Pages

  • Home
  • Privacy
  • Sitemaps
  • Contact
  • [PROFIL] TENTANG ADE UBAIDIL
facebook instagram twitter youtube

Quadraterz.com

    • My Book
    • Cerpen
    • Novel
    • Esai
    • Puisi
    • Buku Antologi
    • Ulasan
    • Media
    • [Self-Depression]
    • Rumah Baca Garuda

    Beberapa waktu lalu, jurnal sains Nature melansir data dari ilmuwan Stanford University tentang beberapa negara di dunia dengan penduduk termalas berjalan kaki. Negara Indonesia menduduki peringkat pertama. Saya tidak terkejut, karena saya termasuk di dalamnya. Artikel berikutnya menyusul, tentang alasan warga Indonesia kenapa malas jalan kaki. Ada yang bilang karena cuaca yang panas, infrastruktur yang tidak memadai, dan karena segalanya kini sudah dimudahkan dengan adanya teknologi. Saya lebih sepakat karena jalan kaki bukan bagian dari kultur kami saja. Berbeda dengan Jepang dan Hongkong yang sudah mendidik warganya sejak usia dini untuk biasa berjalan kaki.

    Tujuh hari terakhir saya mulai giat bersepeda. Alternatif gerak tubuh selain jalan kaki. Bersepeda adalah sebuah rencana yang sudah cukup lama saya ingin wujudkan namun baru terjadi bulan Juli kemarin. Alasan saya satu, ingin bersepeda supaya tubuh lebih sehat dan berumur panjang. Walaupun urusan usia ada di tangan Tuhan, tetapi ini salah satu bentuk ikhtiar saya.

    Dan lagi, belakangan, barangkali tiga tahun terakhir, masyarakat Indonesia terkena demam bersepeda, terlebih di masa pandemi Covid-19. Alasannya jelas, banyak dari mereka mulai menyadari pentingnya hidup sehat, meningkatkan imun tubuh, dan mencari hiburan atau hobi baru. Bukan hanya masyarakat umum, tetapi kalangan artis, tokoh publik, dan bahkan pejabat turut meramaikan dan mengampanyekan untuk giat bersepeda.

    Hal baiknya, kebiasaan bersepeda bisa menjadi solusi bertransportasi dan menjadi alternatif demi mengurai kemacetan dan mengurangi polusi udara yang selama ini disumbang oleh pengguna mobil dan motor. Kita sudah semestinya membangun kesadaran untuk mengurangi penggunaan kendaraan bermotor. Tubuh kita harus lebih banyak bergerak dengan mengayuh sepeda, berjalan kaki, dan membiasakan diri menggunakan transportasi umum.

    Saya lahir dan besar di kota yang letaknya berada di ujung barat laut Pulau Jawa, di tepi Selat Sunda. Kota Cilegon dikenal sebagai kota industri. Walaupun kota kami kecil, tetapi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Cilegon tahun 2022 ini cukup besar, yakni sekitar 1,78 triliun per tahun. Sebutan lain bagi Kota Cilegon adalah kota baja mengingat kota ini merupakan penghasil baja terbesar di Asia Tenggara. Sayangnya, fasilitas untuk pesepeda masih jauh dari kata layak.

    Tata kotanya pun jauh dari kata elok, walaupun di pemerintahan saat ini ada usaha untuk memperbaiki tata kelola kota, tetapi akan terlihat sekali perbedaannya ketika kita, misalnya, membandingkan dengan kota Tangerang Selatan, salah satu kota di Provinsi Banten, yang jaraknya 85 kilometer dari Cilegon. Mulai dari menataan lampu jalan di trotoar, tiang listrik yang sembarangan dengan kabelnya yang semerawut, dan lagi, di kota Cilegon belum ada jalur khusus pesepeda.

    Boro-boro jalan untuk pesepeda, hak pejalan kaki saja seringkali diambil alih oleh warung-warung pinggir jalan. Belum lagi tata bangunan dan toko-toko di trotoar yang tidak ada nilai seninya sama sekali, tidak enak dipandang mata.

    Selain itu, keputusan saya membeli sepeda di tahun ini karena berbarengan dengan rumah baru saya yang sudah selesai direnovasi. Ada proyeksi besar di kepala saya bahwa setiap perjalanan dari rumah orang tua ke rumah saya akan ditempuh dengan menggowes pedal karena tidak memakan waktu yang lama. Kami masih tinggal di wilayah yang sama, yakni di Kota Cilegon.Rumah orang tua saya berada di kecamatan Cibeber, sementara rumah baru saya di kecamatan Jombang. Jaraknya kira-kira 5 km.

    Rumah pertama saya menjelang usia 30 tahun.

    Kalau saya sudah mahir menggowes, saya ingin melakukan perjalanan ke Kota Serang dengan mengendarai sepeda. Biasanya, menggunakan sepeda motor dibutuhkan waktu kurang lebih 30 menit, saya penasaran, berapa waktu yang saya butuhkan untuk sampai ke sana dengan sepeda.

    Luas wilayah Kota Cilegon hanya 175,5 km2. Barangkali dengan sepeda kamu bisa mengitarinya seharian─saya pernah melihat story Instagram teman saya yang sering bersepeda setiap harinya 100 km. Gila!

    ***

    Pada hari pertama, saya sangat bersemangat. Bahkan ketika paket sepeda yang saya pesan via marketplace sampai di sore hari─saya memang pesan online─saya buru-buru menghubungi keponakan yang sudah lebih dahulu memiliki sepeda untuk membantu saya merakit sepeda tersebut. Rasanya, saya ingin hari itu lekas pagi.

    “Pulang Jam berapa?” tanya saya melalui pesan WhatsApp. Sebelumnya saya memang sudah mengatakan kalau saya sedang memesan sepeda dan minta tolong untuk dirakitkan, saya tak punya alat-alat tempur-nya. Ega, nama keponakan saya, menyanggupinya, dan punya waktu luang sepulang bekerja.

    “Bakda Magrib baru sampai rumah,” balasnya singkat. Lalu saya mengatakan kalau pukul 20.00 WIB saya akan mengunjungi rumahnya dengan membawa sepeda yang baru setengah dirakit. Bila kau pesan sepeda via daring, 80% sepedamu sudah dirakit. Kau hanya perlu merangkai bagian ban depan, stang, rem depan belakang, dan juga shifter.

    Apa hanya saya yang mengalami ketika sedang menunggu sesuatu, waktu entah kenapa berjalan lebih lambat? Saat itu saya hanya mesti bersabar menunggu tiga jam tetapi rasanya seperti sepuluh jam. Namun selama apa pun, saya toh akhirnya bisa melaluinya. Pukul 20.00 WIB, saya pergi ke rumah Ega dan membawa sepeda seberat 14 kilogram itu. 

    Beruntungnya jarak rumah kami hanya sepelemparan batu, saya hanya perlu berjalan kaki melewati dua rumah untuk sampai di rumah Ega. Konon, dibanding berat sepeda kebanyakan, sepeda saya termasuk ringan. Saya sengaja memang memilih sepeda United tipe Fixie Slick 700 hybrid, tipe klasik, berbeda dengan tipe sepeda yang sedang ngetren pada umumnya, sehingga ringan dibawa untuk jalanan beraspal maupun medan tanah seperti pegunungan.

    Singkat cerita kami mengeluarkan sepeda dari kardusnya. Lalu tak butuh waktu lama, sepeda saya sudah tampak wujudnya seperti gambar, walaupun ada beberapa spare-part tidak sesuai, seperti ring pedal dan bonus lampu belakang yang dijanjikan tidak ada. Saya sudah merelakan itu karena begitulah risiko yang kita hadapi bila berbelanja via online, tetapi masalah baru muncul. Yakni ketika shifter selesai dipasang, ia tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Setiap akan pindah gigi, selalu gagal.

