Pages

  • Home
  • Privacy
  • Sitemaps
  • Contact
  • About Me
facebook instagram twitter youtube

Quadraterz.com

    • My Book
    • Cerpen
    • Novel
    • Esai
    • Puisi
    • Buku Antologi
    • Ulasan
    • Media
    • [Self-Depression]
    • Rumah Baca Garuda
    image by: kibul.in
    Di usia ke-27 saya dipaksa khawatir soal pernikahan. Bagi saya, dewasa bukan soal angka. Dan kalau menikah dianggap tanda dari fase kedewasaan seseorang, saya lebih baik ke Timbuktu saja, menemani Donald Bebek yang, meski cerewetnya minta ampun, ia masih lebih baik ketimbang bacot tetangga yang gemar bertanya, “kamu kapan nikah?” atau “kapan nyusul?”—yang kecepatannya bisa melebihi cahaya ketika hari lebaran tiba.
    Saya ingin cari angin segar, kata saya sebelum ibu bertanya, “mau ke mana?” seperti biasanya. Kunci saja, saya bawa duplikatnya, susul saya sebelum resmi menutup pintu dengan rapat—dan sebelum pertanyaan kedua ibu mencuat.
    Ini malam ketiga saya ada di rumah, dan tiga kali pula saya menemukan sepah buah seri bergelimpangan di terasnya. Mulanya saya kira bulatan tak sempurna yang tak lebih besar dari kancing baju itu adalah tahi wirog atau kambing atau keduanya. Namun lima menit sebelum magrib tadi, saya ingat betul waktunya lantaran sedang menonton bokep yang sialnya gagal orgasme di menit akhir, ibu mengetuk pintu kamar saya. Saya hanya ber-hmm agak keras dari dalam. Untungnya ibu tidak memaksa saya membuka kunci pintu saat itu juga—sebab akan sangat merepotkan ketika tubuh bongsor saya harus mencari ke mana sempak dan kolor yang tadi saya lempar, di belantara kamar saya.
    Kemudian ibu berkata sedikit lantang dari luar, “besok pagi tolong perbaiki atap depan. Codot sudah mulai bersarang lagi di sana. Ibu capek membersihkan lantai, apalagi sepah seri yang lengket itu.” Saya menduga kalau ibu masih akan terus berdiri di sana sebelum saya ber-hmm untuk kedua kalinya..., oh tidak, maksud saya tiga kali, sebab kalimat berikutnya menyusul, “mandi sana. Sebentar lagi magrib. Solat, Run, kamu sudah besar.” Saya yakin setelah bicara begitu ia kembali duduk di depan televisi sambil menunggu acara dangdut dimulai. Lagi pula, sejak kapan ibu melihat badan saya kecil?
    Setelah tahu di lantai itu ternyata sepah seri, saya menendangnya sekalian. Sial betul codot yang masih sepupuan dengan kampret itu. Dia yang dapat manisnya, saya yang dapat sepahnya. Mana bisa tubuh tambun begini menaiki atap, Bu. Saya jadi semakin yakin seseorang yang membuat pribahasa, “habis manis sepah dibuang” mengalami hal yang sama seperti saya; bertubuh besar, disuruh ibunya memperbaiki atap, dan sebelum melakukannya ia menendangi sepah di lantai sebanyak lima kali sambil meratapi dirinya yang baru ditinggal mantannya menikah.
    Ya, kalau kau ingin tahu alasan saya pulang ke rumah, selain karena uang habis, tak lain karena Ardhelia menikah. Sekuat-kuatnya lelaki, ketika mendengar kabar orang yang masih disayanginya dipersunting lelaki lain, tentu hatinya akan hancur. Apalagi terlalu banyak kenangan di indekos dengannya, saya belum sanggup untuk kembali ke sana. Saya perlu menata hati, ya, paling tidak sampai ada panggilan kerja dari salah satu perusahaan yang kemarin saya ajukan lamaran.
    “Hi, kawan lamaku, lesu betul kayak tisu kesiram aer.” Sungguh suara seseorang yang ingin saya hindari bahkan sebelum saya dilahirkan. Lebih-lebih mendengar tawanya itu yang mirip suara tikus di loteng yang terjepit genting.
    “Oi, Man...,” saya menoleh, lalu tertawa ala kadarnya. Si muka bopeng itu malah berjalan mendekat.
    “Minggu depan bantu-bantu, ya.”
    Saya hanya ber-hmm ditambah sedikit anggukan.
    “Kapan, nih, nyusul?” Si keparat tampak ingin belaga. Kalau saja saya habis menenggak bir dua botol, pasti sudah saya jotos hidung babinya itu. Tapi toh, saya memilih diam. Sesekali berusaha menghindar dari rangkulan badannya yang menguarkan bau kakus terminal yang sebulan belum disiram.
    “Aku kok, masih heran, ya. Bisa-bisanya Sandra mau aku nikahi, padahal kata teman-teman aku ini jelek, kamu lebih sering bilang gitu, kan?” ia terbahak sembari memberi bukti kalau barisan gigi kuningnya mengalahkan warna kecapi matang.
