Pages

  • Home
  • Privacy
  • Sitemaps
  • Contact
  • About Me
facebook instagram twitter youtube

Quadraterz.com

    • My Book
    • Cerpen
    • Novel
    • Esai
    • Puisi
    • Buku Antologi
    • Ulasan
    • Media
    • [Self-Depression]
    • Rumah Baca Garuda

    Score: 8/10

    Sebelum menonton film ini, pastikan kalian tahu dulu atau minimal pernah menonton pertunjukan komedi Srimulat di televisi. 

    Kemarin, (12/05) saat saya menghadiri undangan Gala Premiere film Srimulat, sejujurnya alasan saya datang karena ingin melihat teaser film Balada Si Roy. Saya sempat under-estimated soal film Srimulat garapan mas Fajar Nugros ini. "Palingan tidak lebih lucu dari Srimulat aslinya," gumam saya. 

    Pukul 19.00 saya dan bang Elfa Miko sampai di bioskop Epicentrum XXI Jakarta Selatan. Kami melihat beberapa sineas Indonesia yang hadir, lalu setelah menukar tiket kami gegas menuju Studio 1.

    Sebelum film tayang, satu per satu pemain di perkenalkan. Singkat cerita, film segera diputar. Namun sebelum itu rupanya teaser Balada Si Roy ditayangkan di awal sebelum film Srimulat. Saya begitu menggebu-gebu menyaksikannya. Siapa kira ternyata itu baru permulaan. Ketika film Srimulat tayang, apa yang saya pikirkan di awal keliru semuanya. 

    Film Srimulat ini semacam biopik yang berkisah tentang para tokoh di kehidupan aslinya saat memperjuangkan diri "menghibur" Ibu kota. Assembly setiap pemain benar-benar terbangun dengan ciamik. Saya tak pernah meragukan sentuhan Rukman Rosadi sebagai Teguh Slamet Rahardjo sekaligus selaku pelatih akting para pemain. Setiap gerak, gimmick, tek-tokan dialog antar tokoh betul-betul saling dukung dan mengalir begitu saja. Begitu meyakinkan. 


    Angkat topi untuk Bio One yang memerankan Almarhum Gepeng. Ia begitu menyatu dengan karakter yang dibawakan, saya nyaris tak mengenali dirinya di dunia nyata. Ia bahkan rela menurunkan berat badannya. 

    Komedi yang disuguhkan oleh Fajar Nugros sangat Srimulat banget. Ajaibnya Srimulat itu, kita tahu akan ke mana patahan komedinya, tetapi kita tetap tertawa—di sanalah letak keberhasilan film ini. Semua aktor bermain sesuai porsinya. 

    Banyak sekali nilai yang coba ingin ditunjukkan ke penonton. Salah satunya tentang kedisiplinan dalam meraih mimpi dan cita-cita. Film ini baru "Babak Pertama" sesuai judulnya. Kita hanya akan mengintip perjuangan Tarzan (Ibnu Jamil) menemukan seragam tentara, Tessy (Erick Estrada) dengan cincinnya, Asmuni (Teuku Rifnu) dengan kumisnya dan lainnya dengan adegan yang komikal dan memorable.

    Film ini benar-benar membawa kita ke memori masa kecil saat sering menonton Srimulat di televisi. Munculnya Rano Karno (Babe Makmur) pun menambah keseruan film ini. Jujur, saya bahkan nyaris kesulitan mencari celah kelemahannya. 

    Babak Pertama ini barulah kisah penemuan jati diri mereka di atas panggung seperti yang kita kenal sekarang. Saya malah tak sabar ingin menonton Babak Kedua dan berikutnya. Sungguh, hil yang mustahal!

    Selamat menonton 19 Mei 2022 besok! 

    Continue Reading

    Poster official by Starvision


    Score: 7/10

    Seorang bapak bernama Dahlan (Yayu Unru), setelah jatuh sakit akan mewariskan guest house miliknya kepada ketiga anaknya yang tak pernah akur; Adam (Oka Antara), Laras (Indah Permatasari), dan Dicky (Ge Pamungkas). Hanya ada satu anak yang akan mendapatkan warisan tersebut, dengan syarat mereka diberi waktu beberapa hari secara bergantian mengurusi guest house itu. Siapa yang pantas mendapatkannya akan dipilih oleh keempat karyawannya yang super kocak, diperankan oleh Aci Resti, Dicky Difie, Lolox, dan Ence Bagus. 