    “Nggak bunyi ceklek,” kata Ega meniru suara bagaimana seharusnya shifter itu bekerja.

    “Ada-ada saja, ya. Terus gimana, dong?” kata saya bingung. Sebab, saya sama sekali awam soal ini.

    “Coba minta ganti sama penjualnya. Atau dibawa ke bengkel di Jombang Kali,” ucap Ega. Saya setuju mencoba cara kedua.

    Setelah sepeda berhasil dirangkai oleh Ega.

    Terakhir saya dibelikan sepeda oleh orang tua saat selesai disunat, saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Itu pun membelinya menggunakan uang upah atau persenan dari saudara dan tetangga yang menjenguk dan mendoakan kesembuhan saya. Sejak itu saya jarang, nyaris tak pernah, sepedaan lagi. Apalagi ketika saya sudah belajar mengendarai sepeda motor saat saya di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), ke mana-mana saya selalu menggunakannya. Sepeda saya di masa SD sudah rusak. Ada sepeda milik bapak, tetapi saya sudah merasa tidak cocok untuk mengendarainya.

    Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ada 136,13 juta unit kendaraan bermotor pada tahun 2020 di Indonesia. Tercatat, pulau Jawa menyumbang jumlah terbanyak mencapai 81,88 juta unit atau 60,15% dari total nasional. Berdasarkan jenisnya, jumlah kendaraan bermotor paling banyak di Indonesia adalah sepeda motor pada tahun lalu. Jumlahnya mencapai 115,02 juta unit. 

    Sementara itu, data terbaru di tahun 2021, tercatat sepeda motor di Kota Cilegon sebanyak 174.582 unit yang digunakan. Pengguna sepeda masih jauh dari angka itu. Sepeda motor pun memberikan kenyamanan berkendara dan tidak perlu repot-repot mengayuh seperti sepeda. Kamu hanya tinggal menyalakan mesin lalu menarik gasnya. Selain itu, harga motor pun semakin terjangkau, bahkan bisa kredit dan dicicil. Untuk jarak tempuh yang cukup jauh, menggunakan sepeda akan memakan waktu lebih lama tentunya. Sejauh ini, alasan saya memilih sepeda motor memang masuk akal.

    Keesokan paginya, pagi sekali, saya sudah bangun. Tidak seperti biasanya memang. Sebelum punya sepeda, seusai salat Subuh saya akan melanjutkan tidur. Namun berbeda dengan pagi itu. Saya sudah bersih-bersih, mengganti pakaian, lalu mengeluarkan Black Slebew─nama panggilan sementara untuk sepeda saya─dari kandangnya. Saya pamit kepada orang rumah untuk pergi menggowes sepeda seorang diri.

    Hal pertama yang saya rasakan ketika berada di atas sepeda adalah rasa tidak nyaman ketika duduk di atas jok sepeda yang ramping ini. Boleh dikatakan, bokong saya cukup besar, butuh penopang yang lebih besar, suatu hari sepertinya saya bakal mengganti jok sepedanya. Bisa jadi, ini alasan kenapa orang-orang lebih senang mengendarai sepeda motor.

    Saat pertama mencoba, saya sedikit gugup. Apalagi pengaturan joknya dibuat tinggi. Digowesan pertama saya nyaris jatuh lantaran belum menemukan titik penyeimbangnya. Belum lagi giginya yang tidak bisa dipindahkan, betul-betul jauh dari kata nyaman. Itu pula alasan saya ingin cepat-cepat memperbaiki sepeda ini di bengkel.

    Pukul 06.30 WIB saya sudah berada di depan kedai bubur ayam. Saya melewati jalan belakang, yang walaupun jalannya penuh lubang di sana-sini, saya tetap memilih melaluinya. Pagi yang penuh dengan “penyiksaan” diri sendiri. Bahkan saya harus sabar menunggu pejalan kaki yang hendak mengantarkan anak-anaknya pergi ke sekolah. Belum lagi para pedagang nasi uduk dan menu sarapan lain di kiri dan kanan jalan. Pagi yang riuh.

    Smartwatch yang saya kenakan di pergelangan tangan kiri dan sudah terintegrasi ke ponsel memberitahu saya bahwa sudah 2 kilometer lebih saya menggowes sepeda. Angka yang bagus bagi seorang pemula seperti saya. Saya mengapresiasi diri saya sendiri.

    Lantaran napas mulai tidak teratur, saya berhenti sejenak untuk sekadar mengisi perut yang kosong. Saya sarapan bubur ayam di kedai yang mulai ramai itu.

    Saya agak kesulitan memarkirkan sepeda. Pertama karena tidak ada tempatnya, lokasi kedai bubur itu di depan pelataran sebuah ruko yang masih tutup. Kedua, sepeda saya tidak memiliki standar samping, jadi saya harus mencari tiang atau dinding untuk menyandarkannya. Awalnya memang jadi perhatian orang-orang, khususnya pelayan bubur, saya melihat ia memerhatikan sepeda saya dengan saksama.. Akhirnya saya sandarkan pada tiang yang menyangga atap bagian depan ruko itu.

    “Satu porsi, Mas. Jangan pakai daun bawang,” kata saya ringkas.

    “Baik, Mas,” jawabnya sopan. Ia menuangkan teh hangat dalam gelas kecil lalu menyodorkannya pada saya. Sembari menunggu pesanan, saya duduk di sebuah kursi kayu yang panjangnya satu meter lebih.  Kemudian, saya mencari alamat Herman Bike yang disarankan keponakan saya di Google Map. Ketemu. Rupanya ada nomor kontak yang bisa dihubungi. Saya bergegas meneleponnya untuk mengetahui jam berapa bengkelnya buka.

    “Benar dengan Herman Bike?” tanya saya setelah sebelumnya mengucapkan salam.

    “Iya, betul. Ada yang bisa dibantu?”

    “Bengkel hari ini buka jam berapa, ya?” kata saya lagi tidak berbasa-basi. Ia mengatakan pukul 07.30 WIB buka. Satu jam lagi, pikir saya. Lalu saya mengatakan akan mengunjunginya. Ia mempersilakan.

    Pesanan bubur ayam saya sampai. Lekas saya lahap tanpa ba-bi-bu. Lelah juga menggowes sepeda dalam keadaan gigi/gear konstan di nomor keempat. Padahal, saya membayangkan menggowes sepeda dengan ringan, ini justru malah berat lantaran shifter tidak berfungsi. Namun, ada yang berbeda. Bubur ayamnya terasa lebih nikmat saat disantap, barangkali karena saya dalam keadaan capek ditambah tubuh mudah berkeringan, beruntungnya pagi itu terasa begitu sejuk.

    Setelah pasang keranjang dan pulang kemaleman.

    Pukul 07.00 WIB saya mulai menggowes sepeda lagi. 30 menit waktu yang cukup untuk saya sampai ke bengkel, pikir saya. Kalau di map, jarak tempuhnya kurang lebih 2,5 kilometer. Terdengar dekat, tetapi sebetulnya, rute dan medan jalan yang kudu dilalui cukup berat bila dengan sepeda, karena banyak jalan menanjak dan mesti melalui jalanan rusak.

    Saya menyalakan lagi smartwatch yang sempat saya jeda. Saya mengingat-ingat jalur mana yang mudah untuk dilalui sepeda, yang tidak banyak jalan menanjaknya tentu saja. Kaki saya mulai terasa pegal linu. Terlebih di bagian paha dan lutut. Kulit luar rasanya seperti diregangkan sampai batas maksimal, perih sekali. Namun saya yakin ini hanya efek awal, semua pemula pasti merasakan hal yang sama ketika awal bersepeda atau melakukan olahraga apa pun.

