Pages

  • Home
  • Privacy
  • Sitemaps
  • Contact
  • [PROFIL] TENTANG ADE UBAIDIL
facebook instagram twitter youtube

Quadraterz.com

    • My Book
    • Cerpen
    • Novel
    • Esai
    • Puisi
    • Buku Antologi
    • Ulasan
    • Media
    • [Self-Depression]
    • Rumah Baca Garuda

    Beberapa waktu lalu, jurnal sains Nature melansir data dari ilmuwan Stanford University tentang beberapa negara di dunia dengan penduduk termalas berjalan kaki. Negara Indonesia menduduki peringkat pertama. Saya tidak terkejut, karena saya termasuk di dalamnya. Artikel berikutnya menyusul, tentang alasan warga Indonesia kenapa malas jalan kaki. Ada yang bilang karena cuaca yang panas, infrastruktur yang tidak memadai, dan karena segalanya kini sudah dimudahkan dengan adanya teknologi. Saya lebih sepakat karena jalan kaki bukan bagian dari kultur kami saja. Berbeda dengan Jepang dan Hongkong yang sudah mendidik warganya sejak usia dini untuk biasa berjalan kaki.

    Tujuh hari terakhir saya mulai giat bersepeda. Alternatif gerak tubuh selain jalan kaki. Bersepeda adalah sebuah rencana yang sudah cukup lama saya ingin wujudkan namun baru terjadi bulan Juli kemarin. Alasan saya satu, ingin bersepeda supaya tubuh lebih sehat dan berumur panjang. Walaupun urusan usia ada di tangan Tuhan, tetapi ini salah satu bentuk ikhtiar saya.

    Dan lagi, belakangan, barangkali tiga tahun terakhir, masyarakat Indonesia terkena demam bersepeda, terlebih di masa pandemi Covid-19. Alasannya jelas, banyak dari mereka mulai menyadari pentingnya hidup sehat, meningkatkan imun tubuh, dan mencari hiburan atau hobi baru. Bukan hanya masyarakat umum, tetapi kalangan artis, tokoh publik, dan bahkan pejabat turut meramaikan dan mengampanyekan untuk giat bersepeda.

    Hal baiknya, kebiasaan bersepeda bisa menjadi solusi bertransportasi dan menjadi alternatif demi mengurai kemacetan dan mengurangi polusi udara yang selama ini disumbang oleh pengguna mobil dan motor. Kita sudah semestinya membangun kesadaran untuk mengurangi penggunaan kendaraan bermotor. Tubuh kita harus lebih banyak bergerak dengan mengayuh sepeda, berjalan kaki, dan membiasakan diri menggunakan transportasi umum.

    Saya lahir dan besar di kota yang letaknya berada di ujung barat laut Pulau Jawa, di tepi Selat Sunda. Kota Cilegon dikenal sebagai kota industri. Walaupun kota kami kecil, tetapi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Cilegon tahun 2022 ini cukup besar, yakni sekitar 1,78 triliun per tahun. Sebutan lain bagi Kota Cilegon adalah kota baja mengingat kota ini merupakan penghasil baja terbesar di Asia Tenggara. Sayangnya, fasilitas untuk pesepeda masih jauh dari kata layak.

    Tata kotanya pun jauh dari kata elok, walaupun di pemerintahan saat ini ada usaha untuk memperbaiki tata kelola kota, tetapi akan terlihat sekali perbedaannya ketika kita, misalnya, membandingkan dengan kota Tangerang Selatan, salah satu kota di Provinsi Banten, yang jaraknya 85 kilometer dari Cilegon. Mulai dari menataan lampu jalan di trotoar, tiang listrik yang sembarangan dengan kabelnya yang semerawut, dan lagi, di kota Cilegon belum ada jalur khusus pesepeda.

    Boro-boro jalan untuk pesepeda, hak pejalan kaki saja seringkali diambil alih oleh warung-warung pinggir jalan. Belum lagi tata bangunan dan toko-toko di trotoar yang tidak ada nilai seninya sama sekali, tidak enak dipandang mata.

    Selain itu, keputusan saya membeli sepeda di tahun ini karena berbarengan dengan rumah baru saya yang sudah selesai direnovasi. Ada proyeksi besar di kepala saya bahwa setiap perjalanan dari rumah orang tua ke rumah saya akan ditempuh dengan menggowes pedal karena tidak memakan waktu yang lama. Kami masih tinggal di wilayah yang sama, yakni di Kota Cilegon.Rumah orang tua saya berada di kecamatan Cibeber, sementara rumah baru saya di kecamatan Jombang. Jaraknya kira-kira 5 km.

    Rumah pertama saya menjelang usia 30 tahun.

    Kalau saya sudah mahir menggowes, saya ingin melakukan perjalanan ke Kota Serang dengan mengendarai sepeda. Biasanya, menggunakan sepeda motor dibutuhkan waktu kurang lebih 30 menit, saya penasaran, berapa waktu yang saya butuhkan untuk sampai ke sana dengan sepeda.

    Luas wilayah Kota Cilegon hanya 175,5 km2. Barangkali dengan sepeda kamu bisa mengitarinya seharian─saya pernah melihat story Instagram teman saya yang sering bersepeda setiap harinya 100 km. Gila!

    ***

    Pada hari pertama, saya sangat bersemangat. Bahkan ketika paket sepeda yang saya pesan via marketplace sampai di sore hari─saya memang pesan online─saya buru-buru menghubungi keponakan yang sudah lebih dahulu memiliki sepeda untuk membantu saya merakit sepeda tersebut. Rasanya, saya ingin hari itu lekas pagi.

    “Pulang Jam berapa?” tanya saya melalui pesan WhatsApp. Sebelumnya saya memang sudah mengatakan kalau saya sedang memesan sepeda dan minta tolong untuk dirakitkan, saya tak punya alat-alat tempur-nya. Ega, nama keponakan saya, menyanggupinya, dan punya waktu luang sepulang bekerja.

    “Bakda Magrib baru sampai rumah,” balasnya singkat. Lalu saya mengatakan kalau pukul 20.00 WIB saya akan mengunjungi rumahnya dengan membawa sepeda yang baru setengah dirakit. Bila kau pesan sepeda via daring, 80% sepedamu sudah dirakit. Kau hanya perlu merangkai bagian ban depan, stang, rem depan belakang, dan juga shifter.

    Apa hanya saya yang mengalami ketika sedang menunggu sesuatu, waktu entah kenapa berjalan lebih lambat? Saat itu saya hanya mesti bersabar menunggu tiga jam tetapi rasanya seperti sepuluh jam. Namun selama apa pun, saya toh akhirnya bisa melaluinya. Pukul 20.00 WIB, saya pergi ke rumah Ega dan membawa sepeda seberat 14 kilogram itu. 

    Beruntungnya jarak rumah kami hanya sepelemparan batu, saya hanya perlu berjalan kaki melewati dua rumah untuk sampai di rumah Ega. Konon, dibanding berat sepeda kebanyakan, sepeda saya termasuk ringan. Saya sengaja memang memilih sepeda United tipe Fixie Slick 700 hybrid, tipe klasik, berbeda dengan tipe sepeda yang sedang ngetren pada umumnya, sehingga ringan dibawa untuk jalanan beraspal maupun medan tanah seperti pegunungan.