    Secara kemasan komedi, film ini jor-joran enyuguhkan komedi "receh" semisal celetukan dan diksi-diksi yang super kocyak, lebih banyak memang muncul dari kwartet karyawan itu. Sayangnya, ada beberapa yang diselipkan dalam scene yang kurang tepat. Atau saat pergantian scene yang terkesan buru-buru. Belum lagi peristiwa yang dinarasikan terlalu verbal lewat dialog panjang-panjang, padahal bisa disampaikan lewat visual saja. 

    Sebagai debut, Muhadkly Acho selaku sutradara dan penulis patut diapresiasi. Sejak lama saya mengikuti awal dirinya berkarir sebagai stand up comedy-an dan memang saya suka dengan persona dan jokesnya. Ernest Prakasa sebagai Produser kreatif pun tampak turut menjaga vibes film ini seperti Cek Toko Sebelah. Dalam sebuah wawancara ia bahkan mengklaim "Ini Cek Toko Sebelah versi Pribumi," candanya.

    Akan tetapi, saya masih menjagokan CTS tentu saja. Drama yang disuguhkan di CTS betul-betul terasa pergulatan emosinya, ditambah selipan komedi yang sesuai takaran, berbeda dengan GGW ini, banyak scene yang berpotensi mengundang air mata, terpaksa gagal mengalir lantaran adegan langsung berpindah sebelum scene potensial ini sampai klimaksnya—paling tidak itu yang saya rasakan. 

    Saya juga menyayangkan performa Ge Pamungkas. Di film ini, sebagai anak bungsu, dia adalah kunci jalannya cerita. Tapi entah mengapa saya tidak bisa merasakan pergolakan batinnya dan rasanya sulit untuk berempati. Akting dia yang terbaik masih di film "Ghost Writer".

    Dan, lagi-lagi PR besar sineas Indonesia adalah ketika mengeksekusi akhir cerita. Terasa sekali di film ini terburu-buru dan mengejar happy ending. Semua pergerakannya begitu cepat, semacam seluruh cerita disimpulkan di akhir. Bahkan beberapa scene terasa artifisial; semisal bandar narkoba yang mudah sekali dilacak polisi dan lain sebagainya. 

    Kalau teman-teman mencari hiburan, film ini layak saya rekomendasikan, tetapi kalau mencari film yang selesai menonton kita seolah diajak merenung, film ini belum bicara sejauh itu—bisa jadi premisnya tidak relate dengan saya. 

    Cilegon, 5 Mei 2022

    Continue Reading

     



    Judul            : Sang Pemanah (The Archer)
    Penulis        : Paulo Coelho

    Alih Bahasa: Rosi L. Simamora

    Ilustrator    : Martin Dima
    Penerbit      : Gramedia Pustaka Utama
    Cetakan       : Pertama, April 2021
    Tebal            : 152 halaman
    ISBN             : 978-602-06-5134-7

     

    Beberapa waktu lalu, NHK World Japan, sebuah layanan internasional dari organisasi media publik di Jepang, melansir video tentang barang-barang hilang milik penumpang kereta bawah tanah di Tokyo. Setiap harinya ada 2000 barang hilang yang dikumpulkan dari 179 stasiun. Ada ruangan khusus untuk menyimpan barang-barang tersebut dan diperlakukan sedemikian hati-hati. Kita tidak akan tahu betapa berartinya barang-barang yang tertinggal itu, ucap salah seorang petugas.

    Ia menyebutnya sebagai Omotenashi, istilah dalam bahasa Jepang untuk semangat menjaga dan memberi pelayanan sepenuh hati kepada orang lain. Konon, istilah ini menjadi populer sejak Christel Takigawa mengucapkannya saat melakukan presentasi untuk menjadi tuan rumah Olimpiade Tokyo 2020.

    Membaca novel Sang Pemanah (The Archer) karya Paulo Coelho, mengingatkan saya pada istilah tersebut. Secara makna, Omotenashi selaras dengan keramah-tamahan. Namun arti sesungguhnya tidaklah sesederhana itu. Di Jepang, ini adalah tradisi, sebuah tipe layanan pelanggan dengan tingkat perhatian yang tinggi pada hal-hal detail.

