[Catatan] Mengkaji Ulang Sistem Pemilu 2019

May 06, 2019



Ini tahun Pemilu yang memilukan. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, di Indonesia, Pemilihan Presiden (Pilpres) dilaksanakan serentak dengan Pemilihan Legislatif  (Pileg). Tahun 2019 ini jadi momentum bagi rakyat untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden serta memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, dalam satu waktu.

Sejarah digelarnya Pemilu serentak berawal dari aksi Effendi Ghazali dan Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak. Pada 2013, peraih gelar Ph.D., dalam bidang komunikasi politik dari Radboud Nijmegen University Belanda ini menggugat Undang-Undang (UU) Nomor 42/2008 tentang Pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK). MK mengabulkan dan mengeluarkan putusan uji materi (judicial review) untuk UU yang digugat Effendi Ghazali tersebut pada Mei 2013 kendati baru resmi disidangkan pada Januari 2014, seperti yang dikutip dari Tirto.id.

Menurut MK, Pemilu serentak dapat pula mengurangi pemborosan waktu dan menekan konflik atau gesekan horizontal di masyarakat pada masa-masa Pemilu. Selain itu hanya dengan Pemilihan Umum serentak warga negara dapat menggunakan haknya untuk memilih secara cerdas dan efisien. MK juga meyakini bahwa Pemilu serentak akan membuat proses pesta demokrasi menjadi lebih bersih dari kepentingan-kepentingan tertentu terkait lobi-lobi atau negosiasi politik yang dilakukan oleh partai-partai politik sebelum menentukan pasangan capres-cawapres yang bakal diusung.

Nyatanya, Pemilu serentak tahun ini perlu dievaluasi ulang. Bahkan boleh jadi yang terakhir. Apa yang disampaikan MK rupanya jauh dari yang kita bayangkan. Kalaupun akan terus dilaksanakan, pastikan sistemnya sudah matang dan siap eksekusi. Karena, sebagai anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di daerah saya tinggal, saya merasakan betapa kewalahannya kami para tim pelaksana. Mulai dari cara penghitungan surat suara, berkas-berkas yang harus diisi, juga lampiran yang bertumpuk-tumpuk. Sementara, masing-masing anggota untuk tiap KPPS hanya berjumlah 6 orang. Ditambah satu penjaga tinta dan dua orang petugas keamanan.

Pada pelaksanaannya, semua anggota dilibatkan tak terkecuali petugas keamanan. Sebab, tidak akan terpegang andai hanya satu atau dua anggota yang bekerja; baik saat menulis berita acara, laporan, juga saat penghitungan suara. Waktu yang disediakan pun boleh dibilang sangat mepet. Bisa dibayangkan, mulai pencoblosan pukul 07.00 dan mesti selesai pukul 13.00 wib. Padahal, kotak surat suara baru boleh dibuka ketika saksi, Bawaslu dan anggota sudah berkumpul. Itu juga memakan waktu yang tidak sedikit. Akhirnya anggota kewalahan dan keteteran, karena harus mengisi data surat suara yang ditandatangani Ketua KPPS terlebih dahulu.

Hal berikutnya yakni masuk ke proses penghitungan suara. Ini tidak kalah kompleks dari saat pemungutan suara. Karena pertama-tama kami harus menggelar kertas penghitungan suara dalam ukuran besar, dan itu jumlahnya cukup banyak. Lagi-lagi banyak waktu yang terpakai. Tak heran, seperti yang diberitakan banyak media, paling cepat penghitungan suara selesai pukul 01.00 malam. Di sanalah jam kerja manusia umum terlampaui. Pegawai atau buruh yang biasa kerja maksimal 6-8 jam, ini kami nyaris 24 jam—bahkan sebetulnya lebih dari 48 jam. Karena H-1 kami harus menyiapkan semuanya sendiri, termasuk soal mendirikan tenda, menyiapkan kursi, dan perlengkapan lainnya. Belum lagi kami mendapatkan C6-KPU (surat pemberitahuan pemungutan suara) H-2, kami harus membagikannya kepada Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Saat hari pelaksanaan, semua proses harus selesai dalam satu hari itu. Usai pemungutan suara, penghitungan suara dan merekap laporan, kami harus segera mengantar surat suara ke Kecamatan. Tanpa ada waktu jeda sehari. Untuk ibadah dan makan saja kami harus bergiliran, demi memanfaatkan waktu seefisien mungkin. Tenaga anggota benar-benar terkuras habis.

Artinya, kami para anggota KPPS bukan hanya bekerja pada hari H pelaksanaan, tanggal 17 April 2019, tetapi juga di hari-hari sebelumnya. Karenanya, dan ini yang membuat Indonesia berduka, banyak dari PPK dan KPPS yang tumbang akibat kelelahan. Korban yang meninggal dunia tercatat berjumlah 230 orang dan ada 1500 orang lainnya yang sakit dan mesti dirawat.

Ini menjadi masalah yang serius dan perlu penanganan yang intensif. Awalnya pelaksanaan Pemilu 2019 serentak yang digadang-gadang akan menghemat anggaran ini justru semakin membengkak hingga 24,8 triliun rupiah. Sungguh angka yang fantastis.

Sedangkan, upah atau bayaran untuk masing-masing anggota pelaksana Pemilu tidak sampai angka 1 juta. Untuk ketua KPPS 550 ribu sedangkan anggotanya 500 ribu rupiah. Lain hal yang diterima oleh Petugas Keamanan, hanya sebesar 400 ribu rupiah dan tanpa diberi seragam. Padahal di setiap pemilihan umum selalu ada anggaran untuk seragam petugas keamanan. Dari masing-masing angka itu dipotong pajak sebesar 6 persen. Pasti sulit dibayangkan untuk pekerjaan yang boleh dibilang tidak sebanding itu. Belum lagi kami harus menanggung hujatan dan tuduhan kecurangan dari masing-masing pendukung Capres-Cawapres dan Caleg.

Titik fokusnya bukan pada soal pantas atau tidaknya ukuran upah yang diterima, karena toh ini bagian dari berkontribusi untuk negara. Yang perlu diperbaiki lebih ke sistem yang bisa jadi keliru. Semisal persiapan kelengkapan alat semacam tenda, kursi dan sebagainya yang baiknya disediakan oleh KPU, sosialisasi dan Bimtek yang intens, dan penjemputan hasil surat suara yang progresif. Sehingga anggota KKPS cukup menaruh perhatian pada hari H pelaksanaan saja.

Saya setuju dengan apa yang disampaikan oleh Pramono Ubaid Tanthowi, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI. Ia mengatakan bahwa pelaksanaan Pemilu 2019 perlu dievaluasi dan Pemilu serentak dengan sistem lima surat suara cukup menjadi yang pertama dan terakhir. Sistem serentak lima surat suara langsung ini diamanatkan UU nomor 7/2017 sekaligus putusan MK nomor 14/2013. Tidak dilaksanakan pada tahun 2014 karena dianggap terlalu mendadak dan belum adanya kesiapan.

Akan tetapi, setelah kejadian demi kejadian bertumbangannya para tim pelaksana PPK dan KPPS tahun ini, bukankah sistem Pemilu 2019 ini juga masih belum siap untuk dilaksanakan dan perlu ditinjau ulang?
Cilegon, 29 April 2019



source by: dmii.or.id



You Might Also Like

0 komentar