Pages

  • Home
  • Privacy
  • Sitemaps
  • Contact
  • About Me
facebook instagram twitter youtube

Quadraterz.com

    • My Book
    • Cerpen
    • Novel
    • Esai
    • Puisi
    • Buku Antologi
    • Ulasan
    • Media
    • [Self-Depression]
    • Rumah Baca Garuda

    Poster official by Starvision. 
    Score: 7,8/10.

    Salah satu hal yang mungkin paling "gila" untuk dilakukan sebagai kreator atau sineas adalah membuat sekuel dari karya terbaiknya—untuk tidak menyebutnya masterpiece. Itu pula yang dilakukan Ernest pada film Cek Toko Sebelah.

    Saat pertama kali penayangannya di tahun 2016, film CTS berhasil melambungkan nama Ernest Prakasa sebagai sutradara dan penulis skenario pendatang baru yang paling bersinar.

    Terbukti dari perolehan nominasi dan penghargaan pada ajang perfilman bergengsi tanah air yang diterimanya, satu di antaranya CTS memenangkan kategori penulis naskah skenario asli terbaik di Festival Film Indonesia tahun 2017.

    Tahun ini, dengan gagahnya Ernest membuat film CTS2 setelah sebelumnya berhasil dengan musikal dan series dari IP yang sama. Sebagian besar penggemar karyanya gembira, sebagian lagi ragu-ragu, dan sebagian kecilnya tidak peduli. Saya ada di gerombolan kedua. 

    Saya pernah dikecewakan, dan ini sering saya ulang-ulang di catatan dan postingan saya, soal karya fenomenal Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono. Karya itu, sukses hanya pada jalur puisi, tidak untuk novel trilogi apalagi filmnya. Kekaguman saya pada puisi itu jadi berkurang akibat ternodai oleh "ambisi" mengulang keberhasilan masa lalu. 

    Ernest sendiri mengakui, dalam beberapa wawancara, alasan muncul CTS2 tak lain untuk menarik penonton ke bioskop pasca-pandemi karena ia dan Starvision, PH yang menaunginya ada kekhawatiran soal itu. Walau ternyata, pemulihan masyarakat dan kerinduannya menonton di bioskop malah meningkat lebih cepat dari perkiraan.

    Kenapa CTS1 yang dipilih untuk dikembangkan, alasannya jelas, karena film ini secara jumlah penonton mencapai jutaan dan terus diminati hingga saat ini—saya termasuk yang menontonnya berulang kali. 

    Beruntungnya, film CTS2 ini tidak gagal. Sayangnya, tidak bisa pula disebut sukses menjadi lebih baik dan melampaui film terdahulunya. Seperti yang saya katakan di awal, karya yang sudah sebagus itu, kalau dipaksa untuk ditarik-tarik lebih panjang ceritanya, pasti sulit. Walaupun, di beberapa kasus boleh dikatakan berhasil. Avatar contohnya, eskalasinya terus meningkat dari yang pertama ke yang kedua. 

    Dari segi cerita, isu yang dibawa oleh Ernest dan Meira jauh lebih serius dibanding sekadar mewariskan toko kelontong seperti yang pertama. Kali ini para karakter ditunjukkan backstory-nya yang kelam dan traumatik.

    Namun lagi-lagi, terlalu banyak sub-plot yang dijejalkan sehingga fokus penonton jadi terbagi-bagi. Kita akan melihat masalah yang terjadi dengan Erwin (Ernest) dan Natalie (Laura Basuki) perihal pernikahan, dan belum selesai dengan itu, muncul masalah baru di keluarga kecil Yohan (Dion Wiyoko) dan Ayu (Adinia Wirasti) tentang keinginan punya anak, yang isunya digali sedalam itu. 

    Belum lagi perkara "pergantian pemain" Natalie yang sebelumnya diperankan oleh Giselle, kini diganti posisinya oleh Laura Basuki. Memang, pemilihan Laura adalah keputusan yang sangat tepat, tetapi masalahnya kemudian adalah, terjadi ketimpangan yang tidak bisa ditutupi oleh Ernest. 

