[Esai] Festival Kitab Kuning di Banten (dpk.bantenprov.go.id, November 2018)

December 18, 2018

image by ibtimes.co.uk
Awal September lalu, saya menghadiri acara Festival Seni Multatuli 2018 di Museum Multatuli, Lebak, Rangkasbitung. Sebuah konsep acara yang mengangkat satu nama tokoh pergerakan di masa kolonial. Melalui novel masterpiece-nya yang berjudul, Max Havelaar (1860), Multatuli, atau yang bernama asli Eduard Douwes Dekker menolak sistem pemerintahan dan mengkritik perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia Belanda. Padahal, ia sendiri lahir di Amsterdam, Belanda. Berkat karya heroik itulah namanya dikenang hingga 100 tahun kepergiannya.

Berbagai tema diskusi dan pertunjukkan seni ditampilkan, mulai dari simposium pascakolonial bersama sejarawan dan budayawan, musikalisasi puisi, drama musikal, menyanyikan lagu-lagu perjuangan hingga menerbitkan buku antologi puisi berjudul, Kepada Toean Dekker (FSM, 2018), yang ditulis oleh penyair se-Indonesia yang telah dikurasi sebelumnya oleh dewan juri yang kompeten.

Artinya, kita patut berbangga bahwa warga Lebak masih apresiatif terhadap tokoh pergerakan di masanya, yang konon dulu membela masyarakat Lebak dari penindasan—sekalipun ia terlahir dari tanah para penjajah. Lalu, apakah tokoh-tokoh yang lahir dan besar di Banten, bahkan membawa citra baik Banten hingga ke kancah Internasional sudah mendapatkan apresiasi serupa?

Sekadar menyebutkan, ada satu tokoh, ulama besar dari Indonesia yang lahir di Provinsi Banten, tepatnya di Kampung Pesisir, Desa Pedaleman, Kecamatan Tanara (Tirtayasa), Kabupaten Serang pada tahun 1230 H./1813 M. Beliau adalah Muhammad Nawawi atau lebih dikenal dengan julukan Syekh Nawawi Al-Jawi Al-Bantani. Lahir dari orang tua bernama Syekh Umar bin Arabi dan Zubaidah.

Di usia lima tahun, Syekh Nawawi sudah mulai belajar agama Islam langsung dari ayahnya yang juga seorang ulama di kampungnya. Beliau mempelajari bahasa arab, fiqih, tauhid, alquran dan tafsir. Pada usia delapan tahun, bersama kedua adiknya, Tamim dan Ahmad, beliau berguru kepada K.H. Sahal, salah seorang ulama termasyhur di Banten saat itu. Kemudian, Syekh Nawawi melanjutkan menimba ilmu kepada Syekh Baing Yusuf, Purwakarta.

Sejak kecil beliau memang sudah memperdalam ilmu agama. Bahkan di usia limabelas tahun, beliau pergi ke Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu kepada ulama-ulama masyhur di tanah suci Mekah. Ketika dirasa telah mumpuni dengan keilmuan yang diperolehnya, beliau mengajarkan kepada murid-muridnya di Masjidil Haram. Beberapa muridnya yang berasal dari tanah air bahkan telah menjadi ulama besar dan mendirikan pondok pesantren, di antaranya yakni: K.H. Hasyim Asyari (Jombang, pendiri Nadhlatul Ulama), K.H. Ahmad Dahlan (Yogyakarta, pendiri Muhammadiyah), Thahir Jamalauddin (Singapura), Syekh Kholil al-Bangkalani (Madura), K.H. Asyari (Bawean), K.H. Tubagus Asnawi (Caringin), K.H. Hasan Genggong (Jawa Timur, pendiri Pesantren Zainul Hasan Genggong), K.H. Mas Abdurrahman (Pandeglang, pendiri Mathla'ul Anwar), Syekh Arsyad Thawil al-Bantani (Tanara, pejuang Geger Cilegon 1888) dan masih banyak lagi.

Nama Syekh Nawawi kian masyhur setelah beliau diberi amanah untuk menjadi imam besar di Masjidil Haram menggantikan Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi atau Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Tidak hanya di kota Mekah dan Madinah, bahkan di negeri SuriahMesirTurki, hingga Hindustan pun namanya harum. Ketokohannya sebagai ulama juga terbukti pada karya-karya intelektualnya, yang telah menuliskan sekitar 115 kitab, yang meliputi kitab ilmu fiqih, tauhid, tafsir, tasawuf dan hadist.

