Pages

  • Home
  • Privacy
  • Sitemaps
  • Contact
  • About Me
facebook instagram twitter youtube

Quadraterz.com

    • My Book
    • Cerpen
    • Novel
    • Esai
    • Puisi
    • Buku Antologi
    • Ulasan
    • Media
    • [Self-Depression]
    • Rumah Baca Garuda
    (rifki/detikcom)
    Jika di samping, depan, belakang, atau ada orang di sekitar Anda, coba dekati dan ajak bicara. Tanyakan soal keadaan perpolitikan di Indonesia belakangan ini; berapa pun usianya, saya kira ia pasti sedikitnya tahu apa yang tengah terjadi dan menjadi bahan perbincangan. Yang paling menyita perhatian kita tak lain adalah soal pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang bulan Februari lalu berlangsung. Akarnya menjadi kian runyam dan menjalar tak keruan hingga hari ini. Dan kalau Anda berani, coba tanyakan posisi ia dalam memandang politik jauh sebelum ada fenomena “Ahok” ini macam sekarang. Seberapa peduli ia pada perpolitikan di tanah air?

    Media telah memberitakan, betapa publik teralihkan perhatiannya sampai rela bergontok-gontokan bahkan hingga rela tak berkawan lantaran membela dan menyerang Ahok dalam waktu bersamaan. Yang menjadi ajaibnya lagi mereka sebagian besar bukan warga yang ber-KTP DKI Jakarta, yang notabene menggunjingkan bukan (calon) pemimpinnya. Sejauh apa kita peduli pada pemimpin di daerah kita sendiri? Atau jangan-jangan kita lebih mengenal Ahok ketimbang Gubernur, DPRD, Bupati, Walikota, Kepala Desa, Pak RW, Pak RT di kampung tempat kita tinggal? Apa keuntungannya dan apa kerugiannya sampai kita mau bersusah-payah mengambil jalan ruwet itu?

    Tahun 2014 lalu, sewaktu menjelang pemilihan Presiden RI, saya nyaris kehilangan semua "orang-orang baik" yang dulu ada untuk saya hanya gara-gara kita beda pilihan. Satu ke kubu Prabowo satu lagi ke kubu Jokowi. Sejak saat itu saya tidak ingin lagi memublikasikan posisi politis saya; semisal di pemilihan Walikota, Gubernur atau bahkan Lurah sekalipun. Namun apadaya, nyatanya, meskipun saya berdiam diri dan berusaha meredam untuk tidak berkoar, toh, pandangan para pembenci tidak sedikit pun berubah. Yang ada hanya kenyinyiran dan ketidak-ingin-percayaan mereka akan jalan yang saya tempuh. Alih-alih menegur saya secara langsung, yang ada mereka malah terus menyindir dan menuduh kalau saya dekat sama anu karena dia dukung anu, saya tak berkawan dengan anu karena tak dukung anu dan sebagainya dan sebagainya.

    Sekarang, fenomena Ahok ini benar-benar berlangsung secara berlarut-larut. Semua kalangan dilibatkan. Bahkan anak-anak sekalipun. Apa yang hendak dicapai dengan melibatkan anak-anak? Kita telah berdosa lantaran menyita masa bermain mereka. Sekolah yang nyaris satu Minggu saja sudah membuat mereka lelah, kita malah menambah kejengkelan anak-anak dengan mendoktrin hal-hal yang tak perlu ini. Semua ada tahapannya dalam menerima pelajaran hidup. Bayi bebek tak perlu langsung bisa berenang.

    Bila kita kaji lebih jauh soal kenapa orang Jakarta, luar Jakarta dan kebanyakan anak muda Indonesia yang selama ini cuek dengan politik mendadak begitu antusias memberikan dukungan dan atau caci-makian kepada Ahok, tentu akan menjadi menarik. Bahkan sebelum tulisan ini rampung, saya sudah menyatakan di akun media sosial pribadi kalau tak lama lagi kisah Ahok ini akan difilmkan—entah siapa yang akan membuatnya.

    Terlepas dari semua keripuhan perpolitikannya, saya sedang membayangkan perasaan orang-orang terkasih Ahok, semisal: Istri, Anak-anak, orang tuanya dan semua keluarga besarnya. Merekalah yang mendapatkan dampak terbesarnya dan tentu juga berpengaruh pada aktivitas sehari-harinya. Bagaimana interaksi dengan orang sekitarnya yang berubah, baik di sekolah, ruang publik, tetangga rumah dan sebagainya. Bahkan yang terbaru adalah video ketika Istri Ahok, Veronica Tan, menangis tersedu-sedu saat membacakan surat yang ditulis tangan oleh Ahok yang menyatakan untuk tidak naik banding.

    Sampai kapankah kita akan berhenti misuh soal Ahok ini? Kehidupan harus terus berjalan dan anggaplah ini bagian dari pendewasaan diri—bagian ini saya maksudkan untuk “orang-orang baik” yang sekarang memilih bertengkar dengan saya. Saya cukup salut dengan cara berpikir Ahok. Bagaimana cara ia menempatkan diri dan menjalankan semua yang memang harus ia tempuh—sekalipun saya tahu, sejak pertama kali video di Kepulauan Seribu itu tidak ada kekeliruan yang berarti, namun menjadi viral dan diperkarakan gara-gara postingan Buni Yani di akun Facebook-nya (yang tak perlu lagi saya bahas di sini).


    Lantas, kenapa harus Ahok?

    Inilah wajah masyarakat Indonesia sekarang. "Orang-orang baik" yang kemudian menebar kebencian yang saya sebutkan di atas itu adalah contoh ketidakdewasaan dalam mengambil sikap. Sedangkan, kekritisan masyarakat kita kini lantaran sudah sejak lama jengah (nyaris muak) dengan tipe kepemimpinan sebelum-sebelumnya. Hadirnya Ahok, bagi sebagian besar warga adalah angin segar dan seperti namanya, Tjahaja Purnama. Ia membawa sinar penyejuk baru bagi orang yang dinaunginya. Semacam ada kebaruan dan dobrakan yang ia bawa, yang tidak sembarang pemimpin berani lakukan—meski lagi-lagi, kesalahan fatal Ahok adalah pada cara mengekspresikan kekesalannya yang berpangkal pada setiap kata-kata yang dilontarkan terdengar “kurang sopan” bagi para “ orang santun”. Walau kita tahu, ia sudah mau belajar dan mengontrol diri soal itu.