    Dalam edisi internasional, tokoh utama novel ini bernama Tetsuya, seorang pemanah berdarah Jepang. Sedangkan, dalam versi bahasa Indonesia, tokoh utamanya bernama Gandewa, lelaki asal Jawa yang diceritakan memiliki kemahiran jemparingan, seni memanah khas Kerajaan Mataram dari Yogyakarta. Ia adalah pemanah ulung yang pernah sangat termasyhur, namun telah mengundurkan diri dari dunia ramai. Menurut Tanti Lesmana, editor buku ini, Indonesia menjadi negara pertama yang mendapatkan izin penyesuaian karakter cerita The Archer dengan budaya tempatnya diterbitkan. 

    Novel tipis ini serupa buku Paulo Coelho terdahulu berjudul Kitab Suci Kesatria Cahaya (1997) dan Seperti Sungai yang Mengalir (2013). Ia menuturkan kalimat-kalimat bijak dan sederhana dalam paragraf yang ringkas. Bedanya, dalam buku ini ia menghadirkan tokoh dan jalan cerita, yang kalau dipadatkan akan sangat pendek sekali nyaris seperti cerpen. Ketimbang disebut sebagai novel, buku ini lebih mirip sebagai buku panduan hidup atau pengembangan diri.

    Coelho menitipkan pesan kebajikannya lewat Gandewa, seorang ahli memanah yang dalam istilah Malcolm Gladwell dalam buku Outliers sudah menerapkan hukum 10.000 jam hingga menjadi mahir dalam bidang yang ditekuninya, dalam hal ini adalah menjadi seorang pemanah. Sebagaimana Santiago yang mengikuti tuturan Sang Alkemis dalam novel The Alchemist, di novel ini pun Coelho menghadirkan sosok anak lelaki yang mendengarkan petuah Gandewa tentang seni memanah.

    Paulo bertutur tentang pokok-pokok penting dalam kehidupan, antara lain kerja keras dan antusiasme, berani mengambil risiko, tidak takut gagal, dan menerima hal-hal tak terduga yang disodorkan oleh nasib lewat pelajaran memanah. Mulai dari cara memegang anak panah, memegang busur, menarik tali busur, memandang sasaran, melepaskan anak panah hingga tentang pengulangan semua hal dari awal. Gandewa memberikan pengalaman yang meskipun ia memilih bekerja sebagai tukang kayu, tetapi jalan hidupnya berlandaskan pada jalan busur.

    “Tiap anak panah melesat dengan cara berbeda-beda. Seribu anak panah kautembakkan, dan masing-masing akan menempuh jalurnya sendiri: seperti itulah jalan busur.” (hal. 129)

    Ia seolah ingin menunjukkan keterkaitan yang mendalam tentang seni memanah ini dengan cara memaknai kehidupan. Betapa kita harus menemukan gairah dan motivasi untuk menjalani hidup tanpa kesia-siaan. Gandewa serupa seorang guru yang tengah mengajari muridnya. “Suatu hari saat kau tak lagi mencintai kehidupan, bidikanmu akan gelisah, pelik. Kau tak berdaya untuk menarik tali busurmu sepenuhnya, dan kau tak mampu melengkungkan busurmu dengan semestinya.” (hal. 97)

    Seperti yang sudah saya jabarkan, lewat novel ini Coelho menunjukkan kedisplinan tinggi dan konsistensi para tokoh dalam menjadi “pelayan” bagi hidupnya sendiri dan orang lain. Bagaimana si anak lelaki ditunjukkan pada detail-detail kecil yang sering dilewatkan oleh pemanah lain. Tetsuya atau Gandewa berbagi tradisi Omotenashi untuk hal-hal yang menurut kita sangat berarti.

    Sayangnya, penyesuaian nama tokoh dan ilustrasi khas Nusantara oleh Martin Dima, yang digambarkan menggunakan elemen-elemen lokal, seperti busana beskap, kain lurik, dan blangkon, teh poci, serta penerapan motif batik mega mendung di setiap lembar justru mendistraksi pesan sesungguhnya. Sebab, saya merasakan pesan yang ingin disampaikan Paulo Coelho dalam novel ini jadi sedikit bergeser dan tidak utuh. Iya kalau bergeser ke pemaknaan yang lebih baik, bagaimana kalau malah sebaliknya?