    Singkat cerita kami mengeluarkan sepeda dari kardusnya. Lalu tak butuh waktu lama, sepeda saya sudah tampak wujudnya seperti gambar, walaupun ada beberapa spare-part tidak sesuai, seperti ring pedal dan bonus lampu belakang yang dijanjikan tidak ada. Saya sudah merelakan itu karena begitulah risiko yang kita hadapi bila berbelanja via online, tetapi masalah baru muncul. Yakni ketika shifter selesai dipasang, ia tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Setiap akan pindah gigi, selalu gagal.

    “Nggak bunyi ceklek,” kata Ega meniru suara bagaimana seharusnya shifter itu bekerja.

    “Ada-ada saja, ya. Terus gimana, dong?” kata saya bingung. Sebab, saya sama sekali awam soal ini.

    “Coba minta ganti sama penjualnya. Atau dibawa ke bengkel di Jombang Kali,” ucap Ega. Saya setuju mencoba cara kedua.

    Setelah sepeda berhasil dirangkai oleh Ega.

    Terakhir saya dibelikan sepeda oleh orang tua saat selesai disunat, saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Itu pun membelinya menggunakan uang upah atau persenan dari saudara dan tetangga yang menjenguk dan mendoakan kesembuhan saya. Sejak itu saya jarang, nyaris tak pernah, sepedaan lagi. Apalagi ketika saya sudah belajar mengendarai sepeda motor saat saya di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), ke mana-mana saya selalu menggunakannya. Sepeda saya di masa SD sudah rusak. Ada sepeda milik bapak, tetapi saya sudah merasa tidak cocok untuk mengendarainya.

    Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ada 136,13 juta unit kendaraan bermotor pada tahun 2020 di Indonesia. Tercatat, pulau Jawa menyumbang jumlah terbanyak mencapai 81,88 juta unit atau 60,15% dari total nasional. Berdasarkan jenisnya, jumlah kendaraan bermotor paling banyak di Indonesia adalah sepeda motor pada tahun lalu. Jumlahnya mencapai 115,02 juta unit. 

    Sementara itu, data terbaru di tahun 2021, tercatat sepeda motor di Kota Cilegon sebanyak 174.582 unit yang digunakan. Pengguna sepeda masih jauh dari angka itu. Sepeda motor pun memberikan kenyamanan berkendara dan tidak perlu repot-repot mengayuh seperti sepeda. Kamu hanya tinggal menyalakan mesin lalu menarik gasnya. Selain itu, harga motor pun semakin terjangkau, bahkan bisa kredit dan dicicil. Untuk jarak tempuh yang cukup jauh, menggunakan sepeda akan memakan waktu lebih lama tentunya. Sejauh ini, alasan saya memilih sepeda motor memang masuk akal.

    Keesokan paginya, pagi sekali, saya sudah bangun. Tidak seperti biasanya memang. Sebelum punya sepeda, seusai salat Subuh saya akan melanjutkan tidur. Namun berbeda dengan pagi itu. Saya sudah bersih-bersih, mengganti pakaian, lalu mengeluarkan Black Slebew─nama panggilan sementara untuk sepeda saya─dari kandangnya. Saya pamit kepada orang rumah untuk pergi menggowes sepeda seorang diri.

    Hal pertama yang saya rasakan ketika berada di atas sepeda adalah rasa tidak nyaman ketika duduk di atas jok sepeda yang ramping ini. Boleh dikatakan, bokong saya cukup besar, butuh penopang yang lebih besar, suatu hari sepertinya saya bakal mengganti jok sepedanya. Bisa jadi, ini alasan kenapa orang-orang lebih senang mengendarai sepeda motor.

    Saat pertama mencoba, saya sedikit gugup. Apalagi pengaturan joknya dibuat tinggi. Digowesan pertama saya nyaris jatuh lantaran belum menemukan titik penyeimbangnya. Belum lagi giginya yang tidak bisa dipindahkan, betul-betul jauh dari kata nyaman. Itu pula alasan saya ingin cepat-cepat memperbaiki sepeda ini di bengkel.

    Pukul 06.30 WIB saya sudah berada di depan kedai bubur ayam. Saya melewati jalan belakang, yang walaupun jalannya penuh lubang di sana-sini, saya tetap memilih melaluinya. Pagi yang penuh dengan “penyiksaan” diri sendiri. Bahkan saya harus sabar menunggu pejalan kaki yang hendak mengantarkan anak-anaknya pergi ke sekolah. Belum lagi para pedagang nasi uduk dan menu sarapan lain di kiri dan kanan jalan. Pagi yang riuh.

    Smartwatch yang saya kenakan di pergelangan tangan kiri dan sudah terintegrasi ke ponsel memberitahu saya bahwa sudah 2 kilometer lebih saya menggowes sepeda. Angka yang bagus bagi seorang pemula seperti saya. Saya mengapresiasi diri saya sendiri.

    Lantaran napas mulai tidak teratur, saya berhenti sejenak untuk sekadar mengisi perut yang kosong. Saya sarapan bubur ayam di kedai yang mulai ramai itu.

    Saya agak kesulitan memarkirkan sepeda. Pertama karena tidak ada tempatnya, lokasi kedai bubur itu di depan pelataran sebuah ruko yang masih tutup. Kedua, sepeda saya tidak memiliki standar samping, jadi saya harus mencari tiang atau dinding untuk menyandarkannya. Awalnya memang jadi perhatian orang-orang, khususnya pelayan bubur, saya melihat ia memerhatikan sepeda saya dengan saksama.. Akhirnya saya sandarkan pada tiang yang menyangga atap bagian depan ruko itu.

    “Satu porsi, Mas. Jangan pakai daun bawang,” kata saya ringkas.

    “Baik, Mas,” jawabnya sopan. Ia menuangkan teh hangat dalam gelas kecil lalu menyodorkannya pada saya. Sembari menunggu pesanan, saya duduk di sebuah kursi kayu yang panjangnya satu meter lebih.  Kemudian, saya mencari alamat Herman Bike yang disarankan keponakan saya di Google Map. Ketemu. Rupanya ada nomor kontak yang bisa dihubungi. Saya bergegas meneleponnya untuk mengetahui jam berapa bengkelnya buka.

    “Benar dengan Herman Bike?” tanya saya setelah sebelumnya mengucapkan salam.

    “Iya, betul. Ada yang bisa dibantu?”

    “Bengkel hari ini buka jam berapa, ya?” kata saya lagi tidak berbasa-basi. Ia mengatakan pukul 07.30 WIB buka. Satu jam lagi, pikir saya. Lalu saya mengatakan akan mengunjunginya. Ia mempersilakan.

    Pesanan bubur ayam saya sampai. Lekas saya lahap tanpa ba-bi-bu. Lelah juga menggowes sepeda dalam keadaan gigi/gear konstan di nomor keempat. Padahal, saya membayangkan menggowes sepeda dengan ringan, ini justru malah berat lantaran shifter tidak berfungsi. Namun, ada yang berbeda. Bubur ayamnya terasa lebih nikmat saat disantap, barangkali karena saya dalam keadaan capek ditambah tubuh mudah berkeringan, beruntungnya pagi itu terasa begitu sejuk.

    Setelah pasang keranjang dan pulang kemaleman.

    Pukul 07.00 WIB saya mulai menggowes sepeda lagi. 30 menit waktu yang cukup untuk saya sampai ke bengkel, pikir saya. Kalau di map, jarak tempuhnya kurang lebih 2,5 kilometer. Terdengar dekat, tetapi sebetulnya, rute dan medan jalan yang kudu dilalui cukup berat bila dengan sepeda, karena banyak jalan menanjak dan mesti melalui jalanan rusak.