    Namun bila kita contohkan pada diri sendiri, seandainya kita begitu muak pada kebathilan, yang orang lain lakukan dan merugikan hak banyak orang, secara naluriah kita pun akan memaki dan mengumpat, dan hal itu akan dianggap wajar belaka—sialnya tidak bagi Ahok. Kita pun sebenarnya enak saja menyebut nama orang yang lebih dewasa ‘Ohak-Ahok-Ohak-Ahok’, semisal anak-anak sekalipun. Bila ingin terus mengajarkan kesantunan, adil-lah sejak dalam pikiran, ucapan dan tindakan. Saya pun harusnya demikian, tapi karena sudah terbiasa menyebut Ahok, hilanglah sebutan, “Pak”, “Mas”, “Koh” dan lain sejenisnya.

    Kembali lagi soal kenapa harus Ahok?
    Saya yakin betul bahwa di hari depan beliau akan dijadikan semacam panutan sebagai contoh pemimpin yang baik, meski tentu dengan segala catatan-catatannya. Tapi saya pikir perjalanan Ahok masih panjang. Salah satu alasan Ahok tidak naik banding barangkali ini cara ia berdiam dan tanpa perlu lagi memancing keributan. Justru, cara ia diam seperti ini adalah sebuah bentuk pukulan telak (a-hook).

    Istilah “Hook” dalam dunia tinju dikenal sebagai sebuah pukulan yang mematikan. Hook dapat dilontarkan kedua tangan, kanan dan kiri. Dan memang posisi seperti itu yang dilakukan oleh seorang petinju dalam melontarkan hook. Seperti kita ketahui bersama, Petinju kelas berat Mike Tyson dulu sangat ditakuti karena pukulan hook-nya sering berhasil memukul KO lawan, sedang petinju Indonesia Ellyas Pical memiliki pukulan hook kiri yang sangat keras, dan sering memukul KO lawan dengan senjata andalannya itu. Karena keandalan pukulan tersebut Pical dijuluki sebagai Exocet. Itulah yang tengah dilakukan Ahok bagi lawan-lawannya sekarang!

    Para pembenci membutuhkan reaksi agar bisa menggodok terus tipu muslihatnya. Bila yang didapati sikap diam Ahok, maka materi menipis dan cepat atau lambat ke-superioritas-annya lekas memudar. Dan ke-megalomaniak-annya akan segera lenyap. Inilah langkah yang paling tepat untuk Ahok ambil. Terlebih Bulan Ramadhan, bulan yang dimuliakan umat Muslim sudah di ambang pintu. Saya kira Ahok memperhitungkan sampai sejauh itu. Ia pula barangkali tidak ingin melupakan rasanya ‘sepi’, ia ingin menghargai keberadaannya, seperti kata Tulus dalam bait lagunya berjudul, “Ruang Sendiri” berbunyi: “Hingga aku lupa rasanya sepi / Tak lagi sepi bisa kuhargai // Kita tetap butuh ruang sendiri-sendiri / Untuk tetap menghargai rasanya sepi”. *lagu ini enak betul, sungguh!

    Sayangnya, ‘sebagian’ kita hanya belum siap menerima kepemimpinan macam yang diterapkan Ahok. Tapi suatu hari kelak, Ahok-Ahok lain akan bermunculan. Koruptor-koruptor segera dibumihanguskan, dan Indonesia lekas kembali berjaya. Tunggu saja....

    Cilegon, 24 Mei 2017 / larut malam~


    Continue Reading


    Geliat cerita anak saban waktu kian mendulang peminat. Banyak penulis dewasa bermunculan yang juga menulis cerita anak. Ini juga berkat adanya ruang-ruang media yang menyediakan cerita anak untuk terus eksis, meskipun tidak sebanyak ruang karya sastra lainnya.

    Buku-buku yang masuk jajaran best-seller dan stabil dalam penjualan juga cerita anak. Menurut Tirto.id, Pada 2013, nilai penjualan buku di Indonesia mencapai Rp7,3 triliun. Jumlah ini meningkat jadi Rp8,5 triliun setahun berikutnya.

    Dan, siapa penguasa pasar buku Indonesia? Tak lain tak bukan adalah buku cerita anak.
    Pada 2013, pangsa pasar buku anak adalah 22,31 persen dari total penjualan buku di Indonesia. Setahun kemudian, jumlahnya jadi 22,64 persen.

    IKAPI mengambil data penjualan buku dari Gramedia, toko buku terbesar di Indonesia. Peringkat 1 penjualan mereka adalah buku anak. Pada 2014, sekitar 10,1 juta eksemplar buku cerita anak berhasil dijual oleh Gramedia. Mengalahkan buku religi dan spiritual, fiksi dan sastra, bahkan buku pelajaran sekolah.


    Artinya, dalam segi bisnis, ada peluang besar bagi para penulis cerita anak. Apa yang dilakukan oleh para penulis buku, “Hantu-Hantu Palsu” ini semacam langkah awal yang patut mendapatkan apresiasi.

    Hebatnya lagi, adik-adik ini penulis cerita anak yang masih anak-anak. Sebab, data yang dijabarkan di atas adalah data tentang buku anak yang ditulis oleh orang dewasa. Tentu apresiasinya akan berbeda ketika yang menulis cerita anak adalah anak-anak. Ada nilai tersendiri dan keistimewaan yang tidak bisa diperoleh orang dewasa.

    Keluguan bertutur dan polosnya anak-anak dalam menulis dan menyampaikan gagasan, itu akan berbeda ketika orang dewasa “pura-pura” polos untuk menjadi anak-anak. Baik dalam narasi, dialog, dan ketika mendeskripsikan sesuatu. Seperti yang saya tangkap dari cerpen-cerpen dalam buku ini.

    Di halaman pertama kita disuguhkan dengan cerita sederhana tentang persahabatan antara Lala dan Doni dalam cerpen, “Bunga Lala” karya Adila Safawati. 

    Cerpen itu berkisah tentang dua anak sekolah yang akan mengikuti lomba menghias bunga pada festival cinta lingkungan di sekolahnya. Bunga yang dirawat Lala tumbuh subur sedangkan milik Doni layu. Keesokan harinya, saat akan dilombakan, Doni berpikir untuk mencuri bunga Lala karena dia ingin mendapatkan hadiah. Namun, saat Doni sudah berhasil mendapatkan bunga Lala, ayam di pekarangannya mematuki bunga itu. Akhirnya dia pun tidak memenangkan lomba. Dan Lala tahu kalau bunga itu miliknya. Doni merasa bersalah dan takut kalau Lala akan menjauhinya, tapi tidak, meski kecewa Lala menerima maaf Doni. 