    “Kau akan disebut lebih beruntung kalau Makhsi mantannya tak membunuhmu sebelum pernikahan,” kata saya sedikit menciutkan nyalinya.
    “Kamu ada masalah, apa, toh? Mana mungkin Makhsi berani sama Herman anak Lurah Hasan. Punya apa dia?”
    “Paling tidak, sekarang kau sudah bisa menjawab pertanyaanmu sendiri,” ucap saya enteng. Ia tampak tersinggung.
    “Ah, gayamu, Badrun,” dengusnya kesal. “Omong-omong, sudah kerja apa sekarang? Eh, tunggu, sarjana sastra biasanya kerja apa, sih?”
    Kalau saya jawab secara serius, ia pasti tidak akan paham. Kalau saya jawab bercanda pun ia pasti mengira saya sedang serius. Satu-satunya meladeni orang sepertinya adalah dengan, “Warung kopi Mang Mahdum, yuk. Kita lanjut ngobrol di sana. Sudah lama aku tidak ditraktir anak Pak Lurah,” kelakar saya menggamit bahunya, dengan sedikit lebih keras.
    “Ditanya apa jawab apa. Kamu duluan saja, aku masih ada urusan. Maklum, seminggu lagi nikah. Banyak hal yang harus disiapkan,” tangkisnya seperti biasa. Herman, sejak saya kenal di bangku SD, dia satu-satunya anak yang tidak mau berbagi apa pun. Kami menjulukinya kepiting, tentu tanpa sepengetahuan dia. Dan kalau saya pikir lagi, kepiting terlalu mewah untuk disandingkan dengannya.
    Pertama, ia jalannya rada miring, itu benar secara harfiah, karena kakinya pernah terserempet sepeda motor dan pelakunya baru keluar penjara setelah sepakat membayar upeti setiap bulan pada Lurah yang katanya punya kenalan banyak polisi itu. Kedua, ia juga senang “mencapit”. Kalau saya pinjam bahasa ibu, ia termasuk anak yang memen atau kerahang atau pengenan. Apa yang orang lain makan ia selalu minta. Kami para temannya tahu ia diberi jajan yang lebih, tetapi meditnya minta ampun, bahkan untuk dirinya sendiri. Kalau kau pernah lihat sekerumunan kepiting ditaruh dalam ember, kau akan tahu apa maksud saya. Ketika mereka hendak keluar dan menyelamatkan diri, pasti satu atau dua kepiting di bawahnya akan menyeret dan menariki kaki kepiting yang sudah sampai di puncak.
    Itu yang yang pernah dilakukan Herman sewaktu saya dan beberapa teman hendak kabur saat jam pelajaran dulu. Rosyid korbannya, dan sejak saat itu ia bersumpah setelah lulus tidak akan lagi mengenalnya. Kalau saja ada program komputer yang bisa menghapus ingatan soal itu, ia pasti yang baris paling depan untuk memakainya. Rosyid saat itu sudah ada di atas tembok pagar. Herman, yang tanpa kami ajak ternyata ikut keluar kelas. Ia menarik-narik kaki Rosyid dan memintanya untuk dibantu naik. Lantaran kesal, Rosyid menendang-nendangi mukanya. Saya dan Aji yang sudah ada di luar pagar sebelum lonceng masuk, tertawa terbahak-bahak. Dan bagian ketika sepatu Rosyid mengenai lobang hidung Herman-lah yang tidak pernah kami lupakan. Bagian terbaiknya!
    Nah, yang membuat saya tidak sepakat adalah pada poin ketiga ini; kepiting saat dijual di restoran-restoran atau warung makan sea food pinggir jalan, ia memiliki harga jual yang cukup tinggi ketimbang jenis lauk lainnya. Lah, si Herman, siapa pula yang mau menawar harga tinggi untuknya andai ia dijual di pasar loak sebelah pasar Kranggot sana? Ada yang menanyai harganya saja sudah prestasi. Jadi, maksud saya bicara begini agar kalian tahu kalau alasan Sandra mau menikah dengannya hanya karena Herman anak satu-satunya Pak Lurah. Cukup diracun ketika hendak ngewe malam pertama saja, orang tuanya pasti tidak akan curiga—barangkali malah bersyukur. Dan Sandra, sudah mengantongi mahar yang lumayan mahal yang konon dimintanya sebelum dilamar.
    Saya biarkan Herman berbelok ke gang menuju rumahnya. Urusan apa, bullshit. Palingan dia cuma mau tidur sambil ngocok dan memandangi foto Sandra yang bohai itu. Kadang saya miris sekaligus merasa lucu, orang-orang seperti Herman, yang terlahir dari keluarga kaya, apa tidak bosan menjalani hidupnya? Hidup adalah perjuangan, mungkin sebaris kalimat motivasi itu tidak pernah ia rasakan. Sekolah hasil nyogok—karena otaknya mentok dan ia menolak tidak mau lanjut kuliah—, kerja di perusahaan besar pakai orang-dalem, dan hanya untuk gaya-gayaan, lalu apa pun yang dimintanya selalu dituruti. Hidup, kok, mudah betul. Kasian sekali, kau, Herman!
    “Kopi hitam satu, Mang.”
