Pages

  • Home
  • Privacy
  • Sitemaps
  • Contact
  • About Me
facebook instagram twitter youtube

Quadraterz.com

    • My Book
    • Cerpen
    • Novel
    • Esai
    • Puisi
    • Buku Antologi
    • Ulasan
    • Media
    • [Self-Depression]
    • Rumah Baca Garuda

    source by PIXABAY

    Tanggal 6 dan 9 Agustus adalah masa berkabung bagi Negera Jepang. Dua kota industrinya yakni Hiroshima dan Nagasaki, hancur lebur dan menjadi debu di tahun 1945 karena bom atom yang dijatuhkan oleh pasukan Amerika saat Perang Dunia II. Peristiwa itu menewaskan puluhan ribu penduduk Jepang. Menurut Dr. Harold Jacobsen, ilmuwan dari proyek Manhattan, banyak orang percaya tidak akan ada yang tumbuh, atau hidup, di kota ini dalam waktu 70 tahun.

    Namun dari informasi yang saya himpun, di musim gugur 1945, di tahun yang sama, gulma mulai tumbuh mengacaukan ramalan para ahli. Pun di musim panas berikutnya bunga oleanders bermekaran. Cabang-cabang baru pohon-pohon kapur barus—banyak di antaranya berusia ratusan tahun—mulai tumbuh. Pemulihan tanaman ini menyentuh hati orang lokal. Oleander dan kapur barus kemudian dinyatakan sebagai bunga dan pohon resmi Hiroshima, simbol ketahanan kota yang disayangi.

    Melalui semangat itu, Jepang menjadi negara yang ingin saya kunjungi, untuk menyelesaikan tulisan saya tentang bagaimana membangun motivasi bagi orang-orang yang kalah dan menyerah. Dua buku terakhir saya yang sudah terbit berjudul, “Surat yang Berbicara tentang Masa Lalu” (Basabasi, 2017) dan “Apa yang Kita Bicarakan di Usia 26?” (Epigraf, 2019), dan "Sahut Kabut" (Indonesia Tera, 2022) banyak mengangkat soal kelokalitasan, yakni tempat saya lahir dan tinggal, tokoh-tokoh yang berterima dan mampu berdamai dengan diri sendiri lalu bangkit memulai semuanya dari awal, juga banyak pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab.

    Jepang, adalah salah satu negara yang berhasil menjadi negara maju, baik dalam sektor pendidikan, industri, ilmu pengetahuan/sains, dan ekonomi, dengan tetap mampu mengangkat kebudayaannya. Bahkan di serial manga dan animenya. Saya berencana mengunjungi perpustakaan Hiroshima City Manga Library. Perpustakaan dengan koleksi buku manga terbanyak di Jepang. Saya ingin mengulik tentang awal mula penerbitan karya-karya manga.

    Ada wawancara yang ingin saya lakukan dengan penduduk lokal dan dari dinas kebudayaan di sana, khususnya Hiroshima yang jadi tempat tinggal selama penelitian ini berlangsung. Kalau berkesempatan, karena nanti yang ingin saya tulis adalah novel, saya penasaran dengan Eiichiro Oda, komikus dan pengarang serial One Piece. Bagaimana ia membangun karakter, merajut alur cerita yang kuat, menyisipkan kritik sosial bagi negara tercintanya, juga memadukan banyak sejarah dalam sebuah serial manga—yang tentu saja itu tidak mudah. Belum lagi ia harus menggambarkan cerita itu dalam bentuk komik.

    Barangkali, ada semacam motivasi yang dibangun sejak kecil melalui serangkaian peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu, kali ini fokusnya pada kejadian bom atom di Hiroshima, sehingga generasi di Jepang begitu disiplin dan yakin dengan mimpi-mimpinya (sekalipun sama-sama kita tahu angka bunuh diri masih tinggi di sana).

    Dua rujukan buku yang saya baca, “Hiroshima” karangan John Hersey, sebuah catatan yang ditulis bergaya jurnalisme-sastrawi itu betul-betul berhasil mengetuk kesadaran saya. Betapa perang, tidak akan bisa menyelesaikan apa pun dan tidak bisa dibenarkan apa pun alasannya. Sebab, yang merasakan dampaknya adalah generasi setelahnya, yang dihancurkan semangatnya, tubuhnya, bahkan dipisahkan dari orang-orang terkasihnya.

