Pages

  • Home
  • Privacy
  • Sitemaps
  • Contact
  • About Me
facebook instagram twitter youtube

Quadraterz.com

    • My Book
    • Cerpen
    • Novel
    • Esai
    • Puisi
    • Buku Antologi
    • Ulasan
    • Media
    • [Self-Depression]
    • Rumah Baca Garuda
    image by: Biem[dot]co

    Sebagaimana kita ketahui, Cilegon dan Serang—untuk mudahnya, sebut saja Provinsi Banten—memiliki salah satu sebutan yang cukup berat disandang. Tasikmalaya, Kajen, Kendal, Magelang, Jombang, Pasuruan, Martapura dan tentu saja kota-kota di Banten memiliki julukan yang sama pula, yakni Kota Santri. Asal mulanya tak lain karena di beberapa kota yang disebutkan itu banyak berdiri pondok pesantren dan madrasah yang sebagian namanya sudah cukup dikenal khalayak ramai. Oleh karenanya, stigma masyarakat luar akan kota-kota tersebut jelas sekali sama rata. Warga dan orang-orang yang tinggal pasti memiliki spiritualitas yang adiluhung; menerapkan ajaran-ajaran Islam dalam kesehariannya; dan menjunjung tinggi norma-norma dan nilai-nilai religiositas antar sesama. Namun, sekarang sepertinya (hampir) tidak berlaku—hilang jatidiri.

    Di zaman serba cepat dan canggih ini, pemanfaatan akan perkembangan teknologi seringkali tidak tepat guna. Sebagian besar cara pandang penggunanya tak lebih seperti kaum hedonisme. Akan ketinggalan zaman apabila tidak memiliki gadget super canggih, begitu salah satu pola pikir yang berkembang di masyarakat. Dan tentu saja asumsi demikian pun menyerang mindset para calon cikal-bakal cendikiawan santri. Jelasnya begini, tentu tak ada yang salah dengan kehadiran dan pesatnya kecanggihan teknologi, kita tak bisa menafikan hal itu. Karena sejatinya teknologi bersifat netral; bisa bermanfaat maupun midharat tergantung siapa yang menggunakannya. Semisal kitab-kitab kuning atau kitab gundul beralih media; yang tadinya di halaman buku yang berlembar-lembar, sekarang berwujud digital. Dan itu sama sekali bentuk pemanfaatan yang baik. Sayangnya, di lain sisi, hadirnya media digital menjauhkan kita pada hal-hal yang dekat.

    Santri, yang beridentitas memiliki kehidupan sederhana, berkarakter santun dan mempunyai attittude yang baik, perlahan-lahan tergerus oleh perubahan zaman. Sifatnya yang membumi dan pandai bermasyarakat dewasa ini cukup jarang kita jumpai. Yang ada sibuk dengan kesehariannya masing-masing dan tidak mengimplementasikannya langsung ke masyarakat. Semisal berbaur, bersinergi dan bertukar gagasan. Jelas sekali di sinilah pe-er kita semua; bukan hanya pengasuh pondok maupun si santri itu sendiri. Tetapi peran kita, dalam hal ini masyarakat, sangat dibutuhkan. Teknologi tidak mengajarakan atau berusaha menjadikan kita penganut apatisme. Akan tetapi sifatnya berbanding lurus dengan siapa yang memegang kendali. Sebab kitalah yang memimpin sistem, bukan sebaliknya.

    Sekadar menyebut satu contoh, ketika kemarin memperingati datangnya awal bulan Rabiul Awal (Maulid). Di sebagian kampung dan desa yang masih menerapkan adat-istiadat leluhur atau tetua, biasanya melaksanakan tradisi tersebut. Berkumpul di masjid, memanjatkan doa untuk kebaikan dan bersalawat mengenang hari lahirnya Rasulullah, Nabi Muhammad SAW; membaca kitab Barjanzi (rowi) serta pembacaan Yalil dan Marhaban. Bagi yang berkenan, biasanya membawa berekat alakadarnya untuk nantinya dibagi-rata—seperti nasi uduk, nasi yamin, ketan, dll. Tentu tradisi ini memiliki filosofi tersendiri. Keseluruhannya  memiliki makna kebersamaan, keutuhan dan persaudaraan yang penuh dengan nilai-nilai silaturahim. Dan tentu saja hal semacam itu tidak boleh hilang dan tergerus zaman; baik di kampung-kampung—terlebih di wilayah Cilegon dan Serang—maupun di daerah lainnya.