    “Pakai gula?”
    “Nggak usah, Mang. Pahit aja.”
    Bertemu orang-orang seperti Herman-lah yang membuat saya tidak betah lama-lama di kampung. Lagipula untuk apa terburu-buru menikah? Tetapi herannya, di kampung, teman lelaki seusia saya hampir semuanya sudah menikah bahkan sudah punya dua anak. Orang macam dia, di pikirannya barangkali hanya soal ngewajang, selangkangan, pamer kekayaan, adu gengsi dan mengukuhkan, “gue bisa elu kagak!”. Ketika saya mendapati informasi kalau negara lain berkompetisi dalam ilmu pengetahuan, di kampung saya malah berkompetisi soal pacar atau istri siapa paling bahenol.
    “Ini, Run, kopinya.”
    “Nuhun, Mang.
    Mang Mahdum kembali ke dapur. Lalu terdengar suara piring dan gelas saling beradu, juga suara air dari keran. Malam sepekat kopi. Sedang dinginnya sedingin hati saya yang gamang. Tiba-tiba pertanyaan Herman tadi menyeruak di benak saya. Sial! Ibu juga sering bertanya apa kerjanya seorang sarjana sastra? Guru, bapak lekas menjawab di dalam kepala saya. Sewaktu bapak masih hidup, ia yang paling mendukung. Sialnya ia meninggal sewaktu saya di semester lima. Bukan meninggalnya yang membuat saya sedih, tetapi biaya dari mana untuk melanjutkan semester berikutnya? Ibu hanya pedagang kecil-kecilan. Ia membuka warung di depan rumah. Bapak yang seorang guru honorer tidak mendapatkan pesangon, selain sumbangan belas kasihan dari teman sepekerjaan. Saya harus putar otak untuk bisa membiayai kuliah. Beruntung ada seorang kawan di perantauan yang mengerti keadaan saya. Ia menawari saya pekerjaan sebagai editor buku di penerbitan kecilnya. Lumayan. Paling tidak saya bisa membuktikan kalau saya bisa lulus dari hasil jerih payah sendiri, melanjutkan biaya yang ditanggung bapak dan ibu di awal masuk kuliah.
    “Kamu masih kerja di temanmu itu?” pertanyaan ibu tiga hari lalu.
    “Sudah lama berhenti, Bu.”
    “Kenapa?”
    Saya berjalan menuju kamar setelah melepas sepatu. “Bangkrut kantornya, Bu. Saya, ya, nulis-nulis saja di koran,” terang saya secukupnya.
    Lamunan saya buyar ketika dua orang datang ke warung kopi dengan tergopoh-gopoh.
    “Lihat orang lewat sini, nggak, Mang?”
    “Kalau pun saya lihat, saya nggak ingat mukanya, Mang, dan nggak peduli juga, sih,” kata saya malas.
    “Bawa motor?” susul Mang Mahdum, “kalau Mamang, sih, tadi lihat bolak-balik depan warung. Dua orang boncengan. Kayak orang nyasar, tapi nggak tahu lagi terus ke mana.”
    “Wah, benar, itu dia orangnya!”
    “Ada apa gitu, Mang?” tanya Mang Mahdum. Sementara saya lihat dari gang rumah Herman orang-orang tampak tergesa-gesa, saling celingungan dan setengah berlari.
    “Teror, Mang, teror! Ada yang nggak seneng sama Si Herman. Pulang-pulang dia babak belur, Mang. Ada yang cegat dia di jalan.” Setahu saya dari gang yang tadi Herman lalui, untuk sampai ke rumahnya tidak terlalu jauh. Tetapi sebelum rumah Pak Lurah memang ada jalan kecil dan pohon-pohon besar; semi-hutan. Khas perkampungan tempo dulu. Saya tidak mau terlibat percakapan lebih jauh dan tak peduli soal kontur wajah Herman bonyok atau rahangnya hancur. Justru saya berharap itu akan mengubah presisi wajahnya agar lebih enak dipandang.
    “Kamu benar nggak ngelihat siapa-siapa, Run?” seseorang lainnya menepuk bahu saya.
    “Soalnya Herman cerita kalau dia habis ketemu kamu sebelum gang itu,” pria satunya menyahut. Heran, sudah berapa lama saya tidak pulang kampung sampai banyak wajah yang asing di mata saya.
    “Sudah saya katakan, saya tidak tahu. Tak peduli,” saya bangkit. “Berapa, Mang?”
    “Tiga ribu,” sahut Mang Mahdum.
    “Ini, Mang. Nuhun.” Kemudian saya memilih untuk menjauhi kerumunan. Mengganggu saja!
    Saat jalan pulang, ponsel saya berbunyi. Sebuah pesan singkat masuk. Tertulis namanya Rosyid. Saya sedikit lupa Rosyid yang mana. Lalu saya buka pesannya, “Run, saya sedang di depan rumahmu, nih. Keluar dong. Mau mampir. Saya berdua sama Makhsi!” Seketika saya ingat, ia ternyata yang tadi saya ceritakan, Rosyid yang pernah dicapit Herman saat SMA dulu. Tak biasanya ia datang bersama adiknya. Akhirnya ada kawan untuk berbincang, ucap saya senang. Saya berjalan lebih cepat, tak sabar ingin menemuinya.[]