    Ini bertalian erat dengan buku berikutnya yang saya baca, “Kami Anak-Anak Bom Atom” dieditori oleh Osada Arata, berisi tentang kumpulan cerita dari saksi mata bahkan korban pada saat kejadian bom atom itu dijatuhkan. Ditulis oleh anak-anak pada masa itu, dengan sangat lugu dan polos, yang justru menjadi tinjuan keras di dada pembaca, trauma macam apa yang menghantui hidupnya. 

    Bagaimana mereka kehilangan ayah-ibunya, kakaknya, adiknya, dan yang memilukan bagaimana mereka menceritakan ketika tangannya putus, kakaknya terhimpit bongkahan bangunan yang roboh, atau ayahnya yang mesti rela mati demi anaknya selamat. Sampai ada satu anak yang mengisahkan dan semula meyakini kalau ibunya yang ia temukan hanya sedang tertidur, dan ia menungguinya terbangun, sebelum tim evakuasi menyadarkannya bahwa ibunya telah meninggal dunia. Saya pernah menonton juga film yang berkisah korban perang di Jepang dalam film "Grave of the Fireflies" (1988).

    Tujuan riset ini berkaitan dengan kondisi Indonesia sekarang. Saya meyakini Indonesia akan menjadi negara maju seperti Jepang. Tetapi, yang saya temukan di sekitar saya, mental manusia-manusia Indonesia mudah sekali dijatuhkan. Lalu tentang kesadaran diri dan kedisiplinan tentu bisa kita lihat betapa kendurnya kita dalam dua hal ini. Mental koruptif, bisa jadi tumbuh karena sejak kecil memang itu yang diajarkan meski tidak secara langsung.

    Jepang, setelah dijatuhi bom atom akhirnya mau mengakui kekalahannya pada pasukan Amerika Serikat. Setelah kemudian berdamai secara politis, Jepang mulai berbenah lagi dari bawah hingga saat ini sebagai negara maju yang kita kenal. Saya ingin, dengan riset ke negeri sakura itu, nantinya bisa menghasilkan sebuah karya yang menyadarkan pembaca bahwa mengakui kekalahan bukan hal yang memalukan. Pelajaran terpentingnya adalah kesadaran untuk bangkit dan mau membenahi diri meskipun dari nol lagi.

    Kita tahu bahwa orang-orang yang kalah dan melakukan kesalahan di Indonesia ini sulit sekali mengakui ketidakberdayaannya. Semua semata demi menjaga gengsi dan egonya yang kelewat tinggi. Kalau generasi muda Indonesia melakukan kesalahan yang tersistem itu di masa depan, negara ini akan sulit sekali untuk melangkah ke arah yang lebih baik.

    Padahal, keragaman budaya, adat-istiadat, dan lain sebagainya Indonesia termasuk yang paling banyak dan berkarakter. Seharusnya, nilai budaya inilah yang kemudian bisa dijadikan landasan dasar untuk mengembangkan diri setiap manusia yang tumbuh dan besar di Indonesia. Melalui riset ini, saya berharap bisa membuat sebuah karya yang bisa dinikmati banyak orang, tetapi tidak selesai di sana, saya ingin usai membaca, pembaca dibuat merenung-renung dan menyadari bahwa ada pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya bisa ia temukan jawabannya.

     Cilegon, 10 Agustus 2019

    Continue Reading

    Score: 8/10

    Sebelum menonton film ini, pastikan kalian tahu dulu atau minimal pernah menonton pertunjukan komedi Srimulat di televisi. 

    Kemarin, (12/05) saat saya menghadiri undangan Gala Premiere film Srimulat, sejujurnya alasan saya datang karena ingin melihat teaser film Balada Si Roy. Saya sempat under-estimated soal film Srimulat garapan mas Fajar Nugros ini. "Palingan tidak lebih lucu dari Srimulat aslinya," gumam saya. 

    Pukul 19.00 saya dan bang Elfa Miko sampai di bioskop Epicentrum XXI Jakarta Selatan. Kami melihat beberapa sineas Indonesia yang hadir, lalu setelah menukar tiket kami gegas menuju Studio 1.

    Sebelum film tayang, satu per satu pemain di perkenalkan. Singkat cerita, film segera diputar. Namun sebelum itu rupanya teaser Balada Si Roy ditayangkan di awal sebelum film Srimulat. Saya begitu menggebu-gebu menyaksikannya. Siapa kira ternyata itu baru permulaan. Ketika film Srimulat tayang, apa yang saya pikirkan di awal keliru semuanya. 