    Sebagaimana anak-anak, cerita ini ditulis dengan kalimat lugas dan mudah dipahami. Alur ceritanya pun berjalan maju dan rapi. Meskipun, ada beberapa bagian yang lompatannya terlalu mengagetkan, dalam arti, paragraf satu ke paragraf berikutnya tidak disampaikan dengan baik. Penghubung antar kisah masih kurang halus. 

    Namun, di sanalah letak nilai itu tadi. Nilai ke-anak-anak-an yang tidak bisa diganggu gugat. Kalau cerita anak ditulis sedemikian sempurna selayaknya kisah yang ditulis orang dewasa, tentu tak ada bedanya. Ini bukan berarti anak-anak mesti menulis cerita begitu, ya, tapi ini adalah upaya menunjukkan kalau anak-anak mesti bebas mengekspresikan imajinasinya dan tak perlu takut dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang baku dan kaku. Misal, kalau menulis cerita harus dari judul dulu, setiap paragraf ada berapa baris, cerita dimulai dengan laporan cuaca, pengenalan tokoh, dan lain sebagainya yang membosankan itu. 

    Orang dewasa saja malas diatur-atur apalagi anak-anak yang belum begitu paham dengan aturan-aturan tersebut. 

    Cerpen berikutnya karya Alya Miftahul Farihah berjudul, “Baju Baru”. Saya sudah pernah baca cerpen ini sebelumnya dan pernah dimuat di media yang saya dan relawan Rumah Dunia kelola bernama kurungbuka.com.

    Alya ini tahu betul bagaimana caranya menutup cerita. Maksudnya, ketika kita menulis, kadang kita merasa ada tekanan untuk menulis sekian halaman, berapa kata atau karakter. Sedangkan, sebetulnya cerita sudah bisa diselesaikan di halaman pertama. Seperti yang ditulis Alya ini, cerpennya pendek saja namun sudah memiliki nilai yang ingin dicapai. Bagian terbaiknya adalah paragraf di akhir. Biasanya, untuk menggambarkan cerita yang berakhir bahagia, tokoh akan diceritakan berhasil meraih sesuatu. Tapi Alya berbeda.


    Dia tahu si tokoh Khoir akan mendapatkan apa yang ingin dimilikinya, yakni baju baru, tapi cara menutup kisahnya patut diacungi jempol, begini kalimatnya: “Malam harinya, sebelum tidur, Khoir teringat terus pada baju barunya. Dia ingin sekali hari cepat-cepat berganti pagi. Khoir  tidak sabar ingin memakai baju barunya itu sampai-sampai terbawa mimpi.” 

    Kalimat itu berhasil membawa pembaca masuk ke dalam cerita dan penasaran ingin tahu seperti apa kelanjutannya. Pembaca tahu Khoir sudah membeli bajunya, tapi pembaca dibuat menunggu karena Khoir belum diceritakan mengenakan baju itu karena waktu sudah malam. Akhirnya, pembaca akan menggunakan imajinasinya sendiri untuk menebak kisah yang sudah Alya tulis. 

    Cerpen yang baik, adalah cerpen yang mampu memberikan ruang kepada pembaca untuk berimajinasi. Tidak semua hal perlu dijelas-jelaskan secara berlebihan, dan cerpen Alya ini berhasil memenuhinya. 

    Terakhir adalah cerpen, “Hantu-Hantu Palsu” karya Kaila Salsabila yang jadi judul utama buku ini. Hampir di semua cerpen adik-adik ini paham soal sebab-akibat. Itu pula yang saya temukan di cerpen Kaila. Ia seperti hendak menunjukkan bahwa apa yang kita tanam itulah yang akan kita tuai.

    Diceritakan tokoh bernama Doni dan kawan-kawan yang jahil ingin mengerjai warga dengan berpakaian seperti hantu. Lalu mereka bersembunyi di atas pohon dan semak-semak, tapi sial di hari berikutnya setan asli (begitu Kaila menulisnya) turut nimbrung dan menakut-nakuti Doni dan teman-teman hingga akhirnya persembunyian mereka diketahui Pak RT dan warga lainnya. Akhirnya mereka mengakui perbuatan tercela itu dan meminta maaf kepada warga. 

    Cerita ini bagus, meskipun Kaila kurang menyebutkan detil tentang usia tokoh-tokohnya. Sebab, ini menjadi penting untuk membangun logika cerita. Seperti  diceritakan, anak-anak ini keluar tengah malam, naik pohon, dan memakai make up juga rambut palsu. Sulit saya membayangkan kalau mereka berusia 8 atau 10 tahun. 

    Untuk usia tokoh, baiknya beri angka pasti agar pembaca tidak mengira-ngira. Tentu ini tidak bisa disamakan dengan cerpen sebelumnya yang harus membuat pembaca penasaran, karena usia seharusnya dibuat pasti agar logika cerita bisa diterima pembaca dan agar cerita bisa mendapatkan simpati dari pembaca. 

    Pada akhirnya, cerita yang baik, selain memenuhi seluruh unsur intrinsik dan ekstrinsik, adalah cerita yang dituturkan dengan jujur dan penuh rasa. Ketika ingin bercerita, kita selayaknya seperti anak-anak dalam buku ini, bercerita saja apa adanya tanpa ada motif lain selain ingin berbagi informasi dan pengalaman. Tuliskan sesuatu yang dekat dan kita ketahui, karena itu bisa menjadi amunisi yang baik sebagai penulis pemula saat ingin menghadirkan cerita untuk dibaca orang banyak.[]

    Serang, 26 September 2019




    __________________
    *) Ulasan ini ditulis untuk buku Kumpulan Cerpen, “Hantu-Hantu Palsu” ( Gong Publishing, 2019) dan disampaikan pada acara Bedah Buku di MTsN 3 Kota Cilegon.
    Continue Reading


    TUMPENG
    Tumpukan perasaan yang telah usang

    Penulis:  Ade Ubaidil, Fikri Kembar, Kang Yudha, Melina Susmanto, Rurs Thelapislazuli, Riris Nurbintari, dan Tia Marty 

    Penerbit: Teman Nulis

    Genre: Novel remaja

    Halaman: 230 hlm
    Desainer Sampul: Maulana Yunus
    Harga: Rp 75.000 + tanda tangan


    _________

    BLURB:

    “Tumpeng ini jadi istimewa berkat dia yang meninggalkan buku di depan pintu.” –Rayya
    “Jika aku begitu sabar menunggu, itu karena ada sesuatu yang belum selesai di antara kami.” –Lestari
    “Pada akhirnya aku menyadari, ada satu hal penting yang tidak bisa dibeli. Cinta.” –Caca
    “Mencintai adalah buah keputusan sadar dari tanggung jawab.” –Bimo
    “Akhirnya aku memutuskan pulang, untuk mereka, dan dia.” –Bayu
    “Dia pasti menyukai tumpeng ini. Aku yakin itu.” –Gendis
    “Kalau lo bahagia, gue bisa tidur nyenyak, dah.” –Rojali

    Bimo, Bayu, Rayya, Gendis, Caca, Lestari, dan Rojali, bersahabat sejak masih duduk di bangku SMP. Tumpeng menjadi saksi eratnya persahabatan mereka. Selepas SMA, jalan hidup membuat mereka berpisah. Dua belas tahun kemudian, Bimo mengundang sahabat-sahabatnya dalam rangka syukuran pernikahan.

