[ESAI] Posisi Pembaca, Penulis dan Buku Cetak di Era Digital
2:12 PM
Sebagai Pembaca
Seusai mengisi
panel diskusi dalam tajuk, The Last Taboo
bersama dua narasumber lainnya, Melissa Lucashenko dan Paul McVeigh, Seno
Gumira Ajidarma lekas turun panggung. Sastrawan Indonesia berperawakan tinggi
besar dengan rambut panjang keperak-perakan itu tampak tidak begitu terkejut
ketika diserbu para pembaca fanatiknya. Pria dan wanita, beragam usia terlihat
antusias mendatanginya; meminta foto bersama dan tentu saja memintanya untuk
membubuhkan tanda tangan di buku yang mereka bawa masing-masing. Satu di antara
mereka adalah saya. Barangkali, salah satu tujuan adanya perhelatan sastra dan
seni (konon) terbesar se-Asia Tenggara ini memang untuk “bernorak-norak” dengan
penulis/seniman idolanya.
SGA, sapaan
beliau, rupanya cukup kewalahan. Meski baginya mungkin dimintai tandatangan di
buku karangannya sudah terlampau sering, tetapi sore itu penggemarnya semakin
membludak. Bahkan mereka saling berebut. Saya memilih mengalah dan menunggu
yang lain menyelesaikan misinya. Bak
tim rescue, seorang wartawan berhasil
menyelamatkan SGA yang tenggelam di lautan pembacanya. “Saya mau wawancara
dulu, ya,” ucapnya sambil lalu, dan sepertinya membuat SGA sedikit bisa
bernapas lega. Sebaris kalimat itu mencuat setelah saya berhasil mengabadikan
momen berharga dengan salah satu kurator ke-16 penulis Emerging yang terpilih tahun ini—satu di antaranya adalah saya.
Peristiwa di
atas hanya terjadi di salah satu main
program yang terselenggara dalam acara Ubud
Writers and Readers Festival 2017 di Bali, kemarin. Selama satu minggu,
tepatnya tanggal 25-29 Oktober 2017, mendatangkan 150 pembicara dari 30 negara,
kami merayakan kelahiran buku-buku, karya seni dan beraneka pertemuan dalam
panggung-panggung diskusi. Banyak hal yang dibicarakan, mulai dari sastra, isu
kebudayaan, sosial, tren masa kini, politik, perkembangan film, musik dan
banyak lainnya. Ada sekitar 4 venue
yang dijadikan central acara di
sekitar Ubud: Taman Baca, Neka Museum, Indus Restaurant dan Antonio Blanco
Museum.
Sebagai Penulis
Hal menarik
yang berusaha saya tangkap adalah momen di atas. Bukan hanya terjadi pada SGA,
tetapi banyak penulis atau pegiat seni lainnya, termasuk saya sendiri. Mulanya
saya mengira hal tersebut hanya akan menimpa penulis besar saja, wajar belaka
pemandangan seperti tadi. Namun, di satu momen, saat saya mengisi salah satu
panel diskusi bertajuk, The Next Chapter
of Indonesia Literature, ketika turun panggung, apa yang dialami SGA juga
menimpa saya (baca: meski tak sebanyak dia). Beberapa orang, yang sudah
memiliki buku, Origins: Sangkan Paraning
Dumadi—buku antologi dwibahasa karya ke-16 penulis Emerging—segera meminta tanda tangan dan foto bersama. Dan yang
menarik, bukan hanya pembaca lokal, tetapi dari luar negeri pun turut antre dan
meminta tanda tangan. Bahkan ada yang bertanya buku tunggal saya dan siap
membelinya. Tentu saja ini lahan basah,
sejenak saya berpikir ternyata tidak sia-sia saya membawa buku saya yang baru
terbit, jauh-jauh dari rumah.
Ada satu hal
lagi yang saya alami ketika berada di kabin pesawat. Kala itu saya hendak
pulang seusai acara. Namun, saat hendak menaruh tas di bagasi bagian atas, seseorang
menyapa dan menyebutkan nama saya. Ternyata ia sedang memegang buku dwibahasa
tadi. Ia bernama Hugo, warga Brazil yang juga hadir di perhelatan tersebut.