    Sayangnya kekhawatiran itu mewujud nyata. Sebelum acara dimulai, dan mungkin bukan hanya di kampung kami, bunyi kaset rekaman orang mengaji (qori) diperdengarkan. Merdu? Jelas merdu dan fasih. Tetapi tetap saja, esensi dan nilai eksistensi dari tujuan yang ingin dicapai belum sempurna terejawantahkan. Pertanyaan besar lantas timbul; ke manakah para santri yang menetap-tinggal di kampung tersebut? Atau tidak adakah warga yang kompeten untuk mengaji fasih meski tak semerdu suara kaset rekaman dari qori-qori nasional dan internasional itu? Sedang daerah tersebut menyandang julukan Kota Santri? Di titik inilah kesadaran kita dipertaruhkan. Akankah kita mempertahankan tradisi atau membiarkan terlena dan terjebak oleh berkembangnya teknologi digital yang kian pesat? Atau jangan-jangan, “memutar kaset rekaman mengaji” sudah menjadi tradisi yang nantinya akan diwariskan secara turun-temurun ke anak-cucu? Sementara orang-orang, yang tinggal di lingkaran Kota Santri, akan menjauhi majlis secara perlahan; melaksanakan ibadah sesuka hati dan tidak tepat waktu, bahkan hingga meninggalkan budaya silaturahim antar sesama. Na’udzubillah.

    Betapa akan sangat menakutkan dan ironi andaikata sebuah keluarga yang rumahnya tinggal bersebelahan namun tidak mengenal siapa tetangganya? Masih adanya “bocah” santri adalah harapan, keberlangsungan untuk hidup bermasyarakat adalah tujuan. Kota Santri jangan biarkan hanya menjadi kenangan, tetapi patut dilestarikan. Inilah pe-er kita sekalian. Tentu saja.[]
    Cibeber-Cilegon, 13 Desember 2015




    *) Esai ini telah dimuat di media online Biem[dot]co: KLIK DI SINI

    Ade Ubaidil, orang kampung yang terlahir di Desa Cibeber. Mahasiswa di Universitas Serang Raya (UNSERA) dan Alumni madrasah Aliyah Al-Jauharotunnaqiyyah Cibeber. Pendiri Rumah Baca Garuda.
    Continue Reading


    Mula-mula saat menganggur, tak tahu mau berbuat apa, saya iseng pergi ke rental komputer atau Warnet (Warung Internet)—sebab belum memiliki komputer sendiri. Ketika itu saya baru saja lulus dari sekolah Madrasah Aliyah (MA), sekitar tiga tahun lalu. Selagi menanti pengumuman penerimaan mahasiswa baru di salah satu Perguruan Tinggi, saya memutuskan untuk mencari kesibukan di sela-sela waktu nan senggang itu.

    Sebuah informasi didapat. Pada salah satu website, memuat berita perlombaan yang diadakan oleh sebuah penerbit indie. Lomba menulis puisi. Saya girang, meskipun tak pandai pun menulis sajak/puisi. Alih-alih mengurungkan kehendak, saya tetap berniat mengirimkan tulisan untuk lomba tersebut. Modal nekat sahaja. Sebab, bila ditilik ke beberapa tahun sebelumnya saat itu, di bangku Madrasah Tsanawiyah (MTs), saya pernah menulis sebuah diary pada buku catatan, serupa novel—meski sampai sekarang belum pernah diketik ulang dan dirampungkan. Dalam jeda waktu yang cukup lama, saya sempat tak menulis lagi. Bisa dibilang semacam trauma dan merasa diri tak berbakat menulis. Karena saat MTs dulu pernah pula mengikuti lomba serupa dan kalah. Tetapi kali ini lain hal, saya nak coba mulai lagi dari awal. Maka mengirimkanlah saya lima buah puisi ke email panitia lomba itu.

    Usai mengirimkan, saya lupa dengan lomba tersebut. Mulai disibukkan dengan pendaftaran kuliah, sebagai mahasiswa baru di Universitas Serang Raya (UNSERA), Fakultas Teknologi Informasi, jurusan Sistem Komputer. Dan diterimalah saya. Betapa senang hati saat itu. Kemudian, di saat hati sedang berbunga-bunga, diliputi rasa bahagia, ditambahlah pula dengan informasi melalui email kalau hanya tiga buah puisi saya yang lolos kurasi—di antara ratusan penulis lainnya. Singkat kisah puisi saya itu masuk dalam antologi dan dibukukan bersama 50 penyair muda Indonesia, berjudul “Kejora yang Setia Berpijar (FAM Publishing, 2013).”