    Semuanya merasakan rindu. Tapi ada yang berat untuk datang. Tumpeng dan perasaan dari masa lalu menjadi alasan. Mereka bukan lagi bocah remaja. Sudah saatnya berani menghadapi kenyataan. Semuanya memutuskan datang. Menyelesaikan yang pernah mereka mulai. Merelakan yang tidak bisa dimiliki. Membiarkan air mata tumpah. Menyatukan kembali hati yang menjadi serpihan. Jika dulu tumpeng mempunyai arti sebagai masa riang mereka, kini tumpeng menjadi pintu bagi siapa pun untuk menerima.

    _________

    “Novel Tumpeng mengangkat nilai persahabatan yang menghibur dibalut nuansa kuliner Indonesia. Ditulis dengan unik pula oleh 7 penulis yang mewakili tiap karakter yang berbeda!” 
    – Robert Ronny, Filmmaker and Executive Produser Film Gundala.

    “Tulisan dari sebuah novel juga bisa menghipnotis seseorang, Novel Tumpeng ini contohnya. Anda sebagai pembaca akan dibawa lebih dalam ke alam bawah sadar Anda melalui sebuah cerita.”

    – Romy Rafael,  Master Hypnotist Indonesia, Youtube: Romy Rafael Mind.

    _________ 

    Contact Us:

    Instagram: @noveltumpeng
    Email: bukutumpeng@gmail.com
    WA: 0859 5984 5880

     
    Continue Reading
    image by: Liputan6.com/Johan Tallo
                  Urus saja moralmu, urus saja akhlakmu...
                 Peraturan yang sehat, yang kami mau....

    2019 adalah tahun kekisruhan. Sejak pemilihan kepala negara hingga kepala daerah. Rasanya, tak ada sehari pun hari yang tenang, yang bisa kita lewati. Bahkan, mau diam pun menjadi serba salah. Ini masa di mana semua orang mesti bersuara dan menentukan prinsip hidupnya. Diam bisa diartikan sama dengan pecundang atau lebih buruk dari itu.

    Mudahnya informasi apa pun untuk diakses, memaksa kita untuk mencari tahu segala sesuatunya lebih dalam, sebelum menyatakan opini dan argumen kepada khalayak. Sebab, semua yang sudah diberitakan pada publik, maka informasi itu bukan lagi bersifat pribadi dan milik personal, tapi sudah milik umum. Sebutlah media sosial, misal. Karenanya, ketika seseorang mengomentari, mengkritik, memberi saran, menunjukkan sudut pandangnya yang berbeda untuk satu hal yang sama, kita tidak boleh tidak terima. Kita mesti siap dengan segala konsekuensi, dengan segala perdebatan, dengan segala pro-kontra yang timbul sebab kita membuka diri kepada mereka.

    Bulan September ini, manusia-manusia di parlemen sana, yang merasa mewakili rakyat, dengan semena-mena akan mengesahkan RUU KUHP, revisi UU KPK, dan RUU Pertanahan. Manusia-manusia yang merasa pintar itu, padahal bodoh saja tak punya (pinjam judul buku alm. Rusdi Mathari), tanpa mengadakan rapat terbuka, dengan seenak jidatnya merevisi poin-poin penting di KUHP, KPK, dan Pertanahan. Jelas ini adalah bentuk #reformasidikorupsi. Ada upaya pelemahan hukum dalam KPK yang akan menguntungkan bandit-bandit dan para mafia koruptif. Dalam RUU KUHP juga banyak pasal yang terdengar konyol, saya tak perlu menjabarkan poin mana saja karena mahasiswa yang aksi dan turun ke jalan sudah menyebutkan apa saja, dan sebagian besar saya sepakat dengan mereka.
    Kedunguan terstruktur dari DPR ini memang harus segera dihentikan. Karena yang menjadi pertaruhan adalah nasib rakyat ke depan. Saya tentu tidak berharap kerusuhan Mei 1998 terulang lagi di tahun ini, namun, kita bisa melihat sendiri betapa kerumunan seluruh mahasiswa se-Indonesia tak terbendung lagi ingin menyuarakan aspirasinya. Mereka ingin menyelamatkan KPK yang independen, yang memprioritaskan kepentingan bersama. Suara mahasiswa adalah suara rakyat. Para dewan yang ingin selalu dihormati itu, juga harus menghormati hak kami. Mereka harusnya tahu apa kewajiban mereka saat mengemban jabatan dan amanah dari rakyat. Kalau berani mengusik hal-hal prinsipil, maka dalam satu komando, rakyat pasti melawan!

    Yang harus mereka sadari bahwa jabatan mereka tidak abadi. Jangan memanfaatkan itu untuk kepentingan pribadi dan anak bini sendiri. Mereka digaji oleh rakyat, maka sudah seharusnya mereka bekerja untuk rakyat. Kejadian semacam ini semakin mengukuhkan saya bahwa mereka tidak ada yang betul-betul membela rakyat. Mereka hanya memanfaatkan suara rakyat untuk memuaskan hasrat mereka yang bejat bin jahat. Barangkali itu sudah tertanam di dalam otak dangkal mereka.

    Kapan negara ini akan maju bila kita dipimpin oleh orang-orang yang gila kekuasaan. Kapan kita jadi negara yang dewasa, bila para pemimpin mengurusi hal-hal yang kurang penting. Sedangkan hal-hal krusial seperti kasus-kasus pelanggaran HAM, tindak korupsi, pembakaran hutan, dan banyak lainnya mereka lupakan. Sampai kapan mereka hanya akan mengurusi urusan perutnya sendiri tanpa mau membuka mata untuk kita orang-orang lemah yang tertindas, tak mendapatkan keadilan.