    Saya menyalakan lagi smartwatch yang sempat saya jeda. Saya mengingat-ingat jalur mana yang mudah untuk dilalui sepeda, yang tidak banyak jalan menanjaknya tentu saja. Kaki saya mulai terasa pegal linu. Terlebih di bagian paha dan lutut. Kulit luar rasanya seperti diregangkan sampai batas maksimal, perih sekali. Namun saya yakin ini hanya efek awal, semua pemula pasti merasakan hal yang sama ketika awal bersepeda atau melakukan olahraga apa pun.

    Saat bersepeda, saya melintasi kota lewat jalur belakang, maksud saya tidak melewati jalan raya. Sebetulnya jalur belakang dan depan sama saja jalan beraspal, yang membedakan, jalur belakang ini tidak ada polisi lalu lintas, dan biasanya yang melintasi jalan hanya orang-orang yang tinggal dekat sini. Berbeda dengan jalan raya yang dilewati oleh banyak kendaraan roda dua dan empat bahkan truk-truk dan bus besar dari berbagai daerah menuju pelabuhan Merak, yang berada di ujung Kota Cilegon. Namun, jalur belakang ini bisa menghubungkan banyak desa atau kampung di Kota Cilegon, asalkan kamu hafal rutenya yang meliuk-liuk.

    Terlepas dari itu, rupanya banyak hal yang selama ini luput dari pandangan. Ketika sedang mengendarai sepeda motor maupun mobil, fokus saya hanya pada jalan lurus di depan. Namun, ketika bersepeda, saya jadi lebih detail melihat rumah, bangunan baru, pembukaan lahan yang sebelumnya seingat saya rumah-rumah lama lalu dirobohkan atau lapangan sepak bola. Kafe-kafe satu per satu tumbuh bak jamur di musim penghujan. Waktu terasa cepat sekali berlalu. Dengan bersepeda, semuanya jadi terasa lebih lambat.

    Orang-orang di setiap permukiman terus bertambah, jalanan yang biasanya lancar, kini mulai macet, padahal ada di jalan alternatif. Perlahan-lahan desa telah tumbuh menjadi perumahan dan toko-toko industri. Kota telah masuk terlalu dalam ke sudut-sudut perkampungan yang dahulu asri tetapi sekarang telah hilang wujud aslinya. Dahulu saya ingat, saat masih SMP, jalan belakang ini biasa saya dan teman-teman lewati. Jalan beraspalnya belum begitu lebar, masih banyak jalan tanah dan lapangan luas yang dipenuhi rumput ilalang dan bocah bermain sepak bola, sekarang hal itu sudah sulit ditemukan. Bila kau ingin bermain sepak bola ya mesti sewa lapangan indoor yang megah itu.

    Sebetulnya, saya kurang setuju bila para developer mendirikan perumahan di wilayah perkampungan semacam ini. Di sebuah kota yang besar, kita perlu menjaga satu titik atau beberapa lokasi agar tetap asri seperti sediakala; indah dan khas pedesaan di masa lalu. Tetapi lagi-lagi, perubahan zaman tidak pernah bisa ditolak. Satu-satunya hal yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri.

    Seketika saja mood saya berubah. Ditambah earbuds bluethooth saya memutarkan lagu mellow dari Choi Yu Ree berjudul Wish yang menjadi soundtrack dari serial drama korea Hometown Cha-Cha-Cha yang tayang di Netflix.

    Hal paling mendasar yang saya pelajari bahwa salah satu cara agar bisa menikmati serunya bersepeda adalah dengan menjaga stabilitas suasana hati (mood) kita. Sebab, mesin sepeda adalah tubuh kita sendiri.

    Berbeda misalnya ketika kita membawa mobil atau motor, saat mood kita buruk, mesin mobil dan motor akan tetap bekerja sebagaimana mestinya, bahkan kecepatannya bisa kita atur sendiri. Kalau sepeda, bergantung pada bagaimana perasaanmu hari itu, sedang stabil atau tidak, sedang baik atau buruk, sedang buru-buru atau santai. Cuaca juga memengaruhi emosimu, karena tubuh akan semakin lengket berkeringat, panas matahari membuatmu hilang fokus. Intinya, semakin mood-mu baik, maka itu akan berpengaruh pada mental dan emosimu. Namun bila mood-mu berantakan, maka jarak satu kilometer pun akan terasa begitu jauh.

    Sama halnya dengan perasaan saya yang tak menentu pagi itu. Saya membayangkan sepeda saya sudah dalam keadaan prima, tetapi malah memaksa saya mesti ke bengkel pagi hari. Ada perasaan jengkel, tetapi apa mau dikata.

    Akhirnya saya memilih untuk menepi sesaat dan membiarkan pandangan saya berkeliling ke sekitar. Rupanya tubuh saya butuh rehat lebih lama.

    Saya lihat lagi smartwatch di pergelangan kiri, jam digitalnya menunjukkan angka 07.30 WIB, sementara perjalanan saya masih jauh untuk sampai ke bengkel. Perkiraan saya betul-betul meleset pagi itu.

    Namun bisa saya pastikan, ketika kalian membaca esai saya ini, saya sudah sangat mahir bersepeda.

    Taman Cilegon, 04 Agustus 2022

      

    ________________
    *) Esai ini pernah dimuat website www.thisissoutheastasia.com dalam versi berbahasa Inggris.

    Continue Reading



    Sejak tanggal 21 Oktober, saya sudah berada di Yogyakarta. Perjalanan kali ini untuk memenuhi undangan guru menulis saya, Pak Edi Mulyono. Terakhir kami bertemu tahun 2018, dan alhamdulillah tahun ini bisa bertemu lagi dengan belio dalam keadaan sehat wal'afiat--cerita ini akan dibahas di postingan lain.

    Semalam, saya melihat story @dr_tompi di Instagram. Belio sedang mengisi acara Prambanan Jazz Festival di Jokja. Saya iseng bertanya via DM apa masih di Jokja? Belio merespons cepat malam itu, katanya baru selesai dan sedang makan sate klathak. Saya ajak ketemu apakah ada waktu? Belio dengan lekas membalas bisa, ia memberikan waktu pertemuan dan di hotel mana ia menginap. Saya meminta belio share lokasi di WA, karena sebelumnya memang kami sering chatting.

    Saya merasa senang ketika belio bertanya soal film Yuni. Apakah saya terlibat? Saya katakan iya. Belio bilang, baru menonton trailernya, dan suka. Menurutnya, film bagus bisa dilihat dari cuplikan trailer. Saya agak kurang setuju, maka hal inilah yang jadi obrolan pembuka kita ketika bertemu.

    Menurut saya, kita tidak bisa semena-mena secara serampangan menilai film yang durasi 2 jam hanya dari cuplikan tak kurang dari 2 menit. Apalagi yang mengerjakan trailer dan film, baik visi dan misinya, berbeda. Tapi dengan enteng, belio bilang begini:

    "Lo dikasih kue nih, terus lo cicipin sedikit. Lo nggak mesti makan semua, kan, untuk tahu kue itu enak atau nggak?"

    Mendapat jawaban itu, kok, saya mengangguk, ya. Tapi, ya, itulah pendapat. Kita tidak bisa menyamaratakan pemahaman.

    Kami bertemu di resto sebuah hotel dari pukul 22.30 sampai tak terasa jam menunjukkan pukul 02.30, padahal belio harus balik ke Jakarta pukul 07.00 pagi hari karena ada jadwal operasi, saya merasa bersalah karena sudah mencuri jam tidurnya. Tapi, kata belio jam tidurnya memang tidak teratur, ia sering tidur hanya 5 jam setiap harinya.