    Sungguh tak disangka-sangka. Itulah awal mula tulisan pertama saya yang dibukukan. Lantas semangat saya terus bertambah dan menggebu. Meski sempat kesulitan karena belajar menulis secara otodidak, sebab di tempat lahirku, Cilegon-Banten, bisa dibilang peminat dunia literasi kurang menggeliat saat itu. Kemudian saya berinisiatif mencari informasi-informasi di jejaring sosial Facebook. Di sana ternyata banyak grup-grup kepenulisan. Salah satu grup kepenulisan yang pertama kali saya ikuti adalah Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia. Dengan mengusung slogan, “dakwah bilqalam” membuat saya kian termotivasi dan berhasil membakar semangat saya untuk menginspirasi banyak orang. Sampai akhirnya saya menjadi anggota resmi di grup tersebut. Kemudian lambat-laun satu per satu grup kepenulisan saya ikuti. Dengan kegiatan yang beragam, semisal: bedah karya, bincang bersama penulis ternama, sharing-sharing bahkan sampai kopi darat (Kopdar)—bertemu di dunia nyata dan mengadakan kegiatan.

    Saya kian larut dalam dunia literasi ini. Seperti seorang bocah yang penasaran pada sesuatu, dengan ilmu yang kurang mumpuni hingga membuatnya terjerembab ke sebuah dunia yang dalam sekali. Namun beruntungnya, meski begitu, ternyata dunia ini begitu indah. Saya rela terjerembap selamanya di dunia tulis-menulis ini. Akhirnya saya memilih untuk menekuninya, sekalipun saya tak ada background sebagai penulis—baik dari keluarga maupun konsentrasi pendidikan.
    Kemampuan saya pun terus merambah, bukan hanya menulis puisi. Semua saya jajal, mulai dari menulis prosa: cerpen dan novel; resensi buku, surat, esai, artikel hingga jurnal ilmiah.

    Sejak saat itu pula banyak perlombaan yang saya ikuti, hingga detik ini, tak sedikit kekalahan yang harus saya terima. Namun demikian, karena reaksi tergantung pada aksi, sesuai dengan usaha dan kerja keras yang terus-menerus, Alhamdulillah, beberapa prestasi pun berhasil saya rengkuh. Salah satunya yang paling terbaru dan membanggakan adalah memenangi sebuah lomba menulis resensi buku yang berhadiah jalan-jalan secara free ke negara Singapura selama tiga hari. Beruntung saya mendapatkan  juara ketiga.

    Kemudian saya juga mengikuti berbagai pelatihan menulis seperti di Kelas Menulis Rumah Dunia angkatan ke-23, Kampus Fiksi angkatan ke-7, juga terpilih menjadi salah satu peserta Akademi Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2014 selama tiga bulan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Saya banyak dibimbing oleh penulis-penulis kenamaan di Indonesia, seperti; Muhammad Subhan, Aliya Nurlela, Edi Mulyono, Gol A Gong, Reni Erina, Sulak (A.S Laksana), Yusi Avianto Pareanom, Linda Christanty, Eka Kurniawan, Hetih Rusli, Muhammad Rois Rinaldi dan banyak lagi lainnya, yang dilain kesempatan mungkin bisa saya sebutkan secara rinci.

    Di pertengahan tahun 2013, buku tunggal pertama saya terbit. Sebuah kumpulan cerita pendek berjudul, “Air Mata Sang Garuda (AG Litera, 2013)”. Beberapa karya pun tersiar di banyak media massa semisal: Utusan Borneo Malaysia, Majalah Femina, Majalah Ummi, Inilah Koran, Tabloid Ruang Rekonstruksi, Koran Radar Banten, Banten Raya (Jawa Pos Group) serta di dalam buku antologi bersama yang jumlahnya puluhan.

    Empat bulan lalu, tepatnya bulan Agustus 2015, sebuah novel yang saya cita-citakan akhirnya berhasil terbit di salah satu penerbit mayor di Indonesia. Berkisah tentang persahabatan dan percintaan anak remaja berjudul, “Kafe Serabi (de TEENS, lini DIVA Press, 2015). Tentu hal tersebut adalah sebuah pencapaian tertinggi dalam karir kepenulisan saya. Namun meski begitu, saya tidak boleh terlalu larut dan merasa puas diri. Sebab, karya-karya saya masih jauh dari kata sempurna. Perlu lebih banyak karya lagi yang bermutu, yang harus segera saya telurkan.
    Semua ini tentu tak lepas dari bimbingan dan hasil brainstorming bersama penulis-penulis yang lebih senior dan profesional serta dukungan orangtua, keluarga juga teman-teman. Beruntung saya mengenal mereka. Tentu saja salah satu media yang berkontribusi cukup besar adalah Facebook. Dari sana saya mengenal dan bisa bertegur-sapa sekaligus berbincang dengan penulis-penulis ternama di Indonesia, bahkan di lintas negara seperti; Malaysia, Thailand, Singapore, Taiwan, Hongkong dan banyak lagi. Semakin banyak jaringan dan kawan bersilaturahim.