    Presiden, selaku kepala negara harus tegas mengambil keputusan. Pertimbangkan kepentingan rakyat, jangan takut pada intervensi partai dan orang-orang mabok kekuasaan. Kami mendukung bukan berarti kami tak akan mengkritik. Kalau setiap kebijakan yang diambil keliru, kami patut menegur dan mengkritisinya. Itulah negara demokrasi!

    Dan rakyat, juga harus paham bahwa demo atau aksi unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa tidak bisa disalahkan. Kita harus mau melihat segala sesuatu dari berbagai sisi. Apa yang kawan-kawan mahasiswa dan rakyat perjuangkan adalah untuk kemaslahatan bersama. Ada banyak cara untuk menyampaikan aspirasi, terjun langsung ke jalan adalah salah satunya. Kawal terus dan jangan sampai disusupi orang-orang tak bertanggung jawab yang berusaha “menunggangi” momen ini. Hindari segala bentuk provokasi. Tetap waras dan waspada, karena Indonesia dalam darurat!

    Cilegon, 25 September 2019

    Continue Reading

     
    image by: pexels.com
    Pria di hadapanku menutup wajahnya dengan kesepuluh jemarinya. Ia menarik napas berulang kali lalu mengembuskannya dengan berat. Kepalanya ia tundukkan, lemah. Kali ini ia tampak tidak tahu lagi harus berkata apa. Melihat dunia hari ini, katanya lima menit lalu, aku seperti kehilangan arti kemanusiaan. Apa itu kemanusiaan?

    Aku juga tidak tahu....

    Awan berarak, langit jauh lebih cerah dari biasanya. Ia belum menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri. Televisi dan media yang ada, justru makin memperkeruh keadaan. Berita-berita yang tertulis dan disuarakan saban hari hanya bikin resah. Bikin menambah daftar pertanyaan. Satu di antaranya adalah: apa yang bisa kita lakukan?

    Aku juga tidak tahu....

    Dari jauh kulihat kendaraan berhenti. Lampu lalu lintas masih berwarna merah. Merah.... mengingatkan pria di hadapanku dengan korban pemerkosaan yang sebelumnya dibunuh, dimutilasi, dihilangkan nyawanya; gadis baduy tak berdosa. Ia kini semakin hilang kendali. Rambutnya yang panjang sepunggung ia jambak sekuat-kuatnya. Helai demi helai rambutnya tercerabut paksa. Lalu ia menggebrak meja; selain mengutuki perbuatan keji mereka, apa yang bisa kita lakukan?

    Aku juga tidak tahu....

    Mobil pribadi, bus angkutan umum, sepeda motor berebut jalan ketika lampu lalu lintas berganti warna kuning. Saat lampu hijau menyala, semua kendaraan sudah jauh di depan. Kita ini manusia yang macam apa, kata pria di hadapanku. Ia mulai mengambil sebatang rokok, merogoh korek api dari saku kemejanya, lalu ia mulai menyalakannya. Kali ini ia terlihat sedikit lebih tenang. Perlahan-lahan asap rokok ia embuskan dari lubang hidung dan mulutnya. Kita ini betul-betul perusak, ya?

    Aku betul-betul tidak tahu....

    Seorang loper koran menghampiri warung yang sedari tadi kami singgahi. Katanya semua harga barang-barang pokok naik; beras, kartu jaminan kesehatan, BBM, bahkan hingga tarif pelacur yang biasa ia kencani, yang tentu saja bagian itu tidak tertulis di koran yang sengaja ia letakkan di meja kami. Aku sungguh tidak peduli, tapi tidak dengan pria di hadapanku. Ia menandaskan ujung puntung rokoknya di atas bungkus kosong yang ia jadikan asbak. “Harus ada yang kita lakukan!” serunya sembari berdiri.

    Namun, belum ia melanjutkan kalimat berikutnya, di jalanan seseorang berkulit hitam sedang dikejar-kejar warga. Entah apa masalahnya, yang jelas, kami hanya mendengar mereka mengumpat, “MONYET!” berkali-kali. Hingga pria di hadapanku tubuhnya limbung. Ia menjatuhkan badannya di atas meja. Tubuhnya menggigil dan bergetar. Aku ingin melakukan sesuatu tapi percuma saja, aku hanya seberkas bayangan hitam dirinya yang tak bisa melakukan apa-apa. Aku bahkan tak punya hati!

    Diriku yang berwujud itu terkulai lemah, lalu berkata, “Kita ini semua memang hanya monyet, bahkan jauh lebih hina dari itu....”

    Cilegon, 08 September 2019

    Continue Reading


    Judul Buku       : What We Talk About When We Talk About Love
    Penulis              : Raymond Carver
    Penerbit            : Penerbit Baca
    Tebal                 : vi + 203 halaman
    ISBN                 : 978-602-6486-23-3
    Terbit               : Desember, 2018
    Harga               : Rp. 65.000,-

    “Menurutku, kita semua baru pemula dalam soal cinta. Kita bilang kita saling mencintai dan memang benar, aku tak ragukan itu. Aku mencintai Terri, dan Terri mencintaiku, dan kalian berdua juga saling mencintai. Kalian tahu jenis cinta apa yang kubicarakan sekarang.” (Hlm. 183).

    Cerpen, “Yang Kita Bicarakan Saat Bicara Tentang Cinta” ini berkisah tentang empat orang, dua pasang suami-istri, di sebuah meja makan, yang sedang berbincang-bincang mengenai perjalanan cintanya masing-masing. Sebelum kemudian mereka saling menemukan satu sama lain. Layaknya dalam sebuah reuni sekolah, mereka membuka obrolan dengan mengulik masa lalu percintaannya tanpa ada yang berusaha ditutupi. Semisal apa yang diungkapkan Teresa atau yang memiliki sapaan Terri, istri dari Mel McGinnis.

    Ia berkisah pengalaman pernikahan pertamanya sebelum bertemu Mel. Pria yang pernah hidup bersamanya begitu mencintainya sampai-sampai berusaha membunuhnya. “Suatu malam, dia pukul aku. Memegang pergelangan kakiku, ia seret aku keliling ruang tengah. Ia terus bilang, ‘aku cinta kamu, aku cinta kamu, lonte.’ Bagaimana menurut kalian cinta yang seperti itu?” (Hlm. 174).

    Kemudian mereka saling memberikan pandangannya masing-masing tentang apa itu cinta. Filosofi apa yang terbentuk dalam benak mereka soal cinta. Tampak benar dalam cerpen ini tokoh-tokohnya adalah orang yang dewasa dalam pemikiran dan perkataan. Mereka sudah berdamai dengan diri masing-masing dan mau saling memaafkan masa lalu pasangannya.