    Saat bersepeda, saya melintasi kota lewat jalur belakang, maksud saya tidak melewati jalan raya. Sebetulnya jalur belakang dan depan sama saja jalan beraspal, yang membedakan, jalur belakang ini tidak ada polisi lalu lintas, dan biasanya yang melintasi jalan hanya orang-orang yang tinggal dekat sini. Berbeda dengan jalan raya yang dilewati oleh banyak kendaraan roda dua dan empat bahkan truk-truk dan bus besar dari berbagai daerah menuju pelabuhan Merak, yang berada di ujung Kota Cilegon. Namun, jalur belakang ini bisa menghubungkan banyak desa atau kampung di Kota Cilegon, asalkan kamu hafal rutenya yang meliuk-liuk.

    Terlepas dari itu, rupanya banyak hal yang selama ini luput dari pandangan. Ketika sedang mengendarai sepeda motor maupun mobil, fokus saya hanya pada jalan lurus di depan. Namun, ketika bersepeda, saya jadi lebih detail melihat rumah, bangunan baru, pembukaan lahan yang sebelumnya seingat saya rumah-rumah lama lalu dirobohkan atau lapangan sepak bola. Kafe-kafe satu per satu tumbuh bak jamur di musim penghujan. Waktu terasa cepat sekali berlalu. Dengan bersepeda, semuanya jadi terasa lebih lambat.

    Orang-orang di setiap permukiman terus bertambah, jalanan yang biasanya lancar, kini mulai macet, padahal ada di jalan alternatif. Perlahan-lahan desa telah tumbuh menjadi perumahan dan toko-toko industri. Kota telah masuk terlalu dalam ke sudut-sudut perkampungan yang dahulu asri tetapi sekarang telah hilang wujud aslinya. Dahulu saya ingat, saat masih SMP, jalan belakang ini biasa saya dan teman-teman lewati. Jalan beraspalnya belum begitu lebar, masih banyak jalan tanah dan lapangan luas yang dipenuhi rumput ilalang dan bocah bermain sepak bola, sekarang hal itu sudah sulit ditemukan. Bila kau ingin bermain sepak bola ya mesti sewa lapangan indoor yang megah itu.

    Sebetulnya, saya kurang setuju bila para developer mendirikan perumahan di wilayah perkampungan semacam ini. Di sebuah kota yang besar, kita perlu menjaga satu titik atau beberapa lokasi agar tetap asri seperti sediakala; indah dan khas pedesaan di masa lalu. Tetapi lagi-lagi, perubahan zaman tidak pernah bisa ditolak. Satu-satunya hal yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri.

    Seketika saja mood saya berubah. Ditambah earbuds bluethooth saya memutarkan lagu mellow dari Choi Yu Ree berjudul Wish yang menjadi soundtrack dari serial drama korea Hometown Cha-Cha-Cha yang tayang di Netflix.

    Hal paling mendasar yang saya pelajari bahwa salah satu cara agar bisa menikmati serunya bersepeda adalah dengan menjaga stabilitas suasana hati (mood) kita. Sebab, mesin sepeda adalah tubuh kita sendiri.

    Berbeda misalnya ketika kita membawa mobil atau motor, saat mood kita buruk, mesin mobil dan motor akan tetap bekerja sebagaimana mestinya, bahkan kecepatannya bisa kita atur sendiri. Kalau sepeda, bergantung pada bagaimana perasaanmu hari itu, sedang stabil atau tidak, sedang baik atau buruk, sedang buru-buru atau santai. Cuaca juga memengaruhi emosimu, karena tubuh akan semakin lengket berkeringat, panas matahari membuatmu hilang fokus. Intinya, semakin mood-mu baik, maka itu akan berpengaruh pada mental dan emosimu. Namun bila mood-mu berantakan, maka jarak satu kilometer pun akan terasa begitu jauh.

    Sama halnya dengan perasaan saya yang tak menentu pagi itu. Saya membayangkan sepeda saya sudah dalam keadaan prima, tetapi malah memaksa saya mesti ke bengkel pagi hari. Ada perasaan jengkel, tetapi apa mau dikata.

    Akhirnya saya memilih untuk menepi sesaat dan membiarkan pandangan saya berkeliling ke sekitar. Rupanya tubuh saya butuh rehat lebih lama.

    Saya lihat lagi smartwatch di pergelangan kiri, jam digitalnya menunjukkan angka 07.30 WIB, sementara perjalanan saya masih jauh untuk sampai ke bengkel. Perkiraan saya betul-betul meleset pagi itu.

    Namun bisa saya pastikan, ketika kalian membaca esai saya ini, saya sudah sangat mahir bersepeda.

    Taman Cilegon, 04 Agustus 2022

      

    ________________
    *) Esai ini pernah dimuat website www.thisissoutheastasia.com dalam versi berbahasa Inggris.

    Continue Reading

    Foto: Arya Ananda Indrajaya Lukmana saat mempresentasikan aplikasi EndCorona. (doc.SIA)

    Sebulan Sebelum Covid-19 Singgah ke Indonesia
    Terhitung sejak tanggal 20 Januari 2020 sampai tanggal 08 Februari 2020 menjadi awal tahun yang berkesan bagi saya. Untuk pertama kalinya, orang kampung Cibeber ini terlibat syuting film layar lebar yang berlokasi di Provinsi Banten. Ketika pertama kali dihubungi oleh Mang Qizink, teman di Komunitas Rumah Dunia, saya sempat meremehkan: “Paling cuma bikin film pendek,” pikir saya. Namun sejujurnya saya tak menolak tawaran itu, saya malah langsung menyetujuinya tanpa bertanya perihal terkait honorarium atau semacamnya lebih dahulu─padahal setelah sekarang serius menjalani profesi menulis, hal ini adalah hal pertama yang perlu kita bahas sebelum mulai bekerja. 

    Saat itu saya dihubungi untuk membantu para aktor dan aktris berdialek bahasa Jawa Serang (Jaseng) dan Sunda Banten. Mang Qizink saat itu memang pendiri sekaligus pengurus Komunitas Bahasa Jawa Serang. Ia dihubungi PH untuk mencari tim Pelatih Bahasa (Dialect Coach). Alasan utamanya kenapa mengajak saya kala itu lantaran ia pernah menonton Youtube komunitas film saya, RSM Production, membuat film pendek berbahasa Jaseng. Selain itu tentu saja karena saya seorang penulis yang lahir dan besar di Cilegon, salah satu kota di Banten.

    Tibalah hari di mana semua kru dari departemen masing-masing berkumpul untuk memulai syuting keesokan harinya. Tanggal 19 Januari 2020 kami saling bertemu, untuk berdoa dan memotong tumpeng. Saya dikenalkan oleh Mang Qizink ke Mbak Kamila Andini, selaku sutradaranya, dan Mas Ifa Isfansyah, produser dari Fourcolours Films (sekarang Forka Film) sekaligus suami dari Mbak Dini. Film yang akan diproduksi saat itu berjudul “Yuni” film yang 95% berbahasa daerah Banten─yang di kemudian hari skenarionya diadaptasi ke dalam bentuk novel dan dipercayakan kepada saya sebagai penulisnya (barangkali bagian ini akan saya ceritakan di lain kesempatan).