    Terlalu banyak beban pikiran yang mesti ditanggung Ernest secara personal. Ia merangkap banyak tugas: aktor, sutradara, dan penulis skenario. Sehingga yang terjadi adalah tampak di beberapa adegan, Ernest terlihat bekerja lebih keras dan kesulitan mengimbangi akting Laura yang brilian. 

    Kamu akan tahu maksud saya ketika nanti menonton langsung di bioskop. Ketika ada satu scene long take, feeling yang mesti diterima penonton jadi serba tanggung, karena beban ceritanya ada di Ernest selaku Erwin si tokoh utama. Ia tampak betul kewalahan meladeni kepungan aktor ternama dalam satu scene itu. Padahal, itu salah satu bagian terpenting dari plot yang dibangun sejak awal. Semua rahasia yang tersembunyi, terbongkar di sana. 

    Secara komedi, walau tak sebanyak film pertama, porsi di sekuelnya ini tetap pas dan enak dinikmati. Kuartet geng Capsa masih selucu itu meski pakai format komedi yang sama, tapi justru menjadi ciri khas tersendiri tektokan dan celetukan masing-masing tokohnya—mereka bisa nih dijadiin spin-off. 

    Terlepas dari itu semua, penulisan skenario Ernest dan Meira masih layak diacungi jempol. Penulisan rapi, eksekusi ciamik, hanya masih kurang tegaan untuk menerapkan teori "killing the darling" pada naskahnya. Mereka sesayang itu sampai semua sub-plot dipaksa masuk—padahal bisa, kan, disimpan untuk series atau prekuel berikutnya. 

    Kehebatan mereka dalam penulisan bisa dilihat pada babak tiga alias pada menit menjelang akhir film. Ernest boleh dibilang cukup jago "mengakhiri" problematika yang ruwet itu dengan menawarkan alternatif solusi yang masuk akal dan tidak ada kesan memaksa. 

    Kunci dari cerita CTS2 ini ada pada Koh Afuk (Chew Kin Wah). Aktingnya yang effortless berhasil membuat saya menangis sejadi-jadinya saat ia datang untuk menghibur Erwin anak bungsunya, dan menekan egonya sebagai ayah untuk menghadapi Agnes (Maya Hasan), mamanya Natalie. Gila, sebesar itu pengorbanan orang tua demi anak-anaknya 😭

    Film yang hangat dan layak ditonton sebagai penutup akhir tahunmu. Kemarin saya mengajak Emak saat menonton di hari pertama penayangannya yang bertepatan dengan Hari Ibu. Kami menangis bersama di bioskop dan itu menjadi salah satu momen paling berharga.

    Film ini mengajarkan banyak hal tentang bagaimana seharusnya menghargai pendapat orang tua terhadap anak, dan begitu pun sebaliknya. 

    Cilegon, 23 Desember 2022

    Continue Reading

     

    Poster film by Netflix.com

    Score: 8,5/10.

    Satu lagi film action-comedy buatan Indonesia yang berada di top level. Menurut saya, film Mencuri Raden Saleh secara teknis kamera dan gambar sudah cukup oke, namun, saat menonton ini terasa betul The Big 4 garapan Timo Tjahjanto ini jauh lebih matang. 

    Cerita The Big 4 berpusat pada Dina (Putri Marino), detektif yang dikenal lurus dan memegang teguh prinsip sebagai anggota polisi. Suatu hari, Dina mendapati sang ayah, Petrus (Budi Ros) meninggal secara misterius.

    Ia berupaya mengungkap misteri kematian ayahnya dengan mengikuti petunjuk yang ditemukan. Berbagai petunjuk membawa Dina ke sebuah pulau tropis bernama Pulau Bersi. 

    Di sana ia berjumpa dengan keempat mantan pembunuh bayaran bernama Topan (Abimana Aryasatya) alias si pemimpin, Jenggo Si Sniper (Arie Kriting), Alpha Si Garang (Lutesha), dan Pelor si Umpan (Kristo Immanuel).

