Pages

  • Home
  • Privacy
  • Sitemaps
  • Contact
  • About Me
facebook instagram twitter youtube

Quadraterz.com

    • My Book
    • Cerpen
    • Novel
    • Esai
    • Puisi
    • Buku Antologi
    • Ulasan
    • Media
    • [Self-Depression]
    • Rumah Baca Garuda
    image by: google.com

    Score: 3/5

    Barangkali saya akan menjadi yang paling berbeda dari penonton lainnya. Saya bahkan masih ragu untuk menuliskan ulasan singkat ini, tapi ya bagaimana, saya cukup menyayangkan (menghindari kata kecewa) setelah selesai menonton film Parasite ini. Pertama kali saya tahu film ini dari akun instagram Joko Anwar. Ia mengatakan kalau ini adalah “film jenius bikinan orang jenius”. Lalu setelahnya review bermunculan termasuk dari teman-teman saya. Semakin penasaran dongs, tentunya. Saya sampai khawatir nggak kebagian nonton di bioskop lantaran di Cilegon nggak ada CGV, Cinemaxx, dan Flix. Intinya film itu nggak masuk ke Bioskop di Cilegon dan Serang. Kebetulan karena saya sedang ada di Depok sekarang, jadilah saya nonton di Dmall pukul 21.10, karena pagi dan siang ada jam kuliah. >>> baca di sini <<<

    Ekspektasi saya soal film ini cukup tinggi sekali, karena dipuja sana-sini seolah tidak ada cacatnya yang patut diperdebatkan, saya saja sampai khawatir dicap nggak ngerti film/penonton alay/ceb-kamp atau ejekan lainnya, tapi kemudian saya bertanya kenapa saya mesti memikirkan stempel itu, ini hanya soal selera dan sudut pandang sebagai penonton.

    Opening film sangat bagus, menggambarkan kemiskinan tanpa perlu diungkapkan lewat dialog, cukup dengan memvisualkan situasi, dan begitulah sebuah film seharusnya bekerja. Film ini, seperti yang dikatakan para pengulas, banyak memainkan simbol dan metafora-metafora. Tentu saja itu sebatas asumsi penonton yang membandingkan dengan pengalaman-pengalaman menontonnya, interteks dari sebuah karya a ka asumsi.

    Dan asumsi, kadang bisa melampaui apa yang sebetulnya ingin disampaikan kreator itu sendiri. Sepengalaman saya, pernah ada yang meneliti cerpen-cerpen saya untuk skripsi, saya terkejut karena pembaca punya interpretasi tersendiri dari karya saya yang bahkan saya sendiri tidak mempersiapkan sejauh itu—bisa jadi itu pula yang dialami Bong Joon-ho, sutradara dan penulis skenario film ini (meski kemudian netijen akan bilang, makanya tonton film-film Bong sebelumnya, dan ini asumsi saya, dan bodoh amat dengan film sebelumnya, biarkan karya berdiri sendiri). Bahkan banyak yang memberi nilai film ini dengan skor tertinggi seperti 10/10, 100/100, 95/100 dan seterusnya.

    Film ini memang detil, saya sepakat. Saya justru mengkhawatirkan jangan-jangan, lagi-lagi asumsi saya, para fanboy dan fangirls film ini sulit menemukan atau enggan mencari celah karena sebelum film diputar, di bagian awal tertulis, “Wins Palme d'Or at Cannes film festival 2019”. Berhubung terlampau banyak yang memuji, jadi biarkan saya yang membuat antitesisnya, meski saya tidak bilang film ini jelek. Jujur film ini memang bagus, tapi bukan bagus banget, hanya bagus saja gitu, khas rata-rata film-film luar negeri lainnya; yang rapi, detail, gagasan yang kuat, ide brilian dan lain-lain.
    image by: google.com
    Saya mempertanyakan kenapa anak kecil si orang kaya jadi tiba-tiba nurut dengan guru les seninya, tanpa ada penjelasan setelahnya (“kan nggak semau scene kudu dijelasin, Bambang”, netijen said). Lalu soal batu cendekia yang saya naruh harapan besar banget sama scene itu, dia muncul di hampir setiap scene penting, tapi lepas begitu saja dari cerita. Kalaupun itu simbol, saya nggak relate. Lalu kenapa si tokoh bapak miskin sampe ngebunuh majikannya hanya karena merasa dilecehkan dibilang bau? Film ini dibuat abu-abu mungkin, ya, agar penonton terpecah untuk berada di belakang karakter yang mana. Tapi saya berpikir, seharusnya ending film ini bisa dibuat dengan alternatif lain, kalau memang ingin menyampaikan pesan damai, bukan dendam. Kalau begitu, lalu apa bedanya posisi si miskin dan si kaya? Atau memang itu pesan sebenarnya bahwa kita semua adalah Parasite?

