Pages

  • Home
  • Privacy
  • Sitemaps
  • Contact
  • About Me
facebook instagram twitter youtube

Quadraterz.com

    • My Book
    • Cerpen
    • Novel
    • Esai
    • Puisi
    • Buku Antologi
    • Ulasan
    • Media
    • [Self-Depression]
    • Rumah Baca Garuda

    Poster film by Starvision

    Score: 8/10.

    Setelah sukses dengan film dan serial pertamanya, Imperfect Series 2 hadir lagi dengan sederet nama-nama yang di season sebelumnya sudah pernah nongol.

    Walaupun cerita dari ke-16 episodenya fokus ke kisah percintaan Maria (Zsazsa Utari), namun komedi situasi khas sentuhan Ernest Prakasa, yang kali ini bertindak sebagai produser, masih sangat kental.

    Ardit Erwandha masih dipercaya duduk di kursi comedy consultant menemani Naya Anindita sebagai sutradara sejak musim pertama.

    Berangkat dari film besutan Ernest, IP-nya merambah ke berbagai produk lantaran mendapatkan sambutan meriah dari penontonnya. Serial ini adalah produk spin-off karakter-karakternya yang berfokus pada kehidupan geng kosan.

    Satu hal yang mesti digarisbawahi, semua ini bermula dari buku yang ditulis Meira Anastasia, istri dari Ernest. Bisa terlihat, kan, betapa nasib dari sebuah buku bisa sejauh ini "menghidupi" penulisnya. (Jadi peluang kaya masih ada, nih, Dee) 🤣

    Masuk ke cerita, di musim kali ini saya dibuat jengkel dengan tokoh Endah (Neneng) karena dia tipe anak kosan teu daek modal. Setiap kali tiga sahabatnya sedang makan, dia akan muncul dengan muka melas dan bertanya "Itu teh apa?" sebaris kalimat yang membuat nafsu makan kawan-kawannya menurun karena artinya, Endah minta dibagi makanannya. Menariknya, walaupun kesal tetapi mereka tetap solid dan saling membantu, layaknya sahabat pada umumnya.

    Di musim kedua ini, komedinya lebih banyak dikendalikan oleh duet Prita (Aci Resti) dan Neti (Kiki Saputri). Bahkan celetukan-celetukan mereka yang di luar skenario menambah kekonyolan geng kosan dan terasa natural. Dua bocah betawi yang jago improvisasi. Kehadiran Aci dan Kiki benar-benar membuat penonton bertahan sampai habis.

    Sebab, setiap episodenya, lumayan panjang durasinya, sekitar 40-50 menit. Tetapi karena setiap karakter relate dengan penonton, saya sendiri termasuk yang ketagihan dengan plot yang ditawarkan setiap episodenya dan terasa cepat, saking menikmati keseruannya.

    Kisahnya memang sederhana, kehidupan sehari-hari, tetapi salah kalau kamu mengira isinya cuma haha-hihi, karena di beberapa episode kita bakal dibuat mewek oleh akting mereka. Apalagi pas scene Prita sama adiknya. 😭😭

    Barangkali, jika melihat dari endingnya, ke depan bakalan ada season berikutnya, terlihat dari animo penonton yang rela membayar beberapa rupiah untuk menonton lebih awal (fast track) sebelum dirilis secara gratis di WE TV Indonesia.

    Cilegon, 29 Januari 2023

    Continue Reading
    Official poster by Netflix.com

    Score: 8,5/10.

    Serial ini menemani saya saat sedang makan siang atau malam. Menonton Suda (Takayuki Hamatsu) melahap setiap makanannya, membuat nafsu makan saya meningkat, walaupun menu makanannya berbeda. 

    Setiap Jumat malam, sepulang bekerja, Suda akan melakukan road trip sendirian dengan mobilnya keliling daerah Jepang. Setiap weekend anak tunggal dan istrinya pun pergi berdua menonton konser band idola mereka. 

    Menariknya, mungkin ini benar-benar terjadi di Jepang sampai hari ini, banyak orang-orang Jepang yang berkemah di dalam mobil dekat taman atau danau sekitar. Mereka seolah tidak ada kekhawatiran akan didatangi orang jahat ketika mereka terlelap. Itulah yang sering dilakukan Suda, esok paginya barulah ia berburu makanan. 

    Berjumlah 12 episode, kita akan dibuat ngiler dengan beraneka menu makanan yang ditemukan Suda tanpa sengaja. Ia memang tak memiliki referensi restoran yang mau dikunjungi. Dia menyerahkan semua pada instingnya. Dan, setiap dia menemukan makanan tersembunyi itu, semuanya selalu nikmat dan tak pernah sekalipun zonk. 

    Sayangnya, setiap kali ia berkata kepada si pemilik restoran jika suatu saat akan kembali lagi, sang pemilik restoran selalu berkata: "Mungkin kita sudah tutup selamanya."