    Singkat cerita, mereka jadi berkawan dan bekerja sama demi mengungkap siapa pembunuh ayah Dina. 

    Tokoh-tokoh dan karakternya begitu kuat dan sangat berbeda-beda cara berpikirnya. Satu sama lain memiliki perannya masing-masing dan justru hal itulah yang membuat film ini menarik. 

    Teknik kamera, alur cerita, dan adegan bertarungnya terasa sangat fresh untuk film Indonesia. Film Timo kali ini membawa angin segar bagi perfilman tanah air, dan beruntungnya tayang di Netflix sehingga bisa ditonton lebih banyak orang di seluruh dunia. 
    Kemarin, film ini sempat menduduki peringkat 1 worldwide sebagai film yang banyak ditonton. Memang layak menyandang predikat itu. Dan, film ini tidak akan membosankan untuk ditonton berkali-kali! 

    Bagi yang tidak suka kekerasan dan darah, kayaknya pikir ulang buat nonton. Walaupun adegan penembakan dan pembunuhan di film ini terasa seru dan menyenangkan alih-alih menyeramkan. 

    Kristo kentang, lu pendatang baru di dunia sinema, tapi akting lu gilaaaa!! Bener-bener mencuri perhatian, bisa mengimbangi Abimana dan Putri Marino!! 

    Cilegon, 21 Desember 2022


    Continue Reading

    Poster film Avatar 2

    Score: 9,5/10.

    "𝙎𝙚𝙤𝙧𝙖𝙣𝙜 𝘼𝙮𝙖𝙝 𝙢𝙚𝙡𝙞𝙣𝙙𝙪𝙣𝙜𝙞, 𝙞𝙩𝙪𝙡𝙖𝙝 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙢𝙚𝙢𝙗𝙪𝙖𝙩 𝙝𝙞𝙙𝙪𝙥𝙣𝙮𝙖 𝙗𝙚𝙧𝙢𝙖𝙠𝙣𝙖."

    Berbeda dengan filmnya yang pertama, film kedua Avatar ini terasa lebih hangat dan lebih banyak mengeksplorasi kisah tentang keluarga. Jake Sully (Sam Worthington) dan Neytiri (Zoe Saldana) fokus membesarkan anak-anaknya selagi serangan dari Bangsa Langit belum kembali. 

    Sebelum menonton bagian kedua ini, saran saya coba tonton film yang pertamanya lebih dulu yang tayang tahun 2009, agar memudahkan kita untuk memahami jalan ceritanya.

    Meski durasinya 3 jam lebih—lebih lama dari yang pertama—bagi saya malah kurang. Bagian kedua ini, sesuai judulnya, sudah tidak lagi mengekslorasi Avatar hutan, tetapi masuk ke koloni Avatar laut yang begitu indah. 

    Saya tak henti-hentinya mengagumi karya James Cameron selaku sutradara. Ia dan timnya membangun dunia baru yang meyakinkan. Bahkan saya malah curiga, jangan-jangan, penantian panjang selama 13 tahun ini dia mencari letak dunia Pandora dan berhasil menemukannya. 

    Saya mengatakan itu karena saking begitu meyakinkannya dan terlihat nyata. Saya penasaran bagaimana kalau nonton yang versi 3D, pasti lebih terasa lebih hidup lagi.

    Konflik yang dihadirkan memang tidak seklimaks yang pertama, tetapi saya paham, bisa jadi yang kedua ini baru konflik permukaan yang akan dibawa lebih jauh di Avatar 3 yang konon sudah selesai syuting dan memiliki durasi 9 jam sebelum diedit. Gila!! 

    Yang kedua ini hanya memenuhi balas dendam Kolonel Miles Quaritch (Stephen Lang) kepada Jake Sully, tidak ada alasan yang kuat seperti di Avatar 1 yang fokus tentang perebutan tanah Pandora. 

    Terlepas dari itu, pemandangan pantai, bawah laut, ikan-ikan, terumbu karang, pedesaan, penduduk Pandora dan Metkayina, serta semua keajaibannya itu, mustahil untuk tidak berdecak kagum saat melihatnya.