    Paling fundamental, kenapa rumah orang kaya nggak ada cctv di bagian dalam rumah? Saya nggak tahu ya budaya korea bagaimana, tapi setahu saya, orang kaya pasti insecure dan mudah curigaan—mereka juga pasti punya penasehat dan orang yang dipercaya sebelum mengambil sebuah keputusan. Buktinya, saat ada tamu, pintu gerbang mesti dibuka otomatis dari dalam agar tamu bisa masuk dan mesti bicara dulu pada semacam walkie-talkie yang dipasang di depan gerbang, masa cctv dalam rumah saja nggak ada?

    Saya juga ingin tahu ke mana temannya yang kuliah, kenapa tidak diberi scene tambahan atau apa pun agar membuat ia juga khawatir dengan murid yang disukai dan dititipkan pada guru les penggantinya. Kalau dari awal disebutkan banyak simbol dan metafora, kenapa ending-nya tidak dibuat metaforis juga sekalian, bukan dengan saling membunuh seolah bunuh-membunuh adalah cara terbaik untuk mengakhiri cerita dan menyelesaikan sebuah masalah(?)

    Depok, 17 Juli 2019

    Continue Reading





    foto di depan Fakultas Teknik, tempat pelatihan berlangsung.
    *muka tolong dikondisikan, pak!

    UI yang saya maksud memang Universitas Indonesia di Depok, bukan Universitas Insyaallah atau Universitas yang Itutu. Tapi tenang dulu, saya tak secerdas perkiraan saudara untuk bisa S2 di UI. Sekarang saya hanya sedang melakoni pelatihan peningkatan kompetensi dalam program Digital Talent Scholarship 2019 yang diselenggarakan oleh Kominfo, kurang lebih selama satu bulan, 8 Juli 2019 – 8 Agustus 2019 (144 jam). Ini tahun kedua dengan peserta mencapai 25.000 penerima beasiswa. Saya satu di antara ribuan orang itu. Tentu saja saya merasa beruntung... tadinya.

    Saya memilih UI sebagai lokasi pelatihan karena memang yang paling dekat dengan domisili saya. Ada 30 lebih universitas yang bekerjasama dengan Kominfo di seluruh Indonesia. Program ini dikhususkan untuk sarjana lulusan Teknik, TIK, MIPA atau sekawanannya. Pilihan tema beragam, ada Cybersecurity, Big Data Analytics, Artificial Intelligence, Internet of Things, Cloud Computing dan Machine Learning. Pokoknya semua yang online-online itu~

    Saya memilih tema pelatihan Internet of Things. Terdengar keren, kan? *apa perasaan saya doang?

    Program ini upaya pemerintah agar pemuda memiliki kompetensi profesional yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di era revolusi industri 4.0. Gokil, di kalimat ini, saya merasa menjadi salah satu pahlawan teknologi yang siap menyelamatkan Indonesia di masa depan pemirsah!1!1!!

    Tapiii..., saya kembali jadi pecundang ketika tahu harga kosan dekat UI mahalnya bukan maen, astaganaga! Ada yang satu bulan seharga 1,2 juta listrik bayar sendiri, ada yang 1,8 juta, bahkan hingga 2,1 juta per-bulan. Saya mesti keliling tiga kelurahan dekat FT UI baru akhirnya mendapatkan kosan seharga 500k dan boleh untuk dua orang. Yalord, Tuhan kami memang mahabaik. Kalau soal fasilitas, jangan ditanya. Saat pintu kosan dibuka sama ibu kos yang cantik jelita itu, Ruangan kosan terlihat sangat bersih-bersinar-sunlight. Tak ada satu pun perabot yang ngejogrok di dalam. Jadi saya mesti balik ke Cilegon-Banten untuk mengangkut barang-barang dulu, guys. Padahal nih, saking putus asanya, saya dan seorang kawan, sempat tebersit rencana, kalau tidak dapat kosan dengan harga masuk akal, kami mau coba jadi marbot masjid terdekat saja. Karena, meskipun karpetnya bau kaki tapi yang penting ada ac-nya. Sial, mission failed!