    Mengapa kita harus memercayakan tokoh Jawa pada penulis asing sementara kita tidak kehabisan penulis untuk mengeksplorasi tema lokalitas serupa. Anak panah yang dititipkan kepada Gandewa seolah meleset dari sasaran yang sudah disiapkan oleh Paulo Coelho sejak tarikan busur pertamanya.

    Cilegon, 29 Januari 2022


    Baca selengkapnya di sini:

    https://lensasastra.id/2022/02/26/tradisi-omotenashi-dan-anak-panah-yang-meleset-dari-sasaran/

    Continue Reading


    Score: 8/10.

    Saat saya tonton, film ini sedang tranding nomer wahid di aplikasi Netflix. Beberapa kawan saya juga sudah menuliskan ulasannya. Intinya, film ini berkisah tentang Kate Dibiasky (Jennifer Lawrence), seorang mahasiswa pascasarjana astronomi, dan profesornya Dr. Randall Mindy (Leonardo DiCaprio) membuat penemuan mengejutkan tentang sebuah komet yang mengorbit di dalam tata surya.

    Mereka menemukan bahwa komet itu berada pada jalur tabrakan langsung dengan Bumi. Keduanya pun berusaha mengingatkan semua orang tentang penemuan tersebut. Hingga bertemu dengan Presiden AS. Sialnya, kegentingan yang disampaikan dua orang astronom itu dianggap angin lalu saja. 

    Film ini penuh dengan sindiran tentang ketidakpedulian pemerintah mengenai krisis iklim. Satire yang dibalut dalam komedi juga akan banyak bertebaran dan dengan mudah kita temuu. Saya dibuat jengkel dan panik dalam waktu yang bersamaan, seperti yang dialami Kate dan Randall. 

    Tapi, apa yang dilakukan pemerintah persis ketika adanya pandemi di awal-awal kemunculannya. Kita seolah bingung dan tidak siap bagaimana menghadapinya dan seperti apa harus bersikap. Apalagi ini ancamannya kiamat akibat kejatuhan komet seluas 10km. Holy shit! 

    Bahkan kiamat ini dijadikan isu untuk urusan politis. Belum lagi pengusaha terkaya ketiga di dunia yang super bikin gondok, dengan caranya bicara dan ekspresinya dia berhasil bikin saya ingin meninju wajahnya. Apalagi caranya yang picik demi mengambil keuntungan dari komet ini sehingga ia sempat membatalkan pencegahan jatuhnya komet. 

    Film ini mengajak kita untuk merenung tentang apa yang sudah kita siapkan bila sewaktu-waktu bencana itu datang. Meski ya rada janggal soal waktu yang konon menurut data dan perhitungan Kate soal komet yang berbenturan dengan bumi 6 bulan 14 hari, tetapi timeline di film berasa terlalu cepat dan tidak ada pembahasan soal itu. 

    Anyway, saya suka filmnya tapi masih berasa bagus saja, tidak sampai bikin takjub, kecuali soal CGI yang memang udah nggak diragukan lagilah filmmaker Amerika soal itu. 


    Cilegon, 03 Januari 2022


    Continue Reading



    Score: 8/10.

    Ini adalah sebuah film biografi musikal dan drama asal Amerika produksi tahun 2021, yang disutradarai oleh Lin-Manuel Miranda (dalam debut penyutradaraan filmnya) dari skenario yang dirancang Steven Levenson, berdasarkan musikal panggung dengan nama yang sama karya Jonathan Larson. Film ini dibintangi oleh Andrew Garfield, Robin de Jess, Alexandra Shipp, Joshua Henry, dengan Judith Light, dan Vanessa Hudgens.[Wikipedia].
    Sudut pandang di menit awal akan cukup membingungkan, paling tidak bagi saya. Sebab setiap scene-nya akan bergantian antara dua peristiwa. Tapi tenang, ketika memasuki pertengahan hingga akhir, akan mudah dipahami dan tahu alasannya kenapa POV itu yang dipilih.
    Ada satu scene yang membuat saya merenung dan tanpa sadar meneteskan air mata. Scene ketika Jonathan pasrah akan cita-citanya yang sudah ia rancang sejak 8 tahun lalu tapi rasanya sia-sia belaka. Lalu ia menemui Michael dan mau menerima tawaran pekerjaan yang sempat ia tolak sebelumnya.
    Dan di sanalah teman sesungguhnya hadir. Alih-alih memberikan pekerjaan, Michael malah menyemangati sahabatnya untuk jangan menyerah dengan mimpinya. Ia tahu seberapa besar usaha yang dilakukan Jonathan selama ini untuk mewujudkan cita-citanya.
    "Apa yang harus saya lakukan sekarang?"
    "Mulailah tulis karya berikutnya. Setelah selesai yang itu, mulai tulis berikutnya. Lagi dan lagi, begitulah jadi penulis. Kau terus berkarya, dan berharap akhirnya ada yang diterima."
    Bagi kamu yang sedang memperjuangkan mimpinya dan akan menyerah, saya sarankan menonton film ini. Kamu akan tahu bahwa kamu tidak sendirian. Bahwa apa yang sedang kamu perjuangkan, suatu hari nanti akan berhasil kamu raih, meski dengan susah payah dan mengorbankan banyak hal.
    Orang-orang yang memandang remeh hari ini, bisa jadi orang yang akan bertepuk tangan paling keras suatu hari nanti. Terdengar mustahil, tapi di sanalah tantangannya.