Percakapan kecil pun terjadi, ia duduk satu baris di belakang kursi saya. Kami
bertukar kartu nama. Ternyata ia seorang yang bekerja di Kedutaan Besar Brazil
yang ada di Jakarta. Ia menjabat di bagian pariwisata dan kebudayaan. “Boleh
minta tanda tangan?” katanya terbata. Ia membuka halaman buku yang memuat
tulisan saya. “Bisa bahasa Indonesia?” tanya saya sembari menerima bukunya. Lalu
ia menjawab kalau sudah hampir 8 bulan berada di Indonesia, jadi mau tidak mau,
bicara bahasa Indonesia sebuah keharusan, terlebih bagi orang yang bekerja di
Kedubes.
Nasib Buku Cetak
Hal di atas
adalah sedikit pengalaman yang saya alami sebagai pembaca juga penulis. Sekarang
ini mungkin hal-hal tersebut masih bisa kita dapatkan. Pertemuan antara penulis
dan pembacanya, membawa buku karyanya untuk kemudian minta dibubuhi kata
mutiara dan tanda tangan, menikmati kekhidmatan berdesak-desakan, juga obrolan
hangat yang bahkan kita baru bertemu dengan wajah asing itu. Namun, barangkali,
sepuluh atau tigapuluh tahun ke depan, mungkinkah hal demikian masih akan
terjadi? Sedangkan buku-buku konvensional (cetak) sudah berubah wujud menjadi
digital. Cepat atau lambat, tidak akan lagi kita temui pembaca yang membaui
kertas, menyampul kavernya, memeluk buku favoritnya, bahkan untuk sekadar
swafoto demi menjaga eksistensinya—atau mungkin menunjukkan betapa ia mencintai
buku itu. Nilai-nilai estetika buku cetak perlahan akan hilang, dan lekas masuk
daftar benda kuno-pendatang-baru.
Sejauh ini,
yang memang dibahas hanya seputar luar daripada isi bukunya. Andai ada yang
berkata, “yang terpenting dari buku ‘kan isinya,” ya, memang benar. Tetapi
tidak semua hal butuh dijelaskan. Bagi para pencinta buku, menggenggam fisik
buku yang demikian solidnya semacam memberi sebuah kekuatan. Bagi sebagian
pembaca fanatik, mendapati tanda tangan penulis adalah sebuah “pencapaian”
tersendiri. Bisa jadi itu akan memicu ia untuk terus membaca. Percaya atau
tidak ia akan termotivasi dan selalu merasa bahwa penulisnya ada besertanya,
selama ia membawa buku bertanda tangan itu. Imajinasi macam itu perlu kita
rawat. Segala yang ada bermula dari sebuah imajinasi. Manusia tidak akan hidup
tanpa imajinasi.
Sungguh hal
dilematis adanya perkembangan teknologi yang sampai menyentuh dunia perbukuan
ini. Sebab, selain hal tersebut di atas, akan banyak pekerja yang terpaksa
menganggur lantaran ia berhenti mencetak buku, mengelem, menggunting,
memproduksi kertas-kertas. Bisa jadi perpustakaan juga beralih fungsi—bukan lagi
sebagai pengarsip buku (cetak). Akan tetapi, zaman memang akan terus berubah.
Barangkali, sekarang-sekarang ini kita belum bisa berterima secara penuh, siapa
tahu ke depannya malah kita akan berkata sebaliknya—sama halnya ketika dulu
sejarah aksara dan penyebaran ilmu pengetahuan ditulis melalui daun lontar,
tulang, perkamen dan bebatuan yang kemudian bertransformasi dalam medium kertas
hingga berwujud buku, yang tak lama lagi akan punah(?).[]
Cilegon,
09 November 2017
2 komentar
Masa itu sepertinya masih jauh, setidaknya jika pengalaman saya dijadikan pertimbangan. Tahun ini saya menerbitkan buku elektronik di salah satu penerbit yang merupakan anak penerbit besar. Karya saya tidak laku, padahal sudah diiming-imingi model terbaru dalam sistem pernjualan ebook, yaitu "snackbook". Tapi, ya, itu, sih, saya. Jelas akan beda jika saya adalah Seno Gumira Ajidarma. :)
ReplyDeleteAlhamdulillah kalau masih jauh. Saya juga mengira mungkin 30 tahun mendatang, seperti yang saya tulis di postingan itu Kiyai.
Delete