    Serial ini seolah ingin menunjukkan kalau makanan enak tak melulu bisa kita temukan di restoran mewah dan mahal, tetapi, mengarahkan kita untuk menemukan "hidden gem" dan masuk ke gang-gang untuk menemukan ruko kecil, yang dikelola keluarga secara turun-temurun, dan nyaris kalah dengan modernisme hingga terpaksa kalah dan tutup untuk selamanya.

    Serial ini ingin kita turut membuat para pemilik rumah makan kecil untuk teguh dan percaya pada usahanya bahwa rezeki dari Tuhan tak pernah tertukar. 

    Lewat tokoh Suda, kita akan diberikan referensi rumah makan sederhana di Jepang yang memang berdasarkan kisah nyata, lalu direka adegan oleh para aktor dan jadilah serial yang menggugah ini.

    Ekspresi yang dimunculkan Suda saat selesai menyantap makanannya benar-benar tulus tak terlihat dibuat-buat. Respons pemilik rumah makan pun seringkali membuat mata saya berkaca-kaca. Sebegitunya mereka mendedikasikan diri terhadap makanan. 

    Dan harap tonton sampai subtitle scene, karena kita akan ditunjukkan foto-foto si pemilik restoran sebenarnya dan bersanding dengan para aktor yang dipilih semirip mungkin. 

    Saya harap ada serial kuliner setipe di Indonesia, sebab banyak sekali makanan tradisional kita yang nyaris punah dan sepi peminatnya. 

    Cilegon, 23 Januari 2023

    Continue Reading

    Official poster by Rapi Films

    Score: 8/10.

    Saya menonton film ini tanpa punya referensi sinetron dengan judul serupa, masih terlalu bocah kayaknya di tahun itu, walaupun secara judul sering denger. 

    Saat di remake oleh sutradara Sabrina Rochelle Kalangie, saya seperti melihat film yang baru saja dengan tiga pemeran utama yang brilian. 

    Vibes yang dimunculkan dalam film mengingatkan saya dengan film Marriage Story (2019). Kisah keluarga yang secara ekonomi baik-baik saja tetapi tidak dalam hal keharmonisan antar pasangan. Korbannya adalah anak-anak. 

    Kasih sayang yang diperoleh kedua anaknya tidak utuh, dan bebannya ada di anak pertama sebab pernah melihat pertengkaran hebat kedua orang tuanya yang diujung tanduk pernikahan. 

    Meskipun ditutup dengan ending yang manis, saya rasa trauma yang membekas pada anak-anak Ambar (Marsha Timothy) dan Gilang (Oka Antara) masih akan terbawa sampai dewasa. 

    Hal yang sangat digarisbawahi dalam film ini adalah komunikasi. Dalam hubungan apa pun, bukan hanya hubungan berumah tangga, komunitas dua arah adalah koentji! 

    Yang saya kagumi, tiga aktor ini memainkan "drama"-nya dengan porsi yang pas tanpa upaya melebih-lebihkan. Bagian "Tampar, Mas!" walau sudah sering di spoiler dan jadi meme, tetapi tetap memiliki tekanan emosi yang dalam saat dimainkan oleh mereka. 

    Hal yang membuat saya terganggu adalah motif awal pertengkaran mereka. Sampai akhir tidak ditunjukkan apa yang membuat mereka akhirnya memutuskan untuk bercerai. Penonton hanya dibuat menebak-nebak, padahal cukup krusial sebab dari sanalah konflik dimulai. 

    Cilegon, 21 Januari 2023

    Continue Reading

    Official poster by Kawan-Kawan Media
    Score: 7/10.

    Setelah melanglang buana ke festival-festival film dunia, akhirnya kemarin saya berkesempatan untuk menonton film panjang pertama karya Makbul Mubarak ini di hari pertama penayangannya di bioskop. 

    Usai menonton saya dibuat melompong untuk beberapa saat. Entah seperti ada hal yang mengganggu tetapi saya belum tahu pasti apa itu. 

    Film ini menawarkan kengerian seorang pensiunan Jendral, Pak Purna (Arswendy Bening Swara) dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang menimpanya. Film ini dibuka dengan adegan ketika Rakib (Kevin Ardilova) anak si penjaga rumah, untuk pertama kalinya berjumpa dengan sang pensiunan Jendral, setelah bertahun-tahun ia tinggal di sana dengan bapaknya yang sekarang mendekam di penjara.

    Cerita mulai berjalan ketika Pak Purna mencalonkan diri sebagai bupati di daerahnya. Lalu ada Agus (Yusuf Mahardika) si anak petani yang menyampaikan pesan ibunya untuk tidak menggusur sawahnya demi pembangunan PLTA. 

    Berlatar tahun 2017, namun gambar yang ditawarkan seperti berada jauh dari masa kini. Saya seperti dibawa ke zaman Orde Baru yang setiap pergerakannya dibatasi. 

    Film ini mengingatkan saya pada tone film "The Power of The Dog" dan "Istirahatlah Kata-Kata" yang mencekam, intimidatif, dan menimbulkan banyak pertanyaan-pertanyaan. Bedanya, Autobiography seperti "malu-malu" menunjukkan kekejian dan ke-anomali-an sang pensiunan jendral. 