    Film Srimulat ini semacam biopik yang berkisah tentang para tokoh di kehidupan aslinya saat memperjuangkan diri "menghibur" Ibu kota. Assembly setiap pemain benar-benar terbangun dengan ciamik. Saya tak pernah meragukan sentuhan Rukman Rosadi sebagai Teguh Slamet Rahardjo sekaligus selaku pelatih akting para pemain. Setiap gerak, gimmick, tek-tokan dialog antar tokoh betul-betul saling dukung dan mengalir begitu saja. Begitu meyakinkan. 


    Angkat topi untuk Bio One yang memerankan Almarhum Gepeng. Ia begitu menyatu dengan karakter yang dibawakan, saya nyaris tak mengenali dirinya di dunia nyata. Ia bahkan rela menurunkan berat badannya. 

    Komedi yang disuguhkan oleh Fajar Nugros sangat Srimulat banget. Ajaibnya Srimulat itu, kita tahu akan ke mana patahan komedinya, tetapi kita tetap tertawa—di sanalah letak keberhasilan film ini. Semua aktor bermain sesuai porsinya. 

    Banyak sekali nilai yang coba ingin ditunjukkan ke penonton. Salah satunya tentang kedisiplinan dalam meraih mimpi dan cita-cita. Film ini baru "Babak Pertama" sesuai judulnya. Kita hanya akan mengintip perjuangan Tarzan (Ibnu Jamil) menemukan seragam tentara, Tessy (Erick Estrada) dengan cincinnya, Asmuni (Teuku Rifnu) dengan kumisnya dan lainnya dengan adegan yang komikal dan memorable.

    Film ini benar-benar membawa kita ke memori masa kecil saat sering menonton Srimulat di televisi. Munculnya Rano Karno (Babe Makmur) pun menambah keseruan film ini. Jujur, saya bahkan nyaris kesulitan mencari celah kelemahannya. 

    Babak Pertama ini barulah kisah penemuan jati diri mereka di atas panggung seperti yang kita kenal sekarang. Saya malah tak sabar ingin menonton Babak Kedua dan berikutnya. Sungguh, hil yang mustahal!

    Selamat menonton 19 Mei 2022 besok! 

    Continue Reading

    Poster official by Starvision


    Score: 7/10

    Seorang bapak bernama Dahlan (Yayu Unru), setelah jatuh sakit akan mewariskan guest house miliknya kepada ketiga anaknya yang tak pernah akur; Adam (Oka Antara), Laras (Indah Permatasari), dan Dicky (Ge Pamungkas). Hanya ada satu anak yang akan mendapatkan warisan tersebut, dengan syarat mereka diberi waktu beberapa hari secara bergantian mengurusi guest house itu. Siapa yang pantas mendapatkannya akan dipilih oleh keempat karyawannya yang super kocak, diperankan oleh Aci Resti, Dicky Difie, Lolox, dan Ence Bagus. 

    Secara kemasan komedi, film ini jor-joran enyuguhkan komedi "receh" semisal celetukan dan diksi-diksi yang super kocyak, lebih banyak memang muncul dari kwartet karyawan itu. Sayangnya, ada beberapa yang diselipkan dalam scene yang kurang tepat. Atau saat pergantian scene yang terkesan buru-buru. Belum lagi peristiwa yang dinarasikan terlalu verbal lewat dialog panjang-panjang, padahal bisa disampaikan lewat visual saja. 

    Sebagai debut, Muhadkly Acho selaku sutradara dan penulis patut diapresiasi. Sejak lama saya mengikuti awal dirinya berkarir sebagai stand up comedy-an dan memang saya suka dengan persona dan jokesnya. Ernest Prakasa sebagai Produser kreatif pun tampak turut menjaga vibes film ini seperti Cek Toko Sebelah. Dalam sebuah wawancara ia bahkan mengklaim "Ini Cek Toko Sebelah versi Pribumi," candanya.

    Akan tetapi, saya masih menjagokan CTS tentu saja. Drama yang disuguhkan di CTS betul-betul terasa pergulatan emosinya, ditambah selipan komedi yang sesuai takaran, berbeda dengan GGW ini, banyak scene yang berpotensi mengundang air mata, terpaksa gagal mengalir lantaran adegan langsung berpindah sebelum scene potensial ini sampai klimaksnya—paling tidak itu yang saya rasakan. 