    Cilegon, 06 Januari 2018


    Continue Reading
    foto pribadi: haul kakek dan kakak
    Pak Ruslan sudah tiba di depan sekolah. Bel pulang berbunyi. Pandangannya tertuju pada ruang kelas 3, di sanalah anak semata wayangnya belajar. Anak-anak berebut keluar kelas. Satu di antaranya terselip bocah gempal berlarian. Ia langsung menuju gerbang sekolah. Senyumnya rekah.
    “Halo Ayah!”
    “Hai, Budi. Ayo lekas naik motor. Kita pulang,” sahut Ayahnya. Mereka pun gegas menuju rumah.

    Ketika sampai rumah, Ibunya bertanya, “Bagaimana sekolahmu? Ada PR, nggak?”
    Budi menjawab dengan wajah yang lesu dan tampak capek. “Ada, Bu. Tentang Pancasila. Budi hapal, tapi Budi nggak ngerti.”
    “Memangnya apa tugasnya?” tanya Ayah nimbrung.
    “Bu Guru minta kita menjelaskan maksud dan nilai-nilai dari setiap bulir Pancasila.”

    Mendengar itu ayahnya tersenyum, lalu berkata, “Oh, gampang, nanti ikut Ayah ngeriung habis Ashar.” Budi tidak mengerti maksud ayahnya, apa hubungan dari nilai Pancasila dengan ngeriung, tapi toh ia akhirnya nurut juga.