Salah satu karangannya yang fenomenal dan monumental adalah Tafsir al-Munir. Bahkan ada yang mengatakan lebih baik dari Tafsir al-Jalalain, karya Imam Jalaluddin as-Suyuthi dan Imam Jalaluddin al-Mahalli yang sangat terkenal. Sementara dalam bidang Ilmu Hadits misalnya beliau menulis, Tanqih al-Qaul. Khusus di bidang Ilmu akidah ada Tijan ad-Darary, Nur al-Dhalam, Fath al-Majid. Dalam bidang Ilmu Fiqih yakni beliau menulis kitab Sullam al-Munajah, Nihayah al-Zain, Kasyifah al-Saja. Untuk kalangan santri di daerah Jawa, ada syarah’Uqud al-Lujain fi Bayan Huquq al-Zaujain yang sering dijadikan kajian. Selain itu, beliau juga dikenal sebagai ahli tasawwuf, beberapa karyanya yang populer adalah Qami'u al-Thugyan, Nashaih al-'Ibad dan Minhaj al-Raghibi.

Tak heran, banyak sekali julukan yang beliau terima baik dari ulama Arab Saudi maupun ulama dari dalam negeri. Di Indonesia sendiri, beliau mendapat predikat sebagai Bapak Kitab Kuning Indonesia. Sampai di sini, bukankah telah cukup mumpuni dan tak perlu diragukan lagi untuk diselenggarakannya Festival Kitab Kuning di Banten? Tetapi sejauh ini, saya belum menemukan apresiasi yang cukup besar dan pantas terhadap karya beliau dari pemerintah Banten sendiri. Padahal, kita perlu menghadirkan tokoh atau role model untuk dikenalkan, atau diberi semacam penghargaan atas karya dan dedikasinya dalam bidang ilmu pengetahuan, khususnya pengarang kitab kuning (mushanif), apalagi sampai membawa nama baik Banten ke kancah internasional. Beliau wafat dan dimakamkan di  Hijaz, Mekah pada tahun 1314 H/1897 M. Meski beliau telah tiada, tetapi, sampai hari ini, karyanya terus dikaji dan dipejari oleh para generasi santri dan akademisi di perguruan tinggi dalam negeri dan luar negeri.
Belum lagi, selain Syekh Nawawi Al-Bantani dikenal sebagai ulama, beliau juga seorang pejuang di masa pemerintah Hindia Belanda—tahun lahir Syekh Nawawi hanya selisih tujuh tahun dengan Multatuli. Setelah tiga tahun bermukim di Mekah, Syekh Nawawi kembali ke tanah kelahiran, namun sesampainya di tanah air dia menyaksikan praktik-praktik ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan penindasan yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat.
Tak ayal, gelora jihad pun berkobar. Sebagai intelektual yang memiliki komitmen tinggi terhadap prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran, Syekh Nawawi kemudian berdakwah keliling Banten mengobarkan perlawanan terhadap penjajah sampai pemerintah Belanda membatasi gerak-geriknya seperti dilarang berkhutbah di masjid-masjid. Bahkan beliau dituduh sebagai pengikut Pangeran Diponegoro yang ketika itu sedang mengobarkan perlawanan terhadap penjajahan Belanda (1825 - 1830 M.), hingga akhirnya ia kembali ke Mekah setelah ada tekanan pengusiran dari Belanda, tepat ketika puncak terjadinya Perlawanan Pangeran Diponegoro pada tahun 1830 masehi.
Selain pelajaran agama, Syekh Nawawi juga mengajarkan makna kemerdekaan, anti-kolonialisme dan imperialisme dengan cara yang halus. Mencetak kader patriotik yang di kemudian hari mampu menegakkan kebenaran. Perjuangan yang dilakukan Syekh Nawawi memang tidak dalam bentuk revolusi fisik, namun lewat pendidikan dalam menumbuhkan semangat kebangkitan dan jiwa nasionalisme.[1]

Dari jejak sejarah di atas, melihat jasa-jasa besar beliau untuk negeri ini, menurut saya, apresiasi semacam dibuatnya Festival Kitab Kuning atau sejenisnya adalah sebuah keharusan, karena berguna untuk menambah pengetahuan dan memupuk kebanggaan, khususnya untuk santri, umumnya untuk masyarakat Banten sendiri. Juga bisa dijadikan motivasi bagi para generasi milenial bahwa untuk mengisi hari-hari bisa dengan belajar menulis dan mengkaji karya-karya para pendahulu.

Dengan begitu, kita bisa meningkatkan produktivitas yang bernilai positif. Adapun, untuk pelaksanaannya sendiri, Presiden Republik Indonesia, dua tahun lalu, telah mengukuhkan Hari Santri Nasional jatuh pada tanggal 22 Oktober. Artinya, pemerintah setempat, bekerjasama dengan pondok pesantren bisa menyelenggarakan Festival Kitab Kuning bersamaan dengan peringatan Hari Santri Nasional. Ini bisa dijadikan momentum untuk menyatukan para santri dan mendekatkan diri dengan masyarakat di Provinsi Banten.

Cilegon, 19 Oktober 2018


 *) pernah dimuat di laman Perpusda Banten: [KLIK]





[1] Solahudin, M. (2012). 5 Ulama Internasional dari Pesantren. Kediri: Nous Pustaka Utama. ISBN 9786029872026.

You Might Also Like

0 komentar