    Makanya saya sempat mengutuki mereka yang memberi nilai rendah untuk film ini. Saya saja sampai menonton dua kali dan tetap dengan kekaguman yang sama pada setiap scenenya! 

    Sungguh tak sabar menantikan petualangan Avatar berikutnya. Mungkin akan datang ke koloni lainnya dengan pemandangan yang semakin indah! 

    Cilegon, 20 Desember 2022

    Continue Reading

    dokumentasi oleh tim Indosat.
    Score: 8,5/10.

    Sebetulnya, saya jarang sekali mengulas webseries atau film pendek apalagi yang tayang di youtube, tetapi kali ini pengecualian. KJTK yang tayang di youtube Indosat ini berhasil mencuri perhatian saya sejak episode pertama.

    Ernest Prakasa selaku kreator dan Showrunner bersama timnya boleh dibilang berhasil mengeksekusi webseries “advertorial” ini cukup menghibur dan menyenangkan untuk ditonton. Padahal, assemble castnya kebanyakan artis pendatang baru semua, namun karena cerita drama komedi yang ditulis oleh Sigit ini ajeg, sehingga siapa pun pemainnya tetap bisa dinikmati.

    Total ada 8 episode dengan durasi yang cukup pendek, namun tayang seminggu sekali. Sekarang sudah tayang semua. Saat episode finale kemarin, saya berkesempatan memenangkan undangan untuk menonton bersama cast dan krunya.

    Saat sesi tanya jawab, saya penasaran dengan “brief” yang diberikan oleh Indosat selaku sponsor dan yang meng-hire mereka. Bagaimana bisa, kata saya, webseries yang didanai oleh sebuah provider besar tidak memunculkan product placement di setiap scene-nya?

    Pertanyaan tersebut tentu saja maksudkan sebagai pujian, sebab kita tahu, setiap melihat webseries macam ini, pasti diselipi iklan lewat dialog atau malah dijadikan inti cerita tersebut, karena tujuannya biasanya kan untuk promosi dan mengenalkan produknya.

    Di KJTK ini nyaris tidak ada, soft selling sekali dan hanya memasukkan lewat tone colour product ke latarnya saja. Memang, tokoh Satha (Nadine Alexandra) dan Bams (Ge Pamungkas) diceritakan bekerja di perusahaan Indosat, tetapi tidak sama sekali jadi poin cerita. Justeru fokus ceritanya pada Satha dan Trio (Chicco Kurniawan) sebagai barista di Hiro Coffe.

    Salman Fariz, sang sutradara yang kebetulan hadir saat itu mengaku merasa beruntung karena diberi kebebasan ketika menggodok ceritanya. Pihak Indosat memang inginnya tidak terlalu hard-selling karena toh, menurut perkiraan saya, penoton tetap akan rajin mengunjungi youtube Indosat karena sudah terikat dengan ceritanya yang menarik. Otomatis, screen time penonton meningkat secara tidak langsung sehingga pada akhirnya, pengenalan produk bisa dibilang berhasil. Sebagai penulis, saya perlu mempelajari hal teknis seperti ini.

    Secara keseluruhan, saya suka dengan webseriesnya dan assamble antar castnya, hanya sayang Nadine di beberapa scene kurang bisa mengimbangi akting Chicco. Selain itu, saya berikan salut juga untuk duet Yono (Mail) dan Leyla (Laras) yang pandai memainkan dialog komedi dengan porsi yang pas pada timing yang tepat. Sehingga terasa menyenangkan, komikal, dan jauh dari cringe. Salut juga untuk Ge Pamungkas yang sukses memainkan tokoh Bams yang konyol dan absurd tanpa terlihat berlebihan.

    Bocorannya, webseries ini bakal ada season keduanya. “Selama harganya nggak naik!” seru pihak Indosat disusul tawa dari para pemain.

    Cilegon, 18 Desember 2022


    Tonton di sini:



    Continue Reading

    Poster film by Netflix.com
    Score: 8,5/10.