    Saat ikut hadir pada riungan dan mendapatkan posisi duduk, Ayahnya mulai menjelaskan. “Apa sila pertama, Budi?” dengan mantap Budi menjawab, “Ketuhanan yang Maha Esa.”

    Lalu Ayahnya menjelaskan. Dalam riungan, kita memuja dan memuji Tuhan yang Maha Esa, itu berarti kita telah mengamalkan sila pertama. Ayahnya bertanya lagi, “Sila kedua apa?”

    Budi yakin menjawab, “Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Ayahnya bangga memiliki putra secerdas Budi.
    “Coba kamu perhatikan dari setiap orang yang hadir dalam riungan ini. Secara berpakaian, posisi duduk, bahkan tempat duduknya sama rata sama rasa. Itulah nilai yang ada dalam sila kedua,” Ayahnya menjelaskan. Budi memandang sekelilingnya, ia mulai paham dan mengangguk-angguk.
    “Sekarang, apa sila ketiga?”
    Budi tampak berpikir sejenak. “Persatuan Indonesia.” Ayahnya menunjuk ke bagian barat. “Lihat, kamu tahu Pak Poltak orang mana?”
    “Dari Medan, Yah.”
    “Betul. Nah, lalu di sebelahnya ada Pak Sarwono dari Jawa. Di depannya ada Pak Beta dari Papua dan lain-lain. Kamu tahu maksud Ayah apa?” Budi menggeleng tak paham.
    “Mereka itu, meskipun berbeda-beda, tetapi, dalam riungan ini mereka bersatu. Duduk bersama dan membaca puja-pujian yang serempak. Itulah nilai dari sila ke....”
    “Ketiga, Yah!” Budi memotong. Ayahnya menepuk bahunya bangga.
    “Betul sekali. Sekarang apa sila keempat?”
    “Budi lupa-lupa ingat, Yah. Kepanjangan....” Budi menundukkan kepalanya.
    “Ayo bareng-bareng,” Ayahnya mulai mengucapkan perlahan, karena riungan masih berlangsung, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan.” Budi mulai teringat kembali.
    “Kamu lihat siapa yang memimpin riungan ini? Tuh, yang ada di tengah.”
    “Yang mimpin Pak Kiai Rosyid. Guru ngaji Budi, Yah.”
    “Benar. Pak Kiai Rosyid-lah yang memandu puja-pujian, yasinan dan tahlilan. Ayah dan Budi kali ini sebagai rakyatnya. Dan dari sinilah sebagai pemimpin dan rakyat harus saling bijaksana dan menghargai. Penunjukkan pemimpin doa pun lewat musyawarat dulu kan? Lalu Pak Kiai mewakili kita semua. Inilah makna sila keempat,” kali ini ayahnya menjelaskan cukup panjang.
    Rezeki nggak ke mana, alhamdulillah menang juara 3, padahal lombanya nulis reportase, gue nulis cerpen tetep menang. Kata salah satu juri bisik, "Kalo ini lomba cerpen, kamu juara 1!" lantas gue ngakak hahaha~
    Acara riungan pun sudah sampai pada akhir. Pak Kiai Rosyid sekarang sedang memimpin doa. Ketika doa selesai, pemilik rumah mulai membagi-bagikan berekat atau besek kepada semua yang hadir termasuk Budi dan Ayahnya.

    “Hayuk sekarang kita pulang,” mereka berdiri. Tetapi Budi masih memasang wajah bingung.
    “Tunggu dulu, Yah. Kan pancasila ada lima. Sila kelima-nya apa?”
    “Hmm..., apa bunyinya?”
    “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” jawab Budi mantap sambil berjalan pulang.
    “Nah, ini.” Ayahnya menunjukkan besek/berekat yang ada digenggamannya. “Inilah nilai dari sila kelima. Semua dibagi rata dan mendapatkan berekat setelah usai riungan.” Mendengar jawaban itu, Budi mulai lega. Ia kini paham makna dan nilai pada bulir-bulir Pancasila. Tetapi, saat akan belok ke gang, ia melihat Pak Kiai Rosyid membawa dua berekat. Sedangkan ia dan bapaknya masing-masing satu. Ia protes.
    “Ayah, katanya keadilan sosial, tapi kok Pak Kiai dapatnya dua?”
    “Nak, kamu nanti akan tahu, adil itu tidak mesti sama. Lihat pohon mangga di rumah itu, kira-kira ayah butuh tangga nggak untuk mengambilnya?”
    “Hmm..., nggak, Yah. Ayah kan tinggi. Kalau Budi baru perlu tangga.”
    “Nah, itulah. Kalau misal tangga itu buat Ayah, apakah adil?”
    Budi menggeleng sesaat, lalu ia tersenyum.
    “Budi laper, nggak?”
    “Laper banget, Ayah.”
    “Ayo kita balapan sampai rumah. Kita makan berekat ini bareng Ibu,” ajak ayahnya. Budi tidak mau kalah. Ia memulai lari lebih dulu. Ayahnya mengikuti dari belakang.[]