    Awal saya bisa komunikasi dengan belio salah satunya karena pernah menawarkan proposal film. Kami bicara banyak soal perfilman Indonesia, dan kemudian saya banyak tahu fakta soal ini dan itu yang kalau bocor ke media bisa geger. Perspektif belio juga menarik dan memberi masukan serta sudut pandang baru kepada saya tentang bagaimana sebuah film/karya itu dikatakan bagus.

    Konon, cita-citanya ia sewaktu SMA adalah menjadi filmmaker. Tetapi karena dorongan almarhumah Ibunya, ia akhirnya melanjutkan kuliah kedokteran. Orang mengenalnya arogan dan sombong, apalagi sewaktu ia menanggapi kritik atas film terbarunya "Selesai". Tetapi ketika tahu alasan dibuatnya film itu, saya jadi paham cara berpikir belio. Ia sangat mengerti semua aspek teknis perfilman; baik kamera, penyutradaraan, editing, pengadeganan, dan banyak lainnya. Saya dibuat takjub soal pengetahuannya.

    Saya juga ditunjukkan hasil foto dan video iklannya. Dan, ada satu film pendek yang bagus banget tapi belum dia keluarkan untuk publik, karena isu yang diangkat begitu sensitif, ia merasa belum menemukan waktu yang tepat, beruntungnya saya diberi kesempatan menontonnya.

    Terakhir, ia menyinggung soal persahabatannya dengan Glenn Fredly dan betapa baiknya dia. Katanya, Kaka Bung pernah memintanya untuk dibuatkan film biopik tentangnya, dengan guyonan, Tompi mengatakan: "Nanti nunggu lo meninggal dulu, baru kita buat filmnya, Bre," tidak lama dari obrolan itu, Kaka Bung wafat.

    Kejutannya, mereka betulan pernah membuat draft skenario soal kisah masa kecil Glenn. Dan Glenn berpesan hanya Tompi yang boleh menyutradarainya. Saya dibuat merinding malam itu setelah dikisahkan secuil hidup masa lalu Glenn yang begitu keras, wajar kalau kemudian ia bisa menjadi seniman hebat seperti yang kita kenal. Saya yakin ini bakal jadi film yang bagus, apalagi di tangan Tompi dan Angga Dwimas Sasongko. Mari berdoa saja semoga kejadian.
    Salam hormat untuk para seniman yang penuh dedikasi dalam membuat karya!

    Jokja, 25 Oktober 2021
    Continue Reading

    Saya baru saja membaca buku Paulo Coelho berjudul, “Seperti Sungai yang Mengalir”. Buku yang berisi tentang buah pikiran dan renungan penulisnya dalam kehidupan sehari-hari. Saya mendapatkan rekomendasi buku itu atas saran salah seorang relawan Rumah Dunia,
    Abdul Salam
    HS namanya. Namun bukan tentang ia yang bakalan jadi titik fokusnya, melainkan tempat ia dan relawan lain tinggal. Di
    Rumah Dunia
    -lah semua bermula.
    Pernah ada percakapan saya dengan salah seorang relawan lainnya. Sesekali ia berujar bahwa selama ia mengikuti Kelas Menulis Rumah Dunia (KMRD) yang dipimpin oleh Gol A Gong secara langsung, selalu saja beliau menyampaikan materi yang itu-itu saja. Bahkan ketika ia sudah menjadi alumni #KMRD. Saya tidak menyangkal, memang benar adanya—meskipun tak melulu sama. Saya pun mengakui itu. Tetapi, barangkali ada yang terlewat atau tidak ia perhatikan. Baik Mas Gong, Kang Toto St Radik, Kang Firman, Bu Tias juga relawan lainnya, setiap kali mereka berkisah dan berbagi, ada energi yang sedang disalurkan. Saya menyebutnya Energi Rumah Dunia.

    Kembali soal Coelho tadi, saya mendapatkan sebuah kisah di salah satu bab dalam bukunya. Kurang lebih begini:

    Ada seorang jemaat gereja bernama Juan yang merasa jenuh dengan isi khotbah sang pastornya lantaran mengkhotbahkan hal-hal yang sama. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk tidak datang lagi ke gereja untuk Kebaktian di Hari Minggu.
    Sekitar dua bulan kemudian, sang pastor mengunjungi rumahnya. Juan mengira kalau sang pastor akan membujuknya. Rupanya tidak, si pastor hanya diam saja untuk beberapa menit sambil terus menatap perapian ditemani Juan. Hingga akhirnya ia bangkit berdiri, mengambil sepotong kayu yang belum terbakar, dan menyingkirkan sebongkah arang dari api. Karena tidak mendapatkan panas yang cukup untuk tetap menyala, akhirnya arang itu pun dingin. Juan buru-buru memasukkan arang itu kembali ke tengah perapian.
    Usai itu si pastor izin pamit, “selamat malam,” katanya.
    Juan baru menyadari sesuatu. Ia pun mengatakan terima kasih disambung kalimat, “seberapa terang pun sepotong arang yang terbakar, dia akan padam dengan cepat kalau dijauhkan dari api. Seberapa pun cerdasnya seseorang, dia akan segera kehilangan kehangatannya dan bara apinya, kalau dia menjauhkan diri dari sesama manusia.”
    Dan..., begitulah Rumah Dunia.

    Terlepas dari segalanya, energi Rumah Dunia-lah yang terpenting. Yang barangkali tidak bisa diperoleh dari tempat lain. Di sini saya bukan hanya belajar menulis, tetapi juga belajar “hidup” dan melihat sekaligus memaknai kehidupan—bisa pula mengenal karakter orang yang beragam. Ketika loyo dan hilang semangat menulis, RD-lah yang berhasil mengembalikannya. Sehari saja dalam seminggu tidak ke RD, saya merasa seperti ada yang kurang dan hilang.
    Ini rahasia kita saja, ya. Di Rumah Dunia seperti ada aura tak kasat mata, lho. Datang ke sana dan diam saja, misal, kita seperti mendapatkan energi yang luar biasa. Apalagi kalau sampai gabung diskusi dan cekakak-cekikik. Buat saya, nggak tahu kenapa, Rumah Dunia adalah Rumahnya Dunia. Rumah yang nyaman dan tidak pernah ada intervensi apa pun. Kita bebas menjadi diri kita sendiri, tak perlu mengikuti apa dan siapa yang kita sendiri tidak menginginkannya.
    Selama kau punya mimpi, cita-cita dan semangat berkarya, Rumah Dunia selalu berterima, sekalipun ada yang setelah sukses jadi lupa diri. Rumah Dunia tetap legowo, ia biarkan yang pergi karena memang sudah seharusnya pergi. Kalaupun ingin kembali, gerbangnya selalu terbuka. Kalaupun tidak balik lagi, doakan saja semoga ia tidak tersesat di luar sana.
    Intinya, sih, Dirgahayu RD. Semoga bisa terus berjalan dan berdiri kokoh. Bukan hanya berhenti di usia ke-19, tetapi bisa sampai ratusan hingga jutaan tahun cahaya. *halah
    :v
    Sehat-sehat selalu untuk semua relawan, pendiri, para guru dan orang-orang terbaik yang open-minded di Rumah Dunia. Tahun 2013 saya bergabung, tetapi rasanya sudah lama betul saya mengenalmu. Usia kita beda tipis 
    Komunitas Rumah Dunia
    , mari tumbuh dan dewasa bersama~

    Terima kasih, maaf selalu merepotkan. Muehehe....
    Ade Ubaidil
    ,
    Alumnus #KMRD23.
    #hbdrumahdunia19
    #19thrumahdunia
    #rumahdunia
    Continue Reading



    Sebaris kalimat yang melegakan untuk didengar. Ini kali kedua saya terlibat dalam penggarapan film layar lebar, dengan posisi jobdesc yang sama: dialect coach. Bedanya, film kali ini begitu terasa jauh lebih berkesan karena ceritanya diangkat dari novel fenomenal salah satu guru menulis saya: Gol A Gong.