    Kosan dengan harga tak masuk akal itu memang ada fasilitas kasur, ac, dan wife wifi-nya. Tapi di kampung saya, 500k juga mestinya dapat semua fasilitas itu. kini saya sadar, ternyata memang benar, ibukota (atau tetangganya) lebih kejam dan njengkeli dari ibu-ibu ngesen kanan belok kiri. Dan kosan elite itu namanya juga bagus-bagus, mudah diingat. Semisal kosan mawar merah, putih-putih melati ali baba, merah-merah delima pinokia, iis dahlia dan nama regu pramuka lainnya. Sedangkan saya, kalau ditanya, “ngekos di mana? Apa nama kosannya?” saya cuma bisa jawab, “daerah Kutek (Kukusan Teknik) atau yang setelah jembatan kali kecil itu. Iya, yang kalinya bau airnya keruh itu.” Karena emang nggak ada namanya tempat nginap kami ini. Sedi akutu~

    Sebetulnya di akhir pelatihan nanti ada semacam uang saku yang nilainya tidak seberapa. Karena tidak cukup untuk menombwoki makan, kosan, dan jajan saya selama sebulan. (lalu netijen bilang: wuuuh kagak ada bersyukurnya, ngga tau berterima kasih, uang negara tuh, dasar kamp—! ...bing!) memang itu kenyataannya. Makanya saya mau belajar betul-betul! (kenyataannya di kosan cuma gegoleran sambil gegaleran!)

    image by: flickr.com
    UI ini kampus yang gede banget. Maklum, kampus saya dulu cuma ada satu gedung berisi 7 fakultas sekaligus. Di UI ini, antar fakultas saja mesti naik bis kuning alias bikun (gemasss banget denger singkatannya). Jaraknya lumayan jauh. Kalau jalan kaki paling tidak kita mesti kesemutan dulu baru sampai antar fakultas. Bikun ini gratis dan tidak dipungut biaya sedolar pun, siapa saja boleh naik, asalkan jangan sambil bawa becak. Kagak muat, coy!

    Hari pertama kuliah seperti biasa, perkenalan. Saya diajar oleh dosen asal Bali. Ia seorang magister teknik komputer. Setiap ruang kelas ternyata selalu ada asisten dosennya tersendiri, anjir saya norak sekali. Kampus terbaik se-Indonesia tuh begini, toh? Maklum saya dari kampung, Wak!

    Pak dosen mulai menjelaskan soal silabus yang dibuat Kominfo. Sumpah, sih, pas tahu isi silabusnya saya berasa bukan seorang sarjana komputer. Apa yang saya pelajari di kampus dulu, kagak ada nyerempet-nyerempetnya sama materi di silabus. Ada sih kayaknya satu dua mata kuliah yang sama, tapi itu cuma remah-remah gorengan yang biasa terabaikan bersama lembar-koran-penuh-minyak itutu~

    Saat jam istirahat, ketika yang lain keluar kelas, saya termenung di dalam kelas. Seolah saya hanya punya dua pilihan; lanjut kuliah atau jadi kerang saja. Oke, saya putuskan jadi kerang saja, seperti yang diucapkan Luffy saat berada di bawah pengaruh kekuatan Horo Horo No Mi milik Perona di serial One Piece. Tapi, ternyata saya tidak sendirian. Ada seorang peserta mendatangi saya, menepuk pundak saya, mengajak kenalan lalu berseloroh, “Gimana, bro, paham? Saya kayaknya salah masuk kelas, dah. Salah jurusan,” katanya. Mendengar sebaris kalimat itu, semangat hidup saya seperti kembali lagi.

    Saya tepuk balik pundak kawan saya yang dari Bogor itu, lalu saya berkata, “tenang aja, bro, lo nggak sendirian. Xixixix...” Saya akhiri dengan cekikikan. Lalu di hari kedua dan ketiga, saya sudah mulai enjoy. Ternyata orang bodoh itu hanya butuh teman untuk bersandar. Nggak apa-apa, deh, jadi kerang. Asalkan kerang ajaib!

    Puja kerang ajaiiiiib! Ululululu~~

    ***

    Depok, 9 Juli 2019

    Continue Reading
    [ T E L A H  T E R B I T ] 

    image by: Penerbit Epigraf

    APA YANG KITA BICARAKAN DI USIA 26?
    Kumpulan Cerpen

    Penulis: Ade Ubaidil
    Penerbit: Penerbit Epigraf
    Halaman: 164 hal
    Dimensi: 11,5 x 17,5 cm
    Penyelia: Daniel Mahendra
    Penyunting: M Iqbal Dawami
    Pengatak: Endang Dedih
    Desainer Sampul dan Ilustrasi: Sukutangan
    Harga Normal: Rp 49.900
    Harga PO: Rp 45.000 + tanda tangan



    Di usia ke-26, saya dipaksa khawatir soal pernikahan. Bagi saya, dewasa bukan soal angka. Dan kalau menikah dianggap tanda dari fase kedewasaan seseorang, saya lebih baik ke Timbuktu saja, menemani Donald Bebek yang, meski cerewetnya minta ampun, ia masih lebih baik ketimbang bacot tetangga yang gemar bertanya, “kamu kapan nikah?” atau “kapan nyusul?”—yang kecepatannya bisa melebihi cahaya ketika hari lebaran tiba.