    Serang, 20 Maret 2018


    Juri yang lain pas nyalamin saya bilang, "tulisan kamu bikin berat buat saya nentuin pemenangnya," lagi-lagi saya cuma ngakak hahaha~ *iseng-iseng berhadiah~





    _________________________________________

    *) tulisan ini diikutsertakan dalam event menulis Flash Blogging dengan tema, "Implementasi Nilai-nilai Pancasila dalam Bermedia Sosial" yang diselenggarakan oleh Kominfo dan Pemerintahan Provinsi Banten di Hotel Le Dian, Serang, (20/03/18).





    #Flashbloggingbanten



    Continue Reading
    image by: biem.co
    Ciri paling mendasar bahwa seseorang sudah tua adalah ketika ia mengingat-ingat masa lalunya. Masa kejayaannya selama ia hidup di dunia ini. Barangkali, itulah cara ia agar, paling tidak, merasa bisa hidup lebih lama. Sebab ia mulai ditunjukkan batas-batas masa depannya lewat suara batuk yang kelewat sering, kepala gampang pening, minus mata bertambah, rekreasi penyakit dalam tubuh dan anggota badan yang lambat ketika bergerak.

    Seno Gumira Ajidarma (SGA) melalui bukunya, Kentut Kosmopolitan (Koekoesan, 2008) berhasil menangkap fenomena tersebut. Di salah satu esainya berjudul, “Menjadi Tua di Jakarta” (hal. 39) berbicara mengenai kehidupan orang-orang yang hidup di kota metropolitan. Manusia seolah dihidupkan hanya untuk bekerja. Melangkahkan kaki, mengendarai sepeda motor atau mobil dengan tergesa-gesa. Tidak ada waktu untuk memandang sekitar, berinteraksi dengan orang-orang yang ditemui, atau bahkan sekadar menghirup udara segar. Saking sibuknya ia sampai tak sadar kalau usia terus bertambah, keriput di wajah semakin kentara dan bagai menyaksikan sebuah penampilan sulap, ia dibuat takjub karena telah menjelma menjadi seorang tua.

    April nanti usia saya genap 25 tahun. Angka yang tepat untuk melangsungkan pernikahan, seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Tempo hari saya menghadiri pernikahan seorang teman di masa sekolah dulu. Ia bukan yang pertama. Di lingkaran pertemanan seusia saya, hampir setengahnya dari jumlah bangku di kelas dulu sudah menikah. Ketika bertemu dengan mereka, sebab waktu berkumpul terbaik dan paling kumplit adalah saat menghadiri acara pernikahan teman, saya dengan sedikit ragu berkata, “ternyata kita sudah tua”. Hampir semua dari mereka tergelak, kecuali seseorang dalam diri saya. Ia menolak menjadi tua. Banyak hal yang masih ingin ia kerjakan. Menjadi tua, di pikirannya, adalah menjadi seseorang yang tidak bisa lagi melakukan banyak hal sesuka hati. Terlampau banyak aturan dan ada sesuatu yang harus dipertimbangkan sebelum dikerjakan.