    Awal Kemunculan Covid-19 Si Virus Misterius
    Ketika itu, saya ingat betul isu yang sedang hangat di media cetak maupun digital, yakni tentang kemunculan virus “misterius”. World Health Organization (WHO) pertama kali menyebutkan coronavirus disease yang ditemukan pertama kali di wuhan, China pada akhir Desember 2019 dengan novel coronavirus 2019(2019-nCoV) yang disebabkan oleh virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2). Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) adalah virus yang menyerang sistem pernapasan. Virus Corona bisa menyebabkan gangguan ringan pada sistem pernapasan, infeksi paru-paru yang berat, hingga kematian.

    Mengutip Wikipedia, konon awalnya virus corona ini ditemukan pada hewan seperti unta, ular, hewan ternak, kucing, dan kelelawar. Manusia dapat tertular virus apabila terdapat riwayat kontak dengan hewan tersebut, misalnya pada peternak atau pedagang di pasar hewan. Namun, dengan adanya ledakan jumlah kasus di Wuhan, China menunjukkan bahwa corona virus dapat ditularkan dari manusia ke manusia. Virus bisa ditularkan lewat droplet, yaitu partikel air yang berukuran sangat kecil dan biasanya keluar saat batuk atau bersin. Apabila droplet tersebut terhirup atau mengenai lapisan kornea mata, seseorang berisiko untuk tertular penyakit ini.

    Kami, yang saat itu belum paham tentang penyakitnya, menganggap sepele belaka. Bahkan kami sempat meremehkan dan menjadikan virus Covid-19 sebagai bahan bercandaan. 

    “Orang Banten, mah, kebal-kebal. Jago debus! Virus begitu doang moal mempan!”

    Kurang lebih begitu kalimat yang muncul diikuti kalimat serupa lainnya dan ditanggapi dengan tawa bersama. Kami tak sungguh-sungguh paham apa yang sedang menimpa dunia, karena saat itu hanya terjadi di China. Sampai kemudian hari itu tiba. Hari-hari berkesan saya tak bertahan lama di awal tahun 2020. Setelah syuting film selesai, tepat tanggal 02 Maret 2020, untuk pertama kalinya, pemerintah Indonesia melaporkan 2 kasus positif Covid-19 terjadi di Depok. Pemerintah menyarankan masyarakat untuk tidak panik, tetapi sebetulnya saat itu perasaan kami campur aduk. Beberapa bulan kemudian, bukan hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia, kehidupan manusia berubah total.

    Semua orang mencoba beradaptasi, aktivitas luar rumah sempat dibatasi bahkan dilarang. Manusia yang satu dan yang lainnya bila ingin bertemu mesti menggunakan masker, sekolah dan para pegawai kerja dari rumah atau Work From Home (WFH), hampir semua kegiatan secepat kilat beralih ke media daring.

    Arya Ananda Indrajaya Lukmana Si Inisiator Aplikasi EndCorona
    Sementara itu, para ilmuwan dan dokter di seluruh dunia berlomba-lomba mencari tahu obat penawarnya, sedangkan satu demi satu “korban” terinfeksi virus Corona terus berjatuhan, sebagian bertahan sebagian lainnya meninggal dunia. Jujur, saat itu saya betul-betul ketakutan virus itu bakal menyerang keluarga saya, beruntungnya, sampai hari ini kami baik-baik saja.

    Barangkali, karena berawal ketakutan itulah Arya Ananda Indrajaya Lukmana, yang juga berasal dari Cilegon, kota yang sama dengan tempat kelahiran saya membuat aplikasi EndCorona, sebuah alat digital yang berfungsi sebagai pendeteksi risiko Covid-19. Selain itu ia merasa perlu turut andil sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, hingga akhirnya menginisiasi terciptanya aplikasi ini.

    Ia berkolaborasi dengan rekannya sesama mahasiswa lintas jurusan dan disupervisi oleh tim dosen-dokter dari FKUI-RSCM. EndCorona sendiri adalah aplikasi penyedia asesmen gratis yang dapat mendeteksi risiko terkena Covid-19 sehingga masyarakat bisa mengetahui apakah dirinya masuk ke dalam kategori risiko “Rendah”, “Hati-hati”, “Rentan”, atau “Sangat Rentan”.

    Aplikasi yang ditemukannya tahun 2020 itu, tentu sangat berguna. Sebab, masyarakat benar-benar tak tahu harus bagaimana karena media simpang-siur memberitakannya. Berita hoaks berseliweran di mana-mana. Lewat aplikasi EndCorona mereka berupaya untuk mencegah penyebaran dan perkembangan kasus lebih jauh, mengedukasi masyarakat sekaligus membantu fasilitas kesehatan di Indonesia.

    Selain fitur utamanya yaitu asesmen pendeteksi gejala dan risiko, EndCorona juga dapat digunakan untuk mengakses informasi dan edukasi mengenai Covid-19 mulai dari situasi terkini penyakit, hotline darurat provinsi, hingga pembasmi hoaks seputar Covid-19 yang disusun berdasarkan jurnal, literatur dan referensi yang terpercaya. Fitur WhatsApp helpline yang disambungkan dengan Tim Dokter FKUI-RSCM juga disediakan untuk memberikan informasi lebih lanjut bagi pengguna yang mendapatkan hasil risiko “Rentan” atau “Sangat Rentan”.

    Pembentukan program pengabdian masyarakat melalui EndCorona murni bertujuan untuk sosial tanpa mengejar keuntungan ekonomi. Mereka merasa bahagia hanya dengan melihat karyanya dapat bermanfaat untuk mewujudkan Indonesia yang sehat dan segera pulih dari Pandemi Covid-19. Mereka bahkan mengorbankan waktu dan tenaganya untuk mewujudkan keinginan mencegah membludak dan kolapsnya fasilitas kesehatan yang bisa membahayakan banyak pihak.

    Berkat ketulusan dan inisiasinya membantu sesama inilah Arya Ananda Indrajaya Lukmana diganjar penghargaan dan menerima apresiasi dari SATU Indonesia Awards 2020 yang diprakarsai oleh Astra Group. Pemuda seperti Arya inilah yang dibutuhkan Indonesia di hari depan. Kita bisa menyiapkan diri, tidak ada kata terlambat untuk menyambut Indonesia Emas 2045.

    Tahun 2045 merupakan momentum bersejarah, karena Indonesia genap berusia 100 tahun atau satu abad Indonesia. Hal ini yang menjadi salah satu alasan munculnya ide, wacana, dan gagasan Generasi Emas 2045. Indonesia 2045 masih 22 tahun lagi dari sekarang. Namun, pada dasarnya bibit-bibit unggul seperti Arya sudah ada dari sekarang, dan SATU Indonesia Award merangkumkan nama-nama yang berperan aktif dari tahun ke tahun untuk kemajuan Indonesia, dan mencatatkannya menjadi semacam ensiklopedia orang-orang keren yang lewat gagasan dan bakatnya akan menjadikan Indonesia negara yang bermartabat!

    Cilegon, 06 November 2023

    Continue Reading
    image by: TulusCompany.
    Kamis, 19 April 2018, musisi kenamaan Indonesia, Tulus, merilis videoklip atau Official Music Video (MV) lagu “Langit Abu-Abu” di akun Youtube-nya, musiktulus. Salah satu lagu andalannya yang ada di album Monokrom yang rilis 3 Agustus 2016 lalu itu terasa berbeda dari videoklip kebanyakan. Termasuk videoklip lagu-lagu Tulus sebelumnya. Memang, Tulus selalu berusaha menunjukkan sisi musikalitas dan nilai estetis dari setiap videoklip lagu-lagunya, tetapi kali ini betul-betul ada sentuhan yang berbeda.