    Begitu juga dengan 16 cerpen lainnya. Dalam buku lawas yang pertama kali terbit tahun 1981 ini, ditulis oleh Raymond Carver yang mempertemukan tokoh-tokoh karangannya dengan serangkaian peristiwa yang amat pedih dan menyayat, namun bisa dihadapi dengan lapang dada. Ia menghadirkan tokoh yang tidak cengeng, siap menghadapi problematika kehidupan serumit apa pun itu dan selalu berusaha menemukan kelucuan yang getir dari apa yang dialami para tokoh rekaannya.

    Dalam cerpen pembuka, “Kenapa Kalian Tak Berdansa Saja” berkisah tentang pria yang frustrasi ditinggal pergi kekasihnya, dan semua barang-barang miliknya dikeluarkan dari dalam rumah. Tetapi, dari jalan raya, ada sepasang kekasih melihatnya dan mengira sedang ada bazar barang bekas di garasi. Lalu mereka mencoba kasurnya, televisi, juga lampu baca saat si pria frustrasi pergi berbelanja. Saat ia kembali, bukannya marah, ia malah senang ada orang yang datang dan menawar barang-barangnya, meski sebetulnya ia tidak sedang menjualnya.

    Si pria menghabiskan minuman dan mengisi gelasnya lagi, lalu menghampiri kardus berisi piringan-piringan hitam. “Pilih salah satu,” katanya kepada si cewek sembari menyodorkan beberapa. (Hlm. 8).

    Lalu si pria mempersilakan sepasang kekasih itu untuk berdansa. “Ini halamanku. Kalian boleh berdansa kalau mau.” (Hlm. 9). Dialog ini menunjukkan betapa kesepiannya si pria setelah ditinggal pergi orang yang disayanginya. Sampai-sampai ia ingin melihat sepasang kekasih berdansa di hadapannya dan membayangkan dirinya di masa lalu saat bersama kekasihnya sebelum berpisah.

    Carver tampak sekali tidak memanjakan tokoh rekaannya. Ia justru seolah membebaskan setiap karakter untuk membuat keputusannya sendiri dalam menyelesaikan permasalahan tanpa campur tangan penulis. Ditambah, alihbahasa ciamik yang dilakukan oleh Dea Anugrah dan Nurul Hanafi menambah kejatmikaan setiap kalimat dan narasi yang muncul menjadi bernas. Irama bahasa penulis aslinya, yang gemar memaki, tampak tidak keluar dari relnya meskipun sudah diterjemahkan. Tentu hal semacam itu tidak mudah bila bukan ditangani oleh yang ahli. Dan kedua penerjemah itu saya pikir berhasil di buku ini.[]

    Cilegon, 4 Juli 2019

    Continue Reading
    Image by Arman Cemong

    Karya saya sudah mati sejak 2017. Terpilih menjadi salah satu penulis Emerging di Ubud Writers and Readers Festival dua tahun lalu mulanya saya kira adalah sebuah awal dalam karir kepenulisan saya. Ternyata itu adalah akhir. Saya tak berani mengakuinya sampai kemudian saya menuliskan ini.
    Beban yang dibawa ternyata terlampau berat. Sebagai penulis anak bawang cum bau kencur, lompatan itu rupanya membuat saya kaget. Saya menyadari kemudian kalau saya belum siap. Memulai terjun di dunia kepenulisan tahun 2012, saya adalah penulis prematur. Langkah saya terlampau jauh dan tidak seharusnya begitu.
    Tuhan terlalu baik pada saya. Menulis ini sebetulnya adalah berkat ketidaksengajaan alias iseng. Lulus Aliyah, saya tidak tahu harus apa, mencari kerja saat itu pun saya merasa belum memiliki keterampilan yang layak untuk diganjar dengan gaji. Maka pilihannya adalah melanjutkan kuliah. Pilihan saya jatuh pada jurusan Sistem Komputer di sebuah kampus swasta di Banten.
    Di sela-sela waktu pendaftaran, karena ada hari-hari yang kosong sampai perkuliahan aktif, saya iseng mengirimkan beberapa puisi pada sebuah grup kepenulisan di facebook yang saat itu sedang mengadakan lomba menulis. Tak disangka ternyata 3 puisi saya lolos untuk dibukukan. Dari sana saya mulai menggemari dunia tulis-menulis. Saya merasa tertantang untuk terus mengikuti lomba-lomba—yang ternyata kemudian lebih banyak mengalami kekalahan.
    Jiwa muda saya saat itu berontak. Saya semakin penasaran untuk memenangi lomba dan dimuat karyanya di media cetak. Bahkan sampai berkeinginan memiliki buku sendiri. Tuhan terlalu baik pada saya. Satu tahun dalam karir kepenulisan saya, saya memenangi lomba yang hadiahnya adalah voucher penerbitan buku gratis. Saat itu saya senang luar biasa. Disusul dengan kemenangan-kemenangan lomba lainnya. Masuk ke semester 3 perkuliahan, ketersesatan saya di dunia tulis-menulis semakin menjadi.

    Saya jadi tekun menulis bahkan mulai kesulitan membagi waktu dengan belajar mata kuliah soal komputer. Saya tertinggal jauh dengan teman-teman di kampus saya. Tapi saya tidak khawatir soal itu. Saya malah khawatir tertinggal dengan kawan-kawan menulis saya yang saat itu masih sebatas kenal di dunia maya saja. Rasa iri betul-betul tumbuh saat tahu kawan-kawan menulis saya karyanya dimuat di koran incaran saya. Belum lagi saat saya dikalahkan oleh mereka di satu-dua ajang lomba yang sama. Gengsi saya mulai tumbuh subur. Saat itu saya menyatakan bahwa menulis adalah bagian dari hobi saya. Saya sama sekali tidak berpikir soal mendapatkan uang dari menulis. Yang jelas, saat saya berhasil merampungkan tulisan, saya senang luar biasa. Tak ada yang membebani saya, dalam pikiran saya, untuk mendapatkan uang dan menjadikan menulis sebagai pekerjaan atau profesi.

