[RESENSI] NEGERI KABUT KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA (GRASINDO, 2016)

April 04, 2017

Menyikapi Rutinitas Hidup yang Monoton




Judul Buku      : Negeri Kabut
Jenis Buku       : Kumpulan Cerpen
Penulis             : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit           : Grasindo
ISBN               : 978-602-3757-29-9
Tahun Terbit    : Oktober, 2016
Tebal               : vi + 160 halaman
Harga              : Rp59.000,-


Ada banyak tipe orang dalam menjalani kehidupan yang penuh kerupekan dan kegaduhan ini. Sebagian orang memilih diam dan melakukan rutinitas yang monoton dalam mengisi harinya, sedangkan sebagian lainnya memilih mengembara, melawan dan melakukan banyak perjalanan dari waktu ke waktu—dan seolah dalam hidupnya ia hanya ditakdirkan untuk berjalan, berjalan dan berjalan. Tidak kenal kata pulang. Barangkali begitulah yang ingin Seno Gumira Ajidarma sampaikan pada cerpen pembukanya berjudul, Negeri Kabut yang juga dijadikan judul utama buku kumpulan cerpennya ini.

Pertama kali buku ini terbit pada tahun 1996 dan meraih penghargaan sebagai Pemenang Hadiah Sastra 1997 untuk kategori kumpulan cerita pendek. Cerpen, Negeri Kabut sendiri diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul, The Land of Mists dan dimuat dalam katalog Indonesia Writers: Awardee of The S.E.A Write Award (Jakarta: Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1997). (Hal. 158).

Mengambil latar belakang di negara Thailand, cerita bergerak oleh narasi dari sang tokoh yang melakukan pengembaraan. Ia singgah di sebuah bukit perbatasan antara Negeri Thai dan Negeri Kabut—negeri yang tidak terdapat dalam peta. (Hal. 02).

Sebelum sampai ke sana, ia sempat menumpang bermalam di sebuah kuil. Ketika ia terbangun, ada seorang Biksu yang meminjamkan sebuah tas punggung tenunan rami padanya. Ia berbicara soal Negeri Kabut. Namun ia melanjutkan, “kelak aku akan memintanya kembali.” (Hal. 03). Tentu saja terkesan janggal, sebab si tokoh sendiri ragu kalau ia akan melintasi lagi kuil tersebut. Hal-hal yang menjadi teka-teki akan terjawab setelah ia sampai ke daerah dan bertemu penduduk Negeri Kabut.

Pada cerpen kedua, Seno kembali menampakkan keliaran imajinasinya. Ia berpijak pada fakta-fakta soal kehidupan sosial negaranya pada tahun tersebut. Di cerpen, Seorang Wanita dengan Rajah Kupu-Kupu di Dadanya ia sempat menyentil soal konflik sosial antara penguasa dan masyarakat. Semisal Gali, para preman bertato yang ditembak mati dan hilang misterius, juga perkara pelacur dan prostitusi yang menjamur.

Berbeda di cerpen sebelumnya, pada cerpen, Ada Kupu-Kupu, Ada Tamu Seno bermain-main dengan firasat dan kepercayaan orang-orang akan mitos yang berkembang di lingkungan masyarakatnya tinggal. Namun tentu tidak begitu saja ceritanya terjawab seperti tertulis di judulnya. Tamu yang dimaksud adalah Malaikat Maut. Ia bermain-main dengan simbol kematian. Kupu-kupu semakin tidak terbendung dan datang bergerombol memasuki ruang tamunya, “Berjuta-juta kupu-kupu memenuhi pandanganku. Kurasakan pegangan istriku terlepas. Aku mencoba berteriak memanggilnya, tapi tak kudengar lagi suaraku sendiri.” (Hal. 43).

Bukan Seno si Pangeran Senja namanya kalau ia tak menuliskan tema perkara kesenduan. Pada cerpen, “Rembulan Terapung di Kolam Renang” akan Anda dapati narasi yang ringan tetapi berhasil membuat hati galau. Paragraf pembukanya saja sudah sangat mengena dan nanjep ke ulu hati, “Kesedihan seperti rembulan yang terapung di kolam renang. Rembulan itu mengambang di kolam renang di halaman belakang rumahku—kesepian, kecewa dan merana.” (Hal. 44). Seno selalu bermain-main dan menghadirkan metafora yang terasa baru dan segar.

Buku ini pun tak lepas dari tema silat yang biasa Seno angkat di buku-buku terdahulunya, sebut saja seperti, Panji Tengkorak Menyeret Peti. Dilengkapi dengan ilustrasi adegan silat dan pertarungan dari buku pertamanya.

Negeri Kabut menunjukkan pola-tingkah serta pengelanaan para tokoh dari suatu tempat ke tempat lain, dari satu persinggahan ke persinggahan lain, juga dari satu perasaan ke perasaan lain. Setiap karakter membawa misi sekaligus tidak membawa misi tertentu. Ia mengalir layaknya kehidupan nyata yang kita alami. Ia tidak menunjukkan cara penyelesaian suatu masalah. Cerpen-cerpen ini lebih memperlihatkan betapa pilihan selalu datang, tinggal bagaimana cara kita menyikapinya. Barangkali, pengembaraan bisa dijadikan alternatif ketika rutinitas hidup sudah terasa monoton dan menjemukan. Namun pada akhirnya, segala keputusan tetap ada di tangan masing-masing—tentu dengan segala resiko yang menyertainya.[]

Cilegon, 30 November 2016



You Might Also Like

0 komentar