    Menjadi tua adalah ketika kebebasanmu sama artinya dengan ketiadaan. Isi kepala pun akan berganti; bukan lagi soal jalan-jalan, bersenang-senang dengan sahabat, melakukan apa yang disukai, vokal menanggapi isu sosial, belaga idealis, pulang larut malam atau seminggu kemudian dan melakukan banyak kenakalan lainnya. Kepalamu, ketika tua nanti hanya akan berisi; kenangan indah masa muda, memenuhi keperluan rumah tangga, biaya sekolah anak, investasi hari tua, menimbun harta dan sebagainya dan sebagainya. Kebebasanmu tercerabut bahkan sejak dalam pikiran. Prioritas utama adalah keluarga dan bukan lagi menghibur diri sendiri.
    Kebebasan masa muda dan masa tuamu adalah dua hal yang memiliki makna yang berbeda. Ketika kamu bisa makan daging kambing dan durian dalam waktu yang bersamaan, di masa tua itu adalah kebebasan. Lain hal dengan mengembala kambing lalu bersembunyi di semak-semak dan melempari pohon durian di ladang orang lain dengan batu-batu. Paling tidak, saya berani menyampaikan suara seseorang dalam diri saya ini. Betapa keras kepalanya ia ketika menolak menjadi tua.

    Di usia muda, ketika kamu bekerja pada orang lain dan kamu merasa tidak cocok keesokan harinya, kamu bisa mengundurkan diri saat itu juga. Tiada hal yang perlu dipertimbangkan matang-matang. Ya, untuk setuju. Tidak, untuk menolak. Gejolak darah mudamu masih sangat dominan meski lebih sering lepas kontrol. Sedangkan ketika kamu beranjak tua, ketika hidupmu bukan lagi hanya untuk dirimu, percayalah, arti sebenarnya dari ya dan tidak akan kabur dalam benakmu.
    Suka atau tidak dengan pekerjaan, hati dan pikiranmu akan berusaha untuk membuat kepalamu mengangguk, tanpa memberikan opsi lain. Dan bisa jadi kamu merasa itulah pilihan yang bijaksana. Padahal, kamu melakukan sesuatu bukan lagi dilandasi atas dasar dedikasi dan etos kerja. Di dalam tempurung kepalamu hanya ada uang, naik jabatan, menjilat atasan, menjadi kaya raya dan mati masuk surga. Kamu akan melakukan itu semua sebelum masa pensiun tiba!

    SGA melihat ada dua tipe orang ketika menghadapi masa pensiun: pertama, mereka yang takut masa pensiun datang lebih awal, bahkan pensiun adalah momok yang mereka anggap bahwa segalanya sudah selesai. Kedua, orang-orang yang meminta pensiun lebih cepat, karena sadar betapa waktu hidup ini sangat terbatas untuk menyelesaikan sesuatu yang betul-betul dikehendakinya, sehingga ia merasa harus pensiun sekarang juga agar bisa segera benar-benar bekerja.
    Jadi, masih menurut SGA, kita sudah melihat tiga kemungkinan: (1) masa tua sebagai masa hidup baru yang menggairahkan, dan ini tentu menyenangkan; (2) masa tua sebagai masa menjelang kematian saja, dan meskipun orangnya pasrah ini sangat menyebalkan; (3) masa tua yang sebenarnya masih potensial, tapi tidak mendapat jalan keluar, dan inilah yang bikin frustasi, karena tiada ruang produktif bagi orang tua dalam masyarakat Indonesia, kecuali bisa menjadi musisi dan legenda hidup seperti Iwan Fals.

    Di Jepang, seni origami, seni melipat kertas menjadi bentuk-bentuk burung, katak, kura-kura dan banyak lagi adalah seni untuk manula—bukan untuk balita. Dengan kata lain orang tua dengan segala kapasitasnya tetap dipandang sebagai makhluk produktif, dan karya origami dihargai dengan penuh kasih atas sesama, sama seperti menghormati orang tua.

    Menjadi tua adalah sebuah keniscayaan—andai kau berumur panjang. Cepat atau lambat masa itu akan tiba. Menggantungkan segala kebutuhan dan keperluan pada mereka yang lebih muda barangkali bisa diminimalisir bila kita nanti bisa berkata, “cukup, biarkan saya melakukannya sendiri.”—dan di sanalah letak kebijaksaan yang sesungguhnya sebagai orang tua telah dimulai.

    Sering kita temui, di perusahaan-perusahaan banyak pelamar yang didominasi usia muda (fresh graduation). Itu bukan lantaran orang tua tidak mau bekerja, tetapi memang aturannya yang membatasi mereka. Banyak pula kita dapati, bahkan mungkin kita sendiri, memperlakukan orang tua yang masih sehat sebagai barang antik, dipelihara dan diberi makan, tetapi tidak dibiarkan bekerja.