    Tapi, karya saya sudah mati sejak 2017. Puncak karier kepenulisan saya yang bisa saya banggakan hanya sebatas menjadi penulis emerging di UWRF. Karya saya benar-benar mati. Sementara kawan-kawan seperjuangan saya banyak yang karyanya terus melesat melampaui saya. Karya mereka diterbitkan penerbit besar di Indonesia, lalu diterjemahkan, menang ajang bergengsi, diundang banyak festival dan lain sebagainya. Sedang saya, tak lagi sanggup melahirkan karya yang fenomenal dan jadi perbicangan banyak orang. Sekarang, menulis menjadi sesuatu yang sulit untuk saya lakukan. Merampungkan satu tulisan saja bisa memerlukan waktu hingga berhari-hari. Seolah ada beban yang mesti saya pikul di punggung ini.
    Menulis bahkan sudah tidak lagi semenyenangkan dan sememuaskan seperti dulu sewaktu belum tahu banyak hal soal teknis menulis; soal teori-teori, istilah-istilah, dan segala perangkat tetek-bengek yang mengganggu itu. Sekarang, setiap hendak menulis saya selalu merasa bahwa apa yang saya tulis tidak lagi menarik. Bahwa gagasan atau ide yang saya sampaikan, sudah terlalu banyak dan sering orang tulis. Bahwa saya sudah tidak bisa lagi menghasilkan tulisan yang bagus, yang mampu membuat saya sendiri tercengang. Semua karya saya kini tampak biasa saja. Saya memang penulis prematur. Tuhan terlalu baik pada saya. Sehingga jalan saya di awal kepenulisan dulu selalu dimudahkan. Dalam kurun waktu yang singkat. Sekarang, saya menghadapi kenyataan kalau inilah ujung karir kepenulisan saya.
    Mulanya saya sempat berpikir inilah profesi saya. Sebagai penulis. Tapi karya saya sudah koit sejak 2017. Saya mengirimkan karya ke manapun sulit sekali untuk diterima dan lolos—yang terakhir, saya gagal lolos mendapatkan beasiswa kepenulisan ke Jepang. Barangkali karya saya memang sudah tak layak mendapatkan tempat lagi. Tak ada lagi kesempatan!

    Saya paham bahwa profesi apa pun pasti mengalami masa sulit seperti ini. Masa di mana kita jenuh dengan karya kita sendiri; ingin melampaui karya-karya sebelumnya tapi susahnya minta ampun!
    Apa memang seharusnya saya sudah tak perlu menulis lagi? Atau saya mesti ambil jeda untuk menghirup udara segar dan beristirahat dari kegiatan menulis, entah sampai kapan, untuk kemudian kembali menulis? Apa ini masih penting?

    Saya kecewa pada diri saya sendiri. Saya, entahlah, cemburu mungkin dengan orang lain yang berhasil mewujudkan cita-citanya di dunia kepenulisan. Banyak cita-cita saya yang berhasil diraih oleh orang lain. Saya selalu kesal dengan kebodohan saya yang saat ini sulit berkembang dalam menghasilkan sebuah karya. Karya saya betul-betul sudah mati sejak 2017!

    Banyak rencana-rencana saya di dunia kepenulisan ini. Tapi dalam keterpurukan begini, apakah mungkin saya akan mampu bertahan untuk terus menulis? Sedangkan, beberapa teman-teman saya meragukan keberhasilan saya dan selalu mengatakan saya hanya beruntung bisa menang lomba ini, diundang festival itu dan segala macamnya. Mereka, segelintir orang ini, tak pernah mau mengakui kalau pencapaian saya ini murni karena karya saya memang layak mendapatkan tempat itu. Mereka lebih senang menganggapnya bahwa semua yang saya raih adalah keberuntungan belaka.

    Dan barangkali, "keberuntungan" dalam karya saya, yang sering teman saya katakan itu, kini telah habis. Kini, saya hanyalah seorang penulis pecundang yang karyanya telah mati sejak tahun 2017. Sisanya sekarang hanyalah kegagalan-kegagalan yang saling berkejaran dan siap menghadang saya di gerbang keberhasilan manapun di masa depan.[]

    Depok, 17 Agustus 2019
    Continue Reading
    image by: google.com

    Score: 3/5

    Barangkali saya akan menjadi yang paling berbeda dari penonton lainnya. Saya bahkan masih ragu untuk menuliskan ulasan singkat ini, tapi ya bagaimana, saya cukup menyayangkan (menghindari kata kecewa) setelah selesai menonton film Parasite ini. Pertama kali saya tahu film ini dari akun instagram Joko Anwar. Ia mengatakan kalau ini adalah “film jenius bikinan orang jenius”. Lalu setelahnya review bermunculan termasuk dari teman-teman saya. Semakin penasaran dongs, tentunya. Saya sampai khawatir nggak kebagian nonton di bioskop lantaran di Cilegon nggak ada CGV, Cinemaxx, dan Flix. Intinya film itu nggak masuk ke Bioskop di Cilegon dan Serang. Kebetulan karena saya sedang ada di Depok sekarang, jadilah saya nonton di Dmall pukul 21.10, karena pagi dan siang ada jam kuliah. >>> baca di sini <<<

    Ekspektasi saya soal film ini cukup tinggi sekali, karena dipuja sana-sini seolah tidak ada cacatnya yang patut diperdebatkan, saya saja sampai khawatir dicap nggak ngerti film/penonton alay/ceb-kamp atau ejekan lainnya, tapi kemudian saya bertanya kenapa saya mesti memikirkan stempel itu, ini hanya soal selera dan sudut pandang sebagai penonton.

    Opening film sangat bagus, menggambarkan kemiskinan tanpa perlu diungkapkan lewat dialog, cukup dengan memvisualkan situasi, dan begitulah sebuah film seharusnya bekerja. Film ini, seperti yang dikatakan para pengulas, banyak memainkan simbol dan metafora-metafora. Tentu saja itu sebatas asumsi penonton yang membandingkan dengan pengalaman-pengalaman menontonnya, interteks dari sebuah karya a ka asumsi.

    Dan asumsi, kadang bisa melampaui apa yang sebetulnya ingin disampaikan kreator itu sendiri. Sepengalaman saya, pernah ada yang meneliti cerpen-cerpen saya untuk skripsi, saya terkejut karena pembaca punya interpretasi tersendiri dari karya saya yang bahkan saya sendiri tidak mempersiapkan sejauh itu—bisa jadi itu pula yang dialami Bong Joon-ho, sutradara dan penulis skenario film ini (meski kemudian netijen akan bilang, makanya tonton film-film Bong sebelumnya, dan ini asumsi saya, dan bodoh amat dengan film sebelumnya, biarkan karya berdiri sendiri). Bahkan banyak yang memberi nilai film ini dengan skor tertinggi seperti 10/10, 100/100, 95/100 dan seterusnya.