    Mengambil latar tempat sebuah bangunan yang masih dalam tahap renovasi, bermain dengan gradasi warna monokrom (berwarna tunggal) dan lain sisi didominasi warna abu-abu, video tersebut menceritakan sang penyanyi, yang diperankan oleh Tulus, tengah mempersiapkan mikrofon dan soundsystem-nya seorang diri. Setelah itu ia mulai mendendangkan sebuah lagu. Awalnya, saya mengira di bagian tengah video akan ada semacam hentakan alat musik masuk mengiringi suara merdu Tulus. Namun ternyata dugaan saya keliru. Langit Abu-Abu ini dibawakan dalam versi akapela. Dengan penuh rasa dan penghayatan khas Tulus, dalam video ini seolah sang penyanyi ingin menyampaikan kalau bunyi-bunyi di sekelilingnya adalah bagian dari musik juga, bahkan kata-kata itu sendiri mewakili setiap nada tanpa harus dipadu-padankan dengan alat musik apa pun.

    Sebagaimana yang saya ketahui dan saya duga, melalui videoklip ini ada upaya rekonstruksi musik yang Tulus dan timnya coba tunjukkan. Bila boleh mengaitkannya dengan disiplin ilmu lain, dalam bidang sastra misal, Sutardji Calzoum Bachri, Presiden Penyair Indonesia, setelah dirasa telah selesai dengan semua aturan terikat maupun tidak mengenai puisi, ia coba membuat puisi berjudul, “Luka” di tahun 1976 dengan satu kata saja dalam lariknya: ha ha. Lalu ia membuat kredo puisi, “mengembalikan kata pada mantra”. Kalau kemudian penyair lain mencoba hal yang sama, maka yang ada hanya akan dianggap sebagai epigon dari terdahulunya. Mau bagaimanapun, pelopor selalu dijadikan patokan atas “temuannya” tersebut.

    Bisa jadi, Tulus sedang mengarahkan para penikmat musik, khususnya pendengar lagu-lagunya, bahwa ternyata videoklip tanpa suara alat musik pun bisa pula diproduksi—meski setelahnya kita akan lihat bahwa penggarapan videoklip ini dua kali lipat pusingnya. Karena untuk mencapai harmonisasi, menetralisir suara di sekitarnya, dan penguasaan emosi penyanyinya butuh waktu yang tidak sebentar dan konsep yang betul-betul matang.

    Yang jelas, ini keputusan yang besar bagi Tulus dan timnya. Karena ia mestinya sudah memperhitungkan segala resiko setelah karyanya ini jadi milik publik. Sebab, selalu ada pihak pro dan kontra. Bentuk apresiasinya pun beragam: bisa berupa pujian atau kritik bahkan makian. Karena, ketika banyak musisi lain berusaha memasukan unsur alat musik, yang terbaru genre Electronic Dance Music (EDM), yang tengah digandrungi musisi milenial, Tulus malah menawarkan alternatif lain. Bagi saya, ini satu langkah besar yang berani Tulus dan timnya ambil. Tentu saja kinerjanya patut diapresiasi, dan bisa diterima sebagaimana karya-karya yang lain. Tidak ada batasan dalam berkarya, tetapi yang tidak boleh terlewat adalah soal tanggung jawab. Meski sebuah karya setelah dipublikasikan menjadi milih khalayak umum, si kreator mesti siap pasang badan dan mempertahankan karyanya atau gagasannya tersebut dari berbagai pihak yang mencoba “merobohkannya”.

    Dalam karya sastra juga dikenal soal simbol-simbol yang salah satunya diwakili dengan berbagai majas. Afrizal Malna adalah salah satu penyair yang khatam soal itu. Ia menamai karyanya sebagai puisi instalasi. Perihal kebahasaan baginya sudah selesai. Maka segala benda, alat, dan makhluk apa pun bisa hidup dan dirangkai menjadi karya sastra, yakni puisi. Kalau kita perhatikan lebih detail dan cermat, itu juga yang coba Tulus ingin sampaikan melalui videoklipnya ini. Bila diurai satu per satu kata dalam lirik lagu Langit Abu-Abu, kita akan temukan berbagai simbol di bangunan belum jadi itu yang mewakili setiap katanya. Namun tentu saja hal tersebut akan diperoleh tergantung seberapa besar atau kemiripan pengalaman empiris dan wawasan si penikmat musik dengan videoklipnya. Kita bisa menangkap pesannya atau tidak sama sekali. Penafsiran soal makna pun akan berbeda-beda.

    Saya tidak bisa lepas dari subjektifitas dalam mengulas videoklip ini karena lagu-lagu Tulus memang sangat saya gemari. Di album Monokrom ini ada juga lagu berjudul, “Pamit” yang liriknya sangat berhasil menyayat-nyayat perasaan dan membuka kembali kenangan di masa lalu. Tulus adalah salah satu seniman dan musisi Indonesia yang memiliki dedikasi tinggi dan selalu totalitas dalam mengeksekusi sebuah karya. Tak heran bila di setiap lagu-lagunya pasti meninggalkan bekas di benak pendengarnya, termasuk lagu Langit Abu-Abu ini.[]

    Cilegon, 21 April 2018

    videoklip by: musiktulus on Youtube.
    Continue Reading
    image by www.asus.com

    Lonceng istirahat berdentang dan teman-teman lekas mengajak saya keluar kelas. Saya hanya menjawab, “duluan aja, nanti nyusul” begitu setiap hari sampai ada seorang teman perempuan yang penasaran dengan apa yang sedang saya kerjakan. Mulanya saya ragu ia bisa menjaga rahasia, sebab, apa yang nanti akan saya katakan jauh lebih penting ketimbang tahu kebenaran mengenai bumi bulat atau datar?

    Saya ingat betul saat itu kelas 2 MTs (setingkat SMP). Entah apa mulanya, di hari ke-153 lebih setelah kenaikan kelas, saya memilih untuk menjadi penulis. Tentu, dengan pengetahuan yang masih sangat terbatas, dan sampai kapan pun tetap terbatas, saat itu saya tidak dibuat pusing soal istilah: penulis. Yang ada di kepala saya hanya satu: saya ingin menulis cerita. Anehnya, tidak untuk dibaca sembarang orang. Saya lahir sebagai generasi angkatan 90-an, yang tentu saja segalanya belum secanggih apa yang dirasakan bocah millenials atau generasi “kids zaman now” seperti hari ini. Di masa saya, semuanya, meski ada, masih sulit diakses dan lebih mengandalkan kemampuan manual.


    Kawan perempuan yang saya maksud bernama Wina (nama sebenarnya). Wina Uswatun Nurani (nama sebenar-benarnya), namun lebih sering saya ganti jadi: Wina Uswatun Hasanah. Nama paling belakang saya comot dari nama Ibunya, dan berhenti memanggil begitu ketika Ibunya wafat. Meski Wina tahu saya hanya bercanda (sebab ia juga sering membalas dengan mengejek nama Bapak saya), namun sungguh saya benar-benar merasa berdosa. Semoga kalian tidak melakukan jejak buruk peninggalan bocah kelahiran 90-an ini. Oke, kembali ke cerita....

    Wina mau berjanji untuk tidak menceritakan apa yang saya tulis dalam kertas binder itu (bagi generasi terbarukan, binder adalah wadah kertas. Ya, fungsinya untuk menaruh kertas-kertas yang sudah dibolongi oleh punch—semacam alat pembolong kertas yang biasa dipakai penjaga loket atau pemeriksa karcis di gerbong kereta). Pada masanya, binder memang memiliki kejayaannya sendiri. Ia ibarat blog manual; memiliki label, tag, kategori dan kolom. Ketebalan kertas dan warnanya pun beragam, tergantung kita ingin memakai dan menerapkan tema atau template yang mana pada buku catatan kita. Nah, sekarang kita sudah dimudahkan. Medium untuk menulis begitu melimpah-ruah. Tinggal meluangkan waktu untuk mencari atau menciptakan ide dan gagasan di kepala masing-masing untuk kemudian menuliskannya.