    Sementara orang tua sendiri, tulis SGA, mesti tidak merasa enak, tidak juga merasa bersalah dengan penganggurannya—karena sudah terbentuk pendapatnya, bahwa menjadi tua hanya berarti siap untuk meninggalkan dunia.

    Kita tidak tahu andaikata ada orang yang beranjak tua masih bersikeras ingin mengejar cita-citanya, tetapi ruang dan waktunya kita batasi. Bila masa mudanya sudah terkekang oleh rutinitas pekerjaan, siapa tahu ia ada upaya di usia tua nanti, ketika masa pensiun tiba ingin melakukan sesuatu sesuai keinginannya.
    Jangan sampai seperti kata SGA, alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.[]
    Cilegon, 22 Januari 2018


    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Novel Adaptasi: YUNI

    (GPU | 174 halaman | Rp. 63.000)

    [PRE-ORDER]

    Pengunjung

    About me

    Photo Profile
    Ade Ubaidil, Pengarang, Cilegon-Banten.

    Pria ambivert, random dan moody. Gemar membaca buku dan berpetualang. Bermimpi bisa selfie bareng helikopter pribadinya. Read More

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: Apa yang Kita Bicarakan di Usia 26?

    (Epigraf | 164 halaman | Rp. 50.000)

    [PESAN]

    Bedah Buku Dee Lestari

    Bedah Buku Dee Lestari

    bedah buku #sbtml

    bedah buku #sbtml
    Bedah Buku di SMK Wikrama, Bogor pada: 23 April 2018

    Workshop & Seminar

    Workshop & Seminar

    Popular Posts

    • [RESENSI] NOVEL: HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (GPU, 2015)
    • Musim Layang-Layang (Pasanggarahan.com, 30 Oktober 2015)
    • [MY PROFILE] Terjerembap di Dunia Literasi: Lahan untuk Memerdekakan Pikiran (Utusan Borneo-Malaysia, 13 Desember 2015)

    Blog Archive

    • ►  2012 (5)
      • ►  October (3)
      • ►  December (2)
    • ►  2013 (41)
      • ►  January (1)
      • ►  March (5)
      • ►  April (4)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  August (1)
      • ►  September (3)
      • ►  October (3)
      • ►  November (16)
      • ►  December (5)
    • ►  2014 (20)
      • ►  January (2)
      • ►  April (3)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  July (1)
      • ►  September (1)
      • ►  November (6)
      • ►  December (4)
    • ►  2015 (21)
      • ►  February (5)
      • ►  March (2)
      • ►  April (3)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (5)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
      • ►  December (1)
    • ►  2016 (31)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  April (2)
      • ►  May (4)
      • ►  June (1)
      • ►  July (2)
      • ►  August (5)
      • ►  September (4)
      • ►  October (5)
      • ►  November (2)
      • ►  December (3)
    • ►  2017 (41)
      • ►  January (4)
      • ►  February (3)
      • ►  March (8)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  June (8)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (3)
      • ►  November (4)
      • ►  December (3)
    • ▼  2018 (24)
      • ►  January (3)
      • ►  February (2)
      • ▼  March (3)
        • [Esai] Seni Menjadi Tua dan Bijaksana (Biem.co, 03...
        • [Cerpen] Budi Bertanya Soal Pancasila
        • [Cerpen] Seni Hidup Lelaki Bujang (Kibul.in, 20 Ma...
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  November (4)
      • ►  December (2)
    • ►  2019 (16)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (3)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (14)
      • ►  January (1)
      • ►  February (1)
      • ►  March (2)
      • ►  April (1)
      • ►  May (2)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (1)
      • ►  November (1)
      • ►  December (2)
    • ►  2021 (15)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  April (1)
      • ►  May (1)
      • ►  June (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (3)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  December (1)
    • ►  2022 (30)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  May (3)
      • ►  June (5)
      • ►  July (1)
      • ►  August (4)
      • ►  September (3)
      • ►  October (2)
      • ►  November (2)
      • ►  December (7)
    • ►  2023 (5)
      • ►  January (4)
      • ►  February (1)

    Followers

    youtube facebook Twitter instagram google plus linkedIn

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top