    Film ini memang detil, saya sepakat. Saya justru mengkhawatirkan jangan-jangan, lagi-lagi asumsi saya, para fanboy dan fangirls film ini sulit menemukan atau enggan mencari celah karena sebelum film diputar, di bagian awal tertulis, “Wins Palme d'Or at Cannes film festival 2019”. Berhubung terlampau banyak yang memuji, jadi biarkan saya yang membuat antitesisnya, meski saya tidak bilang film ini jelek. Jujur film ini memang bagus, tapi bukan bagus banget, hanya bagus saja gitu, khas rata-rata film-film luar negeri lainnya; yang rapi, detail, gagasan yang kuat, ide brilian dan lain-lain.
    image by: google.com
    Saya mempertanyakan kenapa anak kecil si orang kaya jadi tiba-tiba nurut dengan guru les seninya, tanpa ada penjelasan setelahnya (“kan nggak semau scene kudu dijelasin, Bambang”, netijen said). Lalu soal batu cendekia yang saya naruh harapan besar banget sama scene itu, dia muncul di hampir setiap scene penting, tapi lepas begitu saja dari cerita. Kalaupun itu simbol, saya nggak relate. Lalu kenapa si tokoh bapak miskin sampe ngebunuh majikannya hanya karena merasa dilecehkan dibilang bau? Film ini dibuat abu-abu mungkin, ya, agar penonton terpecah untuk berada di belakang karakter yang mana. Tapi saya berpikir, seharusnya ending film ini bisa dibuat dengan alternatif lain, kalau memang ingin menyampaikan pesan damai, bukan dendam. Kalau begitu, lalu apa bedanya posisi si miskin dan si kaya? Atau memang itu pesan sebenarnya bahwa kita semua adalah Parasite?

    Paling fundamental, kenapa rumah orang kaya nggak ada cctv di bagian dalam rumah? Saya nggak tahu ya budaya korea bagaimana, tapi setahu saya, orang kaya pasti insecure dan mudah curigaan—mereka juga pasti punya penasehat dan orang yang dipercaya sebelum mengambil sebuah keputusan. Buktinya, saat ada tamu, pintu gerbang mesti dibuka otomatis dari dalam agar tamu bisa masuk dan mesti bicara dulu pada semacam walkie-talkie yang dipasang di depan gerbang, masa cctv dalam rumah saja nggak ada?

    Saya juga ingin tahu ke mana temannya yang kuliah, kenapa tidak diberi scene tambahan atau apa pun agar membuat ia juga khawatir dengan murid yang disukai dan dititipkan pada guru les penggantinya. Kalau dari awal disebutkan banyak simbol dan metafora, kenapa ending-nya tidak dibuat metaforis juga sekalian, bukan dengan saling membunuh seolah bunuh-membunuh adalah cara terbaik untuk mengakhiri cerita dan menyelesaikan sebuah masalah(?)

    Depok, 17 Juli 2019

    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Novel Adaptasi: YUNI

    (GPU | 174 halaman | Rp. 63.000)

    [PRE-ORDER]

    Pengunjung

    About me

    Photo Profile
    Ade Ubaidil, Pengarang, Cilegon-Banten.

    Pria ambivert, random dan moody. Gemar membaca buku dan berpetualang. Bermimpi bisa selfie bareng helikopter pribadinya. Read More

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: Apa yang Kita Bicarakan di Usia 26?

    (Epigraf | 164 halaman | Rp. 50.000)

    [PESAN]

    Bedah Buku Dee Lestari

    Bedah Buku Dee Lestari

    bedah buku #sbtml

    bedah buku #sbtml
    Bedah Buku di SMK Wikrama, Bogor pada: 23 April 2018

    Workshop & Seminar

    Workshop & Seminar

    Popular Posts

    • [RESENSI] NOVEL: HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (GPU, 2015)
    • Musim Layang-Layang (Pasanggarahan.com, 30 Oktober 2015)
    • [MY PROFILE] Terjerembap di Dunia Literasi: Lahan untuk Memerdekakan Pikiran (Utusan Borneo-Malaysia, 13 Desember 2015)

    Blog Archive

    • ►  2012 (5)
      • ►  October (3)
      • ►  December (2)
    • ►  2013 (41)
      • ►  January (1)
      • ►  March (5)
      • ►  April (4)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  August (1)
      • ►  September (3)
      • ►  October (3)
      • ►  November (16)
      • ►  December (5)
    • ►  2014 (20)
      • ►  January (2)
      • ►  April (3)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  July (1)
      • ►  September (1)
      • ►  November (6)
      • ►  December (4)
    • ►  2015 (21)
      • ►  February (5)
      • ►  March (2)
      • ►  April (3)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (5)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
      • ►  December (1)
    • ►  2016 (31)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  April (2)
      • ►  May (4)
      • ►  June (1)
      • ►  July (2)
      • ►  August (5)
      • ►  September (4)
      • ►  October (5)
      • ►  November (2)
      • ►  December (3)
    • ►  2017 (41)
      • ►  January (4)
      • ►  February (3)
      • ►  March (8)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  June (8)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (3)
      • ►  November (4)
      • ►  December (3)
    • ►  2018 (24)
      • ►  January (3)
      • ►  February (2)
      • ►  March (3)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  November (4)
      • ►  December (2)
    • ▼  2019 (16)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (3)
        • [Ulasan Film] Parasite; Film yang Belum Selesai
      • ►  August (2)
        • [Self-Depression] Yang Mati Sejak Dua Tahun Lalu
        • [Ulasan Buku] Bicara Cinta, Manusia Dewasa, dan Pr...
      • ►  September (2)
        • [Self-Depression] Apa Itu Kemanusiaan?
        • [Catatan] INDONESIA DALAM DARURAT!
      • ►  October (2)
        • Novel: TUMPENG (Teman Nulis, 2019)
        • [Ulasan Buku] Cerita Anak; Keluguan dan Nilai-Nila...
      • ▼  November (1)
        • [Catatan] A-Hook: Tinjuan Telak Ahok!
    • ►  2020 (14)
      • ►  January (1)
      • ►  February (1)
      • ►  March (2)
      • ►  April (1)
      • ►  May (2)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (1)
      • ►  November (1)
      • ►  December (2)
    • ►  2021 (15)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  April (1)
      • ►  May (1)
      • ►  June (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (3)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  December (1)
    • ►  2022 (30)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  May (3)
      • ►  June (5)
      • ►  July (1)
      • ►  August (4)
      • ►  September (3)
      • ►  October (2)
      • ►  November (2)
      • ►  December (7)
    • ►  2023 (5)
      • ►  January (4)
      • ►  February (1)

    Followers

    youtube facebook Twitter instagram google plus linkedIn

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top