    Barangkali di blog ini untuk pertama kalinya, saya bakal ceritakan juga apa yang saya tulis di buku binder itu. Sama halnya dengan diary, atau catatan harian, saya mulai menulis apa yang saya alami di sekolah. Bedanya, saya fiksikan dan semua nama saya pelesetkan. Ada yang ulang tahun dikerjai teman-temannya dan dilempari telur busuk, ada guru/ustad yang kemudian memarahi satu kelas dan jam pelajaran di ganti dengan jam-mengepel-dinding-dan-lantai-bersama-karena-mengerjai-teman-yang-ulang-tahun, ada yang senang berkirim surat ke kakak kelas, ada cerita awal mula nama sebuah grup atau geng nongkrong—nama blog saya Quadraterz bahkan bermula dari sana—, dan banyak sekali cerita masa-masa sekolah dulu yang tertuang di dalam binder itu, Wina bahkan sampai tidak henti-hentinya tertawa saat membacanya. 

    Sebab hal itu, saat kepercayaan saya mulai tumbuh, saya kemudian merekrut Wina untuk menjadi notulen, alias tukang tulis cerita. Dan ia menyetujuinya. Dulu, saya bisa mahir di dua hal itu; pertama, menuangkan isi kepala langsung menuliskannya tanpa outline dan konsep, kedua mendikte cerita untuk kemudian orang lain yang menuliskannya. Saya tidak menyalahkan Wina, paling tidak saat ini. Ketika saya sudah menaruh kepercayaan padanya, di suatu pagi, saat lonceng masuk belum berbunyi, seseorang berkata, “Ade mau baca novelnya, dong!”. Saya sempat tercenung sesaat. Tetapi seseorang yang lain mengatakan hal yang sama. Saya geram, dari mana mereka tahu? Di kepala saya hanya satu, “pasti Wina!”. Lekas saya menunggu ia datang ke kelas untuk meminta penjelasannya. Namun sebelum ia datang, ada satu teman kelas yang memaksa saya membuka binder itu, tentu tidak saya izinkan. Lalu saya bertanya, “tahu dari mana?” dengan lekas ia menjawab, “dari Radio!”. Whaaaat?! Radio? Wah ini, sih, mulai ngawur, pikir saya. Tak lama Wina datang. Saya memburunya.

    “Sorry, De, kemaren keceplosan,” kata dia menyesal, sebelum saya memberondonginya pertanyaan.
    “Bukan cuma itu, tapi..., kok bisa radio? Lu penyiar?” saya mulai mencari kursi untuk menenangkan diri. Menurut hadist, ketika seseorang sedang marah atau emosi, bila dalam posisi berdiri cobalah untuk duduk—poin ini sekadar membuktikan kalau saya benar lulusan madrasah.
    “Iya, benar. Gini, lho, ceritanya saya ikutan daftar jadi penyiar kontemporer di salah satu radio lokal. Eh, beneran kepilih jadi penyiar sehari. Nah, pas waktu giliran kirim-kirim salam, saya keceplosan ngomong, ‘buat Ade, sahabat gue yang lagi ngerjain novelnya, semangat, ya. Ayo selesain!’ begitu. Maaf banget, ya, gue beneran lupa kalau itu rahasia,” suaranya melemah. Ia betul-betul merasa bersalah. Sedangkan respons saya, di luar dugaan dia. Saya malah bangga meski rada malu.
    “Astaga, Wina. Gila, lu, yah! Kenapa nggak cerita, gue juga mau denger langsung. Selamat, ya. Dan..., makasih banget!” saya tidak ingat-ingat betul, sih, ngomong begitu, tapi intinya demikian. Dan dari sanalah ternyata jejak awal kepenulisan saya. Kalau saya korek-korek lagi kenangan itu, betapa lucu dan menggemaskannya. Binder dalam cerita ini masih saya simpan sampai sekarang dan masih saya gembok hanya di bagian novelnya. Ya, bagian novel yang bahkan tidak pernah saya sentuh lagi hampir tigapuluh purnama bahkan lebih dan belum rampung sebagaimana saya inginkan. Suatu saat, saya pernah berandai-andai, cerita dari naskah novel itu akan saya selesaikan. 

    gemboknya dibuka demi keperluan komersil~
    Kini Wina telah menjadi seorang Ibu muda. Gayanya yang petakilan tidak lagi saya temukan setelah ia berjumpa dengan pangeran berkudanya. Ia menjadi Ibu yang santun pada anak-anaknya, muslimah yang ramah dan semakin hari semakin tampak bahagia. “Doa, lu, terwujud, woy!” itu yang sering kali saya sampaikan padanya, meski lewat media sosial. Menjadi penulis adalah cita-cita kami bersama, dulu..., meski kini terwujud di jalur berbeda. Ia masih sangat mendukung saya sebagai seorang penulis. Paling tidak, Wina bisa menjadi pencerita yang baik bagi anak-anaknya. Dan saya, bisa saja menuliskan kisah tentang mereka. Karena berkat dia pulalah, rasa percaya diri saya muncul untuk menunjukkan hasil tulisan saya pada orang lain, sampai detik ini.

    ***

    Tahun-tahun berganti dan alat untuk mencurahkan cerita pun berubah. Tidak lagi saya butuh pensil, rautan, pulpen, penghapus, tipe-x (yang kalau kena baju susah diilangin), binder dan segala perkakas semacamnya. Saya hanya memerlukan laptop!

    Ketika kelas 3 MA (setingkat SMA), saya seringkali melucu, hanya untuk membuat teman-teman tertawa. Di jam istirahat, saya akan mengambil kitab kuning yang paling tebal. Lebih sering kitab Mizan Qubro, berisi tentang perbandingan madzhab, yang dijadikan alat peraga. Sampulnya yang keras biasa saya jadikan seolah monitor atau layar laptop. Kemudian saya berlaga sedang mengetikan sesuatu pada tumpukan halamannya, tentu dengan memasang tampang serius, agar lebih menjiwai. Teman di bangku seberang akan melihat dan tertawa lepas. Saking niatnya, bahkan saya sampai menggambar keyboard-nya di kertas. Lalu meletakkannya di halaman kitab. Tipe-x dijadikan mouse eksternal-nya. Betapa membahagiakannya saat itu.

    Ketika kawan-kawan tahu saya sekarang jadi penulis, mereka lega dan sepertinya tidak begitu heran. Sebab mereka sudah mengikuti kegilaan saya sejak di sekolah. Laptop pertama saya, yang masih saya pakai sampai mengetikkan tulisan ini, saya peroleh saat awal masuk kuliah. Sebagai mahasiswa jurusan Sistem Komputer, memiliki PC atau laptop barangkali sebuah keniscayaan. Sama halnya ketika kamu mau masak nasi goreng, kamu harus menyediakan nasinya, atau kalau kamu mau beli motor, kamu harus cek berikut bannya atau dijual terpisah, atau lagi,  semisal kamu mau bayar utang, kamu harus punya utang lebih dulu (majas macam apa ini). Skip!

    Lalu saya bersama teteh yang tidak mengerti elektronik sama sekali mengantar saya membeli laptop. Dengan uang yang pas-pasan dari orang tua, saya membeli laptop Toshiba Satellite C800D. Saya belum paham soal spesifikasi laptop untuk keperluan desain bagusnya yang seperti apa, keperluan nge-game cocoknya yang bagaimana dan lain sebagainya. Saya bahkan belum tahu untuk memenuhi kebutuhan apa selain untuk mengerjakan tugas.