    30 hari syuting rupanya menguras banyak sekali tenaga dan pikiran. Segala macam drama terjadi bukan hanya di depan kamera, tapi di belakang kamera, dan jauh lebih seru dan menegangkan. Fajar Nugros, di setiap kali kesempatan berkata ini adalah film yang memberi tekanan dan tanggung jawab tersendiri karena Balada Si Roy memiliki fans fanatiknya. Dia sebagai sutradara betul-betul mengerjakan film ini semaksimal mungkin. Bahkan, salah satu kru nyeletuk, “Film sebelumnya ada suara mobil, shooting jalan terus, tapi di film BSR, ada suara sedikit aja langsung take ulang.” Itulah bukti keseriusan dia dengan film ini.
    Official Poster by IDN Pictures
    Rasa lelah itu terbayar ketika syuting hari terakhir di Istana Kaibon. Usai scene akhir, semua kru diminta berkumpul di bangunan Istana Kaibon. Biasa saja, tak perlu terharu, bisik hati saya ketika mendengar sutradara dan produser memberi sepatah dua patah kata ucapan maaf dan terima kasihnya kepada kru.

    Namun, saat Mas Gong diminta memberi sepatah kata, saya melihat dan mendengar langsung suaranya serak dan bergetar. Beliau mengucapkan terima kasih dan air matanya seketika luruh, mengundang kru dan cast lain berlinangan air mata, termasuk saya. Rasa haru dan bahagia bercampur-aduk saat itu.

    Novel ini memang sangat berarti baginya. Sebuah karya pertama yang melambungkan namanya sejak 32 tahun lalu. Dan di hadapannya, beliau menyaksikan betapa tokoh-tokoh fiksi karangannya, mewujud menjadi sosok manusia yang bisa disentuh, diajak bicara, dan foto bersama.

    Ini pengalaman yang luar biasa bagi saya. Banyak sekali pelajaran yang bisa saya ambil. Suatu saat karya saya juga akan diapresiasi sedemikian rupa seperti yang dialami Mas Gong, saya harus meyakini itu.

    Terima kasih untuk kalian semua, cast dan kru yang luar biasa. Senang bisa bertemu dan mengenal kalian.

    Tunggu filmnya tayang di bioskop 19 Januari 2023 mendatang!



    Continue Reading

     


    1/

    pada suatu hari nanti
    jasadku tak akan ada lagi
    tapi dalam bait-bait sajak ini
    kau takkan kurelakan sendiri[1]

    Saya pernah dibuat kecewa oleh Sapardi. Saat itu kebetulan bulan Juni tapi langit tak sedang hujan. Novelnya yang berjudul sama dengan puisinya, Hujan Bulan Juni terbit. Mulanya saya enggan untuk membelinya, karena saya tak mau ekspektasi saya akan puisinya yang sudah tinggi, menurun. Namun bagaimana lagi, rasa penasaran timbul bak bisul di ujung pantatmu. Kalau tak lekas diobati atau dipecahkan, ia akan terus membesar dan cukup membuatmu gusar ketika hendak duduk. Maka dengan niat yang bulat, berangkatlah saya ke toko buku lalu membeli novel bersampul sederhana itu; dominasi antara warna krem dan abu-abu, tanpa gambar apa pun selain tulisan hujan bulan juni yang didesain seolah-olah pudar diterpa air hujan, lalu di bawahnya nama sastrawan besar itu tertera.

    Tak butuh waktu lama bagi saya untuk menyelesaikan novel itu dalam sekali duduk. Dua atau tiga jam saya beres membacanya. Tetapi, kekecewaan yang hadir hingga hari ini belum bisa hilang. Andai saja ia tak menulis novel yang kemudian saya tahu trilogi itu, rasa hormat saya pada puisi Hujan Bulan Juni pasti tak berkurang. Dan saya tak cukup puas sampai di sana, saya akhirnya menuliskan “kekecewaan” itu dalam bentuk resensi. Kemudian saya posting di blog pribadi saya. Saya ingat betul pertama kali saya tayangkan tulisan itu tanggal 27 Juni 2015, beberapa hari setelah novelnya terbit. Namun, hingga hari ini, resensi itu paling banyak dibaca oleh warganet di blog saya, mengalahkan semua tulisan yang pernah saya posting. Bahkan, ada seorang pelajar yang sengaja menghubungi saya secara pribadi untuk meminta izin menggunakan resensi itu sebagai tugas sekolahnya.

    [RESENSI] Novel: Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono (GPU, 2015)


    Lihat, betapa besar pengaruhnya karya seorang Sapardi Djoko Damono bagi pembacanya. Kekecewaan ini juga rupanya bukan hanya saya yang alami. Pembaca lainnya juga sama kecewanya. Karena, bagi kami karya itu sangat personal dan sudah bukan lagi “milik” penulisnya. Ia sudah milik publik. Dan cara pembaca memandang puisi itu sudah berada di posisi “sakral” (tanpa mau saya menyebutnya fenomenal). Artinya, bagi saya khususnya, puisi Hujan Bulan Juni sudah selesai bentuknya sebagai puisi. Tak bisa dipakai dalam bentuk lain semacam novel. Jika musikalisasi Ari-Reda tentu itu lain hal. Saya sedang membahas dalam bentuk tulisan. Andai saja Sapardi menulis novel itu dengan judul lain, pasti akan berbeda sudut pandangnya. Meskipun saya menduga kalau Sapardi menulis itu karena untuk kebutuhan komersil dan tuntutan penerbit belaka. Namun, ini hanya secuil kekecewaan saya terhadap karyanya. Meski tak bisa hilang, rasa kecewa itu sedikit berkurang ketika saya ada kesempatan untuk bertemu, mengikuti kelasnya, bahkan hingga berfoto dan berbincang langsung dengan beliau.

    2/

    pada suatu hari nanti
    suaraku tak terdengar lagi
    tapi di antara larik-larik sajak ini
    kau akan tetap kusiasati 

    Tiga tahun setelah rasa kecewa itu, saya mendapatkan kesempatan mengikuti sebuah kegiatan yang diadakan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, yakni Majelis Sastra Asia Tenggara. Sebuah agenda tahunan yang mengundang penulis-penulis dari lima negara seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand, dan Indonesia. Saat itu negara kami yang menjadi tuan rumah. Selama seminggu kami berada di satu tempat untuk berbicara mengenai sastra dan kesusastraan di negara serumpun ini, khususnya soal cerita pendek (cerpen). Salah satu pemateri tamunya adalah Pak Sapardi. Tak banyak penyair yang karyanya saya kagumi, barangkali terhitung jari. Pak Sapardi tentu ada di urutan nomer wahid. Selain karena saya lebih banyak menulis prosa, puisi-puisi Pak Sapardi adalah yang paling mudah saya terima dan nikmati.