    —Penggalan cerpen, “Seni Hidup Lelaki Bujang”.

    _________

    Melalui 15 cerpennya yang termaktub di buku ini, Ade Ubaidil menghadirkan tokoh dalam tiga tingkatan fase usia yang beragam; masa kecil, masa remaja, dan masa dewasa. Ketiganya dihadapkan dengan tingkatan problematikanya masing-masing. Akan banyak cara, sikap, dan sudut pandang yang dihadirkan lewat para tokoh karangannya ketika hendak mengambil sebuah keputusan. Pembaca boleh bersepakatan dengannya atau mendebatnya.

    _________


    _________
    Pre Order: 24 Juni - 7 Juli 2019
    Tanda tangan penulis: 8 Juli 2019
    Pengiriman buku mulai: 10 Juli 2019



    Pemesanan bisa via:


    Facebook   : ADE UBAIDIL
    Instagram : @adeubaidil
    Toko Buku: Jack/Tapaki Buku Store
    [WA] 0896 3870 8927


    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Novel Adaptasi: YUNI

    (GPU | 174 halaman | Rp. 63.000)

    [PRE-ORDER]

    Pengunjung

    About me

    Photo Profile
    Ade Ubaidil, Pengarang, Cilegon-Banten.

    Pria ambivert, random dan moody. Gemar membaca buku dan berpetualang. Bermimpi bisa selfie bareng helikopter pribadinya. Read More

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: Apa yang Kita Bicarakan di Usia 26?

    (Epigraf | 164 halaman | Rp. 50.000)

    [PESAN]

    Bedah Buku Dee Lestari

    Bedah Buku Dee Lestari

    bedah buku #sbtml

    bedah buku #sbtml
    Bedah Buku di SMK Wikrama, Bogor pada: 23 April 2018

    Workshop & Seminar

    Workshop & Seminar

    Popular Posts

    • [RESENSI] NOVEL: HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (GPU, 2015)
    • Musim Layang-Layang (Pasanggarahan.com, 30 Oktober 2015)
    • [MY PROFILE] Terjerembap di Dunia Literasi: Lahan untuk Memerdekakan Pikiran (Utusan Borneo-Malaysia, 13 Desember 2015)

    Blog Archive

    • ►  2012 (5)
      • ►  October (3)
      • ►  December (2)
    • ►  2013 (41)
      • ►  January (1)
      • ►  March (5)
      • ►  April (4)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  August (1)
      • ►  September (3)
      • ►  October (3)
      • ►  November (16)
      • ►  December (5)
    • ►  2014 (20)
      • ►  January (2)
      • ►  April (3)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  July (1)
      • ►  September (1)
      • ►  November (6)
      • ►  December (4)
    • ►  2015 (21)
      • ►  February (5)
      • ►  March (2)
      • ►  April (3)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (5)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
      • ►  December (1)
    • ►  2016 (31)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  April (2)
      • ►  May (4)
      • ►  June (1)
      • ►  July (2)
      • ►  August (5)
      • ►  September (4)
      • ►  October (5)
      • ►  November (2)
      • ►  December (3)
    • ►  2017 (41)
      • ►  January (4)
      • ►  February (3)
      • ►  March (8)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  June (8)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (3)
      • ►  November (4)
      • ►  December (3)
    • ►  2018 (24)
      • ►  January (3)
      • ►  February (2)
      • ►  March (3)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  November (4)
      • ►  December (2)
    • ▼  2019 (16)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  May (2)
      • ▼  July (3)
        • Kumpulan Cerpen: Apa yang Kita Bicarakan di Usia 2...
        • [Esai] Tiga Hari di UI, Saya Ingin Jadi Kerang Saja~
        • [Ulasan Film] Parasite; Film yang Belum Selesai
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (14)
      • ►  January (1)
      • ►  February (1)
      • ►  March (2)
      • ►  April (1)
      • ►  May (2)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (1)
      • ►  November (1)
      • ►  December (2)
    • ►  2021 (15)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  April (1)
      • ►  May (1)
      • ►  June (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (3)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  December (1)
    • ►  2022 (30)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  May (3)
      • ►  June (5)
      • ►  July (1)
      • ►  August (4)
      • ►  September (3)
      • ►  October (2)
      • ►  November (2)
      • ►  December (7)
    • ►  2023 (5)
      • ►  January (4)
      • ►  February (1)

    Followers

    youtube facebook Twitter instagram google plus linkedIn

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top