    Cilegon, 02 Januari 2022
    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Novel Adaptasi: YUNI

    (GPU | 174 halaman | Rp. 63.000)

    [PRE-ORDER]

    Pengunjung

    About me

    Photo Profile
    Ade Ubaidil, Pengarang, Cilegon-Banten.

    Pria ambivert, random dan moody. Gemar membaca buku dan berpetualang. Bermimpi bisa selfie bareng helikopter pribadinya. Read More

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: Apa yang Kita Bicarakan di Usia 26?

    (Epigraf | 164 halaman | Rp. 50.000)

    [PESAN]

    Bedah Buku Dee Lestari

    Bedah Buku Dee Lestari

    bedah buku #sbtml

    bedah buku #sbtml
    Bedah Buku di SMK Wikrama, Bogor pada: 23 April 2018

    Workshop & Seminar

    Workshop & Seminar

    Popular Posts

    • [RESENSI] NOVEL: HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (GPU, 2015)
    • Musim Layang-Layang (Pasanggarahan.com, 30 Oktober 2015)
    • [MY PROFILE] Terjerembap di Dunia Literasi: Lahan untuk Memerdekakan Pikiran (Utusan Borneo-Malaysia, 13 Desember 2015)

    Blog Archive

    • ►  2012 (5)
      • ►  October (3)
      • ►  December (2)
    • ►  2013 (41)
      • ►  January (1)
      • ►  March (5)
      • ►  April (4)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  August (1)
      • ►  September (3)
      • ►  October (3)
      • ►  November (16)
      • ►  December (5)
    • ►  2014 (20)
      • ►  January (2)
      • ►  April (3)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  July (1)
      • ►  September (1)
      • ►  November (6)
      • ►  December (4)
    • ►  2015 (21)
      • ►  February (5)
      • ►  March (2)
      • ►  April (3)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (5)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
      • ►  December (1)
    • ►  2016 (31)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  April (2)
      • ►  May (4)
      • ►  June (1)
      • ►  July (2)
      • ►  August (5)
      • ►  September (4)
      • ►  October (5)
      • ►  November (2)
      • ►  December (3)
    • ►  2017 (41)
      • ►  January (4)
      • ►  February (3)
      • ►  March (8)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  June (8)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (3)
      • ►  November (4)
      • ►  December (3)
    • ►  2018 (24)
      • ►  January (3)
      • ►  February (2)
      • ►  March (3)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  November (4)
      • ►  December (2)
    • ►  2019 (16)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (3)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (14)
      • ►  January (1)
      • ►  February (1)
      • ►  March (2)
      • ►  April (1)
      • ►  May (2)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (1)
      • ►  November (1)
      • ►  December (2)
    • ►  2021 (15)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  April (1)
      • ►  May (1)
      • ►  June (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (3)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  December (1)
    • ▼  2022 (5)
      • ►  January (2)
        • [Ulasan Film] Tick, Tick... BOOM! : Tentang Ambisi...
        • [Ulasan Film] Don't Look Up: Sinisme dan Komedi Gelap
      • ►  February (1)
        • [Ulasan Buku] Tradisi Omotenashi dan Anak Panah ya...
      • ▼  May (2)
        • [Ulasan Film] Gara-Gara Warisan: Drama Keluarga da...
        • [Ulasan Film] Srimulat: Ketika Kehidupan Pemain Le...

    Followers

    youtube facebook Twitter instagram google plus linkedIn

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top