    Sejak kecil, barangkali minimal sekali saja kita pernah menonton animasi boneka kayu ini di televisi, atau paling tidak pernah mendengar dan membaca dongengnya. Ada banyak sekali versi filmnya yang sudah tayang, dan barusan saya menonton animasi Pinocchio dalam versi stop-motion di Netflix—lain lagi dengan versi Disney+, kebetulan keduanya tayang bersamaan di tahun ini. 

    Versi Pinocchio di Netflix ini disutradarai oleh Guillermo del Toro's. Cukup banyak film yang sudah ditanganinya seperti Hell Boy (2004) dan The Shape of Water (2007) yang berhasil memenangkan nominasi Best Picture di Academy Oscar 2018. Selain itu ia juga dibantu oleh Mark Gustafson yang paham dengan film animasi stop-motion. 

    Ia cukup melakukan banyak improvisasi pada karakter yang diadaptasi dari buku "Petualangan Pinocchio" karangan Carlo Collodi, penulis asal Italia itu. 

    Dalam versi Guillermo ini kisah hidup Kakek Geppetto (David Bradley) si tukang kayu, digambarkan sedemikian tragis dan nelangsa hidupnya ketika ditinggal mati Carlo, anak semata wayangnya—saya mulai bertanya-tanya kakek-kakek kenapa punya anak masih usia belia, apakah Carlo anak angkat? Sayangnya tidak dijelaskan dalam film. 

    Film Pinocchio versi ini ceritanya terasa lebih gelap dan sendu. Banyak tokoh-tokoh yang di versi lainnya tidak ada, semisal Sebastian J. Cricket (Ewan McGregor) jangkrik cerdas yang tinggal di dada Pinocchio (Gregory Mann) merangkap sebagai narator cerita, Count Volpe (Christoph Waltz) pemilik sirkus keliling, Spazzatura (Cate Blanchett) si monyet sirkus, pemimpin Perang Dunia II dan tokoh lainnya. 

    Official Poster by Netflix.com
    Selain itu banyak dialog filosofis yang mengajak penonton untuk merenunginya. Semisal ketika Kakek Geppetto sedang memperbaiki patung kayu Yesus di Gereja yang terkena bom, dengan polosnya Pinocchio bertanya:

    "Ayah, ada hal yang tidak kumengerti. Kenapa semua orang menyukai dia?" tanya Pinocchio sambil menunjuk ke arah patung kayu Yesus yang dibuat ayahnya. "Mereka semua bernyanyi untuknya. Padahal dia terbuat dari kayu juga. Kenapa dia disukai, tetapi aku tidak?"

    Kutukan hidung panjangnya jika berbohong pun tetap ada, karena itu yang membuat ceritanya hidup sampai sekarang. Bahkan akan ada satu momen Kakek Geppetto memperbolehkan Pinocchio berbohong demi kebaikan. 

    Film ini konon dikerjakan sejak tahun 2013 dan berhenti di tahun 2014 karena biaya dan tidak ada perkembangan. Barulah di tahun 2018 setelah bekerja sama dengan Netflix, proyek personal Guillermo ini  kembali dikerjakan.

    Saya dibuat terkagum-kagum dengan dedikasi semua cast dan crew-nya setelah menonton behind the scene-nya yang juga tayang di Netflix berjudul: Pinocchio - Handcarved Cinema (2022). 

    Barangkali, dugaan saya film ini bakal menyabet banyak sekali penghargaan di banyak festival dan terutama di Academy Award atau piala Oscar di tahun depan.

    Cilegon, 11 Desember 2022

    Continue Reading

    poster by Netflix.com
    Score: 7,5/10.

    Bagi penggemar film fiksi fantasi atau sejenisnya, serial Wednesday ini sepertinya bakal digemari kehadirannya. Hanya ada 8 episode dan masing-masing durasinya hampir 1 jam, kita akan dipaksa untuk menebak siapa monster yang telah membunuh banyak orang di lingkungan kota Jorich, tempat sekolah Nevermore berdiri—sekolah khusus bagi manusia "buangan".