    Saat itu Pak Sapardi tak bisa hadir langsung ke tempat acara. Maka, kami yang mengunjungi beliau di kampus tempat mengajarnya, di bilangan Jakarta. Sebagaimana yang tercitrakan di media, saya selalu mengira penyair adalah orang yang serius. Saya pasti akan bingung bagaimana memulai obrolan bila ingin berbincang dengannya. Namun rupanya, tak kenal..., maka berkenalanlah agar tahu. Aslinya Pak Sapardi jauh dari asumsi itu. Beliau sangat ramah, rendah hati, dan tentu saja “sedikit gila”. Bagaimana tidak, beliau begitu mudah membaur dengan kami para anak muda dan tak sedikit banyolan yang keluar dari bibir keriputnya. Gejolak mudanya sulit sekali beliau sembunyikan. Bahkan beliau cukup update soal media sosial. Di sisa usianya, hampir setiap hari beliau mengunggah foto di akun Instagram-nya.

    Singkat cerita, seusai mengikuti kelasnya, kami ada kesempatan untuk melakukan tanya-jawab. Setelah itu, saya meminta berpose berdua saja, dan itu sulitnya minta ampun. Setelah berhasil meminta waktu, saya mengarahkan beliau untuk salam literasi dengan membentuk huruf L pakai jari telunjuk dan jempolnya. Walahdalah, beliau malah membentuk pistol dan menembakkannya ke arah saya. Hal remeh semacam itu justru membuat saya terkesan hingga hari ini. Saya tak betul-betul tahu kalau saat itu bakal jadi pertemuan terakhir saya dengan beliau.

    3/

    pada suatu hari nanti
    impianku pun tak dikenal lagi
    namun di sela-sela huruf sajak ini
    kau takkan letih-letihnya kucari 

    Usianya memang sudah 80 tahun, akan tetapi rasanya masih seperti mimpi mendengar berita kepergiannya bulan Juli lalu. Kini ia telah kembali pada Sang Mahapuisi. Barangkali sekarang ia sedang menulis sajak dengan-Nya, tanpa perlu pusing diundang ke sana-kemari mengisi acara seminar sastra lagi. Kemasyhurannya sebagai sastrawan tak bisa dielakkan. Ia sudah begitu banyak melahirkan karya sastra, bahkan hingga di penghujung usianya. Saya seringkali dibuat malu oleh produktivitasnya dalam melahirkan karya.

    Ada satu hal yang masih saya sembunyikan hingga hari ini. Tak banyak kawan-kawan saya yang tahu. Namun, sekarang mungkin waktu yang tepat untuk saya ceritakan. Awal Januari 2020 lalu, saya berkesempatan ikut proses pembuatan film yang terinspirasi dari karya beliau. Sewaktu penulis skenario cum sutradaranya saya tanya, “Apakah nanti bakal ada Pak Sapardi muncul sebagai cameo?” Jawaban yang ia beri mematahkan harapan saya untuk bisa bertemu lagi dengan Pak Sapardi. Katanya, “Sepertinya tidak memungkinkan.” Namun dengan lekas ia berusaha membesarkan hati saya, “Barangkali sewaktu premier nanti bakal kami undang.” Mendengar itu saya gembira sekali!

    Ini project pertama saya terlibat langsung dalam proses pembuatan film panjang/layar lebar. Lantaran lokasi syutingnya di Banten, film ini kebetulan sepenuhnya berbahasa daerah Banten: Jawa dan Sunda. Saya bertindak sebagai salah satu accent-coach (dialek) untuk para talent. Puisi Hujan Bulan Juni lagi-lagi diinterpretasikan dalam medium lain. Memang, film dengan judul itu sudah pernah diproduksi dan tayang dalam bentuk film populer. Akan tetapi, film yang saya terlibat di dalamnya ini dibuat lebih “indie” dan “edgy”. Selain bakal masuk bioskop tahun 2021 nanti, film ini juga akan diikutkan dalam berbagai festival film internasional.

     Selama dua minggu syuting, Saya selalu membayangkan saat premier nanti bakal duduk bersebelahan dengan Pak Sapardi dan berbisik, “Ini saya lho yang pernah foto bareng Pak Sapardi waktu itu. Sekarang saya terlibat dalam penggarapan film ini.” Ingin sekali saya mengatakan hal itu pada beliau. Namun, sehabis suara gemuruh itu yang tampak olehku hanyalah // tubuhmu telanjang dengan rambut terurai // mengapung di permukaan air bening yang mengalir tenang -- // tak kausahut panggilanku.[2]

    Film itu nantinya akan dikenang sebagai tribute untuk Sapardi. Saya hanya akan duduk sendiri di sudut bioskop ditemani kursi yang kosong. Akan ada percakapan yang saya karang-karang sendiri di sana, sembari menyaksikan film yang dipersembahkan untuk penyair kita yang tabah, bijak, dan arif itu.

    Cilegon, 10 September 2020



    [1] Puisi Pada Suatu Hari Nanti karya Sapardi Djoko Damono ditulis tahun 1991 (Hujan Bulan Juni, 2013).
    [2] Puisi Sehabis Suara Gemuruh karya Sapardi Djoko Damono ditulis tahun 1973 (Hujan Bulan Juni, 2013).
    [3] Esai ini termaktub dalam buku, Sapardi Waktu Itu (Ode Bagi Sapardi Djoko Damono dalam Esai) diterbitkan oleh Bentara Budaya tahun 2020.

    Continue Reading
    *foto saat peringatan PHBI Maulid Nabi Muhammad SAW di Masjid At-Ta'awun Cibeber, bulan lalu. Almarhum KH. Mursi Qudsi berada di tengah, baris depan mengenakan kacamata dan peci haji. Bapak saya sedang menyambut tamu, tidak ikut foto-foto)
    “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu sekaligus dari para hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama, sehingga ketika tidak tersisa lagi seorang alim, maka manusia akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin....”—[Al-Bukhari (100, 7307); Muslim (2673)]

    Kemarin malam bapak sakit. Tubuhnya menggigil dan panas dingin. Ia juga berkata kalau kepalanya pusing. Saya menawarinya untuk periksa ke dokter, tapi bapak menolak. Ya, saya tahu ia akan berkata begitu. Apa yang dialami tubuhnya ini adalah efek dari pikirannya, dugaan saya. Sebab tiga hari sebelumnya, tanggal 07 Februari 2018/22 Jumadil Awal 1439 H, seorang sahabat bapak, meninggal dunia. Kami mengenalnya KH. Mursi Qudsi atau Ustadz Mursi. Namun sapaan akrab bapak ke belio: Syekh. Begitu pun sebaliknya.

    *) KH. Hilmi Abdul Majid ketika mengumumkan berita wafatnya KH. Mursi Qudsi di Masjid At-Ta'awwun. Beliau tampak tidak kuat menahan tangisnya dan membendung airmata. (credit video & Foto: Abdul Rofiq)