    Saya juga menyayangkan performa Ge Pamungkas. Di film ini, sebagai anak bungsu, dia adalah kunci jalannya cerita. Tapi entah mengapa saya tidak bisa merasakan pergolakan batinnya dan rasanya sulit untuk berempati. Akting dia yang terbaik masih di film "Ghost Writer".

    Dan, lagi-lagi PR besar sineas Indonesia adalah ketika mengeksekusi akhir cerita. Terasa sekali di film ini terburu-buru dan mengejar happy ending. Semua pergerakannya begitu cepat, semacam seluruh cerita disimpulkan di akhir. Bahkan beberapa scene terasa artifisial; semisal bandar narkoba yang mudah sekali dilacak polisi dan lain sebagainya. 

    Kalau teman-teman mencari hiburan, film ini layak saya rekomendasikan, tetapi kalau mencari film yang selesai menonton kita seolah diajak merenung, film ini belum bicara sejauh itu—bisa jadi premisnya tidak relate dengan saya. 

    Cilegon, 5 Mei 2022

    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Novel Adaptasi: YUNI

    (GPU | 174 halaman | Rp. 63.000)

    [PRE-ORDER]

    Pengunjung

    About me

    Photo Profile
    Ade Ubaidil, Pengarang, Cilegon-Banten.

    Pria ambivert, random dan moody. Gemar membaca buku dan berpetualang. Bermimpi bisa selfie bareng helikopter pribadinya. Read More

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: Apa yang Kita Bicarakan di Usia 26?

    (Epigraf | 164 halaman | Rp. 50.000)

    [PESAN]

    Bedah Buku Dee Lestari

    Bedah Buku Dee Lestari

    bedah buku #sbtml

    bedah buku #sbtml
    Bedah Buku di SMK Wikrama, Bogor pada: 23 April 2018

    Workshop & Seminar

    Workshop & Seminar

    Popular Posts

    • [RESENSI] NOVEL: HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (GPU, 2015)
    • Musim Layang-Layang (Pasanggarahan.com, 30 Oktober 2015)
    • [MY PROFILE] Terjerembap di Dunia Literasi: Lahan untuk Memerdekakan Pikiran (Utusan Borneo-Malaysia, 13 Desember 2015)

    Blog Archive

    • ►  2012 (5)
      • ►  October (3)
      • ►  December (2)
    • ►  2013 (41)
      • ►  January (1)
      • ►  March (5)
      • ►  April (4)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  August (1)
      • ►  September (3)
      • ►  October (3)
      • ►  November (16)
      • ►  December (5)
    • ►  2014 (20)
      • ►  January (2)
      • ►  April (3)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  July (1)
      • ►  September (1)
      • ►  November (6)
      • ►  December (4)
    • ►  2015 (21)
      • ►  February (5)
      • ►  March (2)
      • ►  April (3)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (5)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
      • ►  December (1)
    • ►  2016 (31)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  April (2)
      • ►  May (4)
      • ►  June (1)
      • ►  July (2)
      • ►  August (5)
      • ►  September (4)
      • ►  October (5)
      • ►  November (2)
      • ►  December (3)
    • ►  2017 (41)
      • ►  January (4)
      • ►  February (3)
      • ►  March (8)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  June (8)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (3)
      • ►  November (4)
      • ►  December (3)
    • ►  2018 (24)
      • ►  January (3)
      • ►  February (2)
      • ►  March (3)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  November (4)
      • ►  December (2)
    • ►  2019 (16)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (3)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (14)
      • ►  January (1)
      • ►  February (1)
      • ►  March (2)
      • ►  April (1)
      • ►  May (2)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (1)
      • ►  November (1)
      • ►  December (2)
    • ►  2021 (15)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  April (1)
      • ►  May (1)
      • ►  June (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (3)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  December (1)
    • ▼  2022 (30)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ▼  May (3)
        • [Ulasan Film] Gara-Gara Warisan: Drama Keluarga da...
        • [Ulasan Film] Srimulat: Ketika Kehidupan Pemain Le...
        • [Catatan] Hiroshima, Sastra, dan Harapan yang Tumb...
      • ►  June (5)
      • ►  July (1)
      • ►  August (4)
      • ►  September (3)
      • ►  October (2)
      • ►  November (2)
      • ►  December (7)
    • ►  2023 (5)
      • ►  January (4)
      • ►  February (1)

    Followers

    youtube facebook Twitter instagram google plus linkedIn

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top