    Maksud dari judulnya sendiri baru saya pahami setelah pertengahan film. Bahwa Rakib adalah pion yang sedang "disekolahkan" untuk menjadi sosok seperti si jenderal, hebatnya si Rakib melawan dan menolak cerita hidupnya "dituliskan" oleh orang lain. Seperti yang dimunculkan dalam poster. 

    Official poster by Kawan-Kawan Media
    Saya dibuat kagum dengan intensitas yang dihadirkan para aktor. Bagaimana mereka mengembangkan karakter yang dimainkannya, perubahan kecil dari setiap adegan, dan respons karakter ketika menghadapi masalah semua berhasil disampaikan dengan baik. Selain itu saya ingin apresiasi untuk music scoringnya yang bikin tahan napas cukup lama, ditambah shaking camera yang mempertebal ketakutan si karakter. 

    Perubahan perilaku, psikologis, cara berpikir, dan tindakan setiap karakternya memiliki motif yang kuat—walaupun di beberapa bagian terkesan berlebihan. Semisal kenapa sang calon bupati melakukan "hal itu" pada Agus hanya karena perbuatannya yang bagi saya sepele. 

    Durasi filmnya tak terlalu panjang, bahkan saya merasa seperti baru saja selesai menonton film pendek. Karena tokohnya yang sedikit dan alur ceritanya tidak begitu melebar, fokus ke kehidupan dua tokoh utama saja: Rakib dan Purna. 

    Yang jelas, dari pengamatan saya, film ini ingin bicara bahwa di masa apa pun, penguasa selalu punya pilihan untuk semena-mena pada rakyat dan menindas sesuka hatinya. 

    Cilegon, 20 Januari 2023

    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Novel Adaptasi: YUNI

    (GPU | 174 halaman | Rp. 63.000)

    [PRE-ORDER]

    Pengunjung

    About me

    Photo Profile
    Ade Ubaidil, Pengarang, Cilegon-Banten.

    Pria ambivert, random dan moody. Gemar membaca buku dan berpetualang. Bermimpi bisa selfie bareng helikopter pribadinya. Read More

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: Apa yang Kita Bicarakan di Usia 26?

    (Epigraf | 164 halaman | Rp. 50.000)

    [PESAN]

    Bedah Buku Dee Lestari

    Bedah Buku Dee Lestari

    bedah buku #sbtml

    bedah buku #sbtml
    Bedah Buku di SMK Wikrama, Bogor pada: 23 April 2018

    Workshop & Seminar

    Workshop & Seminar

    Popular Posts

    • [RESENSI] NOVEL: HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (GPU, 2015)
    • Musim Layang-Layang (Pasanggarahan.com, 30 Oktober 2015)
    • [MY PROFILE] Terjerembap di Dunia Literasi: Lahan untuk Memerdekakan Pikiran (Utusan Borneo-Malaysia, 13 Desember 2015)

    Blog Archive

    • ►  2012 (5)
      • ►  October (3)
      • ►  December (2)
    • ►  2013 (41)
      • ►  January (1)
      • ►  March (5)
      • ►  April (4)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  August (1)
      • ►  September (3)
      • ►  October (3)
      • ►  November (16)
      • ►  December (5)
    • ►  2014 (20)
      • ►  January (2)
      • ►  April (3)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  July (1)
      • ►  September (1)
      • ►  November (6)
      • ►  December (4)
    • ►  2015 (21)
      • ►  February (5)
      • ►  March (2)
      • ►  April (3)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (5)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
      • ►  December (1)
    • ►  2016 (31)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  April (2)
      • ►  May (4)
      • ►  June (1)
      • ►  July (2)
      • ►  August (5)
      • ►  September (4)
      • ►  October (5)
      • ►  November (2)
      • ►  December (3)
    • ►  2017 (41)
      • ►  January (4)
      • ►  February (3)
      • ►  March (8)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  June (8)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (3)
      • ►  November (4)
      • ►  December (3)
    • ►  2018 (24)
      • ►  January (3)
      • ►  February (2)
      • ►  March (3)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  November (4)
      • ►  December (2)
    • ►  2019 (16)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (3)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (14)
      • ►  January (1)
      • ►  February (1)
      • ►  March (2)
      • ►  April (1)
      • ►  May (2)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (1)
      • ►  November (1)
      • ►  December (2)
    • ►  2021 (15)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  April (1)
      • ►  May (1)
      • ►  June (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (3)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  December (1)
    • ►  2022 (30)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  May (3)
      • ►  June (5)
      • ►  July (1)
      • ►  August (4)
      • ►  September (3)
      • ►  October (2)
      • ►  November (2)
      • ►  December (7)
    • ▼  2023 (5)
      • ▼  January (4)
        • [Ulasan Film] Autobiography: Merawat Kengerian dan...
        • [Ulasan Film] Noktah Merah Perkawinan: Komunikasi ...
        • [Ulasan Film] The Road to Red Restaurant List: Bik...
        • [Ulasan Film] Imperfect The Series 2: Kocak! Kocak...
      • ►  February (1)

    Followers

    youtube facebook Twitter instagram google plus linkedIn

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top