    Dengan menulis, saya bisa menciptakan semesta sendiri. Saya bertanggung jawab pada tokoh-tokoh rekaan saya. Tentu saja berharap mereka bisa menginspirasi banyak orang. Bermanfaat bagi para pembacanya. Dengan menulis, saya bisa bersuara. Melepaskan diri dari kungkungan aturan-aturan yang membelenggu. Inilah di mana dunia bisa saya rengkuh dan buat sesuka hati. Lahan untuk memerdekakan pikiran, kemudian mengabadikannya di dalam benak para pembaca.(*)
    Cilegon, 27 November 2015
    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Novel Adaptasi: YUNI

    (GPU | 174 halaman | Rp. 63.000)

    [PRE-ORDER]

    Pengunjung

    About me

    Photo Profile
    Ade Ubaidil, Pengarang, Cilegon-Banten.

    Pria ambivert, random dan moody. Gemar membaca buku dan berpetualang. Bermimpi bisa selfie bareng helikopter pribadinya. Read More

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: Apa yang Kita Bicarakan di Usia 26?

    (Epigraf | 164 halaman | Rp. 50.000)

    [PESAN]

    Bedah Buku Dee Lestari

    Bedah Buku Dee Lestari

    bedah buku #sbtml

    bedah buku #sbtml
    Bedah Buku di SMK Wikrama, Bogor pada: 23 April 2018

    Workshop & Seminar

    Workshop & Seminar

    Popular Posts

    • [RESENSI] NOVEL: HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (GPU, 2015)
    • Musim Layang-Layang (Pasanggarahan.com, 30 Oktober 2015)
    • [MY PROFILE] Terjerembap di Dunia Literasi: Lahan untuk Memerdekakan Pikiran (Utusan Borneo-Malaysia, 13 Desember 2015)

    Blog Archive

    • ►  2012 (5)
      • ►  October (3)
      • ►  December (2)
    • ►  2013 (41)
      • ►  January (1)
      • ►  March (5)
      • ►  April (4)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  August (1)
      • ►  September (3)
      • ►  October (3)
      • ►  November (16)
      • ►  December (5)
    • ►  2014 (20)
      • ►  January (2)
      • ►  April (3)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  July (1)
      • ►  September (1)
      • ►  November (6)
      • ►  December (4)
    • ►  2015 (21)
      • ►  February (5)
      • ►  March (2)
      • ►  April (3)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (5)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
      • ►  December (1)
    • ▼  2016 (31)
      • ▼  January (2)
        • [MY PROFILE] Terjerembap di Dunia Literasi: Lahan ...
        • [ESAI] Pe-er Bagi Daerah Berjuluk Kota Santri (Bie...
      • ►  February (1)
      • ►  April (2)
      • ►  May (4)
      • ►  June (1)
      • ►  July (2)
      • ►  August (5)
      • ►  September (4)
      • ►  October (5)
      • ►  November (2)
      • ►  December (3)
    • ►  2017 (41)
      • ►  January (4)
      • ►  February (3)
      • ►  March (8)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  June (8)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (3)
      • ►  November (4)
      • ►  December (3)
    • ►  2018 (24)
      • ►  January (3)
      • ►  February (2)
      • ►  March (3)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  November (4)
      • ►  December (2)
    • ►  2019 (16)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (3)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (14)
      • ►  January (1)
      • ►  February (1)
      • ►  March (2)
      • ►  April (1)
      • ►  May (2)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (1)
      • ►  November (1)
      • ►  December (2)
    • ►  2021 (15)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  April (1)
      • ►  May (1)
      • ►  June (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (3)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  December (1)
    • ►  2022 (30)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  May (3)
      • ►  June (5)
      • ►  July (1)
      • ►  August (4)
      • ►  September (3)
      • ►  October (2)
      • ►  November (2)
      • ►  December (7)
    • ►  2023 (5)
      • ►  January (4)
      • ►  February (1)

    Followers

    youtube facebook Twitter instagram google plus linkedIn

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top