    Lompatan yang jauh dari lulusan Madrasah Aliyah yang sehari-hari belajar kitab kuning tanpa mengenal pelajaran umum lebih intens, tiba-tiba menjatuhkan pilihan kuliah di Fakultas Teknologi Informasi. Alasan saya barangkali cukup visioner. Pertama karena ingin melebarkan jaringan pertemanan, agar tidak bergaul dengan orang yang itu-itu melulu; kedua karena ingin menantang kemampuan diri sendiri, apalagi saya berpikir kalau kemahiran ilmu komputer akan sangat dibutuhkan di lini perusahaan manapun di masa depan; ketiga, karena saya ingin menjadi programmer, ingin bisa membuat game dan aplikasi sendiri, belajar design graphic, meng-hack Facebook orang yang rese dan sisanya untuk gaya-gayaan. Dari kesemuanya, baru di semester pertama, saya malah tertarik dengan sastra. Sungguh futuristik!


    Di masa awal kuliah tentu saja semua masih berjalan normal. Semua pencapaian dalam daftar yang saya sebutkan sempat dilakukan; mengotak-atik coding, membuat aplikasi, belajar meng-hack, edit-edit foto, bongkar pasang PC atau CPU dan segala macam. Laptop yang saya punya, sejauh ini cukup baik, paling tidak saat itu. Sampai tiba di semester berikutnya masalah mulai berdatangan. Banyak aplikasi yang tidak bisa diinstal karena tidak support, loading yang leletnya minta ampun (bahkan di satu titik sampai pengen ngebanting, tapi karena belum sanggup beli gantinya, nggak jadi, deh), operating system yang eror dan minta diinstal ulang, juga segala masalah lainnya.

    Dan nahasnya, di satu kesempatan laptop satu-satunya ini pernah membanting dirinya sendiri tanpa saya harapkan. Ceritanya saat itu saya sedang membawa motor. Rumah masih jauh, tapi perut nggak mau kompromi. Entah habis makan apa, perut saya mules banget. Ditahan-tahan pun seolah pekerjaan sia-sia. Mau balik lagi ke kampus jauh, pulang ke rumah apalagi, jadi saya mencari pom bensin terdekat, sialnya nggak ada yang dekat. Karena the power of kepepet, pikiran saya cepat cari cara. Beloklah saya ke sebuah perkampungan. Bersyukur saya menemukan sebuah masjid. Saat itu azan asar sudah lewat dari tadi, kalau tak salah ingat. Masjid pun sepi, sesuai harapan. Saya lekas menuju toilet.

    Tas yang berisi laptop saya gantungkan di kapstok plastik ((ya, plastiik!!!), buka celana (masa iya buka puasa), lalu nongkronglah secepatnya. Beuh, saya benar-benar merasakan nikmatnya surga dunia saat feses meluncur dengan damainya, plong seplong-plongnya. Tapi, itu tidak bertahan lama ketika tepat di hadapan saya sebuah tas dari ketinggian dua meter meluncur ke lantai melebihi kecepatan cahaya. “Bedebam!!!” begitu kira-kira suaranya. “Bedebam!!!” bener begitu suaranya. Kapstok plastik yang tak kuat menahan beban terpelanting nyaris ke arah saya. Sesaat hening. Tidak ada yang bisa saya lakukan. Di kepala hanya dipenuhi bayangan indah sewaktu awal bertemu laptop itu dan bermain bersamanya. Namun kejadian yang tak lebih dari tiga detik itu seketika berhasil menghancurkannya berkeping-keping, hati saya bagai pecahan kaca yang terserak ke segala arah. Surga dunia tadi hanya ilusi, ternyata ia adalah neraka yang nyata. Perut mules saya seketika lenyap, lekas-lekas saya membersikan diri, memakai celana lalu menjemput pujaan hati yang tengah terbaring tiada berdaya.

    Saya tidak ingin buru-buru mengeceknya. Saya khawatir hanya akan menambah luka di dada saya. Waktu dua tahun bersamanya seolah terasa cepat berlalu. Hanya kejadian itu yang terbayang-bayang. Hingga tiga tahun berikutnya, di hadapan saya kini, ia masih setia menemani saya, dengan luka nganga di sisi kiri monitor bagian bawahnya. Ia tidak lagi bisa terbuka-tertutup sempurna. Bautnya lenyap sejak kejadian itu dan lubangnya pecah sulit diperbaiki. Kalau tahu bakal begini, saya lebih baik dijahili teman yang sering membuka tutup laptop bahkan sampai nyaris berputar 180 derajat ketimbang cacat seumur hidupnya. Saya betul-betul sudah tidak kuat lagi. Ia sudah harus pensiun di usianya yang hampir 6 tahun ini. Saya butuh laptop baru!

    Ketika mendapat kabar bahwa sedang berlangsung giveaway laptop dari ASUS melalui akun youtube Kak Diana Rikasari, saya bahagia. Ini waktunya saya menumpahkan segala kepedihan yang saya pendam ratusan tahun silam (Plakk!! Lebay!). Apalagi setelah tahu yang bakal dihadiahkan adalah Asus Vivobook Flip 14 TP410UR seri terbaru. Laptop saya yang sering hank lantaran kapasitas memorinya yang terbilang kecil, HDD-nya cuma 300GB, membuat performanya menurun dan saat dinyalakan, harus menunggu minimal 5-10 menit untuk bisa dipakai normal. Bandingkan dengan Asus Vivobook Flip 14 TP410UR. Pada seri ini Asus menawarkan dua buah storage yang terdiri dari SSD dan HDD. Kapasitas storage bertipe Solid State Drive sebesar 256GB, sementara untuk HDD berkapasitas 1TB yang dapat dimanfaatkan oleh pengguna untuk menyimpan berbagai file dan dokumen besar. Gila! Saya tidak perlu lagi menghapusi koleksi film anime Detective Conan dan One Piece yang selama ini saya kumpulkan.
    image by www.asus.com
    Keunggulan utamanya, Laptop Asus Vivobook Flip 14 TP410UR ini dibekali dengan Intel Core i7-7500U. Processor tersebut memiliki kecepatan hingga 3,5GHz dengan teknik fabrikasi 14nm. Laptop lama saya bahkan sekarang sudah tidak ada lagi di pasaran. Sebab ia hanya memakai processor Intel AMD dual Core, generasi pertama dari processor Intel dengan arsitektur Core, masih sangat tertinggal jauh bahkan tidak bisa mengalahkan generasi sebelumnya, Core 2 Duo, lebih-lebih Core i3, apalagi Intel Core i7-7500U.

    Selain itu, yang membuat laptop saya operating system-nya selalu eror dan minta diinstal ulang tak lain karena ilegal. Tentu saja itu dosa terbesar, tetapi semoga karena saya mahasiswa dan belum berpenghasilan tetap, hal tersebut dapat terampuni. Dengan memiliki Asus Vivobook Flip 14 TP410UR tentu saja kita tidak perlu was-was kalau suatu hari diperiksa oleh pihak keamanan bandara. Sebab, operating system-nya telah terinstal Windows 10 Home asli dan resmi lantaran kerjasama langsung dengan Microsoft yang menghadirkan 100 persen Windows. Dengan begitu, pekerjaan saya tidak akan lagi terhambat. Terlebih sebagai mafia deadline—begitu saya menyebutnya—saya harus bekerja dua kali lebih cepat dari biasanya, agar fee lekas di transfer.