    Saya pikir bukan hanya bapak yang merasa kehilangan. Hampir sebagian besar masyarakat di kampung kami, Cibeber, sedih saat ditinggal pergi beliau. Selain bapak, beliau dianggap kesepuhan dan tetua di kampung kami. Banyak pengajian yang dipimpinnya. Setelah khatam mengaji Alquran di Bapak, saya juga kemudian mendaftar mengaji di Ustadz Mursi. Tak banyak kesalahan yang diperbaiki, sebab metode pengajaran bapak dan Ustadz Mursi tidak jauh berbeda. Beliau juga pengasuh pesantren, yang setiap sore santri putrinya datang berkunjung ke Rumah Baca Garuda untuk sekadar baca dan pinjam buku.
    Pak Kiai sahabat bapak sejak kecil. Keduanya sekolah dan belajar di pesantren yang sama. Bapak pernah berkisah, betapa kontrasnya perilaku mereka dahulu. Bapak dikenal bandel dan suka ribut, sedangkan Pak Kiai pendiam dan cenderung menengahi. Barangkali, hingga sekarang pun masih sama. Bapak dikenal sebagai Ustadz yang senang "nongkrong" sama anak muda, bahkan dengan orang yang dulu diajarnya—ia hanya seorang pensiunan guru agama, tak ada gelar Kiai padanya. Mereka pun tidak canggung, karenanya tak heran ketika ingin sekadar meminta saran dan bantuan, beberapa orang akan mendatangi bapak dahulu sebelum menemui Pak Kiai. Semacam menanyakan baiknya bagaimana memulai obrolan dengan sahabat bapak itu. Rumah keduanya satu gang tetapi tidak terlalu berdekatan.
    Malam pertama tahlilan kemarin, bapak yang memimpin doa. Namun di malam berikutnya bapak tak sanggup hadir. Banyak warga yang mencari bapak, atau paling tidak menanyakan kondisinya. Apakah ada di rumah? Apakah ia baik-baik saja?
    Keesokan harinya kesehatan bapak kembali pulih. Ia kemudian banyak bercerita. Salah satunya soal apa yang dialaminya kemarin malam, sewaktu ia tak bisa menghadiri tahlilan. Katanya, Pak Kiai datang menemuinya di rumah. Beliau "menjenguk" bapak dan bertanya, "kelipun boten hadir, Syekh? Gering nape?" sampai di situ saya dibuat merinding. Banyak faktor kenapa bapak bisa mengalami atau "memimpikan" hal ini, bisa jadi karena betapa dekat dan rindunya Bapak pada beliau. Yang jelas, setelah percakapan yang tak bisa saya tuliskan kelanjutannya di sini antara bapak dan Pak Kiai, bapak terbangun dan melakukan solat malam, untuk kemudian mengirimkan doa untuk sahabatnya.
    Banyak sekali yang berusaha ingin saya ceritakan, bahkan sejak hari pertama wafat Pak Kiai. Namun apalah daya, saya dibuat cemas dan seperti "diteror" oleh pikiran saya sendiri. Bagaimana tidak, Ramadhan tahun lalu, saya dipercaya untuk menggarap naskah drama tentang Kampung Cibeber. Saya menulis cerita soal bagaimana keadaan kampung bila ditinggal pergi oleh Kiainya. (Pementasan Drama: “Kampung Cibelenger: Si Mekah Cintil”)
    Respons masyarakat dalam cerita itu banyak yang menangis dan nyaris belum siap. Penonton yang hadir terbawa suasana. Tentu saja saya merasa berhasil. Juga tak lepas atas kerja keras kawan-kawan Remaja Islam Masjid Cibeber. Tak heran kemudian banyak sambutan positif dan apresiasi dari warga. Tentu saja kami senang. Lakon drama yang selama beberapa tahun terakhir ditiadakan mulai bangkit kembali. Namun, ketika apa yang kami lakonkan tahun lalu kemudian kejadian hari ini, apa yang bisa saya sampaikan ketika banyak orang yang mengirimi saya pesan, membuat status di medsos bahkan saat bertemu pun menegur, "Dee, kok bisa, ya, mirip sama drama tahun lalu?"
    Saya masih gemetar hingga detik ini, bahkan saat berusaha menuliskan postingan ini. Apakah kita sama-sama cemas soal krisis generasi yang dulu dianggap hanya rekaan itu? Bila ditanya siapa penerus Kampung Cibeber, saya berani jawab, "kita semua. Jangan saling tunjuk, tapi saling rangkul. Jangan saling menyalahkan, tapi salinglah memperbaiki."
    Usai menyalatkan jenazah Pak Kiai.
    Tugas Pak Kiai telah selesai. Beliau sudah tenang di sisi Allah Swt. Semoga amal dan ibadahnya diterima oleh-Nya. Segala ilmunya semoga bermanfaat dan bisa terus diamalkan oleh santri-santrinya dan masyarakat Cibeber. Kini waktunya kita berbuat untuk kebaikan Kampung tercinta ini....
    Prosesi pemakaman jenazah Pak Kiai
    Mari kirimkan doa untuk guru kita semua. Alfatihah....

    Cibeber, 11 Februari 2018


    *) credit video: Abdul Rofiq


    Continue Reading
    image by www.ubudwritersfestival.com
    Pukul 08.45 wita pelayan kamar hotel mengetuk pintu dari luar. Saya dan seorang kawan penulis emerging, Abdul Aziz Rasjid (Banyumas), kelimpungan mencari kunci kamarnya. Semalam, (27/10/17) kami habis menghadiri acara Private Dinner bersama Nh. Dini, penulis kanon Indonesia, di Pantjoran Retreat. Usai itu kami dengan mengendarai sepeda-motor-sewa-hasil-sokongan menuju Antonio Blanco untuk menyaksikan penampilan Eko Supriyanto dan Papermoon. Jadi wajar belaka kalau kami bangun agak telat, karena pulang larut malam sekitar pukul 02.00 wita—dan atas alasan itu juga saya ikut menginap di kamar Aziz. 

    Pagi itu Aziz mengurungkan niatnya untuk ke kamar mandi, paling tidak sebelum kuncinya ketemu. Ia bergegas mengecek saku celana, tas selempang, kantung kemeja, bawah bantal, meja televisi hingga balkon kamarnya. Saya, yang masih guling-guling di kasur dan setengah sadar seperti melihat adegan orang habis kena hipnotis, sialnya lekas berakhir setelah ia menyerah lalu bertanya, “kunci kamarnya di mana, ya, Bung?” belum saya menjawab, seseorang dari luar menyahut, “ini Mas, menggantung di luar.” Tepat setelah suara itu, kami bertukar tawa disertai umpatan dengan mulut yang belum gosok gigi.

    Sejak tiba di Ubud-Bali, Aziz orang kedua yang saya temui dari 16 penulis emerging lainnya. Dari Banten, saya tidak berangkat sendirian, tetapi 3 orang sekaligus; Aksan Taqwin Embe (Tangerang), Istrinya dan anaknya. Tentu yang lolos seleksi penulis emerging hanya Aksan. Saat pertama kali bertemu saya mencandainya, “wih, sekeluarga, nih?”, “iya, nih, sekalian bulan madu,” serobot pikiran saya. Nyatanya, Aksan cukup tertawa kecil menjawab pertanyaan basa-basi saya itu.

    Kami tiba di Ubud sekitar pukul 17.00 wita. Mulanya saya kira akan satu kamar dengan Aksan dkk (dan keluarga kecilnya), untungnya tidak. Setelah tahu, ternyata setiap penulis disponsori oleh patron-nya masing-masing. Bahkan kami beda hotel, namun jarak setiap hotel yang ditempati penulis emerging tidak terlalu jauh. Barangkali untuk memudahkan shuttle bus atau tim penjemput mengantar kami ke acara. Setiap acara yang melibatkan kami sebagai pembicara atau undangan, pasti akan diantar-jemput. Namun bila ada kegiatan atau agenda tersendiri di luar schedule yang sudah disepakati, panitia membebaskan kami. Untuk mudahnya, kami sewa motor.

    Sebelum semua yang hanya ada di khayalan itu terjadi, saya hanya penulis yang gemar coba-coba. Pada “percobaan” yang ketigalah akhirnya naskah saya berhasil lolos. Tadinya pikiran picik saya sempat menduga, “jangan-jangan panitia dan juri kasihan pada saya, jadi meloloskan agar tidak depresi,” namun dugaan itu terbantahkan di hari ketika semua penulis emerging dikumpulkan. Serunie Unie (Surakarta) yang mengirimkan 4-5 kali naskahnya itu bertanya langsung ke Ibu Janete DeNeefe (Founder & Director #UWRF), Kadek Purnami (General Manager) dan I Wayan Juniarta (Indonesian Program Manager).

