[Ulasan Buku] Cerita Anak; Keluguan dan Nilai-Nilai yang Terkandung di Dalamnya

October 29, 2019



Geliat cerita anak saban waktu kian mendulang peminat. Banyak penulis dewasa bermunculan yang juga menulis cerita anak. Ini juga berkat adanya ruang-ruang media yang menyediakan cerita anak untuk terus eksis, meskipun tidak sebanyak ruang karya sastra lainnya.

Buku-buku yang masuk jajaran best-seller dan stabil dalam penjualan juga cerita anak. Menurut Tirto.id, Pada 2013, nilai penjualan buku di Indonesia mencapai Rp7,3 triliun. Jumlah ini meningkat jadi Rp8,5 triliun setahun berikutnya.

Dan, siapa penguasa pasar buku Indonesia? Tak lain tak bukan adalah buku cerita anak.
Pada 2013, pangsa pasar buku anak adalah 22,31 persen dari total penjualan buku di Indonesia. Setahun kemudian, jumlahnya jadi 22,64 persen.

IKAPI mengambil data penjualan buku dari Gramedia, toko buku terbesar di Indonesia. Peringkat 1 penjualan mereka adalah buku anak. Pada 2014, sekitar 10,1 juta eksemplar buku cerita anak berhasil dijual oleh Gramedia. Mengalahkan buku religi dan spiritual, fiksi dan sastra, bahkan buku pelajaran sekolah.


Artinya, dalam segi bisnis, ada peluang besar bagi para penulis cerita anak. Apa yang dilakukan oleh para penulis buku, “Hantu-Hantu Palsu” ini semacam langkah awal yang patut mendapatkan apresiasi.

Hebatnya lagi, adik-adik ini penulis cerita anak yang masih anak-anak. Sebab, data yang dijabarkan di atas adalah data tentang buku anak yang ditulis oleh orang dewasa. Tentu apresiasinya akan berbeda ketika yang menulis cerita anak adalah anak-anak. Ada nilai tersendiri dan keistimewaan yang tidak bisa diperoleh orang dewasa.

Keluguan bertutur dan polosnya anak-anak dalam menulis dan menyampaikan gagasan, itu akan berbeda ketika orang dewasa “pura-pura” polos untuk menjadi anak-anak. Baik dalam narasi, dialog, dan ketika mendeskripsikan sesuatu. Seperti yang saya tangkap dari cerpen-cerpen dalam buku ini.

Di halaman pertama kita disuguhkan dengan cerita sederhana tentang persahabatan antara Lala dan Doni dalam cerpen, “Bunga Lala” karya Adila Safawati. 

Cerpen itu berkisah tentang dua anak sekolah yang akan mengikuti lomba menghias bunga pada festival cinta lingkungan di sekolahnya. Bunga yang dirawat Lala tumbuh subur sedangkan milik Doni layu. Keesokan harinya, saat akan dilombakan, Doni berpikir untuk mencuri bunga Lala karena dia ingin mendapatkan hadiah. Namun, saat Doni sudah berhasil mendapatkan bunga Lala, ayam di pekarangannya mematuki bunga itu. Akhirnya dia pun tidak memenangkan lomba. Dan Lala tahu kalau bunga itu miliknya. Doni merasa bersalah dan takut kalau Lala akan menjauhinya, tapi tidak, meski kecewa Lala menerima maaf Doni. 


Sebagaimana anak-anak, cerita ini ditulis dengan kalimat lugas dan mudah dipahami. Alur ceritanya pun berjalan maju dan rapi. Meskipun, ada beberapa bagian yang lompatannya terlalu mengagetkan, dalam arti, paragraf satu ke paragraf berikutnya tidak disampaikan dengan baik. Penghubung antar kisah masih kurang halus. 

Namun, di sanalah letak nilai itu tadi. Nilai ke-anak-anak-an yang tidak bisa diganggu gugat. Kalau cerita anak ditulis sedemikian sempurna selayaknya kisah yang ditulis orang dewasa, tentu tak ada bedanya. Ini bukan berarti anak-anak mesti menulis cerita begitu, ya, tapi ini adalah upaya menunjukkan kalau anak-anak mesti bebas mengekspresikan imajinasinya dan tak perlu takut dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang baku dan kaku. Misal, kalau menulis cerita harus dari judul dulu, setiap paragraf ada berapa baris, cerita dimulai dengan laporan cuaca, pengenalan tokoh, dan lain sebagainya yang membosankan itu. 

Orang dewasa saja malas diatur-atur apalagi anak-anak yang belum begitu paham dengan aturan-aturan tersebut. 