    Perangkat seberat 1,6kg dan ketebalan 14,8mm ini juga memiliki bodi yang cukup unik degan ukuran sasis sebesar 13 inci, namun memiliki bentang layar alias display 14 inci. Ultra low power juga tidak boleh terlewatkan. Kode U pada akhiran processor (Core i7-7500U) tersebut juga menandakan bahwa chip-nya hemat daya atau ultra low power. Laptop ini bisa menghemat daya dengan TDP 15 watt. Betapa asyiknya ketika dibawa ke sebuah kafe kita tidak perlu khawatir mencari colokan, karena hampir seharian baterai awet dan tahan lama.
    image by www.asus.com
    Hal menarik lainnya, seperti yang sudah Kak Diana sampaikan di videonya, Laptop Asus VivoBook Flip 14 TP410UR ini dapat bertransformasi menjadi empat bentuk gadget sekaligus. Selain menjadi tablet, ia juga dapat digunakan menjadi sebuah laptop biasa dan dua bentuk lain dengan memutarnya hingga 360 derajat, yakni mode tent untuk presentasi dan standing display. Laptop ini juga hadir dengan dukungan port yang lengkap antara lain, card reader, micro HDMI, dan tiga buah USB 3.0. Selain itu, Asus VivoBook Flip 14 TP410UR mempunyai dedicated graphic card dari Nvidia yakni GT 930MX dengan video memori 2GB. Perangkat ini juga dibekali sekumpulan port serta teknologi tambahan seperti fingerprint sensor dan layar touchscreen.
    image by www.asus.com
    Bicara presentasi, saya sedang dag-dig-dug untuk daftar sidang skripsi nanti. Laptop saya ini harus selalu dicolok saat akan digunakan, karena baterainya sudah soak dan kalau diganti tetap tidak akan mengubah apa pun, saya sudah mencobanya. Bahkan sampai membeli baru charger-nya. Saya khawatir ketika presentasi nanti laptop akan mati mendadak, presentasi skripsi bisa buyar semuanya. Laptop Asus VivoBook Flip 14 TP410UR tak salah lagi memang sesuai dengan kebutuhan saya. Keisengan teman yang sering buka-tutup layar monitor nyaris sampai 180 derajat itu malah akan saya tambahi 180 derajat lagi kalau Asus VivoBook Flip 14 TP410UR sampai ke tangan saya. Dengan laptop terbaru dari Asus ini, saya bisa memuaskan hasrat teman-teman untuk mengganggu dan mengerjai saya.

    image by www.asus.com
    Kecanggihan teknologi akan terus berkembang. Menulis di kertas dulu bisa dikatakan sebuah kemajuan teknologi, karena peralihan dari menulis di daun lontar, di atas batu bahkan hingga di tulang-belulang. Sekarang, menulis di kertas akan menjadi sesuatu yang tertinggal, meski itu akan terjadi puluhan tahun ke depan. Paling tidak, kita bisa menikmati kemudahan dari kecanggihan teknologi saat ini. Saya pernah kesulitan menulis di buku catatan, selain karena jari kaku lantaran sudah jarang melakukannya, ide-ide di kepala pun tersendat sulit mengalir. Proses kreatif setiap penulis atau orang dengan profesi lain pun berbeda-beda tentu saja. Tetapi, pengalaman saya ketika menulis beralih ke medium komputer atau laptop, itu jauh terasa lebih mudah dan lancar. Sekalipun sedang di jalan dan tebersit ide, saya tidak memilih menulis di kertas atau buku catatan, melainkan langsung membuka smartphone lalu mengetikannya. Barangkali, sekarang memang sudah masanya para penulis menggantungkan pena. Ia sudah semestinya beralih sebagai pengetik. Hari ini, sampai seterusnya. Paling tidak dimulai ketika kita sudah memiliki Asus VivoBook Flip 14 TP410UR, saya akan membuktikannya.

    Dan kalau sekarang Wina sampai mendaftar jadi penyiar lagi lalu terpilih, ia pasti akan kirim salam untuk saya dan berkata, “buat Ade, sahabat gue yang lagi ngerjain skripsinya, semangat, ya. Ayo selesain! Semoga sidang nanti bisa presentasi pakai laptop Asus VivoBook Flip 14 TP410UR! Dan lulus dengan nilai memuaskan!”

    Cilegon, 09 Januari 2018

    ___________________________________________



    *) postingan ini sedang diikutsertakan pada giveaway laptop dari ASUS melalui akun youtube Kak Diana Rikasari. Semua foto product diambil dari website resmi www.asus.com.
    #ASUSaja #myfashionbuddy #DianaRIkasarixASUSgiveaway
    Continue Reading
    Older
    Stories

    About me

    Photo Profile
    Ade Ubaidil, Pengarang, Cilegon-Banten.

    Pria ambivert, random dan moody. Gemar membaca buku dan berpetualang. Bermimpi bisa selfie bareng helikopter pribadinya. Read More

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: Perangkap Pikiran Beni Kahar

    (AG Publishing | 204 halaman | Rp75.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telat Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: SAHUT KABUT

    (Indonesia Tera | 160 halaman | Rp. 60.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Novel Adaptasi: YUNI

    (GPU | 174 halaman | Rp. 63.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Pengunjung

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Bedah Buku Dee Lestari

    Bedah Buku Dee Lestari

    Workshop & Seminar

    Workshop & Seminar

    Popular Posts

    • [RESENSI] NOVEL: HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (GPU, 2015)
    • [MY PROFILE] Terjerembap di Dunia Literasi: Lahan untuk Memerdekakan Pikiran (Utusan Borneo-Malaysia, 13 Desember 2015)
    • Musim Layang-Layang (Pasanggarahan.com, 30 Oktober 2015)

    Blog Archive

    • ►  2012 (5)
      • ►  October (3)
      • ►  December (2)
    • ►  2013 (41)
      • ►  January (1)
      • ►  March (5)
      • ►  April (4)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  August (1)
      • ►  September (3)
      • ►  October (3)
      • ►  November (16)
      • ►  December (5)
    • ►  2014 (20)
      • ►  January (2)
      • ►  April (3)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  July (1)
      • ►  September (1)
      • ►  November (6)
      • ►  December (4)
    • ►  2015 (21)
      • ►  February (5)
      • ►  March (2)
      • ►  April (3)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (5)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
      • ►  December (1)
    • ►  2016 (31)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  April (2)
      • ►  May (4)
      • ►  June (1)
      • ►  July (2)
      • ►  August (5)
      • ►  September (4)
      • ►  October (5)
      • ►  November (2)
      • ►  December (3)
    • ►  2017 (41)
      • ►  January (4)
      • ►  February (3)
      • ►  March (8)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  June (8)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (3)
      • ►  November (4)
      • ►  December (3)
    • ►  2018 (24)
      • ►  January (3)
      • ►  February (2)
      • ►  March (3)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  November (4)
      • ►  December (2)
    • ►  2019 (16)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (3)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (14)
      • ►  January (1)
      • ►  February (1)
      • ►  March (2)
      • ►  April (1)
      • ►  May (2)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (1)
      • ►  November (1)
      • ►  December (2)
    • ►  2021 (15)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  April (1)
      • ►  May (1)
      • ►  June (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (3)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  December (1)
    • ►  2022 (30)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  May (3)
      • ►  June (5)
      • ►  July (1)
      • ►  August (4)
      • ►  September (3)
      • ►  October (2)
      • ►  November (2)
      • ►  December (7)
    • ►  2023 (38)
      • ►  January (4)
      • ►  February (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (9)
      • ►  November (15)
      • ►  December (4)
    • ►  2024 (3)
      • ►  January (1)
      • ►  March (2)
    • ▼  2025 (1)
      • ▼  January (1)
        • Kumpulan Cerpen: Perangkap Pikiran Beni Kahar (AG ...

    Followers

    youtube facebook Twitter instagram google plus linkedIn

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top