    Bli Jun menanggapi kalau hal tersebut keliru. Para kurator dan penyelenggara murni menilai hanya dari karya tulisnya. “Kalaupun kemudian kalian lolos tahun ini, berarti memang naskah kalian sudah layak untuk dikenal pembaca internasional,” kurang lebih seperti itu. Mendengarnya, membuat perasaan saya menjadi sedikit lega.

    Kami anggap ucapan Bli Jun sebagai motivasi untuk menjaga kualitas karya kami bahkan agar terus membaik. Paling tidak, kepercayaan diri kami mulai meningkat berkat ucapannya. Hal pendukung lainnya yang cukup ampuh adalah name tag / tanda pengenal yang bertuliskan speaker di leher kami. Beberapa peserta atau pengunjung tak segan-segan menyapa kami bahkan ada yang meminta foto dan tanda-tangan. Di antara belantara kesunyian dan kesuntukan dengan naskah, akhirnya saya bisa menikmati juga bonusnya—dan #UWRF yang berhasil mewujudkan itu.

    Perjumpaan dengan sastrawan Indonesia pun terasa mudah berkat tanda pengenal itu. Nh. Dini, Seno Gumira Ajidarma, Laila S. Chudori, Sutardji Calzoum Bachri, Joko Pinurbo, Intan Paramaditha, Ahmad Fuadi dan penulis lainnya memosisikan kami sebagai kawan bicara yang “setara”—belum lagi dengan penulis dan pegiat seni dari mancanegara. Pelan-pelan rasa canggung pun memudar, meski dalam hati dag-dig-dug nggak keruan. Bagaimana tidak, para penulis yang saya baca karyanya selama ini, dengan mudah bisa mengobrol rileks dan makan bersama tanpa terburu-buru dan takut ditinggal pergi.

    Jauh sebelum itu semua, ketika tahu nama saya muncul dalam daftar penulis terpilih emerging Ubud Writers and Readers Festival 2017, saya cemas karena kemampuan berbahasa asing saya yang pas-pasan. Jangan-jangan nanti saat diskusi harus ngomong bahasa inggris, pikir saya. Awalnya, saya dikabarkan lolos lewat telepon tanggal 7 Juli 2017, sedangkan acara akan berlangsung tanggal 25-29 Oktober 2017. Ada sekitar waktu 3 bulan untuk saya belajar bahasa inggris lebih intens lagi. Sempat ingin ikut les dan sejenisnya, tapi karena keterbatasan biaya akhirnya saya belajar sendiri saja.

    Ketika tiba waktunya dan saat panel saya, di hari pertama program dimulai, kekhawatiran itu hilang. Selain kami diberi kemudahan komunikasi dan mengatur jadwal lewat Liasion Officer (LO), ternyata penyelenggara menyiapkan interpreter profesional bagi masing-masing penulis. Kami tidak usah dipusingkan dengan bahasa inggris, cukup berbicara bahasa Indonesia saja dan nanti akan diterjemahkan, termasuk pertanyaan dari audiens yang kebanyakan warga asing itu, kami cukup menjawabinya dengan bahasa Indonesia.

    Di blog pribadi saya sudah menuliskan perihal pengalaman terlibat di #UWF17. Ini catatan saya yang ke-4 yang juga masih berbicara soal keseruan acara tersebut. Namun, lagi-lagi saya merasa belum semuanya tertuang. Terlampau banyak hal menarik untuk dituliskan. Apalagi hanya dibatasi 700 kata. Yang jelas, saya sangat berterima kasih kepada semua pelaksana acara super keren ini. Kalau harus memilih satu kata untuk #UWRF, saya akan bilang: totalitas! Semua acara diskusi, pameran, pementasan seni dls, diatur sedemikian “niat”. Saya betul-betul beruntung bisa menyaksikan langsung acara sastra dan seni terbesar se-Asia Tenggara ini. Saya menjura untuk kerja keras kalian semua, guys!

    Cilegon, 16 Januari 2018



    _____________________________
    *) tulisan ini pernah dimuat di website: www.ubudwritersfestival.com,(15/02/18)
    Continue Reading
    Older
    Stories

    About me

    Photo Profile
    Ade Ubaidil, Pengarang, Cilegon-Banten.

    Pria ambivert, random dan moody. Gemar membaca buku dan berpetualang. Bermimpi bisa selfie bareng helikopter pribadinya. Read More

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: Perangkap Pikiran Beni Kahar

    (AG Publishing | 204 halaman | Rp75.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telat Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: SAHUT KABUT

    (Indonesia Tera | 160 halaman | Rp. 60.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Novel Adaptasi: YUNI

    (GPU | 174 halaman | Rp. 63.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Pengunjung

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Bedah Buku Dee Lestari

    Bedah Buku Dee Lestari

    Workshop & Seminar

    Workshop & Seminar

    Popular Posts

    • [RESENSI] NOVEL: HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (GPU, 2015)
    • [MY PROFILE] Terjerembap di Dunia Literasi: Lahan untuk Memerdekakan Pikiran (Utusan Borneo-Malaysia, 13 Desember 2015)
    • Musim Layang-Layang (Pasanggarahan.com, 30 Oktober 2015)

    Blog Archive

    • ►  2012 (5)
      • ►  October (3)
      • ►  December (2)
    • ►  2013 (41)
      • ►  January (1)
      • ►  March (5)
      • ►  April (4)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  August (1)
      • ►  September (3)
      • ►  October (3)
      • ►  November (16)
      • ►  December (5)
    • ►  2014 (20)
      • ►  January (2)
      • ►  April (3)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  July (1)
      • ►  September (1)
      • ►  November (6)
      • ►  December (4)
    • ►  2015 (21)
      • ►  February (5)
      • ►  March (2)
      • ►  April (3)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (5)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
      • ►  December (1)
    • ►  2016 (31)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  April (2)
      • ►  May (4)
      • ►  June (1)
      • ►  July (2)
      • ►  August (5)
      • ►  September (4)
      • ►  October (5)
      • ►  November (2)
      • ►  December (3)
    • ►  2017 (41)
      • ►  January (4)
      • ►  February (3)
      • ►  March (8)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  June (8)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (3)
      • ►  November (4)
      • ►  December (3)
    • ►  2018 (24)
      • ►  January (3)
      • ►  February (2)
      • ►  March (3)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  November (4)
      • ►  December (2)
    • ►  2019 (16)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (3)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (14)
      • ►  January (1)
      • ►  February (1)
      • ►  March (2)
      • ►  April (1)
      • ►  May (2)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (1)
      • ►  November (1)
      • ►  December (2)
    • ►  2021 (15)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  April (1)
      • ►  May (1)
      • ►  June (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (3)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  December (1)
    • ►  2022 (30)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  May (3)
      • ►  June (5)
      • ►  July (1)
      • ►  August (4)
      • ►  September (3)
      • ►  October (2)
      • ►  November (2)
      • ►  December (7)
    • ►  2023 (38)
      • ►  January (4)
      • ►  February (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (9)
      • ►  November (15)
      • ►  December (4)
    • ►  2024 (3)
      • ►  January (1)
      • ►  March (2)
    • ▼  2025 (1)
      • ▼  January (1)
        • Kumpulan Cerpen: Perangkap Pikiran Beni Kahar (AG ...

    Followers

    youtube facebook Twitter instagram google plus linkedIn

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top