Cerpen berikutnya karya Alya Miftahul Farihah berjudul, “Baju Baru”. Saya sudah pernah baca cerpen ini sebelumnya dan pernah dimuat di media yang saya dan relawan Rumah Dunia kelola bernama kurungbuka.com.

Alya ini tahu betul bagaimana caranya menutup cerita. Maksudnya, ketika kita menulis, kadang kita merasa ada tekanan untuk menulis sekian halaman, berapa kata atau karakter. Sedangkan, sebetulnya cerita sudah bisa diselesaikan di halaman pertama. Seperti yang ditulis Alya ini, cerpennya pendek saja namun sudah memiliki nilai yang ingin dicapai. Bagian terbaiknya adalah paragraf di akhir. Biasanya, untuk menggambarkan cerita yang berakhir bahagia, tokoh akan diceritakan berhasil meraih sesuatu. Tapi Alya berbeda.


Dia tahu si tokoh Khoir akan mendapatkan apa yang ingin dimilikinya, yakni baju baru, tapi cara menutup kisahnya patut diacungi jempol, begini kalimatnya: “Malam harinya, sebelum tidur, Khoir teringat terus pada baju barunya. Dia ingin sekali hari cepat-cepat berganti pagi. Khoir  tidak sabar ingin memakai baju barunya itu sampai-sampai terbawa mimpi.” 

Kalimat itu berhasil membawa pembaca masuk ke dalam cerita dan penasaran ingin tahu seperti apa kelanjutannya. Pembaca tahu Khoir sudah membeli bajunya, tapi pembaca dibuat menunggu karena Khoir belum diceritakan mengenakan baju itu karena waktu sudah malam. Akhirnya, pembaca akan menggunakan imajinasinya sendiri untuk menebak kisah yang sudah Alya tulis. 

Cerpen yang baik, adalah cerpen yang mampu memberikan ruang kepada pembaca untuk berimajinasi. Tidak semua hal perlu dijelas-jelaskan secara berlebihan, dan cerpen Alya ini berhasil memenuhinya. 

Terakhir adalah cerpen, “Hantu-Hantu Palsu” karya Kaila Salsabila yang jadi judul utama buku ini. Hampir di semua cerpen adik-adik ini paham soal sebab-akibat. Itu pula yang saya temukan di cerpen Kaila. Ia seperti hendak menunjukkan bahwa apa yang kita tanam itulah yang akan kita tuai.

Diceritakan tokoh bernama Doni dan kawan-kawan yang jahil ingin mengerjai warga dengan berpakaian seperti hantu. Lalu mereka bersembunyi di atas pohon dan semak-semak, tapi sial di hari berikutnya setan asli (begitu Kaila menulisnya) turut nimbrung dan menakut-nakuti Doni dan teman-teman hingga akhirnya persembunyian mereka diketahui Pak RT dan warga lainnya. Akhirnya mereka mengakui perbuatan tercela itu dan meminta maaf kepada warga. 

Cerita ini bagus, meskipun Kaila kurang menyebutkan detil tentang usia tokoh-tokohnya. Sebab, ini menjadi penting untuk membangun logika cerita. Seperti  diceritakan, anak-anak ini keluar tengah malam, naik pohon, dan memakai make up juga rambut palsu. Sulit saya membayangkan kalau mereka berusia 8 atau 10 tahun. 

Untuk usia tokoh, baiknya beri angka pasti agar pembaca tidak mengira-ngira. Tentu ini tidak bisa disamakan dengan cerpen sebelumnya yang harus membuat pembaca penasaran, karena usia seharusnya dibuat pasti agar logika cerita bisa diterima pembaca dan agar cerita bisa mendapatkan simpati dari pembaca. 

Pada akhirnya, cerita yang baik, selain memenuhi seluruh unsur intrinsik dan ekstrinsik, adalah cerita yang dituturkan dengan jujur dan penuh rasa. Ketika ingin bercerita, kita selayaknya seperti anak-anak dalam buku ini, bercerita saja apa adanya tanpa ada motif lain selain ingin berbagi informasi dan pengalaman. Tuliskan sesuatu yang dekat dan kita ketahui, karena itu bisa menjadi amunisi yang baik sebagai penulis pemula saat ingin menghadirkan cerita untuk dibaca orang banyak.[]

Serang, 26 September 2019




__________________
*) Ulasan ini ditulis untuk buku Kumpulan Cerpen, “Hantu-Hantu Palsu” ( Gong Publishing, 2019) dan disampaikan pada acara Bedah Buku di MTsN 3 Kota Cilegon.

You Might Also Like

0 komentar