Saksi Bisu Beribu Kematian (Banten Raya, 26 April 2014)

November 03, 2014


Tambun. Mungkin itu yang akan banyak diucapkan saat melihat sosok tua berusia lanjut dengan kumis daplang, tebal menutupi sebagian bibirnya yang maju. Ya, tak aneh jika ia dijuluki Pak Gemblong oleh warga di sekitar tempat tinggalnya, karena perutnya yang besar dan benyai yang serupa penganan berbahan dasar ketan, dan tak jauh beda kulitnya serupa kulit cicak.
Siang itu, langkahnya beringas mengais pangan, entah apa yang ada dalam pikirannya. Kusti anak semata wayangnya yang masih belia, dipaksa untuk berjalan cepat. Sang istri pun geleng-geleng melihat tingkah lakunya, namun ia selalu menuruti apa yang dituturkan kepadanya.
Kusti terkulai lemah saat melalui tempat yang gelap dan sedikit becek, meski baginya itu hal yang lumrah dilewati sepulang sekolah. Pak Gemblong tidak mau tahu, salah sendiri Kusti ingin ikut bersamanya mencari tambahan lauk, gerutunya dengan penuh emosi.
“Cepat! Sepertinya, di depan kita banyak makanan.”
“Sabar, Pak. Kusti ‘kan masih kecil, kasian dong...”
Bocah kurus itu berusaha  menyamakan irama kaki Ibu dan Bapaknya walau dengan terseok-seok dan napas yang mulai terengah-engah. Sepertinya ia tengah kehabisan oksigen.
“Bentar lagi, Kus!” seru Ibunya kemudian, mencoba menyemangati buah hatinya.
***
Meski sepanjang jalan itu penuh liku dan tanpa segaris cahaya pun mengintipnya, keluarga pemburu makanan itu berhasil menemukan titik terang. Di ujung persimpangan terlihat lalu lalang kendaraan.
“Sudah terlihat, segera pacu lajumu!”
Istri Pak Gembong mulai muak dengan tingkah suaminya. Sudah lama ia memendam kekesalan karena tingkah Pak Gemblong yang sudah di luar batas. Namun lagi-lagi, saat ingin menegur, ia tak berani berkata apa-apa ketika sorot mata suaminya yang menghunjam tajam, ditambah dukungan kumis tebalnya yang begitu menakutkan.
Kusti dan Ibunya tertinggal jauh dari Pak Gemblong.
“Kau enak berlari, sedangkan aku, harus membawa kantung makanan yang beratnya melebihi berat badanmu,” batinnya meledak, sambil tangan yang lainnya menggandeng pergelangan Kusti. Bagi keluarga Pak Gemblong, memang sudah biasa jika harus berjalan terbungkuk-bungkuk dan itu wajar di mata teman-temannya, tetapi yang membuat istrinya geram ialah karena begitu teganya seorang bapak meninggalkan gerak langkah anak dan istrinya. Itu sudah kelewatan, katanya kesal.
“Kenapa sih, Bu, Bapak tergesa-gesa sekali, apa ini masih kurang?!” bibir Kusti akhirnya berceloteh juga.
“Entahlah, Kus. Padahal Ibu rasa ini cukup untuk dua hari, Bapak terlalu egois dan tamak, ia tidak ingin makanan yang ada di sudut jalan sana diambil oleh teman-temannya.”
Kusti memilih untuk mengunci mulutnya yang juga mancus mirip dengan Pak Gemblong.
***
“Ah, kesempatan!” lengkingnya keras, saat kepalanya ia dongakkan. Kedua matanya membulat melihat lampu lalu lintas sedang menyala merah. Tentu akan leluasa baginya menyeberangi jalan untuk menepi ke sebuah restoran yang jadi tujuan utamanya sejak awal. Istri dan anaknya masih mengekor di belakang. Keduanya turut senang, karena waktu istirahat akan mereka temukan, setelah keinginan suaminya tercapai tentunya.
“Cepat, Bu! Cepat!!!” lagi-lagi ia lantang meneriaki mereka.
Bapak tua itu memasang kuda-kuda untuk berlari. Saat matanya menerawang di antara padatnya beraneka kendaraan yang berhenti menanti lampu hijau, di seberang telah terlihat teman-temannya berjalan melintas di sana dan berjarak tidak jauh dari restoran.
“Sial! Mereka sudah di sana!”
Tanpa menunggu lama laju kaki istri dan anaknya yang membawa kantung makanan, ia memilih untuk lebih dahulu sampai ke seberang. Ia tidak mau jatah miliknya di restoran diserobot oleh teman sekampung, keras hatinya berujar.
Di langkah tiga seperempat, sejenak ia menghentikan lajunya, kepalanya yang tak kalah besar dengan perutnya itu menoleh ke arah kanan, ia penasaran karena mendengar suara sirene mobil ambulans yang tengah melaju dengan kecepatan penuh.
“BLAAMM!!!”
Bunyi aneh terdengar lekat menyeruak di kedua daun telinga istri dan anaknya. Sungguh pemandangan yang sulit diterima matanya, ketika salah satu ban depan mobil ambulans menggilas perut Pak Gemblong yang tambun. Usus halusnya terburai ke segala arah, kepalanya tergiling pada putaran roda berikutnya. Bercak darah menciprat tepat di wajah istrinya yang berdiri tak jauh dari tempat kecelakaan.
Istri dan anaknya bergeming entah berapa detik. pandangan mereka nanar menyaksikan peristiwa yang sungguh belum bisa mereka percayai. Sesaat air mata merembas dari kedua matanya. Sedang wajah Kusti entah memasang ekspresi yang sulit diceritakan.
“BAPAAAKKK!!!”
Teriaknya tak beraturan, tangisnya pecah namun tertutup oleh suara deru kendaraan dan mesin knalpot yang bising di saat lampu lalu lintas sedang merah menyala. Kusti harus rela menjadi anak yatim menyusul Eman, Lukas, Roni dan teman lainnya yang juga mengalami nasib yang sama, di tempat yang sama. Satu lagi, seekor tikus harus meregang nyawa di saat kemacetan ibu kota dan lampu merah lagi-lagi menjadi saksi bisu beribu kematian nan kelabu.[]

Trotoar Jogjakarta, 29 Maret 2014

You Might Also Like

0 komentar