    Karakter Wednesday Addams (Jenna Ortega) digambarkan begitu kuat. Pakaian gotik, Cuek, psikopat, tidak ekspresif, dan nir-empati membuat ia dijauhi lingkungan sekitarnya, bahkan teman-teman di asrama Nevermore. Ia bisa melihat masa depan dan masa lalu seseorang atau sejarah suatu bangunan hanya dengan menyentuhnya. Sayangnya ia tidak bisa mengontrol kekuatannya tersebut.

    Alur cerita mulai berjalan ketika ayahnya dituduh sebagai seorang pembunuh yang keji, sampai kemudian Wednesday mencari tahu fakta sesungguhnya. Ia kemudian menemukan banyak kejanggalan di sekolah tersebut hingga membawanya ke kasus pembunuhan berantai yang dilakukan oleh monster misterius.

    Baik karakter utama maupun karakter pendukungnya dibangun dengan begitu kuat dan memiliki keunikannya masing-masing. Dan hampir semuanya memunculkan kecurigaan penonton bahwa mereka semua memiliki motif sebagai si monster dan dalangnya.

    Sayangnya, pertarungan Wednesday dengan sosok yang sejak awal disebutkan kurang mencapai klimaksnya. Padahal, alur ceritanya sejak awal dibangun menuju pertarungan tersebut.

    Serial ini konon spin-off dari animasi Addams Family dan dikabarkan bakal ada season keduanya sebab di episode akhir ditutup dengan open-ending.

    Terlepas dari itu semua, serial ini tetap worth-it untuk ditonton dan dijadikan hiburan. Durasi 1 jam setiap episodenya terasa kurang dan malah bikin nagih~


    Cilegon, 07 Desember 2022
    Continue Reading

    poster by Starvision Plus
    Score: 7/10.

    Setelah sukses di film Ghost Writer 1 yang ditulis dan disutradarai oleh Bene Dion, Starvision Plus kembali memproduksi GW 2 dengan menggaet penulis dan sutradara baru, Muhadkly Acho. Bene Dion dan Ernest Prakasa kali ini bertindak sebagai produser kreatifnya.

    Sejujurnya, saya lebih suka GW 1 karena ditulis dengan porsi yang pas antara komedi dan dramanya. Di GW 2 terlalu banyak unsur komedi dan saat masuk ke scene drama, terasa ada sentuhan yang kurang, baik soal pengadeganan dan chemistry antar pemain. Berasa nanggung aja gitu.

    Dan, yang kedua ini kehilangan esensi dari "penulis hantu" itu sendiri. Vino (Deva) di sini hanya bertindak sebagai editor berbeda dengan Galih (Ge Pamungkas) di GW 1.

    Isu yang diangkat cukup berat dan sensitif, yakni tentang human trafficing/penjualan organ tubuh manusia. Sayangnya, kurang digarap terlalu dalam karena memang pendekatan filmnya sejak awal begitu ringan cerita sehari-hari, saat di bawa ke isu itu berasa timpang.

    Satu hal yang saya senangi adalah kemunculan cameo Djenar Maesa Ayu sebagai Kirana Widuri, seorang penulis senior yang bukunya best seller. Terlebih scene ketika Naya (Tatjana Saphira) merasa rendah diri saat Kirana mengajaknya menulis karya kolaborasi.

    "Saya cuma penulis novel pop horor, beda sama Mbak Kirana yang menulis sastra serius dan berbobot," kata Naya menunduk.

    "Karya yang berbobot itu adalah karya yang bisa menggugah perasaan dan pikiran pembacanya. Jadi yang paling penting adalah bagaimana kita bisa mengkomunikasikan karya itu. Sebagus apapun estetikanya, tetapi kalau kita tidak bisa mengkomunikasikan dengan baik, percuma, kan? Sastra adalah karya seni, dan seni sejatinya tidak bisa diadu. Semua sama mulianya, semua sama terhormatnya."

