan timnya coba tunjukkan. Bila boleh mengaitkannya dengan disiplin ilmu lain, dalam bidang sastra misal, Sutardji Calzoum Bachri, Presiden Penyair Indonesia, setelah dirasa telah selesai dengan semua aturan terikat maupun tidak mengenai puisi, ia coba membuat puisi berjudul, “Luka” di tahun 1976 dengan satu kata saja dalam lariknya: ha ha. Lalu ia membuat kredo puisi, “mengembalikan kata pada mantra”. Kalau kemudian penyair lain mencoba hal yang sama, maka yang ada hanya akan dianggap sebagai epigon dari terdahulunya. Mau bagaimanapun, pelopor selalu dijadikan patokan atas “temuannya” tersebut.

Bisa jadi, Tulus sedang mengarahkan para penikmat musik, khususnya pendengar lagu-lagunya, bahwa ternyata videoklip tanpa suara alat musik pun bisa pula diproduksi—meski setelahnya kita akan lihat bahwa penggarapan videoklip ini dua kali lipat pusingnya. Karena untuk mencapai harmonisasi, menetralisir suara di sekitarnya, dan penguasaan emosi penyanyinya butuh waktu yang tidak sebentar dan konsep yang betul-betul matang.

Yang jelas, ini keputusan yang besar bagi Tulus dan timnya. Karena ia mestinya sudah memperhitungkan segala resiko setelah karyanya ini jadi milik publik. Sebab, selalu ada pihak pro dan kontra. Bentuk apresiasinya pun beragam: bisa berupa pujian atau kritik bahkan makian. Karena, ketika banyak musisi lain berusaha memasukan unsur alat musik, yang terbaru genre Electronic Dance Music (EDM), yang tengah digandrungi musisi milenial, Tulus malah menawarkan alternatif lain. Bagi saya, ini satu langkah besar yang berani Tulus dan timnya ambil. Tentu saja kinerjanya patut diapresiasi, dan bisa diterima sebagaimana karya-karya yang lain. Tidak ada batasan dalam berkarya, tetapi yang tidak boleh terlewat adalah soal tanggung jawab. Meski sebuah karya setelah dipublikasikan menjadi milih khalayak umum, si kreator mesti siap pasang badan dan mempertahankan karyanya atau gagasannya tersebut dari berbagai pihak yang mencoba “merobohkannya”.

Dalam karya sastra juga dikenal soal simbol-simbol yang salah satunya diwakili dengan berbagai majas. Afrizal Malna adalah salah satu penyair yang khatam soal itu. Ia menamai karyanya sebagai puisi instalasi. Perihal kebahasaan baginya sudah selesai. Maka segala benda, alat, dan makhluk apa pun bisa hidup dan dirangkai menjadi karya sastra, yakni puisi. Kalau kita perhatikan lebih detail dan cermat, itu juga yang coba Tulus ingin sampaikan melalui videoklipnya ini. Bila diurai satu per satu kata dalam lirik lagu Langit Abu-Abu, kita akan temukan berbagai simbol di bangunan belum jadi itu yang mewakili setiap katanya. Namun tentu saja hal tersebut akan diperoleh tergantung seberapa besar atau kemiripan pengalaman empiris dan wawasan si penikmat musik dengan videoklipnya. Kita bisa menangkap pesannya atau tidak sama sekali. Penafsiran soal makna pun akan berbeda-beda.

Saya tidak bisa lepas dari subjektifitas dalam mengulas videoklip ini karena lagu-lagu Tulus memang sangat saya gemari. Di album Monokrom ini ada juga lagu berjudul, “Pamit” yang liriknya sangat berhasil menyayat-nyayat perasaan dan membuka kembali kenangan di masa lalu. Tulus adalah salah satu seniman dan musisi Indonesia yang memiliki dedikasi tinggi dan selalu totalitas dalam mengeksekusi sebuah karya. Tak heran bila di setiap lagu-lagunya pasti meninggalkan bekas di benak pendengarnya, termasuk lagu Langit Abu-Abu ini.[]

Cilegon, 21 April 2018

videoklip by: musiktulus on Youtube.

You Might Also Like

0 komentar