    Jawaban Kirana sangat bijak bestari sebagai sastrawan senior—berbeda jauh dengan keadaan dunia kesusastraan kita. *cmiiw*

    Secara keseluruhan, film ini masih cukup menghibur, dengan porsi komedi yang pas dan tidak membosankan.

    Cilegon, 08 Desember 2022
    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Novel Adaptasi: YUNI

    (GPU | 174 halaman | Rp. 63.000)

    [PRE-ORDER]

    Pengunjung

    About me

    Photo Profile
    Ade Ubaidil, Pengarang, Cilegon-Banten.

    Pria ambivert, random dan moody. Gemar membaca buku dan berpetualang. Bermimpi bisa selfie bareng helikopter pribadinya. Read More

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: Apa yang Kita Bicarakan di Usia 26?

    (Epigraf | 164 halaman | Rp. 50.000)

    [PESAN]

    Bedah Buku Dee Lestari

    Bedah Buku Dee Lestari

    bedah buku #sbtml

    bedah buku #sbtml
    Bedah Buku di SMK Wikrama, Bogor pada: 23 April 2018

    Workshop & Seminar

    Workshop & Seminar

    Popular Posts

    • [RESENSI] NOVEL: HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (GPU, 2015)
    • Musim Layang-Layang (Pasanggarahan.com, 30 Oktober 2015)
    • [MY PROFILE] Terjerembap di Dunia Literasi: Lahan untuk Memerdekakan Pikiran (Utusan Borneo-Malaysia, 13 Desember 2015)

    Blog Archive

    • ►  2012 (5)
      • ►  October (3)
      • ►  December (2)
    • ►  2013 (41)
      • ►  January (1)
      • ►  March (5)
      • ►  April (4)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  August (1)
      • ►  September (3)
      • ►  October (3)
      • ►  November (16)
      • ►  December (5)
    • ►  2014 (20)
      • ►  January (2)
      • ►  April (3)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  July (1)
      • ►  September (1)
      • ►  November (6)
      • ►  December (4)
    • ►  2015 (21)
      • ►  February (5)
      • ►  March (2)
      • ►  April (3)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (5)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
      • ►  December (1)
    • ►  2016 (31)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  April (2)
      • ►  May (4)
      • ►  June (1)
      • ►  July (2)
      • ►  August (5)
      • ►  September (4)
      • ►  October (5)
      • ►  November (2)
      • ►  December (3)
    • ►  2017 (41)
      • ►  January (4)
      • ►  February (3)
      • ►  March (8)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  June (8)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (3)
      • ►  November (4)
      • ►  December (3)
    • ►  2018 (24)
      • ►  January (3)
      • ►  February (2)
      • ►  March (3)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  November (4)
      • ►  December (2)
    • ►  2019 (16)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (3)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (14)
      • ►  January (1)
      • ►  February (1)
      • ►  March (2)
      • ►  April (1)
      • ►  May (2)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (1)
      • ►  November (1)
      • ►  December (2)
    • ►  2021 (15)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  April (1)
      • ►  May (1)
      • ►  June (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (3)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  December (1)
    • ▼  2022 (30)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  May (3)
      • ►  June (5)
      • ►  July (1)
      • ►  August (4)
      • ►  September (3)
      • ►  October (2)
      • ►  November (2)
      • ▼  December (7)
        • [Ulasan Film] Ghost Writer 2: Komedi yang Pas Namu...
        • [Ulasan Film] Wednesday: Fiksi Fantasi yang Menggu...
        • [Ulasan Film] Pinocchio: Kisah Tulus Cinta Anak-Ay...
        • [Ulasan Film] Kalau Jodoh Takkan Kemana: Seru dan ...
        • [Ulasan Film] Avatar The Way of Water: Problematik...
        • [Ulasan Film] The Big 4: Aksi Gokil Para (Mantan) ...
        • [Ulasan Film] Cek Toko Sebelah 2: Porsi Komedi yan...
    • ►  2023 (5)
      • ►  January (4)
      • ►  February (1)

    Followers

    youtube facebook Twitter